Sunday, December 30, 2007

Demo Anti Korupsi, Tiga Mahasiswa Untad Palu Dicekal Ikut Wisuda

Tiga mahasiswa Universitas Tadulako (Untad) Palu, Sulawesi Tengah, batal mengikuti prosesi wisuda sarjana pada Sabtu (29/12), karena dicekal oleh pihak rektorat. Ketiga mahasiswa itu adalah Muhammad Afandi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Ruslan dari Fakultas Hukum dan Muhammad Anwar dari Fakultas Pertanian.

Dua di antaranya, yakni Muhammad Afandi dan Ruslan bahkan diusir auditorium universitas itu, padahal mereka telah hadir dengan bersama 1.349 mahasiswa lainnya yang akan diwisuda hari itu. Sedangkan Muhammad Anwar yang juga mantan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa, tidak hadir karena sudah mendengar kabar dirinya bakal dicekal.

“Saya sudah mendengar kabar kalau saya akan dicekal nanti. Makanya saya tidak hadiri wisuda itu,” kata Muhammad Anwar yang ditemui, Minggu (30/12) pagi di rumahnya.

Sedangkan Muhammad Afandi dan Ruslan langsung melapor ke pihak Koisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Sulawesi Tengah dan Polresta Palu, karena tidak menerima tindakan pengusiran yang dilakukan panitia wisuda Untad itu.

Bahkan, Muhammad Afandi dengan lantang berteriak saat pengusiran itu, bahwa Rektor Universitas Tadulako, Sahabuddin Mustapa adalah orang yang mengatur pencekalan itu. “Tidak mungkin kami diusir kalau bukan atas perintah rektor. Saya sangat yakin, Rektor-lah yang berada di balik pencekalan ini,” tegas Muhammad Afandi.

Muhammad Afandi menduga, pencekalan mereka itu karena ketiganya sangat aktif memimpin aksi demonstrasi mahasiswa dalam kasus korupsi Sumbangan Dana Persiapan Otonomi Perguruan Tinggi (SDPOPT) bernilai Rp 7,5 miliar, yang ikut membawa Rektor Sahabuddin Mustapa menjadi terdakwa. Tapi, Pengadilan Negeri Palu kemudian menjatuhkan vonis bebas terhadap Rektor Universitas Tadulako itu.

Abi Kusno dan Ny. Munawwarah, orang tua Afandi, menyatakan kekecewaan mereka atas tindakan panitia wisuda yang melarang anaknya mengikuti acara yang dianggap sakral bagi mahasiswa itu.

"Kami sangat kecewa. Kami benar-benar dipermalukan, apalagi anak saya sudah berpakaian toga, tapi tiba-tiba dikelurakan dari auditorium tempat wisuda berlangsung. Kalau memang tidak mau diwisuda, kenapa panitia mengundang kami," kata Ny. Munawwarah sambil meneteskan air mata.

Rektor Sahabuddin Mustapa yang dikonfirmasi di kediamannya Jalan Setiabudi, membenarkan telah mengeluarkan nota dinas kepada panitia wisuda agar tidak mengikutkan Muhammad Anwar, Muhammad Afandi dan Ruslan dalam proses wisuda ke-52 itu.

Itu dilakukan, kata Rektor Sahabuddin Mustapa, karena dalam setiap kesempatan aksi unjuk rasa kasus korupsi yang sempat menyeret dirinya itu, ketiganya selalu menyatakan menolak diwisuda dan menyatakan tidak bersedia kalau ijazah mereka ditandatangi oleh Rektor Sahabuddin Mustapa.

"Jadi, saya tidak mencekal mereka, saya hanya mengikuti permintaan mereka yang menolak diwisuda oleh saya dalam kapasitas sebagai rektor. Mereka bertiga ini juga masih dalam pembinaan atas perbuatan tersebut," kata Sahabuddin Mustapa.

Wednesday, December 26, 2007

Cafe Toragila Ganti Logo

(Logo mana yang Anda pilih...???)

Cafe Toragila, satu-satunya cafe yang lengkap dengan hotspot di Palu, merencanakan mengganti logo lama. Penggantian logo itu akan berlaku pada tanggal 1 Januari 2008 mendatang. Hanya saja, pihak manajemen Cafe Toragila belum dapat menetapkan logo yang akan digunakan nantinya.

"Kami akan memberikan kesempatan kepada publik untuk memilih logo mana yang akan digunakan," kata Sandrawali, manajer Cafe Toragila.

Menurut Sandrawali, ada enam pilihan logo dengan gambar yang sama namun warna yang berbeda. Logo tersebut berupa sebuah bulatan bertuliskan Cafe Toragila di kelilingnya dan bergambar lelaki berjanggut. Lelaki berjanggut itu adalah Karman Karim, pemilik Cafe Toragila.

Sandrawali mengatakan, pihaknya sengaja memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menentukan logo yang akan digunakan, karena ide awal pendirian Cafe Toragila itu adalah untuk kenyamanan dan kepuasan konsumen.

"Termasuk soal menentukan logo. Kalau konsumennya nyaman dengan logo tersebut, maka mereka akan semakin tertarik untuk datang. Ini merupakan salah satu strategi pemasaran kami," jelas Sandra, sapaan akrab Sandrwali.

Untuk penentuan penggunaan logo itu, manajemen Cafe Toragila akan memulainya dengan mengundang sejumlah wartawan media cetak dan elektronik di Kota Palu, untuk minum kopi gratis dan diskusi pada Kamis (27/12) sore, sembari memilih logo yang terbaik. Setelah dipilih, dengan cara divooting, barulah pada awal tahun baru 2008, Cafe Toragila resmi menggunakan logo baru. ***

Tuesday, December 25, 2007

Natal di Palu dan Poso Dijaga Ekstra Ketat

Perayaan Natal 25 Desember di Palu dan Poso, Sulawesi Tengah dijaga ekstra ketat. Ibadah Natal malam harinya di Kota Palu, dipusatkan di Gereja Immanuel, di Jalan Masjid Raya Palu Timur.

Di gereja itu, polisi memasang tiga pintu masuk. Semua anggota jemaat dan tamu (para pejabat Kota Palu) yang masuk ke gereja dan di tenda yang disiapkan panitia, harus melalui pemeriksaan dengan metal detektor.

Sedangkan pagi harinya, ibadah Natal berlangsung di masing-masing gereja di Kota Palu. Di Gereja Effatha, Jalan Banteng Palu Selatan, misalnya, ibadah berlangsung khidmat. Ada beberapa jemaat yang tampak menangis, karena mengingat peristiwa penembakan tahun 2004 silam yang menewaskan Pendeta Susianti Tinulele.

Marten Tibe (41), usai mengikuti ibadah Natal, mengatakan, meski sedih juga mengingat peristiwa itu, tapi ia bersyukur karena polisi berhasil menangkap para pelakunya. Para pelaku yang dimaksud adalah Basri dan kawan-kawan. Sekarang mereka sedang menjalani hukuman dalam berbagai kasus kekerasan di Poso dan Palu.

Pengamanan di Gereja Effatha sangat ketat. Dua mobil gegana dan puluhan anggota polisi yang dipimpin langsung Kapolresta Palu, Ajun Komisaris Besar Polisi Soenarko, tampak menjaga setiap sudut jalan dan di halaman gereja. Bahkan, jalan masuk dari Jalan Touwa ke Jalan Banteng ditutup. Pun halnya di Gereja Immanuel.

Menurut Kapolresta Soenarko, pihaknya menurunkan sedikitnya 785 personel untuk menjaga sedikitnya 62 gereja di Kota Palu. Jumlah personel itu, masing-masing dari Ditsamapta Polres dan Polda serta Brimob Polda Sulteng.

Di Gereja Effatha, Pendeta Lagarense dalam khutbahnya lebih menekan soal menjaga kelestarian lingkungan hidup kaitannya dengan perubahan iklim. Menurutnya, jika umat tidak menjaga lingkungan dengan baik, maka 20 atau 30 tahun mendatang, bumi ini akan tenggelam.

"Sebagai umat yang baik, kita harus berterima kasih karena Tuhan telah memberikan bumi sebagai tempat kita bernaung. Maka bumi ini harus dijaga dan diselamatkan dari kerusakannya," tandas Pendeta Lagarense.***

Thursday, December 13, 2007

Sulteng Terima Dana Pasca Bencana Rp 22,5 Miliar

Sulawesi Tengah menerima dana pasca bencana tahap III sebesar Rp 22,5 miliar. Dana dari Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Dana tersebut, digunakan pembangunan infrastruktur pekerjaan umum (PU), terutama untuk jalan dan jembatan.

Iskandar Nongtji, salah seorang pejabat di Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah Sulawesi Tengah yang dikonfirmasi The Jakarta Post, Kamis (13/12) siang, membenarkan telah dikucurkan dana tersebut.

Menurut Iskandar Nongtji, anggaran miliaran rupiah itu merupakan implementasi dari Percepatan Pembangunan Sulawesi Tengah. Lantaran itu, dana tersebut diarahkan untuk pembangunan ruas jalan Kalawara-Kulawi di Kabupaten Donggala sepanjang 8,1 kilometer yang dianggarkan dari dana tersebut sebesar Rp 7,5 miliar.

Juga untuk pembangunan dan pemeliharaan ruas jalan Tonusu-Gintu sepanjang lima kilometer di Kabupaten Poso dengan anggaran Rp 7,5 miliar dan ruas Napu-Sanginora sejauh lima kilometer juga di Kabupaten Poso dengan anggara yang juga sama, yakni Rp 7,5 miliar.

"Dana tesebut akan segera ditransfer oleh pihak Menko Kesra melalui rekening Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah," kata Iskandar Nongtji

Dana tersebut, kata Iskandar Nongtji, merupakan janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat berkunjung ke Palu Maret 2007 lalu, dan karena masih melewati proses panjang, sehingga baru sekarang dana tersebut direalisasikan.

Tidak hanya itu, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah juga menerima sebesar Rp 76 miliar dari Dana Alokasi Umum (DAU) 2007. Dana tersebut untuk sub bidang Jasa Marga.

Dana tersebut terbilang sangat besar. Karena untuk pembangunan dan pemeliharaan ruas jalan Kalawara-Kulawi di Kabupaten Donggala, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah hanya menganggarkannya melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (ABPD) 2007 sebesar Rp 1,2 miliar. Sedangkan ruas jalan Tonusu-Gintu di Poso sebesar Rp 2,4 miliar dan ruas jalan Napu-Sanginora di Poso hanya sekitar Rp 100 juta.

Menurut Iskandar Nongtji, jalan provinsi saat ini berjarak 2037 kilometer, tapi anggarannya hanya sekitar Rp 76 miliar. Jumlah tersebut, sesungguhnya belum ideal, jika diukur dari tingkat kematangan jalan yang tiap tahun makin menurun. "Akibatnya, setelah dibangun dan dipelihara, usia jalan itu tidak panjang," kata Iskandar Nongtji.

Sedangkan jalan nasional (jalan negara) sepanjang 1864 kilometer yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2007 anggarannya sampai Rp 250 miliar. Dan APBN tahun 2008 dianggarkan sebesar Rp 458 miliar. "Itu berarti pembangunan infrastruktur di bidang ke-PU-an dari APBD Sulteng sangat kecil," tegas Iskandar Nongtji.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Sulawesi Tengah tahun 2007 dilaporkan sebesar Rp lebih Rp 685 miliar, jumlah ini lebih besar dibanding tahun 2006 yang hanya lebih 595 miliar. Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah menargetkan, tahun 2008 APBD Sulteng akan mencapai hampir Rp 1 triliun.***

Tuesday, December 11, 2007

Patung Megalith Sulteng Dijual di Bali

Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah mengaku tidak tahu-menahu, soal penjualan sekitar 100 patung megalith dari Kecamatan Lore Selatan dan Lore Utara, Kabupaten Poso. Padahal, menurut laporan kalau situs yang telah berusia lebih 2000 tahun itu, telah di jual sejumlah galery barang antik di Bali seperti yang ditulis Kompas, Selasa (11/12).

Wakil Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulawesi Tengah, Jethan Towakit yang dikonfirmasi, Selasa (11/12) pagi mengatakan, pihaknya sebagai penanggungjawab situs-situs purbakala itu belum tahu sama sekali soal penjualan situs megalith itu.

"Jika informasi itu benar adanya, maka kami segera membentuk tim terpadu untuk melakukan penyelidikan dan berusaha mengembalikan situs megalith itu ke tempatnya semula," kata Jethan Towakit.

Tapi yang pasti, penjualan situs megalith itu terungkap, setelah pihak DPRD Poso menerima laporan warganya yang sekarang berdomisili di Denpasar, Bali, bahwa sejumlah galery barang antik di kota itu terlihat memperjualbelikan sejumlah situs megalith asal Sulawesi Tengah.

Setelah menerima laporan tersebut, pihak DPRD Poso kemudian mengirim dua orang anggotanya untuk mengecek kebenaran informasi itu di Denpasar. Dan setelah dicek, ternyata informasi itu benar adanya. Bahkan, patung megalith itu dijual dengan harga mulai puluhan juta rupiah hingga lima miliar rupiah.

Ketua DPRD Poso, S Pelima yang dikonfirmasi membenarkan hasil temuan tersebut. Dia mengatakan ada patung megaltih yang bernama Batu Nongko asal Lore Utara, dijual dengan harga Rp 5 miliar kepada pembeli asal Amerika. Sedangkan 20 situs lainnya yang sudah laku terjual, sekarang masih dipajang sambil menunggu proses pengiriman kepada pembelinya.

Pencurian situs megalith itu, mulai berlangsung kurun enam tahun terakhir. Diperkirakan lebih 100 patung megalith yang sudah dicuri, tapi baik Pemerintah Kabupaten Poso maupun Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, mengaku tidak tahu menahu dan tidak melakukan tindakan pencegahannya. "Ini yang kami sesalkan, padahal kami sudah menyampaikan hasil temuan itu kepada Pemerintah Kabupaten Poso," tegas Ketua DPRD Poso, S. Pelima

Berdasarkan hasil penelitian The Nature Concervancy (TNC) Sulawesi Tengah bekerjasama dengan Yayasan Katopasa Palu tahun 2001 lalu, terdapat 432 objek situs megalith di Sulawesi Tengah, tersebar di Kecamatan Lore Utara sebanyak 349 situs, di Lore Selatan sebanyak 55 situs dan di Kecamatan Kulawi Kabupaten Donggala sebanyak 27 situs.

Tapi pihak Museum Sulawesi Tengah menyebutkan, situs megalith itu tidak hanya ada di tiga wilayah itu, tapi juga tersebar di Doda, Kecamatan Lore Tengah, di Desa Tulo, Kecamatan Dolo Kabupaten Donggala, Desa Watunonju, Kecamatan Sigi Biromaru, Kecamatan Pipikiro, dan Desa Bangga di Kabupaten Donggala. Hanya saja, pihak Museum mengaku tidak punya data soal jumlah situs menhir tersebut.

Iskam Lasarika, petugas Museum Sulawesi Tengah mengatakan, pihaknya hanya memberi nama terhadap patung-patung megalith ini. Salah satu patung megalith yang berdiri sendiri misalnya, dinamai Tadulako yang berarti pemimpin. Tingginya sekitar 170 centimeter. Patung itu berukiran orang. Mungkin saja pembuatnya hendak menggambarkan bahwa begitulah pemimpin di masa zaman pra sejarah itu.

Untuk menuju patung Tadulako itu, kita harus berjalan kaki dari jalan utama sekitar 2 kilometer dengan melewati persawahan. Sekitar 30 meter dari patung Tadulako ditemukan lagi beberapa situs megalith lain yang diberi nama Kalamba atau perahu, batu yang tengahnya bolong. Tidak hanya di situ, sekitar 5 kilometer dari kalamba, masih banyak ditemukan situs-situs megalith serupa.

Situs ini disebut juga dengan menhir, yakni bangunan yang berupa tugu batu yang didirikan untuk upacara menghormati roh nenek moyang, sehingga bentuk menhir ada yang berdiri tunggal dan ada yang berkelompok serta ada pula yang dibuat bersama bangunan lain yaitu seperti punden berundak-undak.

Saat ini, terdapat 60 ribu artefak asal Sulawesi termasuk Sulawesi Tengah yang disimpan di Museum Leiden Belanda. Sedangkan di Museum Sulawesi Tengah sendiri hanya menyimpan sekitar 10 ribu artefak.***

Sunday, December 09, 2007

Gua Latea, Kuburan Nenek Moyang Orang Pamona

Gua Latea, adalah gua alam berupa bukit kapur yang usia genesisnya sekitar lebih 30 juta tahun silam. Lokasinya berada di atas bukit parere. Gua ini digunakan sebagai kuburan warga suku Pamona---warga asli Poso---pada masa lalu.

Nenek moyang orang Pamona itu, dulunya hidup di bukit-bukit, khususnya yang hidup di perbukitan Wawolembo. Sistem penguburan dengan menaruh jenazah di gua-gua itu, baru berakhir sekitar abad ke-19 Masehi. Gua ini pernah mengalami keruntuhan batuan sekitar lebih 2000 tahun silam.

Gua Latea ini ada dua. Pertama letaknya di bagian bawah. Di sini terdapat empat pasang peti jenazah dan 36 buah tengkorak manusia. Gua ini pernah dipugar tahun 1994 lalu.

Sedangkan gua kedua berlokasi di bagian atas. Terdapat 17 pasang peti jenazah, 47 buah tengkorakdan lima buah gelang tangan. Seperti pada gua pertama, gua ini pernah dipugar tahun 1994.

Gua ini adalah kuburan nenek moyang suku bangsa Pamona. Cara penguburan zaman dulu masyarakat Pamona ini, sama seperti yang dilakukan di Tanah Toraja,Sulawesi Selatan. Memang, menurut Yustinus Hoke (60 tahun), budayawan Pamona,
berdasarkan historisnya, orang Pamona dan orang Toraja masih memiliki hubungan kekerabatan yang sangat erat.

Karena masih ada hubungan kekerabatan itulah, sehingga beberapa tradisi nyaris sama, termasuk salah satunya adalah cara penguburan jenazah dengan menaruhnya di gua-gua.

Tidak hanya di Gua Latea. Kuburan nenek moyang orang Pamona lainnya terdapat di Gua Pamona yang letaknya persis di tepi Danau Poso. Gua ini memiliki 12 ruang. Menurut Yustinus Hoke, orang Pamona dikuburkan di Gua Pamona ini berdasarkan kelas sosial masing-masing. Hanya saja tidak dijelaskan, di ruangan ke berapa menjadi kuburan bagi kalangan bangsawan dan di mana letak kuburan rakyat biasa.

Meski sebagai kuburan nenek moyang orang Pamona, tapi Gua Pamona ini tidak hanya menjadi tempat wisata yang indah untuk dikunjungi, tapi juga menjadi tempat bermain anak-anak setempat.

Ny. Ruweyana Gundo (50 tahun), kepada The Jakarta Post, mengakui bahwa masa kanak-kanaknya selalu dihabiskan dengan bermain-main di dalam Gua Pamona ini. Ia bersama teman-temannya kadang membolos dari sekolah, hanya karena ingin bermain di dalam gua tersebut.

Lantaran itulah, Ny Ruweyana Gundo ini bisa menjelaskan dengan detail, dari sau ruangan ke ruangan yang lain. Menurutnya, kita hanya bisa masuk sampai ke ruangan ke-3, karena selebihnya sudah sangat gelap dan harus menggunakan alat penerang seperti obor atau senter. "Dan kalau kita masuk sampai ke bilik 12, maka posisi kita sudah berada di bawah air danau Poso," jelas Ny. Ruweyana Gundo.

DICAPAI DENGAN JALAN KAKI

Gua Late, letaknya sekitar 2 kilometer dari jalan utama Tentena, Ibukota Kecamatan Pamona Utara, Kabupaten Poso. Untuk dapat mencapainya, bisa dengan menggunakan sepeda motor sekitar satu kilometer, lalau kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki sejauh sekitar satu kilometer pula.

Jalanannya agak mendaki dan licin. Tapi sudah dibuat tangga beton. Lantaran itu, perlu hati-hati kalau berjalan. Walau begitu, jalannya tetap licin karena penuh lumut. Di samping kiri kanan yang terlihat hanyalah pepohonan dan kebun kakao warga. Dan, kita pun akan hiur dengan merdunnya suara-suara binatang hutan dan aliran air sungai di sekitar tempat itu.

Sebelum sampai ke Gua Late, kita juga akan melewati dua buah jembatan. Jembatan pertama kondisi masih baik, sedangkan jembatan kedua sudah mulai rusak. Sehingga warga hanya menutupi kerusakan itu dengan menggunakan bambu dan batang kayu.

Pendeta Hengky Bawias (32 tahun) yang menjadi penunjuk jalan The Jakarta Post, menjelaskan bahwa jembatan ini sudah mulai rusak sejak tahun 2004 lalu dan belum diperbaiki sama sekali.

Lokasi Gua Late ini berjarak sekitar 57 kilometer arah Selatan Kota Poso, atau 258 kilometer dari Kota Palu, ibukota Provinsi Sulawesi Tengah.

TAK DILIRIK FDP ke-10

Gua Latea dan Gua Pamona, adalah dua cagar budaya di Kabupaten Poso. Kedua gua ini terakhir kali ramai dikunjungi pada 1997 lalu, ketika dilaksanakannya Festival Danau Poso yang ke-9.

Setelah meletusnya konflik Poso tahun 1998, praktis Gua Latea dan Gua Pamona ini tak lagi dikunjungi wisatawan maupun peneliti. "Iya, memang sejak kerusuhan, dua gua ini sudah sangat jarang dikunjungi," kata Pendeta Hengky Bawias, orang yang saya minta menjadi guide ketika saya ke Gua Latea itu.

Dan lebih menyedihkan lagi, pada Festival Danau Poso yang ke-10 tahun 2007 ini, pihak panitia tidak memasukan Gua Latea dan Gua Pamona sebagai tempat untuk dikunjungi. Padahal, menurut Pendeta Hengky Bawias, pada FDP ke-9 tahun 1997 lalu, Gua Latea merupakan salah satu tempat yang ramai dikunjungi oleh tamu lokal, tamu dari luar Poso maupun tamu mancanegara yang hadir pada FDP.

Menurut Ny. Roana Kabi, panitia bidang Publikasi pada Festival Danau Poso ke-10, karena pihaknya baru membangkitkan kembali FDP dengan tujuan mengabarkan kepada dunia bahwa Poso sudah aman.

"Kita akan mengembalikan agenda budaya dan wisata, nanti pada FDP 2008 nanti. Kalau sekarang, kita masih pada batas kampanye Poso Aman," tandasnya.***

Menengok Kearifan Lokal To Wana di Morowali


perempuan berbusana hanya sebatas dada. Dandanan apa adanya, berjalan membawa keranjang yang terbuat dari dedaunan. Ada yang menjunjungnya di kepala, ada yang di bahu dan ada pula yang dijinjing. Di dalam keranjang itu berisi beberapa keperluan sehari-hari.

Sementara beberapa lelaki, ada yang memakai kaus, ada yang memakai rompi yang terbuat dari kulit kayu, ada yang hanya menggunakan sarung, menggunakan ikat kepala dan ada yang bertelanjang dada bercelana pendek, berjalan membawa tombak, sumpit dan golok.

Tiba-tiba seseorang yang mungkin adalah kepala suku, berjalan ke depan diikuti seorang perempuan. Keduanya terlibat percakapan dalam bahasa lokal yang sulit dimengerti. Ternyata, keduanya sedang berbalas pantun dengan gaya bertutur. Balas pantun dengan gaya bertutur itu adalah sastra bertutur, yang dalam bahasa lokal disebut dengan Kayori.

Itulah gambaran kehidupan masyarakat To Wana, masyarakat penghuni hutan di Kabupaten Morowali, SUlawesi Tengah. Jumat (7/12) malam, masyarakat yang punya ciri khas sebagai peladang berpindah itu dilibatkan untuk mementaskan teater kehidupan mereka dalam pelaksanaan Festival Danau Poso yang ke 10 kali ini.

Saat keduanya terlibat dalam kayori, beberapa orang di belakangnya mengiringinya musik tradisional, Talali atau suling, ngeso-ngeso atau alat musik gesek, due atau popondo (alat musik satu tali yang menggunakan bagian depan tubuh sebagai resonator), tutubua atau perkusi dari bambu, gendang dan gong.

Amirullah Sia, pimpinan kontingen Kabupaten Morowali pada FDP itu mengatakan, kayori atau berbalas pantun itu, berisi harapanagar semakin banyak To Wana (orang Wana) diberi kesempatan pada pentas-pentas seni budaya di Sulawesi Tengah maupun di Indonesia.

Setelah selesainya Kayori, warga Suku Wana itu juga memainkan tarian Dendelu. Yaotu tarian melingkar dengan iringan syair-syair yang dinyanyikan oleh penarinya sendiri. Tarian ini dimainkan pada hari-hari tertentu misalnya untuk mengenang kematian seseorang atau menghibur keluarga yang sedang berduka. Makanya, gerakan-gerakan dalam tarian itu sangat lamban.

Mereka juga memainkan tarian Salonde. Tarian ini hanya dimainkan oleh para perempuan Suku Wana sebagai ungkapan rasa syukur mereka atas hasil panen dan menyambut tamu penting yang datang ke daerah mereka.

Tidak hanya itu, warga To Wana juga memainkan tarian Tendebomba. Tarian ini lebih bersifat umum, dapat dimainkan pada berbagai kesempatan dan boleh dimainkan baik oleh pria maupun wanita. Tarian ini pun, mengajak orang lain untuk dapat ikut bersama-sama.

"Tari Tandebomba biasanya dimainkan semalam suntuk. Makanya, beberapa warga yang ikut dalam tarian itu, bahkan yang menonton pun sampai tertidur," kata Amirullah Sia.

Suku Wana, memang sangat kaya akan tradisi budaya lokalnya. Selain tarian dan nyanyian, ada juga permainan rakyat yang mereka sebut Wawinti. Ini adalah permainan adu betis, dan hanya dapat dimainkan oleh laki-laki saja. Permainan ini hanya sebagai pengisi waktu luang saat menunggui ladang atau kebun mereka.

Biasannya juga, permainan ini dilakukan pada awal mereka menanam padi dan saat memanen. Wawinti atau adu betis ini, bisa dilakukan dengan satu lawan satu atau satu lawan dua atau lebih secara bergantian sampai ada yang kalah. Seorang pemain akan memasang kuda-kuda untuk kemudian ditendang oleh lawan di bagian betis.

Bila satu orang melawan dua orang atau lebih, maka dua orang tersebut akan menyusun kaki mereka secara berdempetan kemudian memasang kuda-kuda untuk siap ditendang.

Tidak hanya itu, masih ada tradisi lain milik suku asli To Wana, adalah menyumpit. Ini merupakan salah satu aktivitas yang penting dalam kehidupan keseharian To Wana. Mereka menggunakan sumpit untuk keperluan berburu binatang seperti burung, monyet dan babi untuk dikonsumsi.

Sumpit bagi orang Wana sangat penting. Tidak hanya sebatas sebagai senjata berburu, tapi juga menjadi senjata pamungkas untuk membela diri dari berbagai ancaman binatang buas dan pihak lain yang bermaksud mengganggu kehidupan mereka di hutan.

Anak sumpit To Wana, terbuat dari bambu yang dibuat runcing, lalu kemudian mata sumpit diberi impo, sejenis ramuan khusus yang sangat beracun. Sehingga siapa saja yang terkena sumpitan orang Wana, dipastikan tidak bisa diselamatkan.

PENGOBATAN DAN BONGKAR RUMAH

Orang Wana juga, memiliki upacara pengobatan terhadap orang sakit yang mereka sebut dengan Momago atau Mobolong. Yaitu memanfaatkan kekuatan roh gaib yang bersemayam di alam seperti di pohon-pohon besar, di tebing atau di mata air.

Dalam upaara ini peran dukun atau Walia sangatlah penting sebagai perantara kekuatan roh gaib, untuk menyembuhkan si sakit.

Pengobatan diiringi musik seperti dua gong dan gendang yang berfungsi untuk mendukung kegiatan pengobatan. Dalam proses pengobatan, sang Walia dan beberapa orang lainnya melakukan gerakan-gerakan tertentu.

Beberapa sesajen seperti pinang, sirih, tembakau, daun kemangi, baru (minuman khas To Wana) yang juga menjadi syarat terlaksanakan upacara ini.

"Upacara ini biasanya juga dilakukan secara massal sepanjang malam. Alat musik gong dan gendang merupakan bagian yang sangat penting dalam upacara ini," kata Amin Abdullah, peneliti To Wana.

Itulah sebabnya, sebelum memulai upacara ini, alat musik itu sudah harus disiapkan terlebih dahulu. Alat-alat ini dimainkan secara bereulang-ulang, yang dimaksudkan untuk mengundang roh gaib yang dipercaya dapat mengobati orang sakit melalui perantara dukun.

Irama gong dan gendang dihentikan dan dukun memulai membacakan mantra-mantra untuk memohon kekuatan roh gaib, untuk turut membantu upacara pengobatan ini. "Inilah yang disebut dengan inti pengobatan," kata Amin Abdullah.

Dukun menggunakan selembar kain putih untuk mendeteksi penyakit seseorang. Kain putih juga diletakan di atas tubuh si sakit atau ditiupkan di tubuhnya dengan dilapisi kain putih di atas tubuh si sakit. Dukun menggerak-gerakan kain itu, seakan-akan memasukkan sesuatu ke dalam tubuh si sakit lalu mengibaskannya. Pada saat itu, musik sudah berhenti.

Tiba-tiba irama gong dan gendang dimainkan lagi untuk mengiringi kegiatan ritual pengobatan itu, dan dilakukan berulang-ulang sampai si dukun merasa cukup melakukan pengobatan itu.

Lalu, untuk memberikan motivasi pada si dukun, biasanya ada beberapa wanita yang menari-nari dan mereka yang dipercaya memiliki kemampuan khusus.

Kalau ada yang tidak sanggup diobati dan si sakit itu akan meninggal, mayatnya dibungkus tidak dibungkus kain putih atau dengan menggunakan peti mayat seperti lazimnya, tapi justru dibungkus dengan kulit kayu sebagai bukti kesederhanaan masyarakat Wana.

Dan lebih haru lagi, saat menguburkan jenazah, keluarga yang ditinggal menangis sambil meronta-ronta sembari mencakar tubuh dan mengacak-acak rambutnya sendiri.

"Ini menggambarkan bahwa mereka tak sanggup berpisah dengan keluarga yang dicintai," kata Amin Abdullah.

Setelah pemakaman, 16 hari kemudian, keluarga kemudian melaksanakan acara Momata untuk melepas kerinduan dan kenangan kepada yang meninggal dunia dengan cara membongkar rumah.

Pihak keluarga menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan. Mereka terus berduka dan menanti keluarga yang tidak sempat hadir dalam upacara pemakaman.

Mereka yang tidak sempat hadir dalam pemakaman itu, kemudian mengungkapkan penyesalannya dengan menangis dan meronta-ronta dan membongkar rumah. Tapi masih ada yang mencegahnya, namun rumah tersebut tetap dibongkar karena dianggap membawa sial.

Setelah rumah milik si mati itu dibongkar, keluargana kemudian pindah lagi ke tempat lain untuk membuat kebun dan tempat tinggal yang baru, dan begitu seterusnya. Lantaran itulah mereka biasa disebut nomaden atau peladang berpindah. ***

Penjagaan di Festival Danau Poso Diperketat

Pasca terjadinya ledakan di Jalan Tabatoki, Keluruhan Kawua, Kecamatan Poso Kota Selatan, semua pintu masuk dan keluar dijaga ketat aparat keamanan. Semua kendaraan yang masuk ke Kabupaten Poso harus berhenti. Semua isi mobil diperiksa.

Polisi juga memeriksa identitas sopir dan para penumpang. Pemeriksaan itu juga menggunakan metal detektor.

Terlebih lagi ketika memasuki arena Festival Danau Poso (FDP). Sejak masuk ke Kota Tentena, semua pengunjung sudah harus melewati beberapa kali pemeriksaan. Semua penumpang kendaraan roda empat harus turun dari mobil, dan polisi "mengacak-ngacak" isi mobil. Sedikitnya, tiga kali pemeriksaan sebelum memasuki lokasi FDP.

Untuk pengamanan jalannya pelaksanaan FDP itu, Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah dan Kepolisian Resort Poso, harus menerjunkan sebanyak 600 personel Brimob dan Perintis. Menurut Kapolres Poso, Ajun Komisaris Besar Polisi Adheni Muhan DP, sesuai prosedurnya, pengamanan itu dilakukan secara terbuka dan tertutup.

Semua hotel dan penginapan yang digunakan oleh peserta FDP, tak luput dari penjagaan ketat. Pemandangan itu terlihat jelas di Hotel Intim, Hotel Pamona Indah, Penginapan Victory dan beberapa penginapan lainnya di Tentena. Siapa saja yang hendak masuk, pasti melewati prosedur pemeriksaan. Pemandangan yang sangat berbeda dengan FDP tahun 1997 silam itu.

Aparat keamanan juga menyebarkan foto beberapa orang yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Mereka itu antara lain Iwan Asapa dan Upi yang selama ini disebut-sebut oleh polisi sebagai bagian dari jaringan Basri CS. Basri adalah seorang yang dianggap sebagai anak muda yang tergabung kelompok penebar teror dan kekerasan di Poso dan Palu.

Pengamanan yang sangat ketat itu, dilakukan setelah terjadinya ledakan pada malam hari sebelum dibukanya FDP di Tentena. Meski Kapolres Poso, Ajun Komisaris Besar Polisi Adheni Muhan DP membantah kalau ledakan itu hanyalah petasan, tapi sebagian warga menyangsikannya.

Sebagian warga tetap meyakini kalau ledakan itu adalah bom rakitan yang sengaja diletakkan di tepi jalan menuju Tentena, tempat pelaksanaan Festival Danau Poso itu. "Buktinya, kalau ledakan itu hanya petasan, kenapa pengamanan begitu ketat dan sangat berlebihan," kata Sandra Dewi (25), warga Kelurahan Bonesompe, Kecamatan Poso Kota Utara.

KAMPANYE POSO AMAN

Festival Danau Poso, sebuah agenda tahunan yang terakhir dilaksanakan tahun 1997 silam. Kini, festival budaya bertaraf internasional itu, kembali dihidupkan. Sejumlah petinggi di
daerah ini "bereriak-teriak" bahwa pelaksanaan FDP itu sebagai bukti bahwa Poso sudah benar-benar aman.

Tapi, pada 5 Desember malam sebelum diresmikannya ceremony pembukaan festival itu, terjadi sebuah ledakan dahsyat. Terlepas apakah ledakan itu berasal dari bom rakitan atau petasan, namun yang pasti sempat membuat warga panik.

Ledakan yang sama dan pada waktu yang hampir bersamaan, juga terjadi di Desa Soulowe, Kecamatan Dolo, Kabupaten Donggala---sekitar 17 kilometer arah Selatan Kota Palu, Sulawesi Tengah. Belum ada kesimpulan dari pihak kepolisian, apakah masih ada kaitannya antara ledakan di Poso dan di Dongala itu.

Sejumlah kalangan berpendapat bahwa ledakan tersebut, diindikasikan sebagai salah satu upaya menggagalkan pelaksanaan Festival Danau Poso yang pesertanya adalah duta wisata dan budaya utusan delapan dari 10 kabupaten dan kota se Sulawesi Tengah.
"Saya pikir, ledakan itu sebagai salah satu bentuk teror dalam skala kecil, yang sengaja dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang bermaksud menganggu jalannya pelaksanaan FDP," kata Tahmidi Lasahido, sosiolog Universitas Tadulako (Untad) Palu.

Tidak hanya soal itu. Panitia pelaksana FDP juga tampak kurang siap melaksanakan kegiatan tersebut. Ketidaksiapan terlihat dari koordinasi yang tidak berjalan dengan baik. Jadwal yang mesti dilaksanakan pada pagi hari seperti lomba Perahu hias, ditunda hingga sore harinya. Tapi ditanyakan pada panitia, mereka mengaku tidak tahu menahu ada penundaan itu.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulawesi Tengah, Muhammad Ramatu, saat dikonfirmasi mengatakan, secara teknis semua kegiatan diserakan pada ketua panitia. Ketika dihubungi, ketua Panitia sedang berangkat ke Palu untuk mengantar Dirjen Nilai Seni, Budaya dan Film, Muhlis Pahendi.

Budayawan Sulawesi Tengah, Nungci Ali mengatakan, FDP kali ini tidak memprioritaskan masalah kebudayaan dan pariwisata, tapi lebih pada soal kampanye pada dunia internasional bahwa kondsi Poso enar-benar sudah sangat aman.

Buktinya, warga Muslim dan Kristen bisa berbaur menjadi satu di lokasi pelaksanaan FDP hingga dini hari. Tak ada lagi rasa curiga atau ketakutan seperti sebelumnya "Nah...kondisi inilah yang hendak dikampanyekan dalam pelaksanaan FDP ini," kata Nungci yang juga salah seorang dewan juri pada lomba seni tradisional di acara FDP ini.

Sovi Tamuntuan (25), warga Poso ini mengaku situasi sangat aman. Ia sama sekali tidak merasa takut datang menonton FDP di Tentena. ia sangat merindukan suasana seperti saat ini. "Sudah bertahun-tahun saya tidak pernah lagi menyaksikan acara-acara seni dan budaya seperti di FDP ini. Makanya saya sangat bersyukur sekali," kata Sofi Tamuntuan.

Vega Silviana (19) mengaku terakhir kali menonton FDP ketika masih berusia 12 tahun.
Setelah itu, nanti tujuh kemudian barulah ia kembali menyaksikan acara seperti ini lagi. Ia mengakui bahwa FDP kali ini tidak seramai tahun 1997 lalu. Ketika itu, tamunya lebih banyak dan turis-turis mancanegara pun memenuhi arena FDP.

"Kali ini tidak terlalu ramai seperti dulu. Tapi bagaimana pun juga, sudah cukup membuat kami senang," kata Vega Silviana. Memang, situasi sangat aman. Aktivitas warga di siang hari berjalan sangat dinamis.

Sedangkan di arena FDP berlangsung gladi untuk persiapan lomba di malam harinya. Tapi, lagi-lagi setiap kali masuk lokasi FDP, pengunjung harus melewati pemeriksaan ketat oleh polisi."Anda boleh saksikan sendiri, bagaimana amannya Poso. Anda bisa bebas ke mana saja, baik siang maupun malam hari. Itu bukti bahwa situasi Poso sudah kondusif. Memang, pemeriksaan itu hanya untuk mengantisipasi kemungkinan yang tidak diinginkan saja. Itu kan biasa, di Jakarta, masuk hotel saja diperiksa, padahal Jakarta kan aman," tegas Kapolres.***

Panitia FDP Tak Libatkan Warga Lokal


Sejumlah warga di Tentena, Kecamatan Pamona Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, mengaku sangat kecewa dengan pihak panitia pelaksana Festival Danau Poso, karena tidak melibatkan warga setempat sebagai panitia.

Kalau pun ada, keterlibatan warga Tentena, tempat dilaksanakannya Festival Danau Poso, hanya untuk membersihkan lokasi dan tidak tidak terlibat dalam
soal-soal teknis.

Hal itu sangat berbeda dengan Festival Danau Poso sebelumnya, dimana warga Tentena dan Poso terlibat secara aktif dan sehingga mereka merasa memiliki acara itu sendiri.

Yustinus Hoke (60 tahun) salah seorang budayawan Tentena yang juga pengurus Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST), mengatakan, karena warga Tentena tidak dilibatkan sebagai panitia, sehingga pelaksanaan FDP kali ini tidak terlalu semarak seperti tahun-tahun sebelumnya.

"Kami di sini (Tentena) yang punya pengalaman soal pelaksanaan FDP, karena dari tahun ke tahun kami yang teribat langsung. Nah, sekarang justru kami tidak dilibatkan sama sekali," katanya kepada The Jakarta Post, sabtu (8/12) pagi.

Karena itulah, kata Yustinus Hoke, FDP tahun 2007 ini justru kehilangan ruhnya, karena hanya memprioritaskan pagelaran kesenian tradisional, tanpa menyentuh pada soal pariwisata dan budaya nenek moyang suku Pamona.

Beberapa lokasi yang seharusnya dikunjungi oleh para duta budaya dan pengunjung lainnya, tidak masuk dalam agenda FDP kali ini, sehingga acara terasa sangat hampa.

Di tempat yang sama, Pendeta Hengky Bawias (32) mengatakan, pada FDP tahun-tahun sebelumnya tidak dilaksanakan pada bulan Desember, tapi dilaksanakan antara bulan Juni - Agustus, karena disesuaikan dengan musim libur masyarakat Eropa.

Makanya, pada FDP sebelumnya itu sangat banyak tamu dari Eropa yang datang. "Tapi sekarang, FDP dilaksanakan pada bulan Desember, di mana warga Kristen di Tentena sedang siap-siap menyambut Natal. Ya...akhirnya beginilah jadinya. Semaraknya cuma malam hari saja,' kata Hengky Bawias.

Terlepas dari bagus tidaknya respon warga yang haus akan hiburan pasca kerusuhan, tapi yang pasti bahwa FDP kali ini justru kehilangan makna yang sesungguhnya," kata Pendeta Hengky Bawias.

Juru Bicara Pemerintah Kabupaten Poso, Amir Kiat, juga mengatakan hal yang sama. Menurutnya, pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Tengah tidak melibatkan Pemerintah Kabupaten Poso sebagai panitia.

"Semuanya diambil alih oleh Pemerintah Provinsi Sulteng. Jadi, kalau Anda tanyakan ke saya soal teknis kegiatan, ya maaf saja, saya tidak bisa jelaskan," katanya sambil berlalu meninggalkan The Jakarta Post.

Bahkan, Ketua Panitia Pelaksana FDP, Jethan Towakit, setelah selesai acara pembukaan, ia langsung meninggalkan Tentena. Alasannya, karena mengantar pejabat yang mewakili Menteri Kebudayaan dan Pariwisata kembali ke Palu.

"Saya di Palu, mungkin akan kembali ke Tentena nanti hari Minggu karena saya sedang mengantar Pak Dirjen dan sedang ada urusan lain," kata Jethan Towakit.

Padahal, acara FDP itu sudah akan selesai pada hari Minggu (9/12) malam. Itu artinya, yang bersangkutan yang mestinya bertanggungjawab atas semua detail acara, hanya hadir pada acara pembukaan dan penutupan saja.***

Two blasts mark preparations for Poso Lake Festival

- December 07, 2007

Ruslan Sangadji, The Jakarta Post, Poso

Two explosions marred preparations for Thursday's opening of the revived Poso Lake Festival, which had been canceled indefinitely following religious conflict in Central Sulawesi in the early 2000s.

The first explosion occurred at Kawua village in South Poso district, Poso regency, at 7 p.m. on Wednesday, in front of Puncak restaurant and about 200 meters from the Sintuwu Maroso military post. The second was at Soulowe village in Dolo district, Donggala regency, at 10 p.m.

There were no reports of casualties.

Poso, which used to be famous for its pristine natural beauty, and surrounding areas had been the scene of a series of bloody conflicts between Muslims and Christians that left some 1,000 people dead between 2000 and 2001.

The police had not yet determined the cause and nature of the Thursday's explosions, but local people suspected they had been caused by bombs.

Some witnesses in front of Puncak restaurant reported seeing a plastic bag at the side of the road just before the explosion. They had thought it was merely garbage.

"We only realized it was a bomb after it exploded," a resident, who asked not to be identified, told The Jakarta Post.

Head of the Central Sulawesi Police, Gen. Brig. Badrodin Haiti, said police were still investigating the cases and had not determined conclusively whether the explosions were caused by bombs.

Police and soldiers closed all roads leading to Poso and investigated several places in the two regencies. They said the festival, to be held from Thursday to Monday, would go on as planned.

"We have prepared our officers to oversee events. We guarantee the festival will run well," Badrodin said.

One bomb squad was deployed to Saulowe in Donggala soon after the explosion there, but was unable to reach any conclusions due to an electricity outage.



Security at Poso Lake Festival to be intensified

- December 08, 2007


In response to two blasts in Poso and Donggala regencies, the authorities on Friday stepped up security around the venue of the Poso Lake Festival in Tentena, Central Sulawesi.

Police officers are checking identities of all drivers and passengers coming into the area, and inspecting vehicles and bags being carried by pedestrians.

Upon arrival in Tentena, people have to pass through at least three gates to get to the venue for the culture festival, where they and their belongings are searched. Passengers are required to exit vehicles so officers can search them.

Poso Police chief Adj. Sr. Comr. Adheni Muhan DP said at least 600 police officers had been deployed to maintain security.

All hotels near the festival have also been subject to stepped up security. Anybody entering a hotel is searched.

These types of security measures were not in place during the last festival in 1997, just before religious violence broke out in the area.

Police also are distributing photos of wanted people, including Iwan Asapa and Upi. The two are believed to belong to a terror network led by Basri, who is thought to be responsible for several attacks in Poso and Palu.

Tight security was taken after two explosions on Wednesday, the night before the opening of the festival in Tentena.

While police say the explosions were caused by firecrackers, some residents claim they were bombs.

"If it was only firecrackers, why is security so tight, and in certain case being exaggerated?" said Sandra Dewi, a resident of Bonesompe village in North Poso district.

The Poso Lake Festival, which used to be an annual international culture festival, is being held this year for the first time since 1997.

Local figures say the festival shows peace has returned to Poso, the scene of a bloody conflict between Christians and Muslims in the early 2000s.

Despite the peace claim, however, a explosion took place in Poso on eve of the opening of the festival, followed by another similar blast in Donggala, 17 kilometers south of Palu.

There has been no official statement from the police on the blasts, but some people believe they were intended to disturb the festival, which is scheduled to be attended by tourist and culture representatives from 10 regencies and mayoralties throughout Central Sulawesi.

"The explosions were a kind of a small-scale terror which was intentionally intended to disrupt the festival," Tahmidi Lasahidi, a sociologist at Tadulako University in Palu, said.

Apart from the security threats, the festival so far has been plagued by poor planning, with numerous events being postponed without prior announcement.

The decorated boat competition, for example, was scheduled to be held Friday morning, but it was delayed until the afternoon with no information being given for the decision.

Central Sulawesi culture observer Nungci Ali said this year's festival was not only about culture and tourism, but also showing the world that conditions in Poso have returned to normal.

He said proof of this was that Muslims and Christians were able to mingle until late into the night at the festival, which opened Thursday.

"This is the condition we want to show to the world," Nungci said.

Sofi Tamuntuan, a resident of Poso, said people were excited about the festival and there were no safety concerns.

"I expected this event for years. I am grateful that I'm able to witness it again," Sofi said.

Tuesday, December 04, 2007

Izin Investasi di Kota Palu, Cukup Dilakukan di Jakarta

Kota Palu, Sulawesi Tengah, kini terus membenahi kotanya. Berbagai upaya terus dilakukan untuk menarik investor. Mulai dari melakukan lobi-lobi kepada para pengusaha, sampai membuka kantor Badan Promosi Palu (BPP) di Jakarta.

Ketua DPRD Kota Palu, Mulhanan Tombolotutu, Selasa (4/12), mengatakan, dibukanya kantor BPP yang beralamat di Gedung Mustika Ratu, Pancoran, Jakarta Selatan itu, dimaksudkan untuk memudahkan urusan investasi yang akan dilakukan para investor yang hendak datang ke Palu.

Di kantor tersebut, kata Mulhanan, menyiapkan berbagai data potensi, peta potensi usaha, termasuk mengurusi berbagai perizinan dan mengurusi Memorandum of Understanding dengan Pemerintah Kota Palu. Bahkan, Mulhanan menjamin, urusan perizinan dilakukan melalui satu atap (SIMTAP) dengan waktu kurang dari satu minggu.

"Kami bisa menjamin, para investor akan dimudahkan dalam urusan investasi itu. Tidak proses birokrasi panjang dan berbelit-belit," tegas Mulhanan Tombolotutu.

Semua itu dilakukan, katanya, hanya melalui kantor BPP tersebut. Semua itu dimaksudkan untuk tidak memberatkan para investor yang hendak menanam modalnya di Kota Palu. Termasuk soal meminimalisir cost yang akan dikeluarkan para investor.

Sejak dibukanya kantor BPP di Jakarta pada 8 Pebruari 2007 lalu itu, sejumlah pengusaha telah menandatangani MoU investasi di Palu. Antara lain para pengusaha itu adalah Minadi Punjaya, direktur PT Ina International Co.

Pengusaha ini berencana membangun pelabuhan laut yang lebih representatif. sebagai jawaban atas pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) seluas 1500 hektar di Kecamatan Palu Utara.

Tidak hanya itu, sejumlah calon investor lain pun telah menandatangani MoU itu. Antara lain, Raymond Kim, CEO PT Konesia Utama, dan Nyoman Dharmawanti, direktur PT Diaksa Pramana Wisesa.

Ternyata, upaya itu menggelitik pihak Departemen Perindustrian. Akhirnya, pihak departemen telah mengalokasikan anggaran sekitar Rp 13 miliar untuk mendorong Kawasan Ekonomi Khusus itu. Harapannya, kawan ekonomi ini akan menjadi contoh bagi daerah lainnya.

Yang menjadi soal sekarang, kata Mulhanan Tombolotutu, ada pada soal infrastruktur Kota Palu yang belum memadai. "Nah, karena kondisi itulah sehingga PT Ina International mau menginvestasikan sekitar US$100 juta guna membangun pelabuhan yang akan terintegrasi dengan Kawasan Industri Khusus itu.

Sedangkan untuk membangun infrastruktur telekomunikasi, pihak Telkom Divisi Regional VII telah menyediakan 54.902 satuan sambungan telepon (sst) di kota Palu. Sedangkan untuk telekomunikasi selular, semua operator GSM sudah ada di daerah ini.

“Jadi, tidak ada masalah lagi soal sarana telekomunikasi. Semuanya sudah beres,” kata Mulhanan Tombolotutu.

Mengenai listrik, Pemerintah Kota Palu telah membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Palu Utara sebesar 30 megawatt dan telah beroperasi sejak Maret 2007 lalu. Pembangunan PLTU itu dilakukan atas kerjasama dengan PT Pusaka Jaya Palu Power.

Camat Palu Utara, Sudaryano Lamangkona, yang ditemui terpisah menyatakan, soal kesiapan sosial masyarakat dengan kehadiran Kawasan Ekonomi Khusus itu tidak ada masalah lagi. "Masyarakat sangat menyambut positif kehadiran KEK itu," kata Sudaryano Lamangkona.

Bahkan, menurut Sudaryano Lamangkona, masyarakat di Palu Utara sangat berharap dengan kehadiran Kawasan Ekonomi Khusus itu dapat mendorong peningkatan ekonomi masyarakat setempat. ***

Saturday, December 01, 2007

Walikota Canangkan Gerakan Palu Berbunga


Walikota Palu, Rusdy Mastura, Sabtu (1/12) pagi mencanangkan Gerakan Palu Berbunga. Pencanangan itu dilakukan pada acara Pameran Bunga dan Bursa Tanaman Hias di halaman parkir utara Mall Tatura Indah Palu.

Acara yang dilaksanakan oleh Perhimpunan Pencinta Flora Sulawesi Tengah itu, sebagai wujud dari Gerakan Nasional Penanman 10 Juta Pohon.

Walikota Palu mengajak semua warganya agar menghijaukan lingkungannya masing-masing, dan di halaman rumah agar ditanami pohon-pohon yang bermanfaat dan bunga-bunga yang cantik.

"Percayalah, semakin hijau kota kita, maka akan semakin indah kota kita. Begitu juga dengan suami-suami, kalau di rumahnya selalu melihat yang indah-indah di rumah, maka suami tidak akan melirik kepada yang lain," kata Rusdy Mastura.

Setelah mencanangkan Gerakan Palu Berbunga itu, Walikota,Ketua DPRD Kota Palu, Mulhanan Tombolotutu didampingi istri masing-masing, melakukan penananaman pohon di halaman Mall Tatura Indah, selanjutnya meninjau pameran bunga dan lomba tanaman hias.

Yus Mangun, presidium Perhimpunan Pencinta Flora Sulawesi Tengah, kepada The Jakarta Post mengatakan, bunga yang dipamerkan itu mulai dari harga Rp 60 ribu hingga Rp 1 miliar.

Bunga yang paling mahal adalah jenis agronema, anthurium, adenium, caladium dan sansiviera. Sedangkan tanaman hias yang mahal harganya adalah jenis komodo, gajah dan alien.

"Semua jenis bunga dan tanaman hias itu sangat mahal. Tapi kita sengaja pmerkan di tempat ini, dengan maksud agar warga tergugah untuk menghijaukan kota ini," tandas Yus Mangun.***