Dua Kabupaten di Sulawesi Tengah, Parigi Moutong dan Donggala segera menggelar pemilihan kepala daerah. Artinya, rakyat di dua wilayah itu akan menentukan pilihannya. Maka pilihan itu, tidak karena ada faktor X. Tapi lebih pada pilihan rasional, bahwa kandidat yang bakal dipilih, adalah mereka yang benar-benar mau bekerja untuk kepentingan rakyat.
Hanya saja, dalam setiap pesta demokrasi (Pemilu maupun Pilkada), para tokoh politik selalu berkampanye akan bekerja untuk kepentingan rakyat. Kepentingan rakyat akan menjadi pintu masuk untuk meraih dukungan suara. Hanya saja, demi dan atas nama kepentingan rakyat itu, acapkali menjadi sebuah retorika tanpa bukti. Dan rakyat harus mafhum soal itu. Dan kosntituen sudah cerdas membaca, siapa di antara kandidat yang telah teruji dan terbukti bekerja untuk kepentingan rakyat.
Di Parigi Moutong, sejumlah tokoh telah secara tersembunyi berkampanye di mana-mana. Baik melalui spanduk, baliho, poster dan pertemuan yang dibungkus dengan acara silaturahim di mana-mana. Bahkan, perang urat saraf pun telah dilakukan di mana-mana. Pasangan Dedy Askari dan Hazairin yang dipendekan menjadi DEZA, sesumbar akan meraih dukungan lebih dari 45 persen suara pemilih. Suara itu akan diraih dari suara baru atau pemilih pemula dan juga kelompok masyarakat kecil.
"Target kami bisa lebih dari 45 persen," ujar Dedy Askari. Padahal, pasangan ini belum memiliki partai yang lengkap untuk bisa mendaftar sebagai calon. Mereka masih membutuhkan satu partai lagi. Orang dekat Dedy Askari mengatakan, pasangan Deza telah mendapat lampu hijau dari Partai Bintang Reformasi.
Itu juga bisa masuk akal, karena adanya kedekatan moral antara Dedy Askari dengan Wakil Ketua DPP Partai Bintang Reformasi, Jusuf Lakaseng. Dua orang ini adalah mantan aktivis 1998.
Pasangan Rustam Dg. Rahmatu-Thamrin Ntosa malah lebih tinggi lagi menargetkan jumlah suara yang akan diraih. "Kami targetkan bisa lebih dari 50 persen," kata Rustam Rahmatu. Suara itu tidak hanya dari kader dan simpatisan Partai Golkar, tapi juga dari pihak eksternal yang bersimpati pada mereka. Lantaran itu, pasangan ini melirik dukungan dari komunitas Bali, Jawa, Bugis, Kaili dan warga Parigi Moutong lainnya. Namun yang pasti, dalam catatan matematika politik, Partai Golkar memang menjadi pemenang pada Pemilu 2004 silam.
Lain lagi dengan pasangan Asmir Ntosa dan Taswin Borman. Pasangan yang disingkat ASTA ini, nampaknya adem ayem saja. Mereka tidak sesumbar menargetkan perolehan suara. Tapi yang pasti, sejak wacana pilkada mulai didengungkan, pasangan ini telah berjalan ke mana-mana untuk menarik simpati rakyat. Itu semua dilakukan, karena memang Asmir Ntosa adalah Wakil Bupati Parigi Moutong sekarang, sedangkan Taswin Borman sebelumnya adalah Sekretaris Kabupaten.
Lantas bagaimana dengan pasangan Longki Djanggola dan Kolonel Inf Syamsurijal Tomblotutu. Pasangan yang disingkat LOGIS ini juga tidak muluk-muluk memasang target. Bahkan keduanya menyatakan siap kalah siap menang dalam Pilkada. Keduanya malah berprinsip tidak sekadar bicara tapi bukti. Dalam setiap kesempatan, Longki Djanggola justru mengimbau rakyat untuk memilih berdasarkan hati nurani. Pilihan kepada seseorang, tidak boleh karena ada tekanan ataupun karena bujukan. Itulah yang oleh Longki Djanggola dan Syamsulrijal Tombolotutu menyebutnya sebagai pilihan yang LOGIS atau pilihan yang rasional (masuk akal).
Siapa pun bisa sesumbar menargetkan jumlah suara yang akan diperoleh pada Pilkada nanti. Seberapa besar suara partai yang mengusung, tak akan ada artinya sama sekali, kalau semua mesin tidak bergerak maksimal. Dan pilihan tetap ada di tangan rakyat Parigi Moutong. Merekalah yang menentukan. Kemenangan pasangan bupati dan wakil bupati adalah kemenangan seluruh rakyat setempat.
Dan yang pasti, nasib dan warna Parigi Moutong selama lima tahun ke depan, sangat ditentukan hanya dalam waktu 3 menit di dalam bilik suara pada vooting day nantinya. Jadi pilihlah yang kandidat yang bekerja untuk rakyat dan bukan cuma yang menebar pesona dan janji, tapi bukti.
Saturday, May 24, 2008
Wednesday, May 14, 2008
Ketika TPI Mengobati Kerinduan Warga Indonesia di Luar Negeri
Irfan Hakim dan Wiwied Linggarto menyapa penonton. Keduanya adalah presenter acara Kontes Dangdut Indonesia (KDI 5) yang disiarkan langsung TPI, salah satu televisi swasta di Indonesia. Sekitar 1500 orang pun memberikan aplaus.
Marcel Aulia Big Band kemudian menyapa penonton dengan irama musik dangdutnya. Saat itu pula, para penonton yang memenuhi gedung Teater Tanah Airku di Taman Mini Indonesia Indah, berjingkrak-jingkrak mengikuti irama musik dangdut tersebut. Mereka larut dalam belaian musik dangdut yang khas itu.
Ya...malam itu, 11 Mei 2008, TPI memang sengaja menggelar siaran langsung KDI 5 untuk putaran kedua. Putaran pertama telah dilaksanakan pada malam sebelumnya.
Tapi, pada putaran kedua ini mungkin agak istimewa, karena siaran langsung KDI itu tidak hanya bisa dinikmati publik di dalam negeri, tapi juga di dunia. General Manajer Production TPI, Reza Y. Enoch mengatakan, siaran langsung KDI kali ini dapat disaksikan langsung di Singapura, Hongkong dan Timur Tengah seperti Kuwait dan Arab Saudi. Mereka dapat menyaksikannya dalam cable televisi di negaranya.
“Ini adalah televisi pertama di Indonesia yang berani menyiarkan secara langsung acara-acaranya di Indonesia,” kata Reza Y. Enoch.
Pihaknya sengaja melakukan itu, tak lain tujuannya adalah untuk mengobati kerinduan warga negara Indonesia yang mungkin tinggal di negara-negara itu, ataupun para Tenaga Kerja Indonesia yang rindu akan kampung halamannya di tanah air.
“Kita memang sengaja mengobati kerinduan mereka akan tanah air dengan musik dangdut,” katanya. Itu karena sebelumnya kita telah menerima surat dan email dari publik di luar negeri,” kata Reza Y. Enoch.
Bahkan ke depan, kata Reza Y. Enoch, pihaknya akan membuka audisi dangdut mania bagi para TKI di luar negeri. Untuk itu, pihaknya akan bekerjasama dengan Departemen Luar Negeri dan KBRI serta mengurusi seluruh perizinan, agar para TKI itu bisa mengembangkan bakat dangdut mereka. “Yah semua itu bukan masalah gampang, tapi obsesi kami memang akan menuju ke sana,” katanya.
Melani Dewi, salah seorang asal Banyuwangi yang bekerja di Hongkong, melalui yahoo messenger kepada The Jakarta Post mengatakan, ia dan beberapa teman menyatakan rasa salut dan terima kasihnya kepada pihak TPI karena telah menyiarkan secara langsung acara KDI itu.
“Acaranya pas di saat kami memang lagi tidak ada kerjaan. Jadi kami bisa menonton. Bahkan, bukan cuma kami, tapi majikan pun ikut menontonnya,” kata Melani Dewi.
Sejarah Dangdut
Dangdut merupakan salah satu dari genre seni musik yang berkembang di Indonesia. Bentuk musik ini berakar dari musik Melayu pada tahun 1940-an. Dalam evolusi menuju bentuk kontemporer sekarang, masuk pengaruh unsur-unsur musik India (terutama dari penggunaan tabla) dan Arab (pada cengkok dan harmonisasi).
Perubahan arus politik Indonesia di akhir tahun 1960-an membuka masuknya pengaruh musik barat yang kuat dengan masuknya penggunaan gitar listrik dan juga bentuk pemasarannya. Sejak tahun 1970-an dangdut boleh dikatakan telah matang dalam bentuknya yang kontemporer. Sebagai musik populer, dangdut sangat terbuka terhadap pengaruh bentuk musik lain, mulai dari keroncong, langgam, degung, gambus, rock, pop, bahkan house music.
Penyebutan nama "dangdut" merupakan onomatope dari suara permainan tabla (dalam dunia dangdut disebut gendang saja) yang khas dan didominasi oleh bunyi dang dan ndut. Nama ini sebetulnya adalah sebutan sinis dalam sebuah artikel majalah awal 1970-an bagi bentuk musik melayu yang sangat populer di kalangan masyarakat kelas pekerja saat itu.
Kompas menulis, beberapa pengamat melihat bahwa musik yang digambarkan secara onomatopoetik itu memiliki sejarah panjang dan asal-usul yang rumit.
Saking panjang dan rumitnya, William H Frederick dalam sebuah esainya yang menantang, "Rhoma Irama and Dangdut Style: Aspect of Contemporary Indonesian Popular Culture" di majalah Indonesia (1982) menyebut bahwa dangdut itu-baik semangat sosial maupun peralatannya-bermula dari periode awal kolonial, saat paduan alat musik Indonesia, Arab, dan Barat dimainkan bersama-sama dalam tanjidor, yaitu orkestra mini yang khas dan dipertunjukkan sambil berjalan oleh para budak peliharaan tuan-tuan putih penguasa perkebunan di sekitar Batavia.
Sepanjang abad ke-19, pengaruh-pengaruh lain diserap, seperti dari ansambel China-Betawi yang disebut gambang keromong, lalu keroncong yang dimainkan dalam pertunjukan stambul dan tonil, sebuah drama populer perkotaan yang sedang naik daun sat itu.
Tahun 1940-an harmoni gaya lama secara bertahap memberi tempat untuk bereksperimen dengan irama Melayu yang dipermodern dan banyak dipengaruhi orkestrasi Barat serta irama samba dan rumba. Tahun 1950-an yang atmosfer politiknya menekankan pada pencarian sesuatu yang menunjukkan keaslian, akhirnya membawa para musisi keroncong modern tersebut memasuki tradisi orkes Melayu yang berkembang di daerah yang jauh dari ibu kota dan tempat tinggal para musisi dan kritikus musik, terutama daerah Padang dan Medan. Lagu-lagu ini sohor disebut sebagai lagu Melayu Deli.
Pada tahun 1953 P Ramlee, aktor dari Semenanjung (Malaysia) melalui film Djuwita, bukan saja telah membuat wabah gaya sisiran rambut sedeng alias belah pinggir, tetapi juga membawa sukses besar lagu-lagu Melayu Deli itu.
Said Effendi mendapat sumber inspirasi yang sama untuk film musikal Serodja (1959), di mana dia menulis sendiri musiknya dan menunjukkan akting yang sangat bagus, baik sebagai penyanyi maupun aktor. Dari sinilah bintang Said Effendi mulai bersinar bersama-sama dengan pencipta lagu dan penyanyi lain, seperti A Chalik, Husein Bawafie, dan Hasnah Thahar. Mereka diikuti penyanyi muda, Ellya, yang kemudian sangat terkenal dengan lagu Boneka dari India dan dianggap pantas untuk ditunjuk sebagai lagu dangdut pertama, sekalipun istilah dangdut belum pernah digunakan saat itu.
Keberhasilan itu sendiri tidak dapat dilepaskan dari kepiawaian Husein Bawafie, si pencipta lagu Boneka dari India, dalam mengambil irama dan tekstur bunyi baru (khususnya suara yang ditimbulkan gendang Indonesia, Arab, India, suling dan sitar) yang sebagian besar diambil dari film-film India yang ketika itu membanjiri Indonesia, tetapi dengan tetap menaruh setia pada irama Melayu.
Mungkin sebab itu pula pengamat sejarah Jakarta, Ridwan Saidi, menyatakan bahwa Husein Bawafie yang lahir tahun 1919 itu sebagai penggagas musik Melayu Jakarta dan tokoh yang memegang peranan penting sehingga Jakarta pada tahun 1950-an membukukan kedudukannya sebagai kiblat musik Melayu.***
Marcel Aulia Big Band kemudian menyapa penonton dengan irama musik dangdutnya. Saat itu pula, para penonton yang memenuhi gedung Teater Tanah Airku di Taman Mini Indonesia Indah, berjingkrak-jingkrak mengikuti irama musik dangdut tersebut. Mereka larut dalam belaian musik dangdut yang khas itu.
Ya...malam itu, 11 Mei 2008, TPI memang sengaja menggelar siaran langsung KDI 5 untuk putaran kedua. Putaran pertama telah dilaksanakan pada malam sebelumnya.
Tapi, pada putaran kedua ini mungkin agak istimewa, karena siaran langsung KDI itu tidak hanya bisa dinikmati publik di dalam negeri, tapi juga di dunia. General Manajer Production TPI, Reza Y. Enoch mengatakan, siaran langsung KDI kali ini dapat disaksikan langsung di Singapura, Hongkong dan Timur Tengah seperti Kuwait dan Arab Saudi. Mereka dapat menyaksikannya dalam cable televisi di negaranya.
“Ini adalah televisi pertama di Indonesia yang berani menyiarkan secara langsung acara-acaranya di Indonesia,” kata Reza Y. Enoch.
Pihaknya sengaja melakukan itu, tak lain tujuannya adalah untuk mengobati kerinduan warga negara Indonesia yang mungkin tinggal di negara-negara itu, ataupun para Tenaga Kerja Indonesia yang rindu akan kampung halamannya di tanah air.
“Kita memang sengaja mengobati kerinduan mereka akan tanah air dengan musik dangdut,” katanya. Itu karena sebelumnya kita telah menerima surat dan email dari publik di luar negeri,” kata Reza Y. Enoch.
Bahkan ke depan, kata Reza Y. Enoch, pihaknya akan membuka audisi dangdut mania bagi para TKI di luar negeri. Untuk itu, pihaknya akan bekerjasama dengan Departemen Luar Negeri dan KBRI serta mengurusi seluruh perizinan, agar para TKI itu bisa mengembangkan bakat dangdut mereka. “Yah semua itu bukan masalah gampang, tapi obsesi kami memang akan menuju ke sana,” katanya.
Melani Dewi, salah seorang asal Banyuwangi yang bekerja di Hongkong, melalui yahoo messenger kepada The Jakarta Post mengatakan, ia dan beberapa teman menyatakan rasa salut dan terima kasihnya kepada pihak TPI karena telah menyiarkan secara langsung acara KDI itu.
“Acaranya pas di saat kami memang lagi tidak ada kerjaan. Jadi kami bisa menonton. Bahkan, bukan cuma kami, tapi majikan pun ikut menontonnya,” kata Melani Dewi.
Sejarah Dangdut
Dangdut merupakan salah satu dari genre seni musik yang berkembang di Indonesia. Bentuk musik ini berakar dari musik Melayu pada tahun 1940-an. Dalam evolusi menuju bentuk kontemporer sekarang, masuk pengaruh unsur-unsur musik India (terutama dari penggunaan tabla) dan Arab (pada cengkok dan harmonisasi).
Perubahan arus politik Indonesia di akhir tahun 1960-an membuka masuknya pengaruh musik barat yang kuat dengan masuknya penggunaan gitar listrik dan juga bentuk pemasarannya. Sejak tahun 1970-an dangdut boleh dikatakan telah matang dalam bentuknya yang kontemporer. Sebagai musik populer, dangdut sangat terbuka terhadap pengaruh bentuk musik lain, mulai dari keroncong, langgam, degung, gambus, rock, pop, bahkan house music.
Penyebutan nama "dangdut" merupakan onomatope dari suara permainan tabla (dalam dunia dangdut disebut gendang saja) yang khas dan didominasi oleh bunyi dang dan ndut. Nama ini sebetulnya adalah sebutan sinis dalam sebuah artikel majalah awal 1970-an bagi bentuk musik melayu yang sangat populer di kalangan masyarakat kelas pekerja saat itu.
Kompas menulis, beberapa pengamat melihat bahwa musik yang digambarkan secara onomatopoetik itu memiliki sejarah panjang dan asal-usul yang rumit.
Saking panjang dan rumitnya, William H Frederick dalam sebuah esainya yang menantang, "Rhoma Irama and Dangdut Style: Aspect of Contemporary Indonesian Popular Culture" di majalah Indonesia (1982) menyebut bahwa dangdut itu-baik semangat sosial maupun peralatannya-bermula dari periode awal kolonial, saat paduan alat musik Indonesia, Arab, dan Barat dimainkan bersama-sama dalam tanjidor, yaitu orkestra mini yang khas dan dipertunjukkan sambil berjalan oleh para budak peliharaan tuan-tuan putih penguasa perkebunan di sekitar Batavia.
Sepanjang abad ke-19, pengaruh-pengaruh lain diserap, seperti dari ansambel China-Betawi yang disebut gambang keromong, lalu keroncong yang dimainkan dalam pertunjukan stambul dan tonil, sebuah drama populer perkotaan yang sedang naik daun sat itu.
Tahun 1940-an harmoni gaya lama secara bertahap memberi tempat untuk bereksperimen dengan irama Melayu yang dipermodern dan banyak dipengaruhi orkestrasi Barat serta irama samba dan rumba. Tahun 1950-an yang atmosfer politiknya menekankan pada pencarian sesuatu yang menunjukkan keaslian, akhirnya membawa para musisi keroncong modern tersebut memasuki tradisi orkes Melayu yang berkembang di daerah yang jauh dari ibu kota dan tempat tinggal para musisi dan kritikus musik, terutama daerah Padang dan Medan. Lagu-lagu ini sohor disebut sebagai lagu Melayu Deli.
Pada tahun 1953 P Ramlee, aktor dari Semenanjung (Malaysia) melalui film Djuwita, bukan saja telah membuat wabah gaya sisiran rambut sedeng alias belah pinggir, tetapi juga membawa sukses besar lagu-lagu Melayu Deli itu.
Said Effendi mendapat sumber inspirasi yang sama untuk film musikal Serodja (1959), di mana dia menulis sendiri musiknya dan menunjukkan akting yang sangat bagus, baik sebagai penyanyi maupun aktor. Dari sinilah bintang Said Effendi mulai bersinar bersama-sama dengan pencipta lagu dan penyanyi lain, seperti A Chalik, Husein Bawafie, dan Hasnah Thahar. Mereka diikuti penyanyi muda, Ellya, yang kemudian sangat terkenal dengan lagu Boneka dari India dan dianggap pantas untuk ditunjuk sebagai lagu dangdut pertama, sekalipun istilah dangdut belum pernah digunakan saat itu.
Keberhasilan itu sendiri tidak dapat dilepaskan dari kepiawaian Husein Bawafie, si pencipta lagu Boneka dari India, dalam mengambil irama dan tekstur bunyi baru (khususnya suara yang ditimbulkan gendang Indonesia, Arab, India, suling dan sitar) yang sebagian besar diambil dari film-film India yang ketika itu membanjiri Indonesia, tetapi dengan tetap menaruh setia pada irama Melayu.
Mungkin sebab itu pula pengamat sejarah Jakarta, Ridwan Saidi, menyatakan bahwa Husein Bawafie yang lahir tahun 1919 itu sebagai penggagas musik Melayu Jakarta dan tokoh yang memegang peranan penting sehingga Jakarta pada tahun 1950-an membukukan kedudukannya sebagai kiblat musik Melayu.***
Jababeka Siap Bangun Kawasan Industri Palu
PT. Jababeka TBK Jakarta menyatakan siap membangun kawasan industri Kota Palu. Kesediaan itu disampaikan Direktur Utama PT Jababeka, Setyono Djuandi Darmono ketika melakukan penandatangan naskah kesepakatan kerja sama antara PT Jababeka dan Pemerintah Kota Palu, 8 Mei 2008 lalu di kantor PT Jababeka, Wisma Batavia Jakarta.
Dalam naskah kerjasama itu, PT Jababeka akan membantu pembangunan infrastruktur kawasan industri sampai pada bersama-sama memasarkan hasil penelitian dan pengembangannya.
Sejak wacana pembangunan Kawasan Industri Kota Palu, Pemerintah Kota Palu bekerjasama dengan Departemen Prindustrian, pada 8 Pebruari 2007 lalu, membuka kantor Badan Promosi Palu beralamat di Gedung Mustika Ratu, Pancoran, Jakarta Selatan.
Pihak Departemen Perindustrian juga telah mengalokasikan anggaran sekitar Rp 13 miliar untuk mendorong Kawasan Industri Palu. Harapannya, kawasan ekonomi ini akan menjadi contoh bagi daerah lainnya di Indonesia.
Seiring dengan itu pula, Pemerintah Kota Palu menandatangani sejumlah MoU tapi sampai sekarang belum ada realisasinya, antara lain dengan Antara lain PT Ina International Co, untuk membangun pelabuhan laut yang lebih representatif. sebagai jawaban atas pembangunan Kawasan Industri Palu seluas 1520 hektar di Kecamatan Palu Utara.
MoU juga ditandatangani bersama dengan Raymond Kim, CEO PT Konesia Utama, dan Nyoman Dharmawanti, Direktur PT Diaksa Pramana Wisesa.
S.D Darmono mengatakan, pihaknya tidak sekadar menandatangani MoU tanpa realisasi. “PT . Jababeka TBK tidak hanya sekadar menandatangani MoU tanpa tindaklanjut. Kita akan memulai dengan mengirimkan tim ke Palu untuk melihat dan meneliti kawasan industri Kota Palu, selanjutnya kita akan melakukan aksi lanjutan,:” katanya.
Menurut Darmono, pihaknya memilih Kota Palu, karena didorong beberapa hal penting, antara lain ada keseriusan pemerintah setempat, ada jaminan keamanan untuk berinvestasi, dan kelebihan yang tidak dimiliki daerah lain di Indonesia.
“Makanya, Palu menjadi daerah pertama di Indonesia Timur yang bekerjasama dengan Jababeka. Makanya kita akan mengawal proses ini sampai berhasil demi kemajuan bersama,” kata Darmono.
Pihak Jababeka memang belum mempublikasikan berapa besar jumlah investasinya ke Kota Palu. Tapi yang pasti, kata Darmono, selain mendatangkan tim ke Palu, pihaknya juga akan memfasilitasi pertemuan besar antara Pemerintah Kota Palu, para pengusaha asal Sulaweei Tengah di Jakarta, para duta besar dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, untuk ikut memikirkan pembangunan di Kota Palu.
Walikota Palu, Rusdy Mastura mengatakan, Kawasan Industri Palu itu nantinya dapat berfungsi sebagai Pintu Gerbang Investasi ke kawasan Timur Indonesia (The Northern Gate), serta mendukung kemajuan pembangunan ekonomi di Sulawesi Tengah.
Kawasan Industri Palu terletak di Kawasan Utara Palu seluas 1520 hektar di Kecamatan Palu Utara, yang meliputi wilayah Pantoloan, Baiya, dan Lambara. Areal ini akan diapit oleh Kecamatan Tawaeli dan Kecamatan Banawa serta Kabupaten Donggala dan Teluk Palu di sebelah Utara, Kecamatan Parigi Kabupaten Parigi Moutong di sebelah Timur, Kecamatan Sigi Biromaru dan Kecamatan Dolo Kabupaten Donggala di sebelah Selatan, dan Kecamatan Banawa dan Kecamatan Marawola Kabupaten Donggala di sebelah Barat.
Menurut Rusdy Mastura, dengan batas ini, aksesibilitas lahan, dalam sarana dan prasarana transportasi barang dan manusia, dapat dikatakan cukup memadai kawasan ini memang dirancang sebagai Kawasan Industri Modern dan Terpadu, dengan infrastruktur dan fasilitas yang komprehensif. Kawasan yang direncanakan, telah sesuai dengan rencana umum tata ruang melalui peraturan daerah, dengan luas Iahan pengembangan untuk berbagai jenis sentra kawasan.
Luas lahan pengembangan sebesar 1520 hektar, akan dibagi dalam 700 ha Kawasan Industri, 500 ha Kawasan Perumahan, 100 ha Education Park & Research Center, 100 ha Kawasan Komersial, 50 ha Sports, Golf & Country Club, 50 ha Pergudangan, 15 ha KM Center, dan 5 ha PALU Botanical Garden.
Tentunya, aksesibilitas kawasan pula telah diperhitungkan sejak awal. Sederhananya, kawasan industri hanya berjarak 15 kilometer dan Utara Kota PALU. Dengan 10 menit perjalanan dari jalan raya Trans Sulawesi, lima menit dan Pelabuhan Samudera Pantoloan, 30 menit dan dan ke Bandara Udara Mutiara, dan hanya 20 menit dari dan ke Kantor Pemerintah Kota Palu.
Di samping itu, Shuttle Helipad, Shuttle Bus Palu-Bandara Udara Mutiara, Shuttle Bus Palu—Kawasan industri Palu, dan Mikro Bus,Taksi +/-12 bus lane, tersedia untuk menjamin aspek keterjangkauan menuju kawasan.
Ketua DPRD Kota Palu, Mulhanan Tombolotutu, mengatakan, dengan didukung oleh Badan Promosi Palu yang menyediakan pelayanan “One Stop Services” dan Estate management yang komprehensif, berbagai kemudahan dalam pelayanan akan diberikan seluas-luasnya bagi peminat usaha dan investor dalam melakukan usaha nantinya.
Pelayanan itu antara lain, kata Ketua DPRD Palu, surat domisili dan pengurusan IMB, pengurusan UKL-UPL (Usaha Kelola Lingkungan— Usaha Pengelolaan Lingkungan), pengurusan Dokumen Izin-izin Pendirian Usaha, rekruitmen tenaga kerja dan pelatihan- pelatihan, pengurusan dokumen ke BKPM dan BKPMD, serta pengurusan tenaga kerja asing. Di samping itu, kepemilikan oleh pemerintah menjadikan harga lahan di kawasan Industri pastinya akan lebih kompetitif.
Target pasar pun telah dilirik, yakni Korea, Jepang,Taiwan, China dan Malaysia. Ini adalah kemungkinan target pasar potensial yang mulai dilirik sejak sekarang. Sementara, untuk pasar domestik sendiri, masih akan mefaatkan jasa dan industri manufaktur dalam negeri, industri pendukung manufaktur, BUMN/BUMD, dan industri Kecil dan Menengah.***
Dalam naskah kerjasama itu, PT Jababeka akan membantu pembangunan infrastruktur kawasan industri sampai pada bersama-sama memasarkan hasil penelitian dan pengembangannya.
Sejak wacana pembangunan Kawasan Industri Kota Palu, Pemerintah Kota Palu bekerjasama dengan Departemen Prindustrian, pada 8 Pebruari 2007 lalu, membuka kantor Badan Promosi Palu beralamat di Gedung Mustika Ratu, Pancoran, Jakarta Selatan.
Pihak Departemen Perindustrian juga telah mengalokasikan anggaran sekitar Rp 13 miliar untuk mendorong Kawasan Industri Palu. Harapannya, kawasan ekonomi ini akan menjadi contoh bagi daerah lainnya di Indonesia.
Seiring dengan itu pula, Pemerintah Kota Palu menandatangani sejumlah MoU tapi sampai sekarang belum ada realisasinya, antara lain dengan Antara lain PT Ina International Co, untuk membangun pelabuhan laut yang lebih representatif. sebagai jawaban atas pembangunan Kawasan Industri Palu seluas 1520 hektar di Kecamatan Palu Utara.
MoU juga ditandatangani bersama dengan Raymond Kim, CEO PT Konesia Utama, dan Nyoman Dharmawanti, Direktur PT Diaksa Pramana Wisesa.
S.D Darmono mengatakan, pihaknya tidak sekadar menandatangani MoU tanpa realisasi. “PT . Jababeka TBK tidak hanya sekadar menandatangani MoU tanpa tindaklanjut. Kita akan memulai dengan mengirimkan tim ke Palu untuk melihat dan meneliti kawasan industri Kota Palu, selanjutnya kita akan melakukan aksi lanjutan,:” katanya.
Menurut Darmono, pihaknya memilih Kota Palu, karena didorong beberapa hal penting, antara lain ada keseriusan pemerintah setempat, ada jaminan keamanan untuk berinvestasi, dan kelebihan yang tidak dimiliki daerah lain di Indonesia.
“Makanya, Palu menjadi daerah pertama di Indonesia Timur yang bekerjasama dengan Jababeka. Makanya kita akan mengawal proses ini sampai berhasil demi kemajuan bersama,” kata Darmono.
Pihak Jababeka memang belum mempublikasikan berapa besar jumlah investasinya ke Kota Palu. Tapi yang pasti, kata Darmono, selain mendatangkan tim ke Palu, pihaknya juga akan memfasilitasi pertemuan besar antara Pemerintah Kota Palu, para pengusaha asal Sulaweei Tengah di Jakarta, para duta besar dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, untuk ikut memikirkan pembangunan di Kota Palu.
Walikota Palu, Rusdy Mastura mengatakan, Kawasan Industri Palu itu nantinya dapat berfungsi sebagai Pintu Gerbang Investasi ke kawasan Timur Indonesia (The Northern Gate), serta mendukung kemajuan pembangunan ekonomi di Sulawesi Tengah.
Kawasan Industri Palu terletak di Kawasan Utara Palu seluas 1520 hektar di Kecamatan Palu Utara, yang meliputi wilayah Pantoloan, Baiya, dan Lambara. Areal ini akan diapit oleh Kecamatan Tawaeli dan Kecamatan Banawa serta Kabupaten Donggala dan Teluk Palu di sebelah Utara, Kecamatan Parigi Kabupaten Parigi Moutong di sebelah Timur, Kecamatan Sigi Biromaru dan Kecamatan Dolo Kabupaten Donggala di sebelah Selatan, dan Kecamatan Banawa dan Kecamatan Marawola Kabupaten Donggala di sebelah Barat.
Menurut Rusdy Mastura, dengan batas ini, aksesibilitas lahan, dalam sarana dan prasarana transportasi barang dan manusia, dapat dikatakan cukup memadai kawasan ini memang dirancang sebagai Kawasan Industri Modern dan Terpadu, dengan infrastruktur dan fasilitas yang komprehensif. Kawasan yang direncanakan, telah sesuai dengan rencana umum tata ruang melalui peraturan daerah, dengan luas Iahan pengembangan untuk berbagai jenis sentra kawasan.
Luas lahan pengembangan sebesar 1520 hektar, akan dibagi dalam 700 ha Kawasan Industri, 500 ha Kawasan Perumahan, 100 ha Education Park & Research Center, 100 ha Kawasan Komersial, 50 ha Sports, Golf & Country Club, 50 ha Pergudangan, 15 ha KM Center, dan 5 ha PALU Botanical Garden.
Tentunya, aksesibilitas kawasan pula telah diperhitungkan sejak awal. Sederhananya, kawasan industri hanya berjarak 15 kilometer dan Utara Kota PALU. Dengan 10 menit perjalanan dari jalan raya Trans Sulawesi, lima menit dan Pelabuhan Samudera Pantoloan, 30 menit dan dan ke Bandara Udara Mutiara, dan hanya 20 menit dari dan ke Kantor Pemerintah Kota Palu.
Di samping itu, Shuttle Helipad, Shuttle Bus Palu-Bandara Udara Mutiara, Shuttle Bus Palu—Kawasan industri Palu, dan Mikro Bus,Taksi +/-12 bus lane, tersedia untuk menjamin aspek keterjangkauan menuju kawasan.
Ketua DPRD Kota Palu, Mulhanan Tombolotutu, mengatakan, dengan didukung oleh Badan Promosi Palu yang menyediakan pelayanan “One Stop Services” dan Estate management yang komprehensif, berbagai kemudahan dalam pelayanan akan diberikan seluas-luasnya bagi peminat usaha dan investor dalam melakukan usaha nantinya.
Pelayanan itu antara lain, kata Ketua DPRD Palu, surat domisili dan pengurusan IMB, pengurusan UKL-UPL (Usaha Kelola Lingkungan— Usaha Pengelolaan Lingkungan), pengurusan Dokumen Izin-izin Pendirian Usaha, rekruitmen tenaga kerja dan pelatihan- pelatihan, pengurusan dokumen ke BKPM dan BKPMD, serta pengurusan tenaga kerja asing. Di samping itu, kepemilikan oleh pemerintah menjadikan harga lahan di kawasan Industri pastinya akan lebih kompetitif.
Target pasar pun telah dilirik, yakni Korea, Jepang,Taiwan, China dan Malaysia. Ini adalah kemungkinan target pasar potensial yang mulai dilirik sejak sekarang. Sementara, untuk pasar domestik sendiri, masih akan mefaatkan jasa dan industri manufaktur dalam negeri, industri pendukung manufaktur, BUMN/BUMD, dan industri Kecil dan Menengah.***
Wednesday, May 07, 2008
Jumlah Orang Miskin di Sulteng Meningkat
Badan Pusat Statistik Sulawesi Tengah mencatat, jumlah orang miskin tahun 2007 di daerah ini, mencapai 40-60 persen dari jumlah penduduk provinsi itu yang sebanyak 2,5 juta jiwa. Sebelumnya, Gubernur Sulawesi Tengah, Bandjela Paliudju, menyatakan bahwa bahwa angka kemiskinan di daerahnya menurun dari 24 persen tahun 2006 menjadi 22 persen di tahun 2007.
Menurut Gubernur Sulteng, sebelumnya jumlah masyarakat miskin di Sulteng tahun 2007 tercatat sebanyak 550 ribu jiwa, sedangkan tahun 2006 sebanyak 600 ribu jiwa.
Salah satu bukti adanya kemiskinan itu, ditandai dengan makin besarnya trend jumlah pengangguran di Sulteng yang saat ini mencapai sekitar 77.823 jiwa.
Kantor Berita Antara menulis, banyak hal yang mendorong adanya kemiskinan di Sulteng, antara lain daya beli masyarakat yang kurang serta terbatasnya infrastruktur. Selain itu, warga miskin juga tidak mempunyai bekal pendidikan yang cukup, sehingga kurang mampu bersaing dalam menciptakan lapangan kerja atau mencari pekerjaan.
Data dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Nakertrans) Sulawesi Tengah mencatat, tahun 2006 terdapat sedikitnya 15.928 orang pencari kerja di sektor formal, sedangkan di sektor informal belum tercatat.
Dengan banyaknya angka kemiskinan ini, sehingga Provinsi Sulawesi Tengah termasuk salah satu daerah yang menjadi sasaran Program Percepatan Pembangunan, yang bertujuan mendorong kesejahteraan masyarakatnya dan untuk penanggulangan kemiskinan.
Sementara itu, data dari dinas yang sama juga menyebutkan, potensi ketenagakerjaan Sulawesi Tengah tahun 2007 ini mencapai 1.109.419 dan jumlah pengangguran mencapai 77.823 jiwa.
Sayangnya, menurut mantan Fasilitaor Daerah Program Millenium Development Goals (MDGs) Sulawesi Tengah, Christian Tindjabate, sejumlah Program Percepatan Pembangunan di Sulteng itu, masih sebatas pada mendorong pekerjaan infrstruktur, yang substansinya masih jauh dari kebutuhan dasar masyarakatnya. Akibat yang terjadi kemudian, katanya, masyarakat tidak merasakan langsung dampak dari program tersebut.
"Ini yang mesti dikaji kembali sehingga program percepatan pembangunan itu benar-benar menyentuh pada titik masalah yang sebenarnya," kata Christian Tindjabate.
Yang lebih memprihatinkan lagi, yang terjadi di Kota Palu. Jumlah orang miskin di kota itu tahun 2007 tercatat sebanyak 14.740 kepala keluarga atau sekitar 86.964 ribu jiwa dari total penduduk 65.438 kepala keluarga atau 302.202 jiwa. Padahal, jumlah orang miskin di Palu tahun 2006 masih sekitar 31,39 persen penduduk miskin.
Ketua DPRD Kota Palu, Mulhanan Tombolotutu mengatakan, yang menjadi problem saat ini adalah, kenaikan jumlah kemiskinan di Kota Palu itu, karena semakin banyaknya program bantuan yang disalurkan pemerintah. Akibatnya, ditengarai ada pihak-pihak yang mengurusi soal bantuan penanggulangan kemiskinan itu lebih mengutamakan keluarganya dari kepada masyarakat yang seharusnya lebih berhak menerima bantuan.
"Orang yang sebelumnya tidak masuk dalam kategori miskin, tapi tiba-tiba menjadi pihak yang menerima bantuan pemerintah. Inilah yang kemudian membuat jumlah orang miskin itu bertambah," kata Mulhanan Tombolotutu.
Ia menyontohkan, beberapa keluarganya pernah datang menemuinya di kantor, untuk mengurusi kartu keluarga miskin untuk bisa mendapat pelayanan kesehatan. Karena dimarahi, akhirnya yang bersangkutan langsung menemui Walikota Palu untuk meminta bantuan tersebut.
Walikota Palu, Rusdy Mastura, membenarkan adanya orang yang sengaja datang kepadanya untuk meminta kartu keluarga miskin. Padahal orang-orang yang datang itu adalah pensiunan pegawai negeri sipil dan memiliki kendaraan sendiri. Bahkan, tambah Walikota Palu, ada pihak-pihak yang juga secara sengaja memasukan keluarganya yang tidak miskin sebagai penerima bantuan pemerintah.
"Ini jelas ada nuansa korupsi, kolusi dan nepotisme, sehingga saya sudah perintahkan untuk secepatnya dibenahi. Kalau tidak dibenahi secepatnya, saya sendiri yang akan melapor ke pihak yang berwajib agar segera diproses secara hukum," tegas Walikota Rusdy Mastura.
Hasil studi Tim Percepatan Pembangunan Kota Palu menyebutkan, jumlah orang miskin di Kota Palu belum menunjukkan penurunan, padahal ada keluarga miskin yang telah menerima tiga jenis bantuan untuk penanggulangan kemiskinan. Yang sejatinya, kalau telah menerima bantuan maka harus terjadi perubahan dari sisi ekonomi keluarganya.
"Nah, dari hasil studi kami, kesimpulan sementara kami bahwa itu terjadi karena tidak adanya pendamping atau fasilitator bagi masyarakat miskin penerima bantuan tersebut. Akhirnya mereka tidak bisa berkembang," kata Gunawan Arsyad, sekretaris Tim Percepatan Pembangunan Kota Palu.
Tahun 2008 ini, Program Nasional Penanggulangan Kemiskinan (PNPM) telah menyiapkan anggaran sebesar Rp 13 triliun. Anggaran sebesar itu, akan disalurkan ke daerah-daerah hingga ke pedesaan sebagai penguatan pelaksanaan penanggulangan kemiskinan.
Dana sebesar lebih Rp 1 triliun itu, dalam bentuk Bantuan Langsung Masyarakat (BLM), yang akan disalurkan ke Sulawesi Utara sebesar Rp 28,18 miliar, Sulawesi Tengah Rp 132,66 miliar, Sulawesi Selatan 291,06 miliar, Sulawesi Barat Rp 53,85 miliar, Sulawesi Tenggara Rp 103,38 miliar dan Provinsi Gorontalo akan disalurkan sebesar Rp 53,11 miliar.***
Menurut Gubernur Sulteng, sebelumnya jumlah masyarakat miskin di Sulteng tahun 2007 tercatat sebanyak 550 ribu jiwa, sedangkan tahun 2006 sebanyak 600 ribu jiwa.
Salah satu bukti adanya kemiskinan itu, ditandai dengan makin besarnya trend jumlah pengangguran di Sulteng yang saat ini mencapai sekitar 77.823 jiwa.
Kantor Berita Antara menulis, banyak hal yang mendorong adanya kemiskinan di Sulteng, antara lain daya beli masyarakat yang kurang serta terbatasnya infrastruktur. Selain itu, warga miskin juga tidak mempunyai bekal pendidikan yang cukup, sehingga kurang mampu bersaing dalam menciptakan lapangan kerja atau mencari pekerjaan.
Data dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Nakertrans) Sulawesi Tengah mencatat, tahun 2006 terdapat sedikitnya 15.928 orang pencari kerja di sektor formal, sedangkan di sektor informal belum tercatat.
Dengan banyaknya angka kemiskinan ini, sehingga Provinsi Sulawesi Tengah termasuk salah satu daerah yang menjadi sasaran Program Percepatan Pembangunan, yang bertujuan mendorong kesejahteraan masyarakatnya dan untuk penanggulangan kemiskinan.
Sementara itu, data dari dinas yang sama juga menyebutkan, potensi ketenagakerjaan Sulawesi Tengah tahun 2007 ini mencapai 1.109.419 dan jumlah pengangguran mencapai 77.823 jiwa.
Sayangnya, menurut mantan Fasilitaor Daerah Program Millenium Development Goals (MDGs) Sulawesi Tengah, Christian Tindjabate, sejumlah Program Percepatan Pembangunan di Sulteng itu, masih sebatas pada mendorong pekerjaan infrstruktur, yang substansinya masih jauh dari kebutuhan dasar masyarakatnya. Akibat yang terjadi kemudian, katanya, masyarakat tidak merasakan langsung dampak dari program tersebut.
"Ini yang mesti dikaji kembali sehingga program percepatan pembangunan itu benar-benar menyentuh pada titik masalah yang sebenarnya," kata Christian Tindjabate.
Yang lebih memprihatinkan lagi, yang terjadi di Kota Palu. Jumlah orang miskin di kota itu tahun 2007 tercatat sebanyak 14.740 kepala keluarga atau sekitar 86.964 ribu jiwa dari total penduduk 65.438 kepala keluarga atau 302.202 jiwa. Padahal, jumlah orang miskin di Palu tahun 2006 masih sekitar 31,39 persen penduduk miskin.
Ketua DPRD Kota Palu, Mulhanan Tombolotutu mengatakan, yang menjadi problem saat ini adalah, kenaikan jumlah kemiskinan di Kota Palu itu, karena semakin banyaknya program bantuan yang disalurkan pemerintah. Akibatnya, ditengarai ada pihak-pihak yang mengurusi soal bantuan penanggulangan kemiskinan itu lebih mengutamakan keluarganya dari kepada masyarakat yang seharusnya lebih berhak menerima bantuan.
"Orang yang sebelumnya tidak masuk dalam kategori miskin, tapi tiba-tiba menjadi pihak yang menerima bantuan pemerintah. Inilah yang kemudian membuat jumlah orang miskin itu bertambah," kata Mulhanan Tombolotutu.
Ia menyontohkan, beberapa keluarganya pernah datang menemuinya di kantor, untuk mengurusi kartu keluarga miskin untuk bisa mendapat pelayanan kesehatan. Karena dimarahi, akhirnya yang bersangkutan langsung menemui Walikota Palu untuk meminta bantuan tersebut.
Walikota Palu, Rusdy Mastura, membenarkan adanya orang yang sengaja datang kepadanya untuk meminta kartu keluarga miskin. Padahal orang-orang yang datang itu adalah pensiunan pegawai negeri sipil dan memiliki kendaraan sendiri. Bahkan, tambah Walikota Palu, ada pihak-pihak yang juga secara sengaja memasukan keluarganya yang tidak miskin sebagai penerima bantuan pemerintah.
"Ini jelas ada nuansa korupsi, kolusi dan nepotisme, sehingga saya sudah perintahkan untuk secepatnya dibenahi. Kalau tidak dibenahi secepatnya, saya sendiri yang akan melapor ke pihak yang berwajib agar segera diproses secara hukum," tegas Walikota Rusdy Mastura.
Hasil studi Tim Percepatan Pembangunan Kota Palu menyebutkan, jumlah orang miskin di Kota Palu belum menunjukkan penurunan, padahal ada keluarga miskin yang telah menerima tiga jenis bantuan untuk penanggulangan kemiskinan. Yang sejatinya, kalau telah menerima bantuan maka harus terjadi perubahan dari sisi ekonomi keluarganya.
"Nah, dari hasil studi kami, kesimpulan sementara kami bahwa itu terjadi karena tidak adanya pendamping atau fasilitator bagi masyarakat miskin penerima bantuan tersebut. Akhirnya mereka tidak bisa berkembang," kata Gunawan Arsyad, sekretaris Tim Percepatan Pembangunan Kota Palu.
Tahun 2008 ini, Program Nasional Penanggulangan Kemiskinan (PNPM) telah menyiapkan anggaran sebesar Rp 13 triliun. Anggaran sebesar itu, akan disalurkan ke daerah-daerah hingga ke pedesaan sebagai penguatan pelaksanaan penanggulangan kemiskinan.
Dana sebesar lebih Rp 1 triliun itu, dalam bentuk Bantuan Langsung Masyarakat (BLM), yang akan disalurkan ke Sulawesi Utara sebesar Rp 28,18 miliar, Sulawesi Tengah Rp 132,66 miliar, Sulawesi Selatan 291,06 miliar, Sulawesi Barat Rp 53,85 miliar, Sulawesi Tenggara Rp 103,38 miliar dan Provinsi Gorontalo akan disalurkan sebesar Rp 53,11 miliar.***
Tuesday, May 06, 2008
Lebih 50 Ribu Anak di Sulteng Terlantar
Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulawesi Tengah, mempublikasikan saat ini tercatat sedikitnya 54.235 anak terlantar yang tersebar di Sulawesi Tengah. Jumlah tertinggi terdapat di Kabupaten Poso, yakni sebanyak 12.002 anak.
Selanjutnya terdapat di Kabupaten Tojo Una-Una 8.065 anak, Donggala (7.551 anak), Morowali (6.743 anak), Toli-Toli (4.987 anak), Parigi Moutong (4.459 anak), Banggai Kepulauan (3.083 anak), Banggai (2.912 anak) dan Kota Palu (1.913 anak).
Selain itu, menurut Ketua LPA Sulawesi Tengah, Sofyan Farid Lembah, terdapat pula anak yang telah bekerja dan yang berusaha untuk mencari pekerjaan. Anak laki-laki di perdesaan pada usia 15-19 tahun yang telah bekerja, tercatat sebanyak 42.174 orang, dan anak perempuan sebanyak 31.502 orang. Sedangkan yang ingin mencari kerja, tercatat sebanyak 5.983 orang anak laki-laki dan 4.469 anak perempuan.
Sementara di perkotaan, menurut Sofyan Farid Lembah, anak laki-laki yang bekerja sebanyak 4.696 anak laki-laki dan 3.437 anak perempuan. Sedangkan yang mencari kerja adalah 1.446 anak laki-laki dan 1.351 anak perempuan.
“Jumlah ini diperkirakan masih akan bertambah, karena saat ini masih sekitar 112.735 orang anak (56.895 perempuan-55.840 laki-laki) pelajar yang siap masuk dalam lapangan kerja," kata Sofyan Farid Lembah kepada The Jakarta Post, Senin (5/5) pagi.
Banyaknya jumlah anak terlantar dan yang bekerja serta pencari kerja itu, katanya, disebabkan karena tingkat kemiskinan keluarganya.
Tahun 2007, tercatat 154.006 jiwa penduduk dalam klasifikasi batas miskin dan ada 557.400 jiwa penduduk miskin. Penyebarannya terbesar di wilayah perdesaan (24,97 persen) dan sisanya 12,86 persen di perkotaan.
Data Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Sulawesi Tengah, pada tahun 2007 lalu tercatat 143.760 kepala keluarga fakir miskin yang telah mendapat bantuan Usaha Kesejahteraan Sosial (UKS) yang tersebar pada 8.300 kepala keluarga di Banggai Kepulauan, 40.669 kepala keluarga di Banggai, 6.369 di Morowali, 20.785 kepala keluarga di Poso, 24.372 di Donggala, 10.789 kepala keluarga di Toli-Toli, 13.594 kepala keluarga di Buol, 13.929 kepala keluarga di Parigi Moutong, dan 4.955 di Kota Palu.
“Nah, kondisi kemiskinan dalam keluarga di Sulawesi Tengah inilah, setidaknya ikut menyumbang besaran jumlah anak-anak yang terlantar,” kata Sofyan Farid Lembah.
Kemiskinan, kata Sofyan Farid Lembah, pada akhirnya mendorong anak-anak Sulawesi Tengah, ikut bertarung bersama kedua orang tuanya untuk mendapatkan dan menambah penghasilan keluarga. Pada beberapa kasus, justru orang tua mendorong anak-anak untuk bekerja dan sekaligus mempekerjakan anak-anak mereka.
Akibat lain dari masalah ini, menurut pihak LPA Sulawesi Tengah, hampir 40 persen anak perempuan di daerah ini telah melangsungkan pernikahan pada usia dini. Untuk Klasifikasi usia di bawah 16 tahun anak-anak di Donggala mencatat angka tertinggi di banding kabupaten lainnya (23,20 persen), dan yang terendah terdapat di Kabupaten Banggai Kepulauan (7,88 %).
Sedangkan untuk klasifikasi umur 17-18 tahun, perkawinan usia dini tertinggi terjadi di Kabupaten Buol (27,82 %), dan terendah di kota Palu (16,71 %).
“Memang, seberapa besar pengaruh kemiskinan terhadap perilaku perkawinan usia dini masih perlu ditelusuri lagi, tapi di beberapa komunitas adat di Kabupaten Donggala, alasan ekonomi menjadi salah satu alasan utama perkawinan usia dini tersebut,” kata Sofyan Lembah.
Menurut Sofyan Lembah, dari hasil investogasinya, dengan mengawinkan anak-anak mereka, diharapkan persoalan ekonomi yang menghimpit dapat teratasi. Minimal sudah ada yang menjadi penanggungjawab keberlangsungan hidup anak-anak mereka.
Oleh karean itu, Sofyan Farid Lembah mengharapkan kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, untuk ikut memikirkan soal keadaan tersebut. Jika persoalan kemiskinan tidak segera diatasi, dapat dipastikan akan semakin banyak anak-anak yang terlantar.
“Ini tanggungjawab pemerintah. Pemerintah tidak boleh menutup mata melihat kondisi yang sudah sangat memprihatinkan ini,” tandas Sofyan Farid Lembah. ***
Selanjutnya terdapat di Kabupaten Tojo Una-Una 8.065 anak, Donggala (7.551 anak), Morowali (6.743 anak), Toli-Toli (4.987 anak), Parigi Moutong (4.459 anak), Banggai Kepulauan (3.083 anak), Banggai (2.912 anak) dan Kota Palu (1.913 anak).
Selain itu, menurut Ketua LPA Sulawesi Tengah, Sofyan Farid Lembah, terdapat pula anak yang telah bekerja dan yang berusaha untuk mencari pekerjaan. Anak laki-laki di perdesaan pada usia 15-19 tahun yang telah bekerja, tercatat sebanyak 42.174 orang, dan anak perempuan sebanyak 31.502 orang. Sedangkan yang ingin mencari kerja, tercatat sebanyak 5.983 orang anak laki-laki dan 4.469 anak perempuan.
Sementara di perkotaan, menurut Sofyan Farid Lembah, anak laki-laki yang bekerja sebanyak 4.696 anak laki-laki dan 3.437 anak perempuan. Sedangkan yang mencari kerja adalah 1.446 anak laki-laki dan 1.351 anak perempuan.
“Jumlah ini diperkirakan masih akan bertambah, karena saat ini masih sekitar 112.735 orang anak (56.895 perempuan-55.840 laki-laki) pelajar yang siap masuk dalam lapangan kerja," kata Sofyan Farid Lembah kepada The Jakarta Post, Senin (5/5) pagi.
Banyaknya jumlah anak terlantar dan yang bekerja serta pencari kerja itu, katanya, disebabkan karena tingkat kemiskinan keluarganya.
Tahun 2007, tercatat 154.006 jiwa penduduk dalam klasifikasi batas miskin dan ada 557.400 jiwa penduduk miskin. Penyebarannya terbesar di wilayah perdesaan (24,97 persen) dan sisanya 12,86 persen di perkotaan.
Data Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Sulawesi Tengah, pada tahun 2007 lalu tercatat 143.760 kepala keluarga fakir miskin yang telah mendapat bantuan Usaha Kesejahteraan Sosial (UKS) yang tersebar pada 8.300 kepala keluarga di Banggai Kepulauan, 40.669 kepala keluarga di Banggai, 6.369 di Morowali, 20.785 kepala keluarga di Poso, 24.372 di Donggala, 10.789 kepala keluarga di Toli-Toli, 13.594 kepala keluarga di Buol, 13.929 kepala keluarga di Parigi Moutong, dan 4.955 di Kota Palu.
“Nah, kondisi kemiskinan dalam keluarga di Sulawesi Tengah inilah, setidaknya ikut menyumbang besaran jumlah anak-anak yang terlantar,” kata Sofyan Farid Lembah.
Kemiskinan, kata Sofyan Farid Lembah, pada akhirnya mendorong anak-anak Sulawesi Tengah, ikut bertarung bersama kedua orang tuanya untuk mendapatkan dan menambah penghasilan keluarga. Pada beberapa kasus, justru orang tua mendorong anak-anak untuk bekerja dan sekaligus mempekerjakan anak-anak mereka.
Akibat lain dari masalah ini, menurut pihak LPA Sulawesi Tengah, hampir 40 persen anak perempuan di daerah ini telah melangsungkan pernikahan pada usia dini. Untuk Klasifikasi usia di bawah 16 tahun anak-anak di Donggala mencatat angka tertinggi di banding kabupaten lainnya (23,20 persen), dan yang terendah terdapat di Kabupaten Banggai Kepulauan (7,88 %).
Sedangkan untuk klasifikasi umur 17-18 tahun, perkawinan usia dini tertinggi terjadi di Kabupaten Buol (27,82 %), dan terendah di kota Palu (16,71 %).
“Memang, seberapa besar pengaruh kemiskinan terhadap perilaku perkawinan usia dini masih perlu ditelusuri lagi, tapi di beberapa komunitas adat di Kabupaten Donggala, alasan ekonomi menjadi salah satu alasan utama perkawinan usia dini tersebut,” kata Sofyan Lembah.
Menurut Sofyan Lembah, dari hasil investogasinya, dengan mengawinkan anak-anak mereka, diharapkan persoalan ekonomi yang menghimpit dapat teratasi. Minimal sudah ada yang menjadi penanggungjawab keberlangsungan hidup anak-anak mereka.
Oleh karean itu, Sofyan Farid Lembah mengharapkan kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, untuk ikut memikirkan soal keadaan tersebut. Jika persoalan kemiskinan tidak segera diatasi, dapat dipastikan akan semakin banyak anak-anak yang terlantar.
“Ini tanggungjawab pemerintah. Pemerintah tidak boleh menutup mata melihat kondisi yang sudah sangat memprihatinkan ini,” tandas Sofyan Farid Lembah. ***
Sunday, May 04, 2008
Edarkan Uang Palsu, Warga Jakarta Ditangkap di Palu
Seorang warga asal Jakarta, Budhi Alfan, tertangkap tangan di sebuah hotel di Palu pada Sabtu (03/05) dinihari, karena mengedarkan uang palsu. Ia juga terbukti menyimpan uang palsu sebanyak lebih Rp 80 juta. Warga Jalan Bakti Dalam Nomor 31, Kemanggisan, Palmerah, Jakarta Barat itu tertangkap usai membeli empat buah telepon selular berbagai merek di Palu.
Kapolresta Palu, Ajun Komisaris Besar Polisi Sunarto, membenarkan penangkapan warga Jakarta tersebut. Menurut Kapolres, setelah menerima laporan dari pemilik toko telepon selular, pihaknya langsung bergerak menuju sebuah hotel di Jalan Raden Saleh Palu Timur. Sesampai di hotel, polisi langsung menuju sebuah kamar yang diduga sebagai tempat menginap tersangka. Tidak sia-sia, polisi akhirnya menemukan seorang lelaki dengan ciri-ciri yang sudah dijelaskan pemilik toko tadi.
"Kami langsung menangkapnya dan membawanya ke kantor polisi untuk penyidikan lebih lanjut," kata Kapolres.
Awalnya, kata Kapolres, pihaknya nyaris percaya bahwa tumpukan uang pecahan seratus ribu rupiah yang dimiliki tersangka itu adalah uang asli, namun setelah melakukan berbagai pengujian, ternyata uang tersebut palsu.
Kini tersangka telah ditahan di tahanan Polresta Palu, dan dijerat dengan Pasal 245 KUHP tentang larangan memiliki dan mengedarkan uang palsu.
Tersangka Budhi Alfan yang dikonfirmasi memberikan jawaban yang berbelit-belit. Awalnya ia mengaku bahwa uang tersebut dibelinya dari seorang warga Bekasi, Jawa Barat seharga Rp 60 juta. Namun beberapa saat kemudian, ia mengaku kalau uang tersebut dititip oleh seseorang untuk diedarkan. "Kalau sudah selesai diedarkan, saya akan diberikan komisi besar dari orang itu. Tapi ternyata saya ditangkap," kata Budhi Alfan.
Kapolresta AKBP Sunarto mengimbau warga Kota Palu, agar waspada terhadap maraknya pengedaran uang palsu. Masyarakat diminta untuk segera melapor jika menemukan uang palsu, terutama dari hasil transaksi.
Sementara itu, pada 15 April lalu, salah seorang pemilik gerai penjualan voucher isi ulang bernama Jabal Nur, juga tertipu ratusan ribu rupiah. Warga lain yang juga korban penipuan adalah Ibu Lia. Pemilik warung rokok itu tidak tahu menahu kalau uang pecahan Rp 100 ribu yang digunakan pembeli adalah uang palsu.
Kapolresta Palu, Ajun Komisaris Besar Polisi Sunarto, membenarkan penangkapan warga Jakarta tersebut. Menurut Kapolres, setelah menerima laporan dari pemilik toko telepon selular, pihaknya langsung bergerak menuju sebuah hotel di Jalan Raden Saleh Palu Timur. Sesampai di hotel, polisi langsung menuju sebuah kamar yang diduga sebagai tempat menginap tersangka. Tidak sia-sia, polisi akhirnya menemukan seorang lelaki dengan ciri-ciri yang sudah dijelaskan pemilik toko tadi.
"Kami langsung menangkapnya dan membawanya ke kantor polisi untuk penyidikan lebih lanjut," kata Kapolres.
Awalnya, kata Kapolres, pihaknya nyaris percaya bahwa tumpukan uang pecahan seratus ribu rupiah yang dimiliki tersangka itu adalah uang asli, namun setelah melakukan berbagai pengujian, ternyata uang tersebut palsu.
Kini tersangka telah ditahan di tahanan Polresta Palu, dan dijerat dengan Pasal 245 KUHP tentang larangan memiliki dan mengedarkan uang palsu.
Tersangka Budhi Alfan yang dikonfirmasi memberikan jawaban yang berbelit-belit. Awalnya ia mengaku bahwa uang tersebut dibelinya dari seorang warga Bekasi, Jawa Barat seharga Rp 60 juta. Namun beberapa saat kemudian, ia mengaku kalau uang tersebut dititip oleh seseorang untuk diedarkan. "Kalau sudah selesai diedarkan, saya akan diberikan komisi besar dari orang itu. Tapi ternyata saya ditangkap," kata Budhi Alfan.
Kapolresta AKBP Sunarto mengimbau warga Kota Palu, agar waspada terhadap maraknya pengedaran uang palsu. Masyarakat diminta untuk segera melapor jika menemukan uang palsu, terutama dari hasil transaksi.
Sementara itu, pada 15 April lalu, salah seorang pemilik gerai penjualan voucher isi ulang bernama Jabal Nur, juga tertipu ratusan ribu rupiah. Warga lain yang juga korban penipuan adalah Ibu Lia. Pemilik warung rokok itu tidak tahu menahu kalau uang pecahan Rp 100 ribu yang digunakan pembeli adalah uang palsu.
Subscribe to:
Posts (Atom)