Ruslan Sangadji
Melestarikan Maleo, Yali Kamisi Diupah Rp 200 Ribu
Hari masih pagi. Embun di rerumputan pun belum kering. Setelah memarkir kendaraan yang ku bawa, aku berjalan mengiringi seorang kakek yang ku taksir usianya sekitar 65 tahun. Keriput di tulang wajah si kakek terlihat begitu jelas. Maklum, ternyata belakang dia memberi tahu bahwa usianya sudah memasuki 72 tahun.
Tapi, semangat si kakek tak pernah luntur karena hujan dan tak lekang karena panas. Ia tetap semangat, gesit dan cekatan, gaya bicaranya juga masih tegas, namun senyumnya tetap ramah ketika bersama The Jakarta Post di pondok kebunnya, akhir pekan lalu.
Kami berjalan kaki sejauh sekitar 5 kilometer ke pondok di kebun si kakek. Untuk sampai ke pondok kebunnya, aku terpaksa melepas celana panjang yang ku kekanakan. Dengan bercelana pendek aku bersama si kakek menyusuri sungai yang airnya lumayan deras. Akhirnya kami sampai juga di pondok kebunnya yang lumayan luas.
Sambil beristirahat sejenak, aku menyerahkan dua bungkus rokok yang ku bawa kepada si kakek, lalu kami pun bercerita banyak hal soal aktivitas keseharian di kakek. Pria tua itu bernama Yali Kamisi. Sehari-harinya, berprofesi sebagai petani di Desa Pakuli, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Donggala---sekitar 62 kilometer arah selatan Kota Palu, ibukota Provinsi Sulawesi Tengah.
Selain sebagai petani, Yali Kamisi bekerja sebagai penangkar Burung Maleo (Macrocephalon Maleo) di hutan sekitar yang masih termasuk dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Agar Burung Maleo yang sudah diambang kepunahan itu tetap lestari, si kakek kemudian keliling di seluruh hutan untuk mencari lobang-lobang tempat bertelurnya burung cantik itu.
Yali Kamisi memiliki penciuman yang kuat. Sebab. Tidak semua lobang yang ditemukannya digali. Menurutnya, tidak semua lobang ada telur Burung Maleo. Lantaran itu, sehari ia hanya bisa mendapat antara 3---4 butir telur Burung Maleo.
Untuk apa semua telur itu, ternyata Yali Kamisi memindahkannya ke sebuah kandang untuk ditetaskan. Cara itu dilakukan, agar telur Maleo itu bisa aman dari binatang predator seperti biawak. Dalam beberapa minggu kemudian, telur-telur itu menghasilkan anak maleo yang sehat. “Setelah menetas, saya pindahkan lagi ke kandang lainnya, sambil menunggu saatnya untuk dilepas kembali ke hutan,” kata kakek empat belas cucu ini.
Aktivitasnya itu, ternyata tidak hanya sekadar melindungi burung endemik Sulawesi itu, tapi juga dapat melindungi kawasan hutan itu dari ancaman para penebang liar. Yali Kamisi mengaku, beberapa kali menghalangi orang luar yang datang menebang kayu di kawasan hutan Taman Nasional Lore Lindu itu.
Usahanya melindungi Maleo ternyata mendapat pujian dari beberapa pihak. Selain dibantu Yayasan Jambata Palu, Yali Kamisi juga telah menerima penghargaan pada Hari Lingkungan Hidup Tahun 2003 dari Gubernur Sulawesi Tengah, ketika itu Aminuddin Ponulele. Tidak hanya itu, Menteri Lingkungan Hidup pun telah berkunjung ke lokasi penangkaran Maleo yang dikelola oleh si Yali Kamisi itu.
Sayangnya, pemerintah hanya sekadar berkunjung saja, tapi cenderung melupakan Yali Kamisi. Buktinya, selama menjaga kelestarian Burung Maleo itu, si kakek hanya menerima upah sebesar Rp 200 ribu dari Yayasan Jambata Palu.
Upah itu pun hanya karena adanya program pelestarian Maleo yang dilakukan oleh yayasan tersebut yang didanai oleh United Nations Development Programme (UNDP). Sedangkan pemerintah Sulawesi Tengah tidak memberikan apa-apa, kecuali penghargaan tahun 2003 silam itu.
Kini, nasib burung Maleo di Kawasan Taman Nasional Lore Lindu boleh dibilang berada di tangan Yali Kamisi. Kelak kalau si kakek ini telah tiada, entah siapa lagi yang akan melanjutkan usaha dan kerja kerasnya melestarikan burung yang memiliki banyak keistimewaan itu.
Keistimewaan burung Maleo itu antara lain, besarnya mirip ayam, memiliki tonjolan di epala, yang di duga digunakan untuk mendeteksi panas bumi yang sesuai untuk menetaskan telurnya Pada saat masih anak dan remaja, tonjolan di kepala Maleo ini belum muncul, namun pada saat menginjak dewasa tonjolan inipun mulai tampak.
Maleo memproduksi telur sebagai bakal calon anak. Namun uniknya ukuran telur maleo tidak seperti layaknya ukuran telur ayam. Maleo memiliki ukuran telur yang besar, mencapai 5 kali lebih besar dari telur ayam. Beratnya pun mencapai 17% dari berat tubuh sang betina (rata-rata 232 gr).
Masih soal telur, dari ukuran telur sebesar itu dihasilkan kuning telur yang mencapai 67% dari total isi telur. Yang lebih unik lagi, telur-telur tersebut tidak dierami oleh induknya hingga menetas. Pengeraman telur dibantu oleh panas bumi atau oleh panas sinar matahari. ***
Melestarikan Maleo, Yali Kamisi Diupah Rp 200 Ribu
Hari masih pagi. Embun di rerumputan pun belum kering. Setelah memarkir kendaraan yang ku bawa, aku berjalan mengiringi seorang kakek yang ku taksir usianya sekitar 65 tahun. Keriput di tulang wajah si kakek terlihat begitu jelas. Maklum, ternyata belakang dia memberi tahu bahwa usianya sudah memasuki 72 tahun.
Tapi, semangat si kakek tak pernah luntur karena hujan dan tak lekang karena panas. Ia tetap semangat, gesit dan cekatan, gaya bicaranya juga masih tegas, namun senyumnya tetap ramah ketika bersama The Jakarta Post di pondok kebunnya, akhir pekan lalu.
Kami berjalan kaki sejauh sekitar 5 kilometer ke pondok di kebun si kakek. Untuk sampai ke pondok kebunnya, aku terpaksa melepas celana panjang yang ku kekanakan. Dengan bercelana pendek aku bersama si kakek menyusuri sungai yang airnya lumayan deras. Akhirnya kami sampai juga di pondok kebunnya yang lumayan luas.
Sambil beristirahat sejenak, aku menyerahkan dua bungkus rokok yang ku bawa kepada si kakek, lalu kami pun bercerita banyak hal soal aktivitas keseharian di kakek. Pria tua itu bernama Yali Kamisi. Sehari-harinya, berprofesi sebagai petani di Desa Pakuli, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Donggala---sekitar 62 kilometer arah selatan Kota Palu, ibukota Provinsi Sulawesi Tengah.
Selain sebagai petani, Yali Kamisi bekerja sebagai penangkar Burung Maleo (Macrocephalon Maleo) di hutan sekitar yang masih termasuk dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Agar Burung Maleo yang sudah diambang kepunahan itu tetap lestari, si kakek kemudian keliling di seluruh hutan untuk mencari lobang-lobang tempat bertelurnya burung cantik itu.
Yali Kamisi memiliki penciuman yang kuat. Sebab. Tidak semua lobang yang ditemukannya digali. Menurutnya, tidak semua lobang ada telur Burung Maleo. Lantaran itu, sehari ia hanya bisa mendapat antara 3---4 butir telur Burung Maleo.
Untuk apa semua telur itu, ternyata Yali Kamisi memindahkannya ke sebuah kandang untuk ditetaskan. Cara itu dilakukan, agar telur Maleo itu bisa aman dari binatang predator seperti biawak. Dalam beberapa minggu kemudian, telur-telur itu menghasilkan anak maleo yang sehat. “Setelah menetas, saya pindahkan lagi ke kandang lainnya, sambil menunggu saatnya untuk dilepas kembali ke hutan,” kata kakek empat belas cucu ini.
Aktivitasnya itu, ternyata tidak hanya sekadar melindungi burung endemik Sulawesi itu, tapi juga dapat melindungi kawasan hutan itu dari ancaman para penebang liar. Yali Kamisi mengaku, beberapa kali menghalangi orang luar yang datang menebang kayu di kawasan hutan Taman Nasional Lore Lindu itu.
Usahanya melindungi Maleo ternyata mendapat pujian dari beberapa pihak. Selain dibantu Yayasan Jambata Palu, Yali Kamisi juga telah menerima penghargaan pada Hari Lingkungan Hidup Tahun 2003 dari Gubernur Sulawesi Tengah, ketika itu Aminuddin Ponulele. Tidak hanya itu, Menteri Lingkungan Hidup pun telah berkunjung ke lokasi penangkaran Maleo yang dikelola oleh si Yali Kamisi itu.
Sayangnya, pemerintah hanya sekadar berkunjung saja, tapi cenderung melupakan Yali Kamisi. Buktinya, selama menjaga kelestarian Burung Maleo itu, si kakek hanya menerima upah sebesar Rp 200 ribu dari Yayasan Jambata Palu.
Upah itu pun hanya karena adanya program pelestarian Maleo yang dilakukan oleh yayasan tersebut yang didanai oleh United Nations Development Programme (UNDP). Sedangkan pemerintah Sulawesi Tengah tidak memberikan apa-apa, kecuali penghargaan tahun 2003 silam itu.
Kini, nasib burung Maleo di Kawasan Taman Nasional Lore Lindu boleh dibilang berada di tangan Yali Kamisi. Kelak kalau si kakek ini telah tiada, entah siapa lagi yang akan melanjutkan usaha dan kerja kerasnya melestarikan burung yang memiliki banyak keistimewaan itu.
Keistimewaan burung Maleo itu antara lain, besarnya mirip ayam, memiliki tonjolan di epala, yang di duga digunakan untuk mendeteksi panas bumi yang sesuai untuk menetaskan telurnya Pada saat masih anak dan remaja, tonjolan di kepala Maleo ini belum muncul, namun pada saat menginjak dewasa tonjolan inipun mulai tampak.
Maleo memproduksi telur sebagai bakal calon anak. Namun uniknya ukuran telur maleo tidak seperti layaknya ukuran telur ayam. Maleo memiliki ukuran telur yang besar, mencapai 5 kali lebih besar dari telur ayam. Beratnya pun mencapai 17% dari berat tubuh sang betina (rata-rata 232 gr).
Masih soal telur, dari ukuran telur sebesar itu dihasilkan kuning telur yang mencapai 67% dari total isi telur. Yang lebih unik lagi, telur-telur tersebut tidak dierami oleh induknya hingga menetas. Pengeraman telur dibantu oleh panas bumi atau oleh panas sinar matahari. ***
No comments:
Post a Comment