Mobil yang ku tumpangi melaju menyusuri pesisir pantai Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah. Sambil ngobrol dengan kawan sopir, tiba-tiba mobil yang ku tumpangi tiba di tujuan. Ku lirik jam di mobil phone ku, angka menunjukkan pukul 09.00 Wita. Saya hanya perlu waktu 35 menit untuk sampai ke tujuanku.
Hari itu, Selasa (18/9) bersama beberapa kawan aku menuju pantai Tanjung Karang. Orang Palu dan Donggala lebih mengenalnya dengan nama pantai pasir putih. Lokasinya di Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala. Jaraknya hanya sekitar 40 kilometer dari Kota Palu, ibukota Provinsi Sulawesi Tengah.
Sekitar 20 tahun silam, Pantai Tanjung Karang ini hanya dikenal sebagai tempat istirahat sementara para setelah lelah melaut.
Waktu itu, belum ada jalan masuk ke Pantai Tanjung Karang, padahal hamparan pasir putih di pantai itu sungguh indah. Perkebunan kelapa milik masyarakat juga tumbuh subur di sekitar pantai ini.
Tapi sekarang, Pantai Tanjung Karang sudah berubah menjadi objek wisata favorit bagi warga Palu dan sekitarnya. Apalagi, kalau setiap musim libur, pantai ini dipadati wisatawan lokal, bahkan turis mancanegara. Rata-rata berasal dari Eropa.
Wisatawan kini, sudi bertandang ke pantai itu, selain karena jalan menuju ke Tanjung Karang sudah bagus, kita hanya perlu sekitar 30-45 menit dari Palu, juga airnya yang begitu jernih, pasir putih yang bersih membentuk huruf "V" disertai panorama alamnya yang menakjubkan.
Dari pantai yang dinamai Tanjung Karang itu terlihat pula Kota Donggala, yang berjarak sekitar 3 km, dan sebagian wilayah Kota Palu serta desa-desa di pesisir pantai barat Kabupaten Donggala.
Bahkan kalau malam hari, suasana semakin indah karena lampu penerang aneka warna dari kejauhan berkelap-kelip, selain sinar Mercusuar yang dibangun oleh Departemen Perhubungan di sudut tanjung ini.
Juga, dari tempat ini orang bisa menyaksikan pemandangan terbuka Teluk Palu dan Selat Makassar nan luas. Kapal yang masuk-keluar Pelabuhan Pantoloan serta hilir-mudik perahu nelayan di Teluk Palu, menjadi daya tarik bagi wisatawan.
Muhammad Ikhsan, petugas di pintu masuk Tanjung Karang, mencatat setiap hari libur, sedikitnya 200 kendaraan roda empat dan dua masuk-keluar di objek wisata Tanjung Karang ini. Bahkan angka ini meningkat pesat setelah Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah mencanangkan lima hari kerja sejak pertengahan April 2007 lalu.
"Pengunjung pada Sabtu, Minggu, dan hari libur, paling banyak. Totalnya bisa mencapai seribu orang orang," katanya.
Untuk memberikan pelayanan bagi para wisatawan, yang umumnya wisatawan keluarga, penduduk setempat membangun dan menyewakan puluhan penginapan sederhana, yang terbuat dari kayu dan beratap rumbia.
Tarifnya relatif murah, antara Rp 100 ribu hingga Rp 300 ribu semalam untuk masing-masing cottage yang memiliki satu kamar tidur, satu ruang terbuka sebagai teras, dan satu kamar mandi. Tarif ini tidak termasuk makan dan minum.
Menu yang disajikan para pengelolanya beraneka ragam, namun umumnya berupa makanan laut, seperti ikan bakar, cumi-cumi goreng, dan lobster rebus.
Ada juga kopi panas, teh, dan sarabba (minuman khas Palu terbuat dari jahe dan gula aren yang direbus serta diberi susu kental), serta pisang goreng panas.
Pengunjung juga dapat menikmati makanan, minuman, dan penganan lainnya di cafe-cafe sederhana di area penginapan.
Di Tanjung Karang, ada pula sebuah cottage milik investor asal Jerman berpenduduk Palu. Namanya Prince John. Cottage yang di kelilingi pagar kayu dan tembok dengan luas halaman sekitar 60x50 meter tersebut dilengkapi berbagai fasilitas memadai, seperti cafe, lapangan voly pantai, serta beberapa bangunan tempat tinggal yang dilengkapi kamar mirip hotel.
Pemilik cottage ini juga melengkapinya dengan kapal pesiar dan peralatan selam, yang banyak diminati wisatawan mancanegara.
Tapi, hari itu saya tak mau menyelam. Saya tak perlu menyewa kapal untuk berkeliling Tanjung Karang. Saya hanya cukup menyewa sebuah ban dalam mobil seharga Rp 3 ribu, lalu menyewa kacamata di cottage Prince John seharga 10 ribu, untuk snorkeling.
Luar biasa, sangat indah. Hanya selangkah dari batas air, dan masih dari atas permukaan saya dapat menikmati indahnya terumbu karang dan ikan hias yang menari-nari di atas dan di sela-sela karang.
Ingin rasanya saya menjamah ikan itu, karena sangat dekat denganku. Bahkan sesekali ikan-ikan yang berwarna-warni itu menabrak tanganku yang ku masukan ke dalam air.
"Ah sangat indah," kata Muhammad Rizal salah seorang kawan yang bersamaku snorkeling di Pantai Tanjung Karang itu.
Bupati Donggala, Habir Ponulele yang dihubungi The Jakarta Post, Rabu (18/9) malam, mengatakan, Pantai Tanjung Karang telah ditetapkan sebagai salah tempat wisata terbaik di daerahnya.
Pasalnya, menurut Bupati Donggala, jarak Tanjung Karang sangat dekat dengan Kota Palu. "Jadi, kalau ada wisatawan asing, mereka tak perlu capek-capek kalau mau ke Tanjung Karang. Begitu datang, tak perlu istirahat lagi, tapi langsung snorkeling dan diving pun bisa," kata Bupati Habir Ponulele.
Rencananya, kata Bupati Habir Ponulele, tempat itu akan menjadi salah lokasi dilaksanakan World Culture Festival yang pelaksanaannya ditunda hingga 7 November mendatang.
Jika ada wisatawan yang mau datang, dari Jakarta naik pesawat Lion Air, Batavia atau Merpati selama dua jam. Transit di Makassar atau Balikpapan, 45 menit kemudian mereka tiba di Bandara Mutiara Palu. Kemudian, dengan menumpang mobil kijang dari Bandara Mutiara Palu dengan tarif Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu menuju Tanjung dengan lama perjalanan antara 30 menit hingga 45 menit.***
No comments:
Post a Comment