DPP PDI Perjuangan akhirnya menetapkan pasangan Longki Djanggola dan Samsurijal Tombolotutu sebagai calon Bupati dan calon Wakil Bupati Parigi Moutong, untuk bertarung pada Pilkada 19 Agustus 2008 mendatang. Penetapan itu dilakukan pada rapat pleno DPP PDIP, pada Selasa (11/3) siang di Jakarta.
"Alhamdulillah, dalam rapat pleno DPP PDIP di Jakarta, telah menetapkan pasangan Longki Djanggola dan Samsurijal Tombolotutu," kata Hamka Haq, salah seorang pengurus DPP PDIP.
Dengan demikian, pasangan Longki Djanggola dan Samsurijal TOmbolotutu telah diusung oleh lima partai, yaitu Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB) dan PDI Perjuangan. Sedangkan pesaingnya, Asmir Ntosa yang juga Wakil Bupati Parigi Moutong sekarang, kemungkinan akan diusung oleh tiga partai, yaitu Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Bintang Reformasi. Hanya saja, belum ada kepastian pencalonan tiga partai tersebut.
Hamka Haq mengatakan, penetapan pasangn Longki-Ijal itu, sudah melewati mekanisme yang disepakati partai, dimulai dari melihat aspirasi konstituen di tingkat bawah, kemudian dibawa ke musyawarah di tingkat DPC, selanjutnya dibawa ke DPP di Jakarta untuk ditetapkan. "Itu artinya, penetapan pasangan Longki-Ijal itu sudah berdasarkan pertimbangan yang matang," kata Hamka Haq melalui telepon genggam dari Jakarta, Selasa sore.
Selanjutnya, Hamka Haq berharap agar pasangan ini dapat bekerja maksimal untuk mememangkan pertarungan pada Pilkada 19 Agustus mendatang. "Selamat berjuang, semoga berhasil," begitu pesan singkat Hamka Haq.
Longki Djanggola yang dikonfirmasi membenarkan penetapan tersebut. Ia hanya menyatakan berterima kasih kepada DPP PDIP dan seluruh kader PDIP di Parigi Moutong dan di Sulawesi Tengah, yang telah memberikan kepercayaan itu. Oleh karena itu, ia berjanji akan berjuang maksimal untuk menang dalam Pilkada Parigi Moutong nanti.
"Insya Allah kami tidak akan menyia-nyiakan amanah ini. Kami akan berusaha maksimal untuk bisa menang pada Pilkada nanti," janji Longki Djanggola.
Longki Djanggola adalah Bupati Parigi Moutong sekarang. Sebelum menjadi bupati, yang bersangkutan adalah Kepala Biro Infokom Setprov Sulteng, Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Daerah (BPMD) Sulteng dan Kepala Perwakilan Pemprov Sulteng di Jakarta. Sedangkan Samsurijal Tombolotutu adalah perwira TNI berpangkat Letnan Kolonel Infanteri yang sekarang menjabat sebagai Sekretaris Seskoad TNI di Bandung, dan Koordinator Sekpri Panglima TNI di Mabes Polri.
Setelah meniti karir selama 35 tahun di negeri orang, Samsurijal Tombolotutu yang juga mantan Komandan Kodim Pare-Pare itu kembali ke tanah kelahirannya untuk bersama-sama Longki Djanggola membangun Parigi Moutong. "Saya bertekad akan membangun Parigi Moutong. Tapi saya memang hanya bersedia maju bersama Longki," tandas perwira kelahiran Tinonmbo ini. ***
Tuesday, March 11, 2008
Jumlah Wisatawan di Sulteng Menurun
The Association of Indonesian Tours & Travel Agencies (Asita) Sulawesi Tengah, mencatat, telah terjadi penurunan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Sulawesi Tengah pada tahun 2007.
"Jumlah wisatawan yang datang ke Sulteng menurun hingga lebih 60 persen pada tahun 2007," kata Ary Wowor, ketua Asita Sulteng kepada The Jakarta Post, Selasa (11/3) siang.
Dalam catatan Asita Sulteng, tahun 2007 jumlah wisatawan yang datang ke Sulteng hanya sebanyak 1000-an orang, sedangkan tahun 2006 tercatat sebanyak 2700 orang. Dari jumlah wisatawan yang datang itu, rata-rata adalah kunjungan yang tidak diorganisir oleh agen perjalanan, tapi kunjungan pribadi-pribadi yang hanya mau berlibur saja.
"Tidak ada lagi kunjungan dalam jumlah besar yang diorganisir oleh agen perjalanan wisata," kata Ary Wowor.
Menurunnya jumlah wisatawan itu, kata Ary Wowor, sangat berkaitan erat dengan kebijakan larangan izin terbang pesawat Indonesia oleh negara Eropa. Padahal, rata-rata wisatawan yang datang ke Sulteng berasal dari Eropa.
"Sekarang kita tinggal menunggu bulan Agustus, atau di musim libur negara Eropa. Apakah akan terjadi lonjakan jumlah wisatawan ke Sulteng, ataukah sebaliknya," ujarnya dan menambahkan, bahwa pihaknya memprediksi jumlah wisatawan masih tetap statis seperti tahun 2007, akibat belum dicabutnya izin terbang oleh pihak Eropa.
Ary Wowor mengatakan, para wisatawan yang ke Sulteng itu, hanya menggemari dua tempat wisata, yaitu Pulau Togean di Kabupaten Tojo Una-Una dan Taman Nasional Lore Lindu di Donggala dan Poso. Sedangkan tempat lain seperti Tanjung Karang di Donggala, hanya menjadi tempat istirahat sementara. Sedangkan di Danau Poso, sekarang sudah sangat jarang dikunjungi, karena masih ada rasa takut para wisatawan itu.
Penurunan jumlah wisatawan itu, kata Ary Wowor, berdampak pula pada ditutupnya agen perjalanan dan travel di Kota Palu. Asita Sulteng mencatat, dari sekitar 40 agen perjalanan dan travel di Kota Palu, kini tinggal 30 agen saja yang masih buka. Dari 30 itu, hanya 15 agen perjalanan dan travel yang masih aktif dan 15 lainnya dalam posisi hidup segan mati pun tak mau. ***
"Jumlah wisatawan yang datang ke Sulteng menurun hingga lebih 60 persen pada tahun 2007," kata Ary Wowor, ketua Asita Sulteng kepada The Jakarta Post, Selasa (11/3) siang.
Dalam catatan Asita Sulteng, tahun 2007 jumlah wisatawan yang datang ke Sulteng hanya sebanyak 1000-an orang, sedangkan tahun 2006 tercatat sebanyak 2700 orang. Dari jumlah wisatawan yang datang itu, rata-rata adalah kunjungan yang tidak diorganisir oleh agen perjalanan, tapi kunjungan pribadi-pribadi yang hanya mau berlibur saja.
"Tidak ada lagi kunjungan dalam jumlah besar yang diorganisir oleh agen perjalanan wisata," kata Ary Wowor.
Menurunnya jumlah wisatawan itu, kata Ary Wowor, sangat berkaitan erat dengan kebijakan larangan izin terbang pesawat Indonesia oleh negara Eropa. Padahal, rata-rata wisatawan yang datang ke Sulteng berasal dari Eropa.
"Sekarang kita tinggal menunggu bulan Agustus, atau di musim libur negara Eropa. Apakah akan terjadi lonjakan jumlah wisatawan ke Sulteng, ataukah sebaliknya," ujarnya dan menambahkan, bahwa pihaknya memprediksi jumlah wisatawan masih tetap statis seperti tahun 2007, akibat belum dicabutnya izin terbang oleh pihak Eropa.
Ary Wowor mengatakan, para wisatawan yang ke Sulteng itu, hanya menggemari dua tempat wisata, yaitu Pulau Togean di Kabupaten Tojo Una-Una dan Taman Nasional Lore Lindu di Donggala dan Poso. Sedangkan tempat lain seperti Tanjung Karang di Donggala, hanya menjadi tempat istirahat sementara. Sedangkan di Danau Poso, sekarang sudah sangat jarang dikunjungi, karena masih ada rasa takut para wisatawan itu.
Penurunan jumlah wisatawan itu, kata Ary Wowor, berdampak pula pada ditutupnya agen perjalanan dan travel di Kota Palu. Asita Sulteng mencatat, dari sekitar 40 agen perjalanan dan travel di Kota Palu, kini tinggal 30 agen saja yang masih buka. Dari 30 itu, hanya 15 agen perjalanan dan travel yang masih aktif dan 15 lainnya dalam posisi hidup segan mati pun tak mau. ***
Monday, March 10, 2008
Lebih 30 Persen Penduduk Kota Palu Miskin
Kemiskinan di Kota Palu masih memprihatinkan. Data Pemerintah Kota Palu menyebutkan, saat ini tercatat masih sekitar 31,39 persen penduduk miskin. Jumlah tersebut tersebar di empat kecamatan.
Data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Palu menyebutkan, Di Kecamatan Barat tercatat sebanyak 4,118 rumah tangga miskin, dari total penduduknya sebanyak 87.719 jiwa . Kecamatan Palu Selatan, dari jumlah penduduknya sebanyak 88.088 jiwa, tercatat rumah tangga miskinnya sebanyak 3,454.
Di Kecamatan Palu, Timur, jumlah rumah tangga miskinnya sebanyak 2.209 dari total penduduknya sebanyak 50.634 jiwa. Dan di Kecamatan Palu Utara, dari jumlah penduduknya sebanyak 29.596 jiwa, tercatat rumah tangga miskin sebanyak 3.595.
Berdasarkan jumlah jiwa masyarakat miskin, di Kecamatan Palu Utara 15.681 jiwa atau sekitar persentase 52,98%, Kecamatan Palu Barat 27.209 jiwa atau 31,02%, Palu Selatan 25.442 atau 28,88% dan di Kecamatan Palu Timur 12.068 di antaranya atau 23,83% tergolong miskin.
Walikota Palu, Rusdy Mastura mengatakan, untuk menanggulangi penduduk miskin sebanyak itu, pihaknya telah menetapkan kebijakan Peduli Kaum Dhuafa. Seluruh instansi baik pemerintah maupun swasta, diwajibkan mengarahkan seluruh program yang berbasis penanggulangan kemiskinan.
"Peduli Kaum Dhuafa itu adalah kewajiban masing-masing individu, jadi bukan hanya menjadi tuntutan program semata. Artinya, setiap individu akan berdosa jika tidak peduli pada orang miskin. Janganlah kita mau disiksa Tuhan hanya karena tidak peduli pada yang papah," tegas Walikota Palu.
Kepala Bappeda Kota Palu, Dharma Gunawan kepada The Jakarta Post, Senin (10/3) pagi mengatakan, untuk sejumlah program telah dilaksanakan untuk menerjemahkan kebijakan Peduli Kaum Dhuafa tersebut, baik program nasional maupun program yang dicetuskan oleh Bappeda Kota Palu.
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Tahun 2008 ini, pemerintah telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 4,550 milia di semua kecamatan di Kota Palu. Anggaran sebesar itu digunakan untuk pemberdayaan lingkungan, pemberdayaan sosial dan infrastruktur atau yang dikemas dalam sub program Tri Daya.
"Jadi, anggarannya disalurkan melalui Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM), kata Dharma Gunawan.
Untuk kebijakan lokal, Bappeda Kota Palu telah menerjemahkan kebijakan Peduli Kaum Dhuafa itu dengan menetapkan program PDPM (Program Daerah Pemberdayaan Masyarakat Mandiri).
Implementasinya, kata Ketua Bappeda Dharma Gunawan, tahun 2008 ini pihaknya telah mengalokasikan anggaran sebesar antara Rp 150 juta hingga Rp 200 juta per kelurahan. Saat ini, telah diprogram 43 kelurahan yang akan menerima dana tersebut.
"Kita telah tegaskan bahwa anggaran tersebut, diarahkan untuk mendorong program peduli kaum dhuafa.Dan yang lebih besar lagi adalah upaya mendorong Millenium Development Goal (MDG) di Kota Palu. Jadi, target minimal kita, tahun 2015 nanti, dapat mengurangi separuh angka kemiskinan di Kota Palu" ujar Dharma Gunawan.
Yang menjadi soal kemudian adalah, hingga kini Pemerintah Kota Palu belum memiliki dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) yang dapat diakses berbagi pihak. Pihak Bappeda mengakui, belum adanya dokumen tersebut, karena tidak maksimalnya Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) sebagaimana yang disyaratkan oleh Keputusan Presiden Nomor 54 Tahun 2005.
Secara nasional, tahun 2007 lalu pemerintah telah mengintegrasikan dua program penanggulangan kemiskinan ke dalam PNPM Mandiri, yaitu Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP).
Anggaran untuk dua program tersebut,tercatat sekitar Rp 3,6 triliun dari APBN, Rp 0,8 triliun dari APBD dan hampir Rp 100 milyar kontribusi dari masyarakat. PNPM Mandiri dilaksanakan pada tahun 2007 ini mencakup 2.992
kecamatan di perdesaan dan perkotaan, atau mencakup sekitar lebih 41.000
desa/kelurahan. Rata-rata setiap kecamatan mendapatkan Bantuan Langsung
Masyarakat sekitar Rp 0,5 – 1,5 milyar per kecamatan per tahun.
Penduduk miskin yang dijangkau oleh program ini diharapkan sekitar 21, 92 juta orang atau 5,46 juta kepala keluarga di perdesaan dan sekitar 10 juta orang atau 2,5 juta KK di perkotaan.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa PNPM Mandiri ini dapat menciptakan lapangan kerja baru sekitar sedikitnya 250 lapangan kerja baru/desa/tahun, sehingga potensi lapangan kerja langsung yang diciptakan
oleh program ini sangat besar yaitu sekitar 11 juta orang.
Data Menko Kesra menyebutkan, tahun 2008 ini program-program yang diintegrasikan ke dalam PNPM Mandiri bertambah. Selain PPK atau PNPM-Perdesaan yang dikelola oleh Departemen dalam Negeri dan P2KP atau PNPM-Perkotaan dari Departemen Pekerjaan Umum, maka ditambahkan pula Program Pengembangan Daerah Tertinggal dan Khusus/P2DTK dari Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, Program Pembangunan Infrastruktur Perdesaan/PPIP dari Departemen P.U.
Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan/PUAP dari Departemen Pertanian yang mencakup program ke 10.000 desa pertanian, dan program-program lainnya. Dengan program-program tersebut, maka terdapat anggaran sebesar Rp 13 triliun atau tiga kali lipat dari anggaran Tahun 2007.
Tahun 2008, PNPM Mandiri difokuskan untuk menyelesaikan masalah kesenjangan antardaerah. Oleh karena itu, sebagian besar anggaran
PNPM Mandiri tahun 2008 diberikan ke seluruh desa-desa tertinggal yang belum terlayani oleh program-program sektoral atau sekitar 16.417 desa
tertinggal.
Desa-desa tertinggal ini diberikan dana dengan jumlah dana yang sama yaitu sebesar 250 juta rupiah/desa. Sisanya sekitar 20.000 desa non tertinggal ditangani dengan pola PNPM Mandiri sebagaimana biasa. Jumlah penduduk miskin dan yang tidak mampu yang dapat dicakup langsung oleh PNPM Mandiri pada tahun 2008 ini diperkirakan sekitar 62 juta orang. Dengan meningkatkan anggaran Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) yang dapat mencapai Rp 3 milyar per kecamatan per tahun, maka diperkirakan potensi lapangan kerja
baru yang dapat diciptakan adalah sekitar 14 juta lapangan kerja. ***
Data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Palu menyebutkan, Di Kecamatan Barat tercatat sebanyak 4,118 rumah tangga miskin, dari total penduduknya sebanyak 87.719 jiwa . Kecamatan Palu Selatan, dari jumlah penduduknya sebanyak 88.088 jiwa, tercatat rumah tangga miskinnya sebanyak 3,454.
Di Kecamatan Palu, Timur, jumlah rumah tangga miskinnya sebanyak 2.209 dari total penduduknya sebanyak 50.634 jiwa. Dan di Kecamatan Palu Utara, dari jumlah penduduknya sebanyak 29.596 jiwa, tercatat rumah tangga miskin sebanyak 3.595.
Berdasarkan jumlah jiwa masyarakat miskin, di Kecamatan Palu Utara 15.681 jiwa atau sekitar persentase 52,98%, Kecamatan Palu Barat 27.209 jiwa atau 31,02%, Palu Selatan 25.442 atau 28,88% dan di Kecamatan Palu Timur 12.068 di antaranya atau 23,83% tergolong miskin.
Walikota Palu, Rusdy Mastura mengatakan, untuk menanggulangi penduduk miskin sebanyak itu, pihaknya telah menetapkan kebijakan Peduli Kaum Dhuafa. Seluruh instansi baik pemerintah maupun swasta, diwajibkan mengarahkan seluruh program yang berbasis penanggulangan kemiskinan.
"Peduli Kaum Dhuafa itu adalah kewajiban masing-masing individu, jadi bukan hanya menjadi tuntutan program semata. Artinya, setiap individu akan berdosa jika tidak peduli pada orang miskin. Janganlah kita mau disiksa Tuhan hanya karena tidak peduli pada yang papah," tegas Walikota Palu.
Kepala Bappeda Kota Palu, Dharma Gunawan kepada The Jakarta Post, Senin (10/3) pagi mengatakan, untuk sejumlah program telah dilaksanakan untuk menerjemahkan kebijakan Peduli Kaum Dhuafa tersebut, baik program nasional maupun program yang dicetuskan oleh Bappeda Kota Palu.
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Tahun 2008 ini, pemerintah telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 4,550 milia di semua kecamatan di Kota Palu. Anggaran sebesar itu digunakan untuk pemberdayaan lingkungan, pemberdayaan sosial dan infrastruktur atau yang dikemas dalam sub program Tri Daya.
"Jadi, anggarannya disalurkan melalui Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM), kata Dharma Gunawan.
Untuk kebijakan lokal, Bappeda Kota Palu telah menerjemahkan kebijakan Peduli Kaum Dhuafa itu dengan menetapkan program PDPM (Program Daerah Pemberdayaan Masyarakat Mandiri).
Implementasinya, kata Ketua Bappeda Dharma Gunawan, tahun 2008 ini pihaknya telah mengalokasikan anggaran sebesar antara Rp 150 juta hingga Rp 200 juta per kelurahan. Saat ini, telah diprogram 43 kelurahan yang akan menerima dana tersebut.
"Kita telah tegaskan bahwa anggaran tersebut, diarahkan untuk mendorong program peduli kaum dhuafa.Dan yang lebih besar lagi adalah upaya mendorong Millenium Development Goal (MDG) di Kota Palu. Jadi, target minimal kita, tahun 2015 nanti, dapat mengurangi separuh angka kemiskinan di Kota Palu" ujar Dharma Gunawan.
Yang menjadi soal kemudian adalah, hingga kini Pemerintah Kota Palu belum memiliki dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) yang dapat diakses berbagi pihak. Pihak Bappeda mengakui, belum adanya dokumen tersebut, karena tidak maksimalnya Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) sebagaimana yang disyaratkan oleh Keputusan Presiden Nomor 54 Tahun 2005.
Secara nasional, tahun 2007 lalu pemerintah telah mengintegrasikan dua program penanggulangan kemiskinan ke dalam PNPM Mandiri, yaitu Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP).
Anggaran untuk dua program tersebut,tercatat sekitar Rp 3,6 triliun dari APBN, Rp 0,8 triliun dari APBD dan hampir Rp 100 milyar kontribusi dari masyarakat. PNPM Mandiri dilaksanakan pada tahun 2007 ini mencakup 2.992
kecamatan di perdesaan dan perkotaan, atau mencakup sekitar lebih 41.000
desa/kelurahan. Rata-rata setiap kecamatan mendapatkan Bantuan Langsung
Masyarakat sekitar Rp 0,5 – 1,5 milyar per kecamatan per tahun.
Penduduk miskin yang dijangkau oleh program ini diharapkan sekitar 21, 92 juta orang atau 5,46 juta kepala keluarga di perdesaan dan sekitar 10 juta orang atau 2,5 juta KK di perkotaan.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa PNPM Mandiri ini dapat menciptakan lapangan kerja baru sekitar sedikitnya 250 lapangan kerja baru/desa/tahun, sehingga potensi lapangan kerja langsung yang diciptakan
oleh program ini sangat besar yaitu sekitar 11 juta orang.
Data Menko Kesra menyebutkan, tahun 2008 ini program-program yang diintegrasikan ke dalam PNPM Mandiri bertambah. Selain PPK atau PNPM-Perdesaan yang dikelola oleh Departemen dalam Negeri dan P2KP atau PNPM-Perkotaan dari Departemen Pekerjaan Umum, maka ditambahkan pula Program Pengembangan Daerah Tertinggal dan Khusus/P2DTK dari Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, Program Pembangunan Infrastruktur Perdesaan/PPIP dari Departemen P.U.
Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan/PUAP dari Departemen Pertanian yang mencakup program ke 10.000 desa pertanian, dan program-program lainnya. Dengan program-program tersebut, maka terdapat anggaran sebesar Rp 13 triliun atau tiga kali lipat dari anggaran Tahun 2007.
Tahun 2008, PNPM Mandiri difokuskan untuk menyelesaikan masalah kesenjangan antardaerah. Oleh karena itu, sebagian besar anggaran
PNPM Mandiri tahun 2008 diberikan ke seluruh desa-desa tertinggal yang belum terlayani oleh program-program sektoral atau sekitar 16.417 desa
tertinggal.
Desa-desa tertinggal ini diberikan dana dengan jumlah dana yang sama yaitu sebesar 250 juta rupiah/desa. Sisanya sekitar 20.000 desa non tertinggal ditangani dengan pola PNPM Mandiri sebagaimana biasa. Jumlah penduduk miskin dan yang tidak mampu yang dapat dicakup langsung oleh PNPM Mandiri pada tahun 2008 ini diperkirakan sekitar 62 juta orang. Dengan meningkatkan anggaran Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) yang dapat mencapai Rp 3 milyar per kecamatan per tahun, maka diperkirakan potensi lapangan kerja
baru yang dapat diciptakan adalah sekitar 14 juta lapangan kerja. ***
Thursday, March 06, 2008
Sentra Produksi Rotan di Palu, Antara Harapan dan Kenyataan
Pemerintah Kota Palu, Sulawesi Tengah, kini sedang gencar-gencarnya merealisasikan obsesi menjadikan pusat industri dan sentra rotan nasional. Obsesi itu karena didorong dengan ketersediaan bahan baku rotan di daerah ini. Berdasarkan data, pasokan rota Kota Palu untuk stok nasional, berkisar antara 50 sampai 60 persen.
Semua jenis rotan berkualitas yang dibutuhkan pasar nasional maupun dunia, tersedia di kota ini. Karena itulah, Pemerintah Kota Palu kemudian menangkapnya sebagai peluang menjadikan pusat industri dan sentra rotan nasional. “Ini peluang yang sangat menjanjikan. Maka sangat menyesal kalau kita tidak memanfaatkannya,” kata Walikota Palu, Rusdy Mastura.
Data dari Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Perindagkop) Kota Palu, menyebutkan Sulawesi Tengah memiliki jenis rotan yang khas (endemik) seperti jenis lambang, barang, tohiti noko, tohiti dan berbagai
jenis lainnya yang diperkirakan berjumlah 12 jenis.
Obsesi itu, tentunya harus didukung dengan berbagai fasilitas yang setidaknya setara dengan daerah sentra industri rotan seperti Cirebon dan Solo. Maka, Pemerintah Kota Palu kemudian membangun kerjasama dengan Departemen Perindustrian RI, untuk mendirikan Pusat Produksi dan Industri Rotan Terpadu (PPIRT). Lokasi itu terletak di Kawasan Industri Kota Palu di Kecamatan Palu Utara. Rabu (5/3), Menteri Perindustrian, Fahmi Idris, telah meresmikan lokasi tersebut.
Bukan hanya itu, Pemerintah dengan segala kemampuannya membuka sebuah jurusan baru di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Palu. Jurusan itu bernama Jurusan Kria Rotan. Tujuannya, agar siswanya dapat belajar ilmu terapan tentang Kria rotan, mulai dari desain pekerjaannya, labelisasi hingga pemasarannya.
Untuk menarik minat agar lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama mau melanjutkan ke SMK Negeri 5 dengan memilih jurusan Kria Rotan, pemerintah menyediakan beasiswa sebesar Rp 450 ribu per tiga bulannya kepada setiap siswa. Kepala Sekolah SMK Negeri Palu, Kasman, kepada ochan sangadji Kamis (6/3) mengatakan, jurusan itu dibangun setahun lalu, kini baru sampai kelas dua. Jumlah siswanya baru berjumlah 75 orang di jurusan tersebut.
“Agar siswanya dapat mahir belajar tentang Kria rotan, kita mendatangkan lima orang tenaga ahli sebagai instruktur bagi para siswa. Tanaga ahli itu didatangkan dari Solo, dan beberapa guru lainnya kita kirim ke Cirebon untuk belajar mengenai desain dan segala yang berhubungan dengan industri rotan,” kata Walikota Palu.
Nazaruddin (16 tahun), siswa Kelas II Jurusan Kria Rotan SMK Negeri 5 Palu mengatakan, ia memilih jurusan Kria Rotan, bukan karena tertarik pada beasiswa yang disediakan pemerintah, tapi lebih pada soal kemudahan membuka lapangan kerja sendiri. “Kelak jika saya sudah selesai, saya akan mudah membuka lapangan usaha sendiri. Dan kalau tidak sanggup, saya dapat bekerja di tempat pembuatan Mebel rotan,” katanya.
Meski belum sanggup sendiri menyelesaikan sebuah kursi, tapi Firdaus mengaku kalau diirinya sudah mampu menganyam dan membuta desain kursi sederhana.
JAMINAN PEMERINTAH
Agar lulusan jurusan Kria Rotan ini dapat terserap dalam dunia industri, selain membangun PPIRT, Pemerintah Kota Palu juga mendirikan sebuah Unit Pelaksana Teknis (UPT) rotan Kota Palu. Fokus pengembangan UPT rotan tersebut, kata Rusdy Mastura, adalah memberikan fasilitas peralatan mesin pengelola rotan, pemasaran, pendidikan dan pelatihan.
Untuk peralatan dan mesin Pemerintah Kota Palu telah mengalokasikan pembangunan dua pabrik dan gudang sebagai fasilitas penunjang untuk menuju perbaikan umum dan pengolahan rotan Sulawesi Tengah.
Kehadiran UPT Rotan ini, akan mengarahkan usaha pada industri barang jadi berbasis home industri (industri rumah tangga). Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Perindagkop) Kota Palu mengatakan, saat ini tercatat ada 15 usaha kerajinan rotan berbasis home industri. Mereka ini diberikan modal kerja berupa perlatan dan pembinaan teknis.
Sedangkan untuk pengembangan dan perbaikan mutu barang jadi, UPT Rotan Kota Palu sedang memfokuskan pada perbaikan sumber daya manusia yang akan menjadi pelaku dunia usaha rotan. “Nah, sumber daya manusia yang nantinya akan menghasilkan Mebel rotan berkualitas terbaik itulah, diharapkan berasal dari keluaran Jurusan Kria Rotan di SMK Negeri 5 Palu itu,” kata Rusdy Mastura.
Harapan itu sejalan dengan pesan yang disampaikan Menteri Perindustrian, Fahmi Idris. Ia mengharapkan, dari Palu nanti akan lahir industri rotan yang berkualitas dan memiliki daya saing tidak hanya di tingkat nasional, tapi juga di pasar dunia. Dan karena itulah, Menteri Perindustrian mengarapkan, kelak Pemerintah Kota Palu harus berusaha sampai pada tingkat labelisasi produk, agar dapat menjadi trade mark yang berkualitas baik.
Bagaimana soal bahan baku? Pemerintah Kota Palu telah memberdayakan para petani rotan di sekitar kawasan Uventumbu, Palu Utara. Tercatat lebih 100 hektar kawasan itu dipenuhi dengan rotan. Pada akhir Maret nanti, para petani setempat akan memanen sedikitnya 600 ton rotan mentah.
Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Perindagkop) Kota a, Aminuddin Aco Seluruhnya rotan yang berasal dari kawasan Uventumbu itu, akan disuplai bagi kebutuhan PPIRT. “Itu dilakukan untuk menjamin ketersediaan bahan baku di PPIRT,” tandas Aminuddin Aco.
Darlan Abdul Samad (57), pemilik Mebel Tora-Tora di Jalan Sungai Lewara Nomor 40, Kelurahan Ujuna Palu Barat, mengatakan, mebel yang dikelolanya itu, dibangun oleh ayahnya sejak tahun 1957. Ia mulai meneruskan usaha ayahnya itu sejak tahun 1973. Tapi, ia merasa tidak pernah bisa berkembang, karena ia kekurangan modal usaha. “Saya tidak punya modal usaha yang banyak. Saya Cuma dibantu peralatan dan pelatihan dari Dinas Perindagkop Palu,” kata Darlan Abdul Samad.
Kini, Darlan memiliki delapan orang tenaga kerja. Omzetnya dalam setiap bulan bisa mencapai Rp 12 juta. Setelah dipotong pengeluaran dengan membayar upah kerja delapan orang karyawan dan membeli bahan baku serta lain-lainnya, ia bisa meraih keuntungan sebesar antara 20 persen hingga 30 persen per bulan. Harga kursi yang dijualnya mulai dari Rp 800 ribu hingga Rp 1,8 juta per satu set kursi tergantung model.
Hasil produksinya, hanya dijual untuk pasar lokal, dan juga bagi pelanggan tetapnya di Bontang, Kalimantan Timur dan Makassar Sulawesi Selatan. Ia mengaku belum sanggup mengekspor dan dijual ke Jawa, karena kekurangan modal. “Kalau cukup modal dan ada pengusaha besar yang bisa menjamin itu, maka saya dan kelompok saya bisa memenuhi permintaan itu,” katanya Darlan Abd. Samad optimistis.
Soal bahan baku, ia mengaku tidak kesulitan. Ia bisa membeli bahan baku dengan mudahnya di Palu. Itu karena kebanyakan ia hanya membeli rotan sisa ekspor dengan harga Rp 4 ribu per kilogram ukuran dua meteran untuk jenis rotan batang kualitas A/B .
TANTANGAN INDUSTRI ROTAN
Tantangan industri rotan di Kota Palu dan di Indonesia secara umum, ada pada soal ekspor bahan baku rotan. Ketua Umum Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI) Hatta Sinatra, mengatakan bahwa kebijakan boleh mengekspor bahan baku rotan, justru membuat masalah baru bagi industri rotan nasional. Dampaknya, justru membuat industri mebel dan kerajinan rotan di ambang kehancuran.
Di Cirebon misalnya, menurut Hatta Sinatra, dari 426 perusahaan rotan, tercatat ada 144 yang sudah tutup. Ada 127 perusahaan hanya mampu mengekspor satu kontainer kerajinan rotan per bulan, 113 perusahaan hanya mampu mengekspor hingga 8 kontainer per bulan, 20 perusahaan hanya bisa menyediakan 8-15 kontainer per bulan, dan 11 perusahaan 15-25 kontainer per bulan.
Sedangkan yang sanggup mengekspor di atas 25 kontainer per bulan hanya 11 perusahaan. Padahal, sebelum ada kebijakan boleh mengeksor bahan baku rotan itu diberlakukan, rata-rata perusahaan kerajinan rotan di Cirebon mampu mengirim sedikitnya 75 hingga 150 kontainer per bulan.
“Semua itu merupakan dampak dibukanya keran ekspor bahan baku rotan itu ke manca negara. Itu artinya, ada kesalahan dalam kebijakan izin ekspor bahan baku rotan tersebut,” tegas Hatta Sinatra.
Aturan boleh mengekspor bahan baku rotan itu, tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 12/M-DAG/Kep/6/2005. Menurut Hatta Sinatra, kebijakan tersebut kemudian menjadi kontra produktif dengan tujuan pencapain target untuk menjadi produsen industri mebel kerajinan rotan terbesar di dunia. Semua itu terjadi, karena bahan baku rotan yang menjadi keunggulan komparatif industri rotan, dapat diakses dengan mudah oleh para pesiang utama seperti China dan Vietnam.
Akibatnya, kata Hatta Sinatra, sejak diberlakukan izin ekspor bahan baku itu, dalam dua tahun terakhir ini, para konsumen manca negara, mulai mengalihkan pembelian mebel rotan ke China dan Vietnam. Kini Indonesia memproduksi 250.000-300.000 ton rotan alam atau 80-85 persen dari produksi dunia.
Ketua DPRD Kota Palu, Andi Mulhanan Tombolotutu menyatakan setuju dengan pihak AMKRI. Ia mengatakan, Pemkot Palu mendirikan sentra produksi rotan di Palu, karena mau menyerap tenaga kerja di bidang itu. Jika izin ekpor bahan baku tidak dicabut, dapat dipastikan akan mempengaruhi penyerapan tenaga kerja tersebut. "Jadi, tidak ada jalan lain, kecuali kebijakan itu harus dipikirkan kembali," kata Mulhanan Tombolotutu.***
Semua jenis rotan berkualitas yang dibutuhkan pasar nasional maupun dunia, tersedia di kota ini. Karena itulah, Pemerintah Kota Palu kemudian menangkapnya sebagai peluang menjadikan pusat industri dan sentra rotan nasional. “Ini peluang yang sangat menjanjikan. Maka sangat menyesal kalau kita tidak memanfaatkannya,” kata Walikota Palu, Rusdy Mastura.
Data dari Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Perindagkop) Kota Palu, menyebutkan Sulawesi Tengah memiliki jenis rotan yang khas (endemik) seperti jenis lambang, barang, tohiti noko, tohiti dan berbagai
jenis lainnya yang diperkirakan berjumlah 12 jenis.
Obsesi itu, tentunya harus didukung dengan berbagai fasilitas yang setidaknya setara dengan daerah sentra industri rotan seperti Cirebon dan Solo. Maka, Pemerintah Kota Palu kemudian membangun kerjasama dengan Departemen Perindustrian RI, untuk mendirikan Pusat Produksi dan Industri Rotan Terpadu (PPIRT). Lokasi itu terletak di Kawasan Industri Kota Palu di Kecamatan Palu Utara. Rabu (5/3), Menteri Perindustrian, Fahmi Idris, telah meresmikan lokasi tersebut.
Bukan hanya itu, Pemerintah dengan segala kemampuannya membuka sebuah jurusan baru di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Palu. Jurusan itu bernama Jurusan Kria Rotan. Tujuannya, agar siswanya dapat belajar ilmu terapan tentang Kria rotan, mulai dari desain pekerjaannya, labelisasi hingga pemasarannya.
Untuk menarik minat agar lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama mau melanjutkan ke SMK Negeri 5 dengan memilih jurusan Kria Rotan, pemerintah menyediakan beasiswa sebesar Rp 450 ribu per tiga bulannya kepada setiap siswa. Kepala Sekolah SMK Negeri Palu, Kasman, kepada ochan sangadji Kamis (6/3) mengatakan, jurusan itu dibangun setahun lalu, kini baru sampai kelas dua. Jumlah siswanya baru berjumlah 75 orang di jurusan tersebut.
“Agar siswanya dapat mahir belajar tentang Kria rotan, kita mendatangkan lima orang tenaga ahli sebagai instruktur bagi para siswa. Tanaga ahli itu didatangkan dari Solo, dan beberapa guru lainnya kita kirim ke Cirebon untuk belajar mengenai desain dan segala yang berhubungan dengan industri rotan,” kata Walikota Palu.
Nazaruddin (16 tahun), siswa Kelas II Jurusan Kria Rotan SMK Negeri 5 Palu mengatakan, ia memilih jurusan Kria Rotan, bukan karena tertarik pada beasiswa yang disediakan pemerintah, tapi lebih pada soal kemudahan membuka lapangan kerja sendiri. “Kelak jika saya sudah selesai, saya akan mudah membuka lapangan usaha sendiri. Dan kalau tidak sanggup, saya dapat bekerja di tempat pembuatan Mebel rotan,” katanya.
Meski belum sanggup sendiri menyelesaikan sebuah kursi, tapi Firdaus mengaku kalau diirinya sudah mampu menganyam dan membuta desain kursi sederhana.
JAMINAN PEMERINTAH
Agar lulusan jurusan Kria Rotan ini dapat terserap dalam dunia industri, selain membangun PPIRT, Pemerintah Kota Palu juga mendirikan sebuah Unit Pelaksana Teknis (UPT) rotan Kota Palu. Fokus pengembangan UPT rotan tersebut, kata Rusdy Mastura, adalah memberikan fasilitas peralatan mesin pengelola rotan, pemasaran, pendidikan dan pelatihan.
Untuk peralatan dan mesin Pemerintah Kota Palu telah mengalokasikan pembangunan dua pabrik dan gudang sebagai fasilitas penunjang untuk menuju perbaikan umum dan pengolahan rotan Sulawesi Tengah.
Kehadiran UPT Rotan ini, akan mengarahkan usaha pada industri barang jadi berbasis home industri (industri rumah tangga). Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Perindagkop) Kota Palu mengatakan, saat ini tercatat ada 15 usaha kerajinan rotan berbasis home industri. Mereka ini diberikan modal kerja berupa perlatan dan pembinaan teknis.
Sedangkan untuk pengembangan dan perbaikan mutu barang jadi, UPT Rotan Kota Palu sedang memfokuskan pada perbaikan sumber daya manusia yang akan menjadi pelaku dunia usaha rotan. “Nah, sumber daya manusia yang nantinya akan menghasilkan Mebel rotan berkualitas terbaik itulah, diharapkan berasal dari keluaran Jurusan Kria Rotan di SMK Negeri 5 Palu itu,” kata Rusdy Mastura.
Harapan itu sejalan dengan pesan yang disampaikan Menteri Perindustrian, Fahmi Idris. Ia mengharapkan, dari Palu nanti akan lahir industri rotan yang berkualitas dan memiliki daya saing tidak hanya di tingkat nasional, tapi juga di pasar dunia. Dan karena itulah, Menteri Perindustrian mengarapkan, kelak Pemerintah Kota Palu harus berusaha sampai pada tingkat labelisasi produk, agar dapat menjadi trade mark yang berkualitas baik.
Bagaimana soal bahan baku? Pemerintah Kota Palu telah memberdayakan para petani rotan di sekitar kawasan Uventumbu, Palu Utara. Tercatat lebih 100 hektar kawasan itu dipenuhi dengan rotan. Pada akhir Maret nanti, para petani setempat akan memanen sedikitnya 600 ton rotan mentah.
Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Perindagkop) Kota a, Aminuddin Aco Seluruhnya rotan yang berasal dari kawasan Uventumbu itu, akan disuplai bagi kebutuhan PPIRT. “Itu dilakukan untuk menjamin ketersediaan bahan baku di PPIRT,” tandas Aminuddin Aco.
Darlan Abdul Samad (57), pemilik Mebel Tora-Tora di Jalan Sungai Lewara Nomor 40, Kelurahan Ujuna Palu Barat, mengatakan, mebel yang dikelolanya itu, dibangun oleh ayahnya sejak tahun 1957. Ia mulai meneruskan usaha ayahnya itu sejak tahun 1973. Tapi, ia merasa tidak pernah bisa berkembang, karena ia kekurangan modal usaha. “Saya tidak punya modal usaha yang banyak. Saya Cuma dibantu peralatan dan pelatihan dari Dinas Perindagkop Palu,” kata Darlan Abdul Samad.
Kini, Darlan memiliki delapan orang tenaga kerja. Omzetnya dalam setiap bulan bisa mencapai Rp 12 juta. Setelah dipotong pengeluaran dengan membayar upah kerja delapan orang karyawan dan membeli bahan baku serta lain-lainnya, ia bisa meraih keuntungan sebesar antara 20 persen hingga 30 persen per bulan. Harga kursi yang dijualnya mulai dari Rp 800 ribu hingga Rp 1,8 juta per satu set kursi tergantung model.
Hasil produksinya, hanya dijual untuk pasar lokal, dan juga bagi pelanggan tetapnya di Bontang, Kalimantan Timur dan Makassar Sulawesi Selatan. Ia mengaku belum sanggup mengekspor dan dijual ke Jawa, karena kekurangan modal. “Kalau cukup modal dan ada pengusaha besar yang bisa menjamin itu, maka saya dan kelompok saya bisa memenuhi permintaan itu,” katanya Darlan Abd. Samad optimistis.
Soal bahan baku, ia mengaku tidak kesulitan. Ia bisa membeli bahan baku dengan mudahnya di Palu. Itu karena kebanyakan ia hanya membeli rotan sisa ekspor dengan harga Rp 4 ribu per kilogram ukuran dua meteran untuk jenis rotan batang kualitas A/B .
TANTANGAN INDUSTRI ROTAN
Tantangan industri rotan di Kota Palu dan di Indonesia secara umum, ada pada soal ekspor bahan baku rotan. Ketua Umum Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI) Hatta Sinatra, mengatakan bahwa kebijakan boleh mengekspor bahan baku rotan, justru membuat masalah baru bagi industri rotan nasional. Dampaknya, justru membuat industri mebel dan kerajinan rotan di ambang kehancuran.
Di Cirebon misalnya, menurut Hatta Sinatra, dari 426 perusahaan rotan, tercatat ada 144 yang sudah tutup. Ada 127 perusahaan hanya mampu mengekspor satu kontainer kerajinan rotan per bulan, 113 perusahaan hanya mampu mengekspor hingga 8 kontainer per bulan, 20 perusahaan hanya bisa menyediakan 8-15 kontainer per bulan, dan 11 perusahaan 15-25 kontainer per bulan.
Sedangkan yang sanggup mengekspor di atas 25 kontainer per bulan hanya 11 perusahaan. Padahal, sebelum ada kebijakan boleh mengeksor bahan baku rotan itu diberlakukan, rata-rata perusahaan kerajinan rotan di Cirebon mampu mengirim sedikitnya 75 hingga 150 kontainer per bulan.
“Semua itu merupakan dampak dibukanya keran ekspor bahan baku rotan itu ke manca negara. Itu artinya, ada kesalahan dalam kebijakan izin ekspor bahan baku rotan tersebut,” tegas Hatta Sinatra.
Aturan boleh mengekspor bahan baku rotan itu, tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 12/M-DAG/Kep/6/2005. Menurut Hatta Sinatra, kebijakan tersebut kemudian menjadi kontra produktif dengan tujuan pencapain target untuk menjadi produsen industri mebel kerajinan rotan terbesar di dunia. Semua itu terjadi, karena bahan baku rotan yang menjadi keunggulan komparatif industri rotan, dapat diakses dengan mudah oleh para pesiang utama seperti China dan Vietnam.
Akibatnya, kata Hatta Sinatra, sejak diberlakukan izin ekspor bahan baku itu, dalam dua tahun terakhir ini, para konsumen manca negara, mulai mengalihkan pembelian mebel rotan ke China dan Vietnam. Kini Indonesia memproduksi 250.000-300.000 ton rotan alam atau 80-85 persen dari produksi dunia.
Ketua DPRD Kota Palu, Andi Mulhanan Tombolotutu menyatakan setuju dengan pihak AMKRI. Ia mengatakan, Pemkot Palu mendirikan sentra produksi rotan di Palu, karena mau menyerap tenaga kerja di bidang itu. Jika izin ekpor bahan baku tidak dicabut, dapat dipastikan akan mempengaruhi penyerapan tenaga kerja tersebut. "Jadi, tidak ada jalan lain, kecuali kebijakan itu harus dipikirkan kembali," kata Mulhanan Tombolotutu.***
Tuesday, March 04, 2008
Pemkot Kembangkan Urban Forestry
Pemerintah Kota Palu segera mengembangkan hutan perkotaan (urban forestry) seluas 500 hektar. Hutan tersebut tersebar di Palu Utara, Palu Selatan, Palu Barat dan Palu Timur. Ketua DPRD Kota Palu, Mulhanan Tombolotutu mengatakan, pengembangan hutan perkotaan itu dilaksanakan atas kerjasama Partnership for Governance Reform dan Sulawesi Community Foundation.
Hutan Kota Palu itu, kata Mulhanan Tombolotutu, merupakan hutan penyangga berbasis multi stakeholder yang dikerjakan bersama pemerintah, swasta dan masyarakat, yang diharapkan nantinya akan menjadi kawasan objek wisata, hutan produktif dan pusat studi lingkungan.
“Saat ini kita sudah membentuk tim untuk menyusun konsep yang tepat sekaligus menentukan berapa anggaran yang dibutuhkan dalam pengembangan hutan perkotaan itu,” kata Mulhanan Tombolotutu.
Direktur Eksekutif Sulawesi Community Foundation, Muhammad Rifai, kepada The Jakarta Post, Selasa (4/3) mengatakan bahwa hanya ada dua daerah di Indonesia yang menjadi pilot project dalam pengembangan hutan perkotaan ini, yaitu Kota Palu dan Yogyakarta.
Kota Palu, kata Muhammad Rifai, sangat relevan untuk pengembangan program urban forestry, karena memiliki berbagai prasyarat program seperti struktur geografi dan keadaan wilayah, sumber daya yang tersedia (orang maupun alam) serta perhatian dan komitmen yang besar terhadap bidang hutan dan kehutanaan perkotaan.
“Karena itulah, kita berharap program urban forestry ini akan memberikan dampak yang tidak hanya pada keberlanjutan lingkungan hidup, tapi juga dapat memberikan nilai ekonomi (income generate) bagi masyarakat dan Pemerintah Kota Palu,” kata Muhammad Rifai.
Data Pemerintah Kota Palu menyebutkan, Kota Palu kawasan lindung mencakup lahan hutan Suaka Alam dan Wisata (HSAW) seluas 5.789 Ha (14,6 persen) dan hutan lindung seluas 7.141 Ha (18,08 persen). Kawasan budidaya mencakup Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 4.376 Ha (11,08 persen) dan Areal Penggunaan Lain (APL) seluas 22.200 Ha (56,19 persen).
Informasi geografis lainnya, menyebutkan bahwa Kota Palu memiliki potensi teluk (pesisir) seluas kurang lebih 10 persen dari luas wilayah daratan, dan secara geografis memiliki letak yang sangat ideal karena mengarah ke Selat Makassar sebagai jalur transportasi laut internasional dan panjang garis pantai yang mengelilingi teluk sepanjang kurang lebih 50 Km dari arah Utara ke Barat.
Sebagai daerah tropis, Kota Palu memiliki dua musim yang berpengaruh secara tetap yaitu musim kemarau (musim Timur) pada bulan April sampai dengan bulan September dan musim hujan (musim Barat) pada bulan Oktober sampai dengan bulan Maret, curah hujan berkisar antara 400-1250 milimeter per tahun.
Kedudukan Kota Palu yang diapit oleh bukit-bukit dan pantai sehingga Kota Palu dapat dikategorikan sebagai Kota Lembah. Berdasarkan kondisi tersebut di atas, maka suhu udara dipengaruhi oleh udara pegunungan dan udara pantai yang berakibat pada terdapatnya perbedaan suhu antar wilayah yang dipengaruhi oleh suhu pegunungan berkisar antara 250 derajat celcius hingga 310 deratajt celcius. Sedangkan wilayah yang dipengaruhi oleh suhu pantai berkisar antara 310–370 derajat dengan kelembaban berkisar antara 70 –86 persen.
Berdasarkan kondisi geografisnya, Kota Palu berada di tengah wilayah Kabupaten Donggala, tepatnya di bibir Teluk Palu yang memanjang dari arah Timur ke Barat, terletak pada posisi geografis 119045’–120001’ Bujur Timur dan 0036’–0056’ Lintang Selatan. Luas wilayah Kota Palu adalah 395,06 Km2 atau 39.506 Ha, yang terdiri dari empat kecamatan dan 43 kelurahan. ***
Hutan Kota Palu itu, kata Mulhanan Tombolotutu, merupakan hutan penyangga berbasis multi stakeholder yang dikerjakan bersama pemerintah, swasta dan masyarakat, yang diharapkan nantinya akan menjadi kawasan objek wisata, hutan produktif dan pusat studi lingkungan.
“Saat ini kita sudah membentuk tim untuk menyusun konsep yang tepat sekaligus menentukan berapa anggaran yang dibutuhkan dalam pengembangan hutan perkotaan itu,” kata Mulhanan Tombolotutu.
Direktur Eksekutif Sulawesi Community Foundation, Muhammad Rifai, kepada The Jakarta Post, Selasa (4/3) mengatakan bahwa hanya ada dua daerah di Indonesia yang menjadi pilot project dalam pengembangan hutan perkotaan ini, yaitu Kota Palu dan Yogyakarta.
Kota Palu, kata Muhammad Rifai, sangat relevan untuk pengembangan program urban forestry, karena memiliki berbagai prasyarat program seperti struktur geografi dan keadaan wilayah, sumber daya yang tersedia (orang maupun alam) serta perhatian dan komitmen yang besar terhadap bidang hutan dan kehutanaan perkotaan.
“Karena itulah, kita berharap program urban forestry ini akan memberikan dampak yang tidak hanya pada keberlanjutan lingkungan hidup, tapi juga dapat memberikan nilai ekonomi (income generate) bagi masyarakat dan Pemerintah Kota Palu,” kata Muhammad Rifai.
Data Pemerintah Kota Palu menyebutkan, Kota Palu kawasan lindung mencakup lahan hutan Suaka Alam dan Wisata (HSAW) seluas 5.789 Ha (14,6 persen) dan hutan lindung seluas 7.141 Ha (18,08 persen). Kawasan budidaya mencakup Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 4.376 Ha (11,08 persen) dan Areal Penggunaan Lain (APL) seluas 22.200 Ha (56,19 persen).
Informasi geografis lainnya, menyebutkan bahwa Kota Palu memiliki potensi teluk (pesisir) seluas kurang lebih 10 persen dari luas wilayah daratan, dan secara geografis memiliki letak yang sangat ideal karena mengarah ke Selat Makassar sebagai jalur transportasi laut internasional dan panjang garis pantai yang mengelilingi teluk sepanjang kurang lebih 50 Km dari arah Utara ke Barat.
Sebagai daerah tropis, Kota Palu memiliki dua musim yang berpengaruh secara tetap yaitu musim kemarau (musim Timur) pada bulan April sampai dengan bulan September dan musim hujan (musim Barat) pada bulan Oktober sampai dengan bulan Maret, curah hujan berkisar antara 400-1250 milimeter per tahun.
Kedudukan Kota Palu yang diapit oleh bukit-bukit dan pantai sehingga Kota Palu dapat dikategorikan sebagai Kota Lembah. Berdasarkan kondisi tersebut di atas, maka suhu udara dipengaruhi oleh udara pegunungan dan udara pantai yang berakibat pada terdapatnya perbedaan suhu antar wilayah yang dipengaruhi oleh suhu pegunungan berkisar antara 250 derajat celcius hingga 310 deratajt celcius. Sedangkan wilayah yang dipengaruhi oleh suhu pantai berkisar antara 310–370 derajat dengan kelembaban berkisar antara 70 –86 persen.
Berdasarkan kondisi geografisnya, Kota Palu berada di tengah wilayah Kabupaten Donggala, tepatnya di bibir Teluk Palu yang memanjang dari arah Timur ke Barat, terletak pada posisi geografis 119045’–120001’ Bujur Timur dan 0036’–0056’ Lintang Selatan. Luas wilayah Kota Palu adalah 395,06 Km2 atau 39.506 Ha, yang terdiri dari empat kecamatan dan 43 kelurahan. ***
Keindahan Suatu Sore di Kota Palu
Matahari sebentar lagi akan tenggelam di peraduannya. Cahaya jingga kekuningan memantul di permukaan Teluk Palu. Air laut di teluk itu pun berubah warna mengikuti keinginan sang surya yang sebentar lagi akan tenggelam di balik gugusan pegunungan Gawalise itu.
Seorang pria berusia 23 tahun, Kassa Anusirwan Karman, duduk berpisah dari sekelompok orang di sudut jembatan itu. Ia termenung sendiri, memuji keindahan terbenamnya matahari di Kota Palu. "Ah...sungguh indah. Betapa besar karunia Tuhan," katanya dengan suara lirih tapi terdengar begitu jelas.
Hari itu, Minggu (2/3), Kassa Anusirwan Karman dan warga Kota Palu lainnya, sedang bersantai di Jembatan Teluk Palu. Sebuah jembatan megah yang dibangun dengan anggaran Rp 57 Miliar itu, diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 2 Mei 2007 silam.
Kini jembatan Teluk Palu itu tidak hanya sekadar menjadi icon Kota Palu, tapi juga sudah menjadi obyek wisata baru di kota ini. Dan karena keindahan itulah, Walikota Palu, Rusdy Mastura memuji keindahan itu dengan mengatakan: "Palu is a piece of paradise" (Palu sepotong surga di katulistiwa). Kebanggaan dia terhadap kotanya itu, karena menggambarkan sebuah kota dengan space town terunik dan terlengkap di dunia.
Rony Hasan, salah seorang warga keturunan china pun memuji keindahan itu. Ia menyatakan sepakat dengan Walikota Palu itu. "Ah...indah, sangat indah kota ini. Keindahan itu membuat hati kita menjadi teduh," katanya.
Setiap sore, warga Kota Palu selalu mengikuti ritual terbenamnya matahari dari atas Jembatan Teluk Palu itu. Jumlah orang makin bertambah pada hari Sabtu dan Minggu sore. Mereka sengaja datang ke jembatan yang memisahkan Palu Timur dan Palu Barat itu, hanya sekadar menikmati keindahannya panorama saat terbenamnya matahari dan indahnya konstruksi jembatan Teluk Palu tersebut.
Di jembatan itu, memang sengaja dibuat dua buah untuk berdiri menikmati keindahan itu. Tempat itu luasnya hanya 10 x 2 meter yang berada di sisi utara dan selatan. Dari situlah orang bisa berdiri dengan santainya. Jika berada di sisi selatan, sudah pasti warga akan dimanjakan indahnya gugusan pegunungan gawalise.
Dan jika berada di sisi utara, warga akan menikmati keindahan terbenamnya sang surya di peraduan. Warga juga dapat menikmati keindahan pegunungan yang seakan mengelilingi Teluk Palu. Memang sangat lengkap pemandangan itu. Seorang pengusaha asal Makassar itu mengaku sangat langka menikmati lengkapnya pemandangan itu.
"Saya bisa menikmati laut dan gunung sekaligus. Pantas saja kalau kota ini disebut sebagai kota empat dimensi, karena ada teluk, gunung, sungai yang membelah kota dan laut," ujarnya.
Matahari telah terbenam. Azan magrib mulai terdengar jelas dari masjid kantor Samsat Polda Sulawesi Tengah. Langit yang tadinya biru berubah menjadi gelap. Laut yang sebelumnya berwarna kuning keemasan, berubah menjadi cahaya lampu yang berjejer rapi. Itulah pemandangan ketika para nelayan tradisional sedang mencari ikan di Teluk Palu.
Tapi, keindahan itu belum juga berakhir. Kassa Anusirwan Karman yang tadinya menyendiri di sisi utara jembatan, berpindah ke lagi ke sisi selatan. Apa yang dilakukannya, ternyata ia mau menikmati indah lampu berwarna warni yang berderet rapi di atas pegunungan gawalise. Maklum, di gunung itu ada pemukiman dan ada sebuah rumah mewah. Di malam hari, rumah itu tampak seperti kapal penumpang Pelni yang sedang merapat di pelabuhan.
Sekitar 300 meter arah timur di waktu malam, mulailah terdengar hiruk pikuk para pejabat, kependekan dari pedagang jagung bakar talise. Setelah capek berlama-lama di jembatan itu, kita pun dapat menikmati manisnya jagung bakar dan pisang gepe bakar---pisang yang dibakar lalu dipres.
Dua jenis makanan itu paling cocok jika diminum dengan saraba, minuman yang mirip bandrek---terbuat dari air dicampur dengan gula merah, santan, jahe dan susu. Paling tepat diminum untuk menghangatkan badan setelah berdingin-dingin di atas jembatan Teluk Palu.
Sedangkan di sebelah barat jembatan, berjejer para pedagang kecil yang menjual aneka penganan dan minuman. Tempat itu bernama Taman Ria Palu. Setiap malam, warga kota melepas lelah di tempat itu.
Keindahan Kota Palu itu dapat dinikmati dengan sangat mudah. Semua bisa datang dan tak perlu takut untuk berkunjung. Selain akses transportasi yang gampang, masyarakat kota juga sangat ramah menyambut tamunya. Silakan datang dan nikmati keindahan itu. ***
Seorang pria berusia 23 tahun, Kassa Anusirwan Karman, duduk berpisah dari sekelompok orang di sudut jembatan itu. Ia termenung sendiri, memuji keindahan terbenamnya matahari di Kota Palu. "Ah...sungguh indah. Betapa besar karunia Tuhan," katanya dengan suara lirih tapi terdengar begitu jelas.
Hari itu, Minggu (2/3), Kassa Anusirwan Karman dan warga Kota Palu lainnya, sedang bersantai di Jembatan Teluk Palu. Sebuah jembatan megah yang dibangun dengan anggaran Rp 57 Miliar itu, diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 2 Mei 2007 silam.
Kini jembatan Teluk Palu itu tidak hanya sekadar menjadi icon Kota Palu, tapi juga sudah menjadi obyek wisata baru di kota ini. Dan karena keindahan itulah, Walikota Palu, Rusdy Mastura memuji keindahan itu dengan mengatakan: "Palu is a piece of paradise" (Palu sepotong surga di katulistiwa). Kebanggaan dia terhadap kotanya itu, karena menggambarkan sebuah kota dengan space town terunik dan terlengkap di dunia.
Rony Hasan, salah seorang warga keturunan china pun memuji keindahan itu. Ia menyatakan sepakat dengan Walikota Palu itu. "Ah...indah, sangat indah kota ini. Keindahan itu membuat hati kita menjadi teduh," katanya.
Setiap sore, warga Kota Palu selalu mengikuti ritual terbenamnya matahari dari atas Jembatan Teluk Palu itu. Jumlah orang makin bertambah pada hari Sabtu dan Minggu sore. Mereka sengaja datang ke jembatan yang memisahkan Palu Timur dan Palu Barat itu, hanya sekadar menikmati keindahannya panorama saat terbenamnya matahari dan indahnya konstruksi jembatan Teluk Palu tersebut.
Di jembatan itu, memang sengaja dibuat dua buah untuk berdiri menikmati keindahan itu. Tempat itu luasnya hanya 10 x 2 meter yang berada di sisi utara dan selatan. Dari situlah orang bisa berdiri dengan santainya. Jika berada di sisi selatan, sudah pasti warga akan dimanjakan indahnya gugusan pegunungan gawalise.
Dan jika berada di sisi utara, warga akan menikmati keindahan terbenamnya sang surya di peraduan. Warga juga dapat menikmati keindahan pegunungan yang seakan mengelilingi Teluk Palu. Memang sangat lengkap pemandangan itu. Seorang pengusaha asal Makassar itu mengaku sangat langka menikmati lengkapnya pemandangan itu.
"Saya bisa menikmati laut dan gunung sekaligus. Pantas saja kalau kota ini disebut sebagai kota empat dimensi, karena ada teluk, gunung, sungai yang membelah kota dan laut," ujarnya.
Matahari telah terbenam. Azan magrib mulai terdengar jelas dari masjid kantor Samsat Polda Sulawesi Tengah. Langit yang tadinya biru berubah menjadi gelap. Laut yang sebelumnya berwarna kuning keemasan, berubah menjadi cahaya lampu yang berjejer rapi. Itulah pemandangan ketika para nelayan tradisional sedang mencari ikan di Teluk Palu.
Tapi, keindahan itu belum juga berakhir. Kassa Anusirwan Karman yang tadinya menyendiri di sisi utara jembatan, berpindah ke lagi ke sisi selatan. Apa yang dilakukannya, ternyata ia mau menikmati indah lampu berwarna warni yang berderet rapi di atas pegunungan gawalise. Maklum, di gunung itu ada pemukiman dan ada sebuah rumah mewah. Di malam hari, rumah itu tampak seperti kapal penumpang Pelni yang sedang merapat di pelabuhan.
Sekitar 300 meter arah timur di waktu malam, mulailah terdengar hiruk pikuk para pejabat, kependekan dari pedagang jagung bakar talise. Setelah capek berlama-lama di jembatan itu, kita pun dapat menikmati manisnya jagung bakar dan pisang gepe bakar---pisang yang dibakar lalu dipres.
Dua jenis makanan itu paling cocok jika diminum dengan saraba, minuman yang mirip bandrek---terbuat dari air dicampur dengan gula merah, santan, jahe dan susu. Paling tepat diminum untuk menghangatkan badan setelah berdingin-dingin di atas jembatan Teluk Palu.
Sedangkan di sebelah barat jembatan, berjejer para pedagang kecil yang menjual aneka penganan dan minuman. Tempat itu bernama Taman Ria Palu. Setiap malam, warga kota melepas lelah di tempat itu.
Keindahan Kota Palu itu dapat dinikmati dengan sangat mudah. Semua bisa datang dan tak perlu takut untuk berkunjung. Selain akses transportasi yang gampang, masyarakat kota juga sangat ramah menyambut tamunya. Silakan datang dan nikmati keindahan itu. ***
Menikmati Kehidupan di Palu
Palu, dalam bahasa Indonesia berarti martil. Mungkin dengan begitu, orang bisa saja beranggapan bahwa masyarakat di kota ini identik dengan karakter yang keras. Tapi ternyata, begitu kita menginjakkan kaki di kota yang dikenal dengan sebutan Bumi Tadulako ini, maka kesan kasar itu tak terlihat sama sekali.
Masyarakatnya begitu ramah, sangat bersahabat dan terkenal menjunjung tinggi sikap setia kawan. Paling tidak, itulah yang diakui beberapa tamu yang berkunjung ke kota yang berpenduduk sekitar 300 ribu jiwa ini.
Entah dari mana nama itu terinspirasi menjadi nama kota. Belum ada penelitian ilmiah yang menjelaskan kenapa nama kota ini adalah Palu. Tapi, dari penuturan beberapa orang tua di Palu, mengatakan bahwa Palu itu adalah nama pohon yang tempo dulu banyak tumbuh di pesisir dan sekitar muara sungai yang membelah kota ini.
Konon, ketika itu, para pelaut dan pedagang asal Bugis, Makassar dan Mandar yang hendak berniaga ke daerah ini, selalu mengasoh di bawah rindangnya pohon palu itu. Bahkan, mereka mereka membuat pondok kayu untuk menginap di bawah pohon palu itu. Tapi, pohon palu itu kini telah musnah, tidak diketahui lagi jenis pohonnya seperti apa.
"Jadi, ketika para pelaut dan pedagang itu ditanya hendak ke mana, mereka akan menjawab ke Palu. Nah, dari situlah sehingga nama Palu pun menjadi nama kota ini," kata Rusdy Mastura, walikota Palu.
Dari situs http:///sulteng.go.id tertulis bahwa dulunya Palu adalah kota kecil sebagai pusat Kerajaan Palu. Daerah ini merupakan peninggalan penjajahan Belanda yang terbagi atas onder Afdeling (wilayah kekuasaan) dengan tiga landschap yakni, Landschap Palu terdiri dari Distrik Palu Timur, Distrik Palu Tengah dan Distrik Palu Barat. Landschap Kulawi dan Landschap Sigi Dolo.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 tahun 1950, Pemerintah Pusat kemudian menetapkan Wilayah Daerah Sulawesi Tengah dengan Ibukota Poso sedang Palu hanya tempat kedudukan Kepala Pemerintahan Negeri (KPN) setingkat Wedana.
Di tahun 1957 status Kota Palu menjadi Ibukota Keresidenan Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah terbentuk melalui UU Nomor 13 tahun 1964 dengan Kota Palu sebagai Ibukota Provinsi Dati I Sulawesi Tengah.
Tahun 1978 melalui PP Nomor 18, Kota Palu ditetapkan menjadi Kota Administratif dan selanjutnya melalui UU Nomor 4 tahun 1994 berubah status menjadi Kotamadya Dati II Palu dengan Wilayah Kota Administratif Palu. Kini, Kota Palu terdiri dari empat Kecamatan yaitu, Kecamatan Palu Utara, Palu Timur, Palu Barat dan Kecamatan Palu Selatan. Wilayah-wilayah ini, dipisahkan oleh sebuah sungai yang airnya mengalir deras dengan empat buah jembatan panjang berukuran sekitar 500 meter.
Dulunya, Kota Palu begitu sepi. Dapat dipastikan tamu tidak akan betah kalau berlama-lama menginap di Palu. Tapi kini, kota ini benar-benar sudah berubah. Kota ini sudah mulai berdandan. Cafe dan resto tumbuh di mana-mana. Hotel dan penginapan juga tumbuh di mana-mana. Pokoknya, dai waktu ke waktu kota ini terus berkembang. Ke mana-mana sangat mudah dijangkau dan hanya dalam hitungan menit, karena tanpa kemacetan seperti di kota-kota besar.
Kota ini juga sangat indah. Ada laut, teluk, gunung dan sungai yang membelah kota. Lantaran itu, Ketua DPRD Kota Palu, Mulhanan Tombolotutu menyebutnya dengan Kota Empat Dimensi. “Kota ini sangat lengkap. Makanya saya menyebutnya dengan Kota Empat Dimensi,” katanya.
ADA PEJABAT, UTA DADA DAN SARABA
Kalau sudah berada di Palu, di mana kita akan menghibur diri, bersantai dan bersantap malam. Pertanyaan itu selalu keluar dari mulut tamu yang datang ke Palu. Dulu, di akhir tahun 1990-an, memang terasa sulit menjawab semua pertanyaan itu. Tapi sekarang, pertanyaan itu akan sangat mudah dijawab.
Jika kita mau menghibur diri dengan dentuman musik keras, kita bisa jalan-jalan ke Space Bar and Resto. Lokasinya hanya sekitar 1 kilometer arah barat Bandara Mutiara Palu. Atau bisa juga ke Planet Palu yang oleh anak-anak muda Palu menyebutnya dengan P-2. Di sini, kita akan dihibur dengan grup band dari Jakarta atau Bandung. Bahkan, di setiap malam Kamis, kita akan menikmati tarian yang sedikit “panas” atau sedikit berani oleh para dancer dari luar Palu. Sudah dapat dipastikan, tempat yang baru mulai beroperasi di atas pukul 10 malam ini, banyak juga dikunjungi oleh perempuan malam yang muda-muda asal Manado dan Jawa.
“Kita tidak perempuan-perempuan untuk menemani tamu. Tapi mereka memang selalu datang ke sini. Jadi, kalau ada tamu yang mengajak kencan mereka, yah itu di luar kontrol kita,” kata Uci Tambing, humas Space Bar.
Sebelumnya, jika kita mau makan malam, di Kota Palu banyak menyediakan restoran kelas bawah hingga kelas atas. Rata-rata restoran-restoran itu menyediakan menu ikan bakar, cumi bakar dan goreng, kepiting, udang, lobster dan macam-macam sea food yang segar. Sebut saja misalnya Restoran Kampung Nelayan, Restoran Taman Ria, Restoran Silae Beach dan beberapa restoran lainnya.
Kalau kita mau menyantap hidangan ala Eropa, Restoran Maestro di kawsan Bumi Sagu Palu adalah jawabannya. Pemilik restoran ini adalah warga keturunan Jerman. Dan kalau kita mau makan malam sambil menikmati terangnya Kota Palu di waktu malam, Restoran Panorama yang berada di atas bukit Kawatuna menjadi tempat terbaik untuk itu.
Lantas, ke mana kalau kita mau menikmati menu tradisional. Dengan kendaraan dalam jarak yang hanya sekitar 20 menit ke arah barat, kita bisa mencoba makanan khas Kaili---suku asli di Palu---yang terletak di Dusun Padanjese, Kelurahan Donggala Kodi. Di sini semuanya serba tradisional.
Warga setempat menyediakan menu seperti Uta Dada (mirip opor ayam bagi orang Jawa) yang disantap dengan ketupat. Jangan dibayangkan kita akan duduk di kursi seperti umumnya di restoran mewah. Di sini benar-benar tradisional. Tempat duduknya berupa bangku yang terbuat dari bambu yang dibuat seadanya dan hanya berlantai tanah. Tapi, tempatnya begitu bersih sehingga tidak mengganggu selera makan. Dapat dipastikan, orang yang makan malam di tempat itu akan berkeringat karena makanannya sedikit pedas.
Agak sedikit keluar dari Kota Palu di arah selatan, kita bisa menikmati menu ayam bakar rica yang dihidangkan dengan ketupat dan uta dada. Lokasinya berada di sudut pasar Biromaru. Uniknya, tempat ini hanya dibuka sekali seminggu, atau tepatnya di malam Jumat. Sejarahnya, pasar Biromaru itu hanya dibuka sekali seminggu. Para pedagang mulai berdatangan membuka lapak-lapak sejak Kamis sore, sehingga malamnya mereka harus makan. Warga setempat kemudian membuka warung makan yang menunya hanya ayam bakar rica-rica, uta dada dan ketupat. Jangan harap kita akan menemukan nasi di tempat itu.
Setelah menyantap makan malam, kita masih boleh bersantai di bibir Teluk Palu. Sebuah kawasan mirip Boulevard di Manado atau Losarinya Makassar ini, menjadi pilihan bersantai di waktu malam. Di sini banyak Pejabat atau Pedagang Jagung Bakar Talise dengan minuman khas mirip wedang jahe yang diberi nama Saraba. Kawasan ini memanjang sekitar 5 kilometer. Jika sedang musim durian seperti sekarang ini, maka akan sangat mudah kita bisa menyantap jagung bakar manis yang hangat, saraba yang hangat dan juga bisa membeli durian dengan harga yang sangat murah.
DPRD TINGKAT III
RIBUT tapi mengasyikan..... obrolan ngalor-ngidul, serius, ringan, ngoceh, diskusi dengan berbagai topik. Mulai dari dari isu di tingkat Rukun Tetangga, sampai soal isu internasional yang mereka tonton di tivi dan baca di koran dan majalah. Ah....Semua hal dibicarakan di sini. Di sini juga mereka berdebat. Bersitegang. Bercanda. Dan macam-macam hal. Oh iya, di sini juga mereka bicarakan soal rencana aksi unjukrasa.
Saya mengistilahkannya dengan DPRD Tingkat III. Karena di sini berkumpul para birokrat, bupati, walikota, politisi, akademisi, pengusaha, kontraktor, wartawan, polisi, tentara, advokat, jaksa, hakim sampai pengangguran. Di sini juga ada beragam orang dengan latar belakang agama dan kepercayaan. Ada Islam, Kristen, Budha, Hindu, Kong Hu Cu dan juga yang tak beragama. Komunis benaran sampai komunis malu-malu pun ada. Semuanya berkumpul di sini. Mereka menyatu dan tidak kenal perbedaan-perbedaan itu. Tak ada sekat-sekat dan tak ada orang dilihat dari kelas sosialnya. Dan tak ada dendam di sini. Semuanya damai.
Ya... itulah suasana warung kopi (warkop) di Palu. Ada warung kopi Harapan di Jalan Wahidin yang saya menyebutnya dengan warkop KNPI. Karena setiap siang hingga sore, mayoritas hanya diisi oleh para anggota dan pengurus KNPI. Ada warkop Aweng di Jalan Ki Maja. Nama itu diambil dari nama pemiliknya. Ada juga warkop MJM di Jalan Setiabudi. Ada juga di warkop di Jalan Pattimura dan di Jalan Cut Nyak Dien. Entahlah, apakah karena hoki atau apa, semua warkop itu dikelola oleh mereka yang masih saudara sekandung.
SALAM DAN JABAT TANGAN
Yang paling berkesan ketika kita datang ke warkop-warkop di Palu, seperti telah menjadi suatu konsensus bersama meski tak tertulis, tapi wajib kita harus mengucapkan salam (Assalamu'alaikum atau selamat pagi) lalu disertai dengan berjabatan tangan. Kita harus berjabat tangan dengan semua pengunjung. Nah boleh dibayangkan kalau pengunjung ada 50 orang. Capek bukan....???
Tapi, semua yang datang ke warkop, pasti melakukan itu. Bahkan Marini, seorang aktris senior yang bersuamikan orang Palu, pun mengikuti tradisi itu. Dengan begitu, sudah dapat dipastikan jika kita datang tanpa memberi salam dan tanpa berjabatan tangan, maka kita akan merasa asing di tengah hiruk pikuk itu.
Dan lebih terlihat lagi persaudaraan itu, karena bagi yang memiliki uang lebih, tak peduli siapa orang itu, mereka akan membayar kopi yang diminum para pengunjung lain. Itu juga sudah menjadi semacam kesepakatan bersama. Tapi itu bukan sogokan atau pun amplop.
Entahlah, siapa yang memulai tradisi salam, jabat tangan dan bayar kopi untuk semua di warkop-warkop Palu itu. Tapi yang pasti, itu sudah berlangsung sejak lama. "Oh tradisi itu sudah ada sejak tahun 1970-an," kata Bustamin Nongtji, mantan Pembantu Rektor III Universitas Tadulako (Untad) Palu yang menjadi pelanggan tetap warkop Aweng.
Kesan lain yang kita temukan di warkop-warkop di Palu, adalah istilah kopi setengah. Beberapa pelanggan hanya memesan kopi separuh gelas. Jadi, kalau harga kopi segelasnya Rp 5000, mereka hanya membayar Rp 2500. Tapi tunggu dulu, setelah meminum beberapa teguk, pemesan kopi setengah itu meminta pelayan menambahkan air panas dan gula. Maka jadilah kopi segelas. Tapi, bayarnya tetap separuh. Sebuah strategi mendapatkan segelas kopi dengan bayaran separuh harga.
Kalau sudah sore setelah pukul 17.00 Wita, ke mana kita mau menikmati kopi. Mudah saja, kita cukup jalan-jalan ke Mall Tatura Palu, di situ ada sebuah cafe yang bernama Cafe Toragila. Cafe itu menyediakan kopi berkualitas terbaik atau kopi Toraja. Kehadiran Cafe Toragila di tengah anda mejadi pilihan tepat untuk menemukan suasana nyaman, tempat hang out bersama kawan, keluarga atau orang terkasih. Dengan koki yang berpengalaman dan pelayanan yang prima, Cafe Toragila menjadi pilihan utama melepas penat dari beraktivitas.
Cafe ini juga dilengkapi dengan fasilitas HotSpot dengan bandwith besar yang memungkinkan anda beserta kawan atau rekanan anda untuk bisa mengakses Internet berkecepatan tinggi dengan kualitas sangat memuaskan.
BERBEDA DENGAN ULEE KARENG DI ACEH
Di negeri Serambi Mekkah itu, kita juga bisa menikmati kopi di warung kopi Ulee Kareng. Suasannya nyaris sama. Tapi, sewaktu saya berada di Aceh beberapa tahun silam (saat tsunami) saya tak melihat ada jabatan tangan dengan semua pengunjug warkop Ulee Kareng. Saya juga tak melihat ada diskusi terfokus untuk satu isu yang lagi hangat. Masing-masing orang sibuk dengan obrolan di kelompoknya sendiri-sendiri.
Soal rasa kopi, memang tergantung lidah setiap yang meminumnya. Tapi, bagi saya kopi di warkop Ulee Kareng Aceh dan Warkop Palu, sama saja. Suatu saat, seorang kawan wartawan dari Aceh, namanya Hotli Simanjuntak, pernah ke Palu dan saya mengajaknya ke warkop Harapan di Jalan Wahidin. Ia memesan kopi. Begitu selesai menyeruput kopi itu, ia mengatakan: "Kopi Palu berat juga. Kepala saya puyeng juga setelah meminum kopi ini," kata Hotli ketika itu.
Seorang pejabat dari kantor Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat pun, sampai harus membeli sekilogram kopi Palu sebagai ole-ole untuk dibawa ke Jakarta. "Wah...saya belum merasakan kopi seperti ini di Jakarta," kata Tono Supranoto, Asisten Deputi Menko Kesra Bidang Penanggulangan Kemiskinan suatu saat ketika datang ke warkop Harapan.
Nah, saya pikir Anda juga bisa mencoba kopi Palu, sekaligus menikmati suasananya. Bagaimana bisa ke warkop Palu....??? Dari Jakarta Anda bisa menggunakan pesawat Lion Air, Wings Air, Batavia, Merpati dan Sriwijaya Air Lines, trasit di Makassar atau di Balikpapan. Harga tiketnya paling murah Rp 900 ribu dan yang paling mahal Rp. 1,5 juta. Dari Bandara Mutiara Palu, Anda cukup naik mobil bandara dengan tarif one way hanya Rp 30 ribu ke hotel.
Pagi harinya, pukul 08.00 Wita atau pukul 10.00 Wita, cobalah Anda ke warkop Harapan, Aweng atau MJM. Kalau di Harapan di Jalan Wahidin, maka yang Anda lihat adalah polisi, TNI, karyawan Bank dan Karyawan Telkom. Kalau Anda ke warkop Aweng di Jalan Ki Maja, maka Anda akan bertemu dengan PNS, para pejabat, politisi dan wartawan dan bermacam-macam orang. Kalau ke MJM di Jalan Setiabudi, maka akan bertemu dengan para kontraktor. Tak ada salahnya Anda mencobanya...!!! ***
Masyarakatnya begitu ramah, sangat bersahabat dan terkenal menjunjung tinggi sikap setia kawan. Paling tidak, itulah yang diakui beberapa tamu yang berkunjung ke kota yang berpenduduk sekitar 300 ribu jiwa ini.
Entah dari mana nama itu terinspirasi menjadi nama kota. Belum ada penelitian ilmiah yang menjelaskan kenapa nama kota ini adalah Palu. Tapi, dari penuturan beberapa orang tua di Palu, mengatakan bahwa Palu itu adalah nama pohon yang tempo dulu banyak tumbuh di pesisir dan sekitar muara sungai yang membelah kota ini.
Konon, ketika itu, para pelaut dan pedagang asal Bugis, Makassar dan Mandar yang hendak berniaga ke daerah ini, selalu mengasoh di bawah rindangnya pohon palu itu. Bahkan, mereka mereka membuat pondok kayu untuk menginap di bawah pohon palu itu. Tapi, pohon palu itu kini telah musnah, tidak diketahui lagi jenis pohonnya seperti apa.
"Jadi, ketika para pelaut dan pedagang itu ditanya hendak ke mana, mereka akan menjawab ke Palu. Nah, dari situlah sehingga nama Palu pun menjadi nama kota ini," kata Rusdy Mastura, walikota Palu.
Dari situs http:///sulteng.go.id tertulis bahwa dulunya Palu adalah kota kecil sebagai pusat Kerajaan Palu. Daerah ini merupakan peninggalan penjajahan Belanda yang terbagi atas onder Afdeling (wilayah kekuasaan) dengan tiga landschap yakni, Landschap Palu terdiri dari Distrik Palu Timur, Distrik Palu Tengah dan Distrik Palu Barat. Landschap Kulawi dan Landschap Sigi Dolo.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 tahun 1950, Pemerintah Pusat kemudian menetapkan Wilayah Daerah Sulawesi Tengah dengan Ibukota Poso sedang Palu hanya tempat kedudukan Kepala Pemerintahan Negeri (KPN) setingkat Wedana.
Di tahun 1957 status Kota Palu menjadi Ibukota Keresidenan Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah terbentuk melalui UU Nomor 13 tahun 1964 dengan Kota Palu sebagai Ibukota Provinsi Dati I Sulawesi Tengah.
Tahun 1978 melalui PP Nomor 18, Kota Palu ditetapkan menjadi Kota Administratif dan selanjutnya melalui UU Nomor 4 tahun 1994 berubah status menjadi Kotamadya Dati II Palu dengan Wilayah Kota Administratif Palu. Kini, Kota Palu terdiri dari empat Kecamatan yaitu, Kecamatan Palu Utara, Palu Timur, Palu Barat dan Kecamatan Palu Selatan. Wilayah-wilayah ini, dipisahkan oleh sebuah sungai yang airnya mengalir deras dengan empat buah jembatan panjang berukuran sekitar 500 meter.
Dulunya, Kota Palu begitu sepi. Dapat dipastikan tamu tidak akan betah kalau berlama-lama menginap di Palu. Tapi kini, kota ini benar-benar sudah berubah. Kota ini sudah mulai berdandan. Cafe dan resto tumbuh di mana-mana. Hotel dan penginapan juga tumbuh di mana-mana. Pokoknya, dai waktu ke waktu kota ini terus berkembang. Ke mana-mana sangat mudah dijangkau dan hanya dalam hitungan menit, karena tanpa kemacetan seperti di kota-kota besar.
Kota ini juga sangat indah. Ada laut, teluk, gunung dan sungai yang membelah kota. Lantaran itu, Ketua DPRD Kota Palu, Mulhanan Tombolotutu menyebutnya dengan Kota Empat Dimensi. “Kota ini sangat lengkap. Makanya saya menyebutnya dengan Kota Empat Dimensi,” katanya.
ADA PEJABAT, UTA DADA DAN SARABA
Kalau sudah berada di Palu, di mana kita akan menghibur diri, bersantai dan bersantap malam. Pertanyaan itu selalu keluar dari mulut tamu yang datang ke Palu. Dulu, di akhir tahun 1990-an, memang terasa sulit menjawab semua pertanyaan itu. Tapi sekarang, pertanyaan itu akan sangat mudah dijawab.
Jika kita mau menghibur diri dengan dentuman musik keras, kita bisa jalan-jalan ke Space Bar and Resto. Lokasinya hanya sekitar 1 kilometer arah barat Bandara Mutiara Palu. Atau bisa juga ke Planet Palu yang oleh anak-anak muda Palu menyebutnya dengan P-2. Di sini, kita akan dihibur dengan grup band dari Jakarta atau Bandung. Bahkan, di setiap malam Kamis, kita akan menikmati tarian yang sedikit “panas” atau sedikit berani oleh para dancer dari luar Palu. Sudah dapat dipastikan, tempat yang baru mulai beroperasi di atas pukul 10 malam ini, banyak juga dikunjungi oleh perempuan malam yang muda-muda asal Manado dan Jawa.
“Kita tidak perempuan-perempuan untuk menemani tamu. Tapi mereka memang selalu datang ke sini. Jadi, kalau ada tamu yang mengajak kencan mereka, yah itu di luar kontrol kita,” kata Uci Tambing, humas Space Bar.
Sebelumnya, jika kita mau makan malam, di Kota Palu banyak menyediakan restoran kelas bawah hingga kelas atas. Rata-rata restoran-restoran itu menyediakan menu ikan bakar, cumi bakar dan goreng, kepiting, udang, lobster dan macam-macam sea food yang segar. Sebut saja misalnya Restoran Kampung Nelayan, Restoran Taman Ria, Restoran Silae Beach dan beberapa restoran lainnya.
Kalau kita mau menyantap hidangan ala Eropa, Restoran Maestro di kawsan Bumi Sagu Palu adalah jawabannya. Pemilik restoran ini adalah warga keturunan Jerman. Dan kalau kita mau makan malam sambil menikmati terangnya Kota Palu di waktu malam, Restoran Panorama yang berada di atas bukit Kawatuna menjadi tempat terbaik untuk itu.
Lantas, ke mana kalau kita mau menikmati menu tradisional. Dengan kendaraan dalam jarak yang hanya sekitar 20 menit ke arah barat, kita bisa mencoba makanan khas Kaili---suku asli di Palu---yang terletak di Dusun Padanjese, Kelurahan Donggala Kodi. Di sini semuanya serba tradisional.
Warga setempat menyediakan menu seperti Uta Dada (mirip opor ayam bagi orang Jawa) yang disantap dengan ketupat. Jangan dibayangkan kita akan duduk di kursi seperti umumnya di restoran mewah. Di sini benar-benar tradisional. Tempat duduknya berupa bangku yang terbuat dari bambu yang dibuat seadanya dan hanya berlantai tanah. Tapi, tempatnya begitu bersih sehingga tidak mengganggu selera makan. Dapat dipastikan, orang yang makan malam di tempat itu akan berkeringat karena makanannya sedikit pedas.
Agak sedikit keluar dari Kota Palu di arah selatan, kita bisa menikmati menu ayam bakar rica yang dihidangkan dengan ketupat dan uta dada. Lokasinya berada di sudut pasar Biromaru. Uniknya, tempat ini hanya dibuka sekali seminggu, atau tepatnya di malam Jumat. Sejarahnya, pasar Biromaru itu hanya dibuka sekali seminggu. Para pedagang mulai berdatangan membuka lapak-lapak sejak Kamis sore, sehingga malamnya mereka harus makan. Warga setempat kemudian membuka warung makan yang menunya hanya ayam bakar rica-rica, uta dada dan ketupat. Jangan harap kita akan menemukan nasi di tempat itu.
Setelah menyantap makan malam, kita masih boleh bersantai di bibir Teluk Palu. Sebuah kawasan mirip Boulevard di Manado atau Losarinya Makassar ini, menjadi pilihan bersantai di waktu malam. Di sini banyak Pejabat atau Pedagang Jagung Bakar Talise dengan minuman khas mirip wedang jahe yang diberi nama Saraba. Kawasan ini memanjang sekitar 5 kilometer. Jika sedang musim durian seperti sekarang ini, maka akan sangat mudah kita bisa menyantap jagung bakar manis yang hangat, saraba yang hangat dan juga bisa membeli durian dengan harga yang sangat murah.
DPRD TINGKAT III
RIBUT tapi mengasyikan..... obrolan ngalor-ngidul, serius, ringan, ngoceh, diskusi dengan berbagai topik. Mulai dari dari isu di tingkat Rukun Tetangga, sampai soal isu internasional yang mereka tonton di tivi dan baca di koran dan majalah. Ah....Semua hal dibicarakan di sini. Di sini juga mereka berdebat. Bersitegang. Bercanda. Dan macam-macam hal. Oh iya, di sini juga mereka bicarakan soal rencana aksi unjukrasa.
Saya mengistilahkannya dengan DPRD Tingkat III. Karena di sini berkumpul para birokrat, bupati, walikota, politisi, akademisi, pengusaha, kontraktor, wartawan, polisi, tentara, advokat, jaksa, hakim sampai pengangguran. Di sini juga ada beragam orang dengan latar belakang agama dan kepercayaan. Ada Islam, Kristen, Budha, Hindu, Kong Hu Cu dan juga yang tak beragama. Komunis benaran sampai komunis malu-malu pun ada. Semuanya berkumpul di sini. Mereka menyatu dan tidak kenal perbedaan-perbedaan itu. Tak ada sekat-sekat dan tak ada orang dilihat dari kelas sosialnya. Dan tak ada dendam di sini. Semuanya damai.
Ya... itulah suasana warung kopi (warkop) di Palu. Ada warung kopi Harapan di Jalan Wahidin yang saya menyebutnya dengan warkop KNPI. Karena setiap siang hingga sore, mayoritas hanya diisi oleh para anggota dan pengurus KNPI. Ada warkop Aweng di Jalan Ki Maja. Nama itu diambil dari nama pemiliknya. Ada juga warkop MJM di Jalan Setiabudi. Ada juga di warkop di Jalan Pattimura dan di Jalan Cut Nyak Dien. Entahlah, apakah karena hoki atau apa, semua warkop itu dikelola oleh mereka yang masih saudara sekandung.
SALAM DAN JABAT TANGAN
Yang paling berkesan ketika kita datang ke warkop-warkop di Palu, seperti telah menjadi suatu konsensus bersama meski tak tertulis, tapi wajib kita harus mengucapkan salam (Assalamu'alaikum atau selamat pagi) lalu disertai dengan berjabatan tangan. Kita harus berjabat tangan dengan semua pengunjung. Nah boleh dibayangkan kalau pengunjung ada 50 orang. Capek bukan....???
Tapi, semua yang datang ke warkop, pasti melakukan itu. Bahkan Marini, seorang aktris senior yang bersuamikan orang Palu, pun mengikuti tradisi itu. Dengan begitu, sudah dapat dipastikan jika kita datang tanpa memberi salam dan tanpa berjabatan tangan, maka kita akan merasa asing di tengah hiruk pikuk itu.
Dan lebih terlihat lagi persaudaraan itu, karena bagi yang memiliki uang lebih, tak peduli siapa orang itu, mereka akan membayar kopi yang diminum para pengunjung lain. Itu juga sudah menjadi semacam kesepakatan bersama. Tapi itu bukan sogokan atau pun amplop.
Entahlah, siapa yang memulai tradisi salam, jabat tangan dan bayar kopi untuk semua di warkop-warkop Palu itu. Tapi yang pasti, itu sudah berlangsung sejak lama. "Oh tradisi itu sudah ada sejak tahun 1970-an," kata Bustamin Nongtji, mantan Pembantu Rektor III Universitas Tadulako (Untad) Palu yang menjadi pelanggan tetap warkop Aweng.
Kesan lain yang kita temukan di warkop-warkop di Palu, adalah istilah kopi setengah. Beberapa pelanggan hanya memesan kopi separuh gelas. Jadi, kalau harga kopi segelasnya Rp 5000, mereka hanya membayar Rp 2500. Tapi tunggu dulu, setelah meminum beberapa teguk, pemesan kopi setengah itu meminta pelayan menambahkan air panas dan gula. Maka jadilah kopi segelas. Tapi, bayarnya tetap separuh. Sebuah strategi mendapatkan segelas kopi dengan bayaran separuh harga.
Kalau sudah sore setelah pukul 17.00 Wita, ke mana kita mau menikmati kopi. Mudah saja, kita cukup jalan-jalan ke Mall Tatura Palu, di situ ada sebuah cafe yang bernama Cafe Toragila. Cafe itu menyediakan kopi berkualitas terbaik atau kopi Toraja. Kehadiran Cafe Toragila di tengah anda mejadi pilihan tepat untuk menemukan suasana nyaman, tempat hang out bersama kawan, keluarga atau orang terkasih. Dengan koki yang berpengalaman dan pelayanan yang prima, Cafe Toragila menjadi pilihan utama melepas penat dari beraktivitas.
Cafe ini juga dilengkapi dengan fasilitas HotSpot dengan bandwith besar yang memungkinkan anda beserta kawan atau rekanan anda untuk bisa mengakses Internet berkecepatan tinggi dengan kualitas sangat memuaskan.
BERBEDA DENGAN ULEE KARENG DI ACEH
Di negeri Serambi Mekkah itu, kita juga bisa menikmati kopi di warung kopi Ulee Kareng. Suasannya nyaris sama. Tapi, sewaktu saya berada di Aceh beberapa tahun silam (saat tsunami) saya tak melihat ada jabatan tangan dengan semua pengunjug warkop Ulee Kareng. Saya juga tak melihat ada diskusi terfokus untuk satu isu yang lagi hangat. Masing-masing orang sibuk dengan obrolan di kelompoknya sendiri-sendiri.
Soal rasa kopi, memang tergantung lidah setiap yang meminumnya. Tapi, bagi saya kopi di warkop Ulee Kareng Aceh dan Warkop Palu, sama saja. Suatu saat, seorang kawan wartawan dari Aceh, namanya Hotli Simanjuntak, pernah ke Palu dan saya mengajaknya ke warkop Harapan di Jalan Wahidin. Ia memesan kopi. Begitu selesai menyeruput kopi itu, ia mengatakan: "Kopi Palu berat juga. Kepala saya puyeng juga setelah meminum kopi ini," kata Hotli ketika itu.
Seorang pejabat dari kantor Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat pun, sampai harus membeli sekilogram kopi Palu sebagai ole-ole untuk dibawa ke Jakarta. "Wah...saya belum merasakan kopi seperti ini di Jakarta," kata Tono Supranoto, Asisten Deputi Menko Kesra Bidang Penanggulangan Kemiskinan suatu saat ketika datang ke warkop Harapan.
Nah, saya pikir Anda juga bisa mencoba kopi Palu, sekaligus menikmati suasananya. Bagaimana bisa ke warkop Palu....??? Dari Jakarta Anda bisa menggunakan pesawat Lion Air, Wings Air, Batavia, Merpati dan Sriwijaya Air Lines, trasit di Makassar atau di Balikpapan. Harga tiketnya paling murah Rp 900 ribu dan yang paling mahal Rp. 1,5 juta. Dari Bandara Mutiara Palu, Anda cukup naik mobil bandara dengan tarif one way hanya Rp 30 ribu ke hotel.
Pagi harinya, pukul 08.00 Wita atau pukul 10.00 Wita, cobalah Anda ke warkop Harapan, Aweng atau MJM. Kalau di Harapan di Jalan Wahidin, maka yang Anda lihat adalah polisi, TNI, karyawan Bank dan Karyawan Telkom. Kalau Anda ke warkop Aweng di Jalan Ki Maja, maka Anda akan bertemu dengan PNS, para pejabat, politisi dan wartawan dan bermacam-macam orang. Kalau ke MJM di Jalan Setiabudi, maka akan bertemu dengan para kontraktor. Tak ada salahnya Anda mencobanya...!!! ***
Subscribe to:
Posts (Atom)