Ruslan Sangadji
Sabtu (12/8), pukul 00.15 Wita, seharusnya menjadi hari terakhir bagi Fabianus Tibo, Marinus Riwu dan Dominggus da Silva, menikmati kehidupan mereka di dunia. Karena, pada hari itu, ketiganya akan mengakhiri hidup di hadapan regu tembak. Tapi, Kapolri menegaskan bahwa eksekusi itu ditunda hingga selesai peringatan Hari Proklamasi 17 Agustus 2006.
Reaksi warga Kristen dan para pemrotes hukuman mati, yang sejak sehari sebelumnya telah menggelar aksi unjukrasa, bersorak gembira atas keputusan Kapolri, yang konon sebenarnya atas saran Muspida Provinsi Sulawesi Tengah itu.
Di Gereja Santa Maria Palu, jemaat bertepuk tangan, bernyanyi dan bersorak, laksana para pendukung tim sepak bola yang memenangkan pertandingan. Semuanya senang, karena ternyata perjuangan mereka tidak sia-sia.
Sementara itu, reaksi umat Islam di Palu dan Poso, biasa-biasa saja. Tak ada kesedihan atau pun protes sama sekali. Warga Muslim hanya bertanya-tanya, kenapa eksekusi harus ditunda lagi, padahal ketetapan hukum sudah mengikat terhadap ketiga terpidana mati tersebut.
Ketua Umum Pengurus Pusat Himpunan Pemuda Alkhairaat, Farud Jafar Nasar, mengatakan bahwa dengan adanya penundaan eksekusi itu, justru membuat publik kehilangan kepercayaan terhadap hukum di Indonesia. Pasalnya, semua proses hukum sudah dilewati dan sudah final.
Sementara Edmond Leonardo Siagian, dari aktivis anti hukuman mati, mengatakan bahwa hukuman mati itu adalah bentuk pelanggaran Hak Azasi Manusia, sehigga meminta agar hukuman mati itu dibatalkan.
Ustadz Adnan Arsal, ketua Forum Silaturahmi dan Perjuangan Umat Islam Poso, mengancam akan menurunkan massa dalam jumlah besar, jika eksekusi terhadap ketiga terpidana mati yang dijanjikan setelah peringatan Hari proklamasi 17 Agustus nanti, ternyata ditunda atau dibatalkan.
Lantas siapa sebenarnya Fabianus Tibo, Marinus Riwu dan Dominggus da Silva, sampai ketiganya harus dibela habis-habisan oleh berbagai kelompok di Palu, Tentena dan di beberapa daerah di Indonesia, termasuk Vatikan???
Siapa Tibo...???
Fabianus Tibo, akrab disapa Om tibo. Lahir di Flores 60 tahun silam. Ia anak keenam dari pasangan Orbertus Andapo dan Maria Mosso. Ia sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) di kampung kelahirannya, tapi tidak tamat.
Ia menginjakan kaki pertama kali di Sulawesi Tengah pada 1973 di Luwuk, Kabupaten Banggai. Di sini dia menjadi buruh pada PT Marabunta. Di Luwuk pula dia bertemu tambatan hatinya, Nurlin Kasiala. Dari hasil pernikahannya kedua pasangan ini dikaruniai tiga anak lelaki dan satu anak perempuan.
Tahun 1978, Fabianus Tibo memboyong keluarganya ke Desa Jamur Jaya di Morowali, Sulawesi Tengah. Di tempatnya yang baru itu, ia bekerja sebagai penyadap karet di PT Perkebunan Nusantara XIV unit kebun Beteleme. Ia dituakan oleh para pekerja di perkebunan itu, karena selain usianya yang sudah tua, Om Tibo dipercaya memiliki kelebihan seperti mengobati orang sakit alias dukun.
Fabianus Tibo, pada tahun 1990-an, pernah mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Palu, karena kasus pembunuhan terhadap salah seorang warga Bali di kampungnya. Ia menjalani hukuman itu selama sekitar 3 tahun.
Siapa Dominggus da Silva...???
Dominggus da Silva, panggilan akrabnya adalah Domi. Pria ini lahir di Maumere pada 42 tahun lalu. Domi adalah satu-satunya buah hati Dominicus da Silva dan Maria Dualio. Setelah sebelumnya sempat merantau ke Jakarta. Domi yang lulusan sekolah teknik menengah jurusan mesin ini, hijrah ke Morowali pada 1991 silam.
Ia memilih bekerja di PT Inco, Soroako, Sulawesi Selatan. Namun memilih tinggal di Beteleme. Setiap Senin, ia ke Soroako dan Sabtu kembali ke Beteleme. Ia bekerja sebagai sopir alat-alat berat di perusahaan
pertambangan multinasional ini.
Selain itu, Domi bekerja di PT Perkebunan Nusantara XIV unit kebun Beteleme, sampai kemudian konflik Poso menyeretnya ke penjara bersama Om Tibo.
Siapa Marinus Riwu...???
Marnius Riwu alias Rinus, juga berasal dari Nusa Tenggara Timur. Ia juga tinggal di Morowali. Pria kelahiran 48 tahun lalu di Kupang ini, adalah anak bungsu dari pasangan Daniek Djaga dan Lusiana Bude. Di
Molores, kampung orang-orang Nusa Tenggara di Bungku Morowali, Sulawesi Tengah, ia menikahi seorang perempuan yang memberinya empat orang anak. Ia pun bekerja di PT Perkebunan Nusantara XIV.
Betulkah Mereka Terlibat di Poso...???
Kerusuhan Poso berjilid-jilid. Mulai dari Jilid I tahun 1998, kemudian Jilid II tahun 1999 dan Jilid III tahun 2000. Dan pada jilid III yang menimbulkan kepedihan dan kesengsaraan serta trauma bagi
masyarakat di Poso. Konflik tahun 2000 inilah sejumlah pemukiman warga dan sarana pendidikan dibakar termasuk Pondok Pesantren Walisongo.
Muhammad Ilham, salah seorang korban kerusuhan Poso dari Desa Sintuwu Lembah, Kecamatan Lage menuturkan, serangan ke Pesantren Walisongo, di Desa Sintuwu Lembah, terjadi pada Minggu 28 Mei 2000 sekitar pukul
09.00 pagi. Saat kejadian itu, sebagian penghuni pesantren berada di sekolah madrasah di belakang masjid.
Muhammad Ilham dan beberapa teman-temannya tengah tiduran. Sekolah mereka memang telah diliburkan sejak meletusnya kerusuhan Poso Jilid III lima hari sebelumnya. Muhammad Ilham dan teman-temanya berjaga-jaga jika ada serangan.
Tiba-tiba dari arah jalan Trans Sulawesi, ratusan penyerang datang. Penghuni pesantren melawan sebisanya. Muhammad Ilham dan sejumlah temannya mundur dan bersembunyi di semak-semak belakang sekolah.
Namun, mereka kemudian balik menyerang setelah melihat sejumlah santri Walisongo ditangkap para penyerang.
Serangan balik Muhammad Ilham dan teman-temanya mampu memukul mundur para penyerang hingga ke jalan raya. Namun, pertempuran sengit terjadi saat bantuan penyerang tiba. Muhammad Ilham dan kawan-kawan terpukul mundur. Pria asal Jawa ini bahkan terkena peluru di bagian paha dan terjatuh.
Semua penghuni pesantren ditangkap. Mereka dibawa ke Baruga di Kelurahan Ranononcu, Kecamatan Lage. Di tempat ini. Muhammad Ilham mendapat siksaan luar biasa. Sekujur tubuhya dibacok oleh seorang perempuan, kemudian luka bacokan itu diisi tanah dan disiram air jeruk.
Minggu dinihari, Ilham dan sejumlah tawanan dibawa dengan truk ke sebuah dataran di dekat Sungai Poso. Mereka diturunkan satu per satu kemudian diperintah berjongkok lalu dibantai. Saat pembantaian ini
terjadi, Muhammad Ilham melihat peluang kecil untuk lolos. Dengan sekuat tenaga ia melompat ke sungai dan menyelam sejauh mungkin. Ia lolos dengan menyusuri pinggiran sungai hingga ke Poso Kota.
Meski tak melihat langsung wajah Tibo CS yang melakukan pembantaian itu, namun Muhammad Ilham mengaku ketiga terpidana mati ini aktif terlihat di lapangan. Bahkan, kata Muhammad Ilham, beberapa hari
sebelum penyerangan, Dominggus datang melakukan perundingan dengan pengurus pesantren bahwa mereka tidak akan menyerang pesantren.
Muhammad Ilham mengaku telah dikonfrontir dengan Fabianus Tibo CS. Namun, katanya, banyak hal yang disangkal ketiganya. Tapi, ia tetap yakin, Tibo cs memang bersalah. Pengakuan dan penyangkalan inilah
yang membuat pelaku kerusuhan Poso menjadi sebuah misteri.
Fabianus Tibo, satu dari tiga terpidana mati kasus kerusuhan Poso divonis mati pengadilan, karena dinilai orang yang paling bertanggungjawab atas pecahnya kerusuhan yang menyebabkan ratusan orang tewas dan ribuan warga mengungsi. Namun, di mata Nurlin Kasiala,
istrinya, Fabianus Tibo adalah suami dan ayah yang baik bagi isteri dan anak-anaknya. Istrinya yakin, suaminya itu bukanlah orang yang
bersalah. Suaminya itu hanyalah korban dari sebuah rekayasa para petinggi-petinggi di daerah ini. Bahkan, pihak Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) pun ikut terlibat dalam kerusuhan Poso. Meski kemudian, Ketua Sinode GKST, Pendeta Renaldy Damanik menampik
tudingan itu. Tapi yang pasti, saat ini Fabianus Tibo dan kedua kawannya tinggal menunggu hari.
Sekretaris Umum Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah, Pendeta irianto Kongkoli, mengatakan bahwa sangat mustahil kalau ketiga orang yang petani dan bodoh itu menjadi aktor di balik kerusuhan Poso.
Yang harus diusut adalah para elite politik di Poso, yang karena ambisi menguasai kepemimpinan politik, lantas menyeret ketiga petani, Fabianus Tibo, Marinus Riwu dan Dominggus da Silva. "Ketiganya tidak bersalah," kata Pendeta Irianto Kongkoli.
Harun Nyak Itam Abu, salah seorang korban kerusuhan Poso, mengatakan bahwa dia memiliki sejumlah bukti dan saksi mengenai keterlibatan Fabianus Tibo, Marinus Riwu dan Dominggus da Silva. Menurutnya, pengakuan ketiganya bahwa mereka tak bersalah, adalah kebohongan yang besar.
Benar, kata anggota Tim Pengacara Muslim Poso ini, bahwa ketiganya bukanlah dalang dari kerusuhan Poso, tapi ketiganya telah memimpin pembunuhan ratusan warga muslim di Poso. "Apakah itu tidak cukup untuk menyeret mereka ke hadapan regu tembak? Mereka memang pantas mendaoat hukuman mati," kata Harun Nyak Itam Abu.
Apakah nanti eksekusi mati tetap dilakukan, ataukah ketiganya akan
bebas. Publik di Sulawesi Tengah tetap menunggu kepastian itu hingga setelah peringatan Hari Proklamasi 17 Agustus 2006. Bagi Farid Jafar Nasar dari Himpunan Pemuda Alkhairaat, ketetapan hukum harus benar-benar dijalankan.***
Kronologis Yang Menyeret Tibo CS.
23 Mei 2000
Penyerbuan kompleks Gereja Katolik Santa Theresia di Kelurahan Moengko Baru, Kabupaten Poso. Tiga orang tewas dan kompleks gereja ludes dilalap si jago merah. Tibo, Marinus dan Dominggus datang ke gereja itu untuk membawa suster dan anak-anak sekolah Katholik yang tinggal di situ.
28 Mei 2000
Penyerbuan Pesantren Wali Songo di Desa Sintuwu Lembah dan Desa Kayamaya di Kabupaten Poso. Tidak kurang dari 200 orang meninggal, ratusan luka-luka, dan ratusan rumah rusak.
25 Juli 2000
Pasukan Satuan Tugas Teritorial TNI Cinta Damai, menangkap Fabianus Tibo di Desa Jamur Jaya, Beteleme, Kabupaten Morowali. Ia dibawa ke Korem 132/Tadulako di Palu, kemudian diserahkan ke Polda Sulteng dan selanjutnya ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Petobo, Palu.
31 Juli 2000
Dominggus da Silva dan Marinus Riwu menyerahkan diri, lima hari setelah Om Tibo ditangkap. Menyerahkan diri ke Kepolisian Sektor Beteleme, Morowali.
4 Desember 2000
Sidang pertama Tibo, Marinus, dan Dominggus digelar di Pengadilan Negeri Palu. Ketiganya didakwa melakukan pembunuhan berencana di sejumlah tempat di Poso pada pertengahan 2000.
15 Maret 2001
Jaksa penuntut umum A. Latara membacakan tuntutan hukuman mati bagi Tibo, Marinus, dan Dominggus.
4 April 2001
Tibo diperiksa polisi karena mengungkap beberapa nama yang terlibat dalam prahara Poso, Mei 2000.
5 April 2001
Majelis hakim Pengadilan Negeri Palu yang terdiri dari Soedarmo (ketua), Ferdinandus, dan Achmad Fauzi menghukum mati Tibo, Marinus, dan Dominggus.
17 Mei 2001
Pengadilan Tinggi menolak banding ketiga terdakwa dan memperkuat putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Palu.
14 Juni 2001
Tim penasihat hukum ketiga terpidana mati mengajukan memori kasasi.
11 Oktober 2001
Mahkamah Agung menolak putusan kasasi Tibo. Marinus, dan Dominggus.
31 Maret 2004
Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali yang diajukan ketiga terpidana mati.
September 2005
Tibo, Marinus, dan Dominggus mengajukan grasi ke presiden.
10 November 2005
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani penolakan grasi Tibo, Marinus, dan Dominggus.
1 Februari 2006
Keluarga terpidana kerusuhan Poso, Tibo cs, menyerahkan tiga bundel dokumen kepada Mabes Polri sebagai salah satu bukti keterlibatan 16 nama sebagai otak kerusuhan di Poso pada Mei 2000. Di antara 16 orang itu, terdapat nama Yanis Simangunsong dan Paulus Tungkanan.
20 Februari 2006
Tim pengacara Tibo, Marinus, dan Dominggus mengajukan permohonan peninjauan kembali yang kedua.
9 Maret 2006
Persidangan PK ke dua Tibo digelar di PN Palu. Dalam sidang ini, 9 saksi baru mengatakan bahwa Fabianus Tibo bukanlah pelaku dari pembunuhan, pembakaran dan penganiayaan di kompleks Wali Songo.
27 Maret 2006
Keluarga Tibo, Marinus, dan Dominggus mengajukan permohonan grasi kedua kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
3 April 2006
Dua terhukum mati kasus kerusuhan Poso, Sulawesi Tengah, Fabianus Tibo dan Dominggus da Silva, diperiksa tim Direktorat Reserse dan Kriminal Polda Sulawesi Tengah. Pemeriksaan dilakukan karena Tibo dan kawan-kawan menyebut 16 aktor intelektual di balik rusuh Poso 2000 silam.
04 April 2006
Fabianus Tibo dan dua rekannya, mengajukan grasi yang kedua di Kejaksaan Agung melalui pengacaranya, Alamsyah Hanafiah. Pengacara meminta eksekusi hukuman mati ditunda karena Tibo menjadi saksi utama bagi penyidikan perkara itu.
9 April 2006
Sekitar 400 warga Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, kembali melakukan doa bersama untuk keselamatan Fabianus Tibo (60), Dominggus da Silva (39), dan Marinus Riwu (48). Mereka berharap rencana eksekusi Tibo dkk dibatalkan karena meyakini bahwa Tibo dkk tidak bersalah dalam kerusuhan Poso III.
11 April 2006
Rencana eksekusi terhadap tiga terpidana mati kasus kerusuhan Poso yakni Fabinaus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu akhirnya ditunda. Alasannya menurut Kapolda Sulawesi Tengah Brigjen Pol Oegroseno, polisi masih akan melakukan konfrontasi terhadap 10 orang lainnya yang disebut oleh Tibo Cs sebagai dalang kerusuhan Poso.
13 April 2006
PK kedua TiBo sudah diterima MA, PK tersebut diregistrasi dengan Nomor 27 PK/Pid/2006.
17 April 2006
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan keputusan pengadilan memberikan hukuman mati kepada terpidana kasus kerusuhan Poso, Fabianus Tibo cs, merupakan keputusan pengadilan atau hukum, bukan keputusan politik.
9 Mei 2006
Mahkamah Agung (MA) tidak dapat menerima menolak peninjauan kembali (PK) kedua kasus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu. Penolakan itu dengan dasar bahwa tiga terpidana telah menggunakan hak hukumnya hingga grasinya ditolak pada November 2005 lalu. Pengajuan PK kedua yang dilakukan oleh tiga terpidana mati kasus kerusuhan Poso menyalahi undang-undang. MA menilai saksi baru yang diajukan oleh pengacara dalam PK kedua itu bukan sebagai bukti baru.
10 Mei 2006
Fabianus Tibo, Dominggus Dasilva dan Marinus Riwu, mulai menginap di sel isolasi. Ketiganya kini sudah tidak satu bangsal, tapi sudah menempati kamar sendiri-sendiri. Menurut Kepala Divisi Pemasyarakatan Kanwil Kehakiman dan HAM Sulteng, Ma'as Damsik, ketiga terpidana mati tersebut sudah tak bisa ditemui kecuali kalau ada izin kari pihak Kejati Sulteng. Pihaknya, kata dia, sudah tak berwewenang mengeluarkan izin untuk ketemu Tibo cs.
10 Mei 2006
Aparat Kepolisan Poso membongkar kuburan di Desa Tambaro, Sintuwulembah, yang dianggap sebagai kuburan korban konflik Poso Mei 2000. Pembongkaran di daerah yang dikenal sebagai Kilo Sembilan, wilayah Pesantren Walisongo, itu ditemukan sejumlah tengkorak dan pakaian korban yang masih utuh. pembongkaran itu sebagai upaya untuk merekonstruksi kasus Kilo Sembilan yang menjadikan Fabianus Tibo cs sebagai terpidana mati. Seorang warga mengaku melihat ada enam tengkorak yang diambil dalam lubang yang kini sudah dianggap kuburan. Enam tengkorak itu diambil dari dua lobang kuburan yang berbeda.
8 Agustus 2006
Kejari Palu (Sulawesi Tengah), mengirimkan surat pelaksanaan eksekusi kepada keluarga Fabianus Tibo cs. Isi surat bernomor SR.65/R.2.10/Buh.1/8/2006 yang diteken Kajari Mohammad Basri Akib SH, menetapkan bahwa eksekusi mati terhadap Tibo, Marinus Riwu dan Dominggus da Silva, akan dilaksanakan Sabtu (12 Agustus), pukul 00.15 WITA.
11 Agustus 2005
Sekitar pukul 23.00 Waktu Indonesia Barat atau 24:00 Waktu Indonesia, Kapolri Jenderal Polisi Sutanto usai rapat terbatas di Kantor Presiden, Jalan Medan Medeka Utara menyatakan bahwa eksekusi ata Tibo cs ditunda hingga selesai perayaan peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Repubik Indonesia. Kapolri Sutanto mengatakan bahwa eksesusi bukan dibatalkan, namun ditunda. Selain karena permintaan Muspida Sulawesi Tengah, juga karena peringatan HUT Proklamasi tesebut. Namun dikabarkan bahwa penundaan itu tekait dengan permintaan pemimpin tertinggi umat Katolik Dunia Paus Benedictus XVI kepada Presiden SBY. Paus meminta aga Presiden SBY memberikan klemensi kepada Tibo cs dari hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup.***
No comments:
Post a Comment