Mobil mini bus itu melaju kencang. Sesaat ku lirik, jarum di speedometer menunjukkan angka 110 kilometer per jam. Di sisi kiri kanan jalanan, sawah-sawah nan menghijau seakan ikut pula melaju seperti mobil yang ku tumpangi itu. Tiba-tiba saja, laju mobil mulai berkurang menjadi 60 kilometer per jam. Karena jalan mulai berkelok dan berlobang.
Entah bagaimana, saya pun tertidur di tengah lajunya mobil mini bus itu. Perjalanan yang sangat melelahkan, yang harus ku tempuh selama sekitar 10 jam. Akhirnya mobil yang ku tumpangi itu tiba juga di Ampana, ibukota Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah. Setelah tidur panjang di malam hari, paginya saya kembali segar dan siap menuju kantor Balai Taman Nasional Togean (BTNT).
Kantor ini dibangun, karena ada taman nasional yang baru ditetapkan empat tahun lalu oleh Menteri Kehutanan, sesuai Nomor 418/Menhut-II/2004, tanggal 19 Oktober 2004 dengan luas 362.605 hektar, berlokasi di Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah.Namanya Taman Nasional Togean.
Sejarahnya, karena Kepulauan Togean adalah tempat tujuan wisata bahari yang sangat menakjubkan dan kaya potensi, tapi karena warga mulai ada kecenderungan kerusakan akibat illegal fishing, akhirnya ketika Gubernur Sulawesi Tengah masih Aminuddin Ponulele, mengusulkan kepada Menteri Kehutanan untuk menetapkan kawasan Kepulauan Togean, seluas 411.373 ha itu sebagai Taman Wisata Laut.
Surat tertanggal 21 Pebruari 2004, itu pun kemudian juga didukung oleh Surat Bupati Tojo Una Una, tanggal 27 Pebruari 2004. Usulan itu kemudian direspon dan menjadikannya sebagai Taman Nasional Togean.
Tapi, penetapan itu diprotes oleh Yayasan Toloka, sebuah lembaga swadaya masyarakat lokal. Mereka mendesak agar Menteri Kehutanan mencabut keputusan penetapan Taman Nasional Togean itu. Alasannya, karena dinilai akan membatasi ruang gerak masyarakat sekitarnya dalam memenuhi kebutuhan hidup dan bertentangan bertentangan dengan semangat Undang - Undang tentang Pemerintahan Daerah.
Tapi, pemerintah bergeming. Kawasan itu telah ditetapkan menjadi taman nasional. Dan ternyata, berdasarkan hasil penelitian Conservation International, kawasan yang terletak di Teluk Tomini ini, berhasil mengidentifikasi sedikitnya 596 jenis ikan, di mana Paracheilinus togeanensis dan Ecsenius sp diduga kuat merupakan jenis baru dan endemik kepulauan Togean.
Selain itu, tercatat 555 jenis moluska dari 103 famili, 336 jenis gastropoda, 211 jenis bivalvia, 2 jenis cephalopoda, 2 jenis scaphopoda dan 4 jenis chiton.
KEANEKARAGAMAN HAYATI
Muhammad Iksan, petugas penjaga Taman Nasional Togean kepada The Jakarta Post, dua pekan silam, mengatakan bahwa di kawasan ini juga, terdapat sekurang-kurangnya 262 jenis karang yang tergolong ke dalam 19 keluarga, satunya adalah jenis endemik, yaitu Acropora togeanensis.
Ia mengutip hasil hasil penelitian Wallace et. all, dari total 91 jenis Acropora yang ditemukan di Indonesia (yang juga merupakan tertinggi di dunia), 78 di antaranya terdapat di Kepulauan Togean.
Secara umum kondisi terumbu karang di 25 lokasi di kepulauan Togean adalah hasilnya 4 persen dalam kondisi sangat bagus (excellent), 16 persen bagus (good), 40 persen sedang (moderate), 28 persen Jelek (poor) dan 12 persen dalam kondisi Jelek Sekali (very poor).
Belum lagi soal hutan di kawasan ini Kepulauan Togean ini. Data yang dihimpun dari kantor Balai Taman Nasional Togean ini menyebutkan, pulau-pulau di kawasan Togean memiliki tipe hutan dataran rendah yang menutupi hampir 60 persen daratan. Hutan dataran rendah kepulauan Togean selain ditumbuhi pohon-pohon besar dengan nilai ekonomi tinggi juga kaya akan jenis pohon liana berkayu, epifit, paku-pakuan, lumut dan jamur.
Menurut M. Iksan, beberapa hasil penelitian menyebutkan, secara umum kondisi hutan di wilayah ini merupakan hutan yang telah diganggu sebagai akibat dari penebangan oleh HPH PT. Arrow Gobel pada tahun 1999. Jenis-jenis pohon komersial yang umum dijumpai di pulau Togean, terutama di sekitar gunung Benteng antara lain adalah ‘uru’ (Elmerrillia ovalis), ‘palapi’ (Heritiera javanica) dan ‘siuri’ (Koordersiodendron pinnatum) dan jenis pohon lain yang biasa digunakan sebagai bahan bangunan oleh masyarakat seperti Duabanga moluccana, Anthocephalus macrophyllus, Sterculia dan Palquium.
Tegakan pohon sekunder yang umum dijumpai adalah ‘kole’ (Alphitonia excelsa), ‘ndolia’ (Cananga odorata), Anthocephalus chinensis, Duabanga moluccana, Alstonia spectabilis, Mallotus spp., dan Macaranga spp. Khusus untuk Duabanga moluccana umumnya dijumpai di daerah lembah, tumbuh bersama dengan Nauclea orientalis dan Octomeles sumatrana.
Ditemukannya Alstonia spectabilis di daerah ini serta tumbuh baik pada daerah perbatasan antara hutan payau dengan hutan dataran rendah merupakan informasi baru. Sebelumnya hutan ini hanya dikenal tumbuh baik pada daerah dataran rendah, dan jarang sekali pada daerah tepi rawa.
Muhammad Taslim, ketua Bappeda Tojo Una-Una, mengutip hasil laporan dari Bappeda Poso, menyebutkan bahwa di kawasan ini terdapat hutan mangrove yang sangat luas. Diperkirakan sekitar 4.800 hektar yang tersebar di beberapa pulau besar seperti Talataloh, Togean, Batudaka, dan sebagian Pulau Waleabahi.
Keberadaan hutan mangrove di kepulauan Togean di samping menjaga keutuhan garis pantai juga menyokong potensi perikanan dan ekosistem terumbu karang yang menjadi andalan kehidupan masyarakat Togean.
Mengacu pada hasil Studi partisipatif ekosistem mangrove di Kepulauan Togean oleh Conservation International dan Yayasan Pijak, berhasil mengidentifikasi sekitar 33 jenis mangrove, yang terdiri dari 19 jenis mangrove sejati (true mangrove) dan 14 jenis mangrove ikutan (associate mangrove). Ke-33 jenis mangrove tersebut dikelompokkan dalam 26 genus dan 21 familia.
Fauna yang teridentifikasi hidup di hutan mangrove sedikitnya 50 jenis yang tergolong dalam 47 genus, yaitu golongan aves (10 genus), pisces (10 genus), amphibia (2 genus), reptilia (3 genus), mamalia (2 genus), dan bentos (20).
Muhammad Iksan, petugas di Taman Nasional Togean itu mengatakan, dari hasil penelitian itu, pada beberapa lokasi hutan mangrove seperti di sekitar Teluk Kilat, Bambu, atau Wakai, masih dijumpai jenis buaya muara (Crocodylus porosus). Fauna lainnya yang juga dapat dijumpai adalah penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricate).
Ada juga Dugong (Dugong dugong), mamalia laut yang sampai sekarang belum jelas keberadaannya di Kepulauan Togean, kadang biasa dijumpai oleh warga setempat, di daerah yang banyak ditumbuhi ‘nambo’ atau padang lamun (seagrass bed).
Belum lagi binatang endemik lain hidup di kawasan itu. Sebut saja monyet togean (Macaca togeanus), biawak togean (Varanus salvator togeanus) dan babirusa (Babyrousa babirussa), serta beberapa fauna penting yang dilindungi seperti, tangkasi (Tarsius sp), ketam kenari (Birgus latro), kuskus (Airulops ursinus), dan rusa (Cervus timorensis).
Hasil penelitian juga menyebutkan, di kawasan ini hidup sedikitnya 90 jenis burung termasuk di antaranya yan dilindungi, seperti Julang Sulawesi atau alo (Rhyticeros cassidix), Elang Bondol (Halistur indus). Groves (1980) dalam Alastair (1993) juga memasukan Babirusa di Kepulauan Togean ke dalam sub spesies tersendiri, yaitu Babyrousa Babirussa Togeanensis karena sebarannya hanya ada di kepulauan Togean ini.
BUTUH KEBIJAKSAAN DAN KEADILAN
Kini, pihak Balai Taman Nasional Togean menghadapi sejumlah tantangan yang sangat berat. Tantangan itu selain datang dari sejumlah LSM, juga dari warga setempat. Soalnya, kawasan taman nasional itu, bukanlah kawasan tak berpenghuni saat ditetapkan.
Sehingga ketika pemerintah hendak menjadikannya sebagai salah satu potensi untuk menggali Pendapatan Asli Daerah (PAD) maka kewenangan pengelolaan itu akan berhadapan dengan sistem tenurial (kepemilikan) yang mengatur hak kelola masyarakat atas sumberdaya alam maupun ulayat yang telah dipraktekkan secara turun temurun, baik di wilayah darat maupun laut di Kepulauan Togean itu.
Hal lain adalah, kebijakan pemanfaatan dan penyelesaian masalah yang selama ini dilakukan secara sektoral dan parsial. Penyusutan luas hutan, konversi hutan mangrove, perusakan habitat terumbu karang, serta penangkapan hasil laut secara berlebih (overharvesting) juga menjadi bagian tak terpisahkan dari soal bagaimana sumberdaya alam di Kepulauan Togean itu dimanfaatkan bagi kepentingan ekonomi dan kebutuhan sosial penduduk.
Hulu dari semua persoalan ini adalah kapasitas pengelolaan, termasuk aspek penegakan hukum, yang tak mampu menjamin pemanfaatan jasa lingkungan secara berkelanjutan sesuai tingkat kebutuhan parapihak (stakeholders).
"Jadi dibutuhkan keadilan dan kebijaksanaan dari pmerintah bagi kepentingan masyarakat setempat," kata Jafar M. Amin, aktivis Yayasan Toloka.***
No comments:
Post a Comment