Ruslan Sangadji
Udara masih sangat dingin. Kabut masih menyelimuti Ngata Toro. Hanya satu dua warga kampung itu yang tampak di jalanan. Sedangkan yang lainnya masih bermalas-malasan dengan berbalut kain sarung dan menyerumput kopi di teras rumah masing-masing.
Tapi, di sudut yang lain. Seorang pria berusia 53 tahun, telah siaga dengan sepatu bot, topi, kaos lengan panjang bertuliskan "kader lingkungan" dan dihiasi golok di pinggang. Wajahnya tampak ceria dan penuh semangat.
Pagi itu, sekitar pukul 06.00 Wita, pria tua itu bersiap-siap menuju hutan sebagai tugas yang diembannya. The Jakarta Post dibuat kagum saat mengajaknya bicara. Gaya bicaranya meledak-ledak, suaranya lepas dan tak ada sedikit pun terkesan kaku. Apalagi, ketika diajak bicara mengenai pelestarian alam.
Adalah Said Tolao. Lelaki kelahiran Toro, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah 53 tahun lalu itu, adalah seorang Tondo Ngata atau polisi kampung. Dalam musyawarah adat di kampungnya tahun 1998, Said Tolao dipercayakan oleh Kapala Ngata (kepala kampung), Totua Ngata (Lembaga Adat Kampung), Tina Ngata (perempuan adat kampung) dan masyarakat setempat sebagai Tondo Ngata. Meski tak ada pimpinan Tondo Ngata, tapi ia sangat berperan memimpin delapan orang anggotanya.
Jabatan itu diberikan kepadanya, karena berdasarkan garis keturunan ayahnya yang memang sebelumnya sebagai Tondo Ngata. otomatis, dengan jabatannya itu, ia kemudian diberi tugas untuk menjaga sedikitnya 22.950 hektar lahan di kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Lahan itu, merupakan bagian dari wilayah Ngata Toro.
Bagi Said Tolao, menjaga hutan yang luas itu dijalaninya dengan penuh tanggungjawab. Selain karena memang tugas, pekerjaannya itu sudah menjadi hobi. "Ini bukan hanya tugas, tapi juga karena sudah hobi saya berada lama-lama dihutan," kata Said Tolao.
Said Tolao begitu fasih. Ia menjelaskan panjang lebar soal pengetahuan atau kearifan lokal masyarakat Ngata Toro mengenai hutan. Ia begitu cerdas menyebut klasifikasi hutan yang masih perawan sampai pada hutan yang dapat diolah. Dia menyebut soal wanangkiki, wana, pangale dan oma.
KLASIFIKASI HUTAN MENURUT ADAT
Hasil pemetaan Yayasan Tanah Merdeka menyebutkan wanangkiki adalah untuk jenis hutan lumut dan merupakan habitat beberapa jenis burung. Dalam kategori hutan ini, tidak ada aktivitas manusia sama sekali. Dalam penelitian Yayasan Tanah Merdeka Palu, luas wanangkiki sekitar 2.300 hektar.
Kedua, mereka menyebut wana untuk kawasan hutan primer di mana belum pernah ada kegiatan pengolahannya menjadi kebun. Wana merupakan hutan penyedia sumber air. Wana dimanfaatkan khusus untuk pengambilan damar, rotan, wewangian, obat-obatan dan sewaktu-waktu tempat untuk berburu binatang dan mencari ikan di sungai. Di aliran sungai yang mengandung emas dilakukan kegiatan mendulang emas. Luas wana sesuai hasil pemetaan 11.290 ha.
Ketiga, mereka manamakan pangale, untuk hutan yang berada di pegunungan dan dataran. Pangale termasuk kategori hutan sekunder karena sudah pernah diolah, tetapi telah kembali menjadi hutan seperti semula. Bagi orang Toro pangale disiapkan untuk kebun dan datarannya untuk sawah. Pangale juga dimanfaatkan untuk mengambil kayu, rotan, pandan hutan, obat-obatan dan wewangian. Luas pangale sesuai hasil pemetaan 2.950 ha.
Keempat, masyarakat adat Ngata Toro menyebut oma, yakni hutan bekas kebun yang sering diolah, utamanya untuk tanaman kopi, kakao dan tanaman tahunan lainnya. Menurut usia pemanfaatannya oma terdiri dari tiga jenis yaitu oma ntua (bekas kebun yang ditinggalkan antara belasan hingga 20-an tahun), oma ngura (bekas kebun yang ditinggalkan antara 3 hingga belasan tahun, yang merupakan jenis hutan yang lebih muda dibanding oma ntua).
Di hutan ini, pohon-pohon belum tumbuh besar dan masih dapat ditebas dengan menggunakan parang. Rerumputan dan belukarmerupakan ciri khasnya. Juga ada yang disebut oma ngkuku, yakni bekas kebun yang berusia antara 1 sampai dengan 2 tahun. Vegetasi dominan adalah rerumputan.
Klasifikasi hutan yang Kelima, menurut orang Toro adalah Balingkea, yakni bekas kebun yang usianya 6 bulan - 1 tahun. Sering dimanfaatkan untuk palawija.
Sudah menjadi tugas Said Tolao untuk menjaga semua jenis hutan itu. Ia tak pernah mengeluh meski harus menjaga kawasan itu. Bahkan, setiap kali berangkat bertugas ke hutan ia tak pernah membawa bekal makanan. "Kalau lapar, saya hanya mengisap kedua ibu jari saya saja. Itu ilmu turun temurun dari nenek moyang saya," katanya.
Atas pengabdiannya itu, Balai Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL) memberikan upah untuk Said Tolao sebesar Rp 350 ribu per bulannya. Sungguh, sebuah penghargaan atas jasa seseorang yang sangat kecil. Padahal atas usahanya itu, ia berhasil memproteksi pihak luar atau penebang liar yang datang mengambil kayu di hutan itu.
Tapi, tahun 2006 lalu, Said Tolao menerima penghargaan dari pemerintah. Ia menerima penghargaan dari Menteri Kehutanan RI dan Kalpataru dari Presiden. "Sebenarnya bukan penghargaan yang saya butuhkan. Saya cuma berharap agar hutan ini tidak rusak," tegasnya.
Bagi Said Tolao, hutan adalah rumahnya. Maka sudah menjadi tanggungjawabnya untuk menjaganya dari kerusakan. Ia berpesan, bahwa pemerintah harus memberdayakan masyarakat untuk ikut bersama-sama menjaga hutan dari kerusakan. Jika masyarakat sudah sadar, maka tak mungkin ada kerusakan.
"Masyarakat yang akan menjadi petugas untuk menghalangi pihak luar yang datang menebang kayu di hutan. Jadi, yang paling penting adalah kesadaran kita semua," tandas Said Tolao, ***
No comments:
Post a Comment