Thursday, November 22, 2007
Pelo, Pria Tuna Grahita Parigi Peraih Medali Emas di Sanghai
"Parigi… Mariama… Parigi… Mariama," begitulah teriakan Pelo ketika memasuki arena pertandingan softball di Sanghai China tahun 2006 silam. Bagi Pelo, dua kata itu memiliki arti yang sangat penting dalam hidupnya.
Parigi adalah daerah kelahirannya, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Sedangkan Mariama, adalah nama ibunya yang telah membesarkannya setelah ditinggal meninggal oleh ayahnya.
Bicaranya tak jelas. Air liur selalu membasahi mulutnya. Itu adalah Muhammad Rizal alias Pelo. Terlahir dari pasangan Mariama dan Hasanuddin Ndue ini, adalah putera kelahiran Parigi 11 Maret 1984.
Pelo, adalah salah seorang penyandang cacat mental atau tuna grahita. Tapi, di balik itu semua, ia memiliki prestasi luar biasa.
Pelo berhasil menyumbangan medali emas dan perunggu bagi Indonesia pada Olimpiade Tuna Grahita Dunia atau special Olympics World Summer Games XII di Sanghai, 2006 silam. Ia bertanding pada cabang olahraga softball. Ia berhasil menyisihkan atlet dari Mauritania, Jerman dan Kosta Rika.
Kepada The Jakarta Post, Rabu (21/11) di rumahnya Kelurahan Maesa, Kecamatan Parigi, Kabupaten Parigi Moutong, Pelo menceritakan, ia tak peduli dengan cuaca dingin dan angin kencang saat bertanding pada saat itu.
Ia tetap percaya diri, sembari membusungkan dada, ia melambaikan tangannya ke arah penonton dan berteriak “Parigi.....Mariama....Parigi....Mariama....”
“Saya jadi semangat setelah bilang nama Parigi dan mama. Saya tidak takut lagi dan saya menang. Saya dapat medali emas dan perunggu,” kata Pelo yang diterjemahkan oleh ibunya, Mariama.
BUAH KESABARAN SANG BUNDA
Saat Pelo masih berusia 10 tahun, ayahnya Hasanuddin Ndue meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan lalulintas di kapungnya. Saat itulah dengan penuh kesabaran, ibunya membesarkan dan mendidiknya.
Meski mengalami seorang penyandang tuna grahita, tapi Ny. Mariama (41) terus mendidiknya. Dengan penih kesabaran, ibunya mengajari membaca dan menulis. Usahanya itu membuahkan hasil. Dalam waktu yang tak terlalu lama, Pelo pun bisa membaca dan menulis.
“Kadang saya menangis kalau sudah mengajarkannya membaca dan menulis. Tapi saya selalu sabar dan terus berdoa, agar Pelo diberikan kemampuan yang mungkin tidak dimiliki oleh anak lain,” kata Mariama.
Mariama tak kehabisan akal. Ia berpikir bahwa kalau diajarkannya sendiri di rumah, mungkin Pelo tidak bisa sukses. Agar putranya itu berprestasi, ia pun mengirim Pelo ke Panti Sosial Bina Grahita di Palu. Dan hampir seminggu sekali, ibunya berangkat ke Palu untuk memantau perkembangan anak pertamanya dari empat bersaudara itu.
Di situlah kemampuan Pelo diasah. Ia meraih juara pertama pada Pekan Olahraga Penyandang Cacat tingkat Provinsi Sulteng. Kemudian mewakili daerah ini pada Pekan Olahraga Nasional Penyandang Cacat (Pornas) V tahun 2006.
Karena meraih medali emas pada Pornas V itu, akhirnya dipercaya mewakili Indonesia pada Olimpiade Tuna Grahita Dunia atau special Olympics World Summer Games XII di Sanghai, China 2006.
BUPATI BANGGA
Bupati Parigi Moutong, Longky Djanggola bangga dengan prestasi Pelo. Ia pun diberikan penghargaan dan bonus. Bahkan disambut dengan menggelar open house di kediaman bupati.
“Ini menjadi bukti, bahwa janganlah kita menilai seseorang itu cacat. Tapi di balik cacatnya itu, tersimpan rahasia Tuhan yang kita tidak tahu. Buktinya, meski pun cacatr mental, tapi Pelo berhasil membawa nama baik Parigi Moutong dan Indonesia,” kata Bupati Parigi Moutong, Longky Djanggola.
“Ini sebuah prestasi yang sangat membanggakan bagi Parigi Moutong dan Pelo pantas mendapat penghargaan atas semuanya itu,” tambah Longky Djanggola.***
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment