Ratusan warga yang tergabung dalam Aliansi Advokasi Bantuan Kemanusiaan Poso Sulawesi Tengah (AABKP Sulteng), di Palu, Senin (25/2), menggelar aksi unjukrasa di halaman kantor Gubernur dan Kantor Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah di Palu. Mereka menuntut kejelasan penggunaan dana recovery Poso senilai Rp58 miliar.
Para pengunjukrasa itu itu menduga dana recovery Poso yang berasal dari Pemerintah Pusat itu sarat penyelewengan. Koordinator aksi, Natsir Said mengatakan, pemerintah dan penegak hukum di Sulteng harus membuktikan komitmennya untuk memberantas korupsi dana recovery Poso yang nyata-nyata terjadi di depan mata.
"Bupati dan seluruh pejabat di Poso harus segera diperiksa supaya tidak menimbulkan keresahan masyarakat," tegas Natsir Said ketika menyampaikan orasi di depan kantor Gubernur Sulteng itu.
Muhaimin Yunus, salah seorang aktivis Forum Pembela Masyarakat Cinta Damai Poso, menyatakan, saat ini masih terdapat sekitar 500 warga miskin Poso yang belum menerima bantuan langsung tunai yang berasal dari dana recovery.
Menurut Muhaimin Yunus, warga miskin itu telah dijanjikan akan mendapat bantuan oleh Pemerintah Kabupaten Poso sejak tujuh bulan lalu. Tapi kenyataannya, hingga mereka belum mendapatkan bantuan sama sekali.
"Padahal, pemerintah menjanjikan akan memberikan bantuan langsung tunai sebesar Rp1 juta hingga Rp 2 juta per orang. Tapi, ternyata itu hanya janji kosong dari Pemerintah Kabupaten Poso. Jadi, Bupati Poso Piet Inkiriwang harus diperiksa," tegasnya.
Wakil Gubernur Sulteng, Ahmad Yahya yang didampingi Asisten II Taswin Borman ketika menemui para pengunjukrasa itu, menyatakan pihaknya mendukung penuntasan dugaan korupsi dana recovery di Poso.
"Pemerintah Provinsi Sulteng tidak akan melindungi siapa saja yang terlibat korupsi," kata Wakil Gubernur, Ahmad Yahya.
Untuk itu, berdasarkan mekanismenya, Pemerintah Provinsi Sulteng menyerahkan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum untuk mengusut dugaan korupsi recovery Poso tersebut.
Sementara itu, Asisten Perdata dan Tata Usaha Negara (Asdatun) Kejati Sulteng, Kadarsyah, saat menemui ratusan demonstran di halaman Kantor Kejaksaan Tinggi Sulteng, menegaskan pihaknya saat ini sedang mengusut dan mendalami kasus tersebut.
"Kasus ini sekarang masih dalam tahap penyelidikan," katanya singkat.
Bahkan, katanya, saat ini Kejati Sulteng sudah memeriksa 14 kepala dinas di jajaran Pemerintah Kabupaten Poso yang diduga terkait dengan dugaan kasus penyelewengan dana recovery tersebut.
Para kepala dinas yang sudah diperiksa itu, adalah Kepala Dinas Perindagkop, Kepala Badan Kesbang dan Linmas, Kepala Dinas Pertanian, serta Kepala Dinas Kehutahan Poso.
Untuk mempercepat peneyelidikan kasus itu, Kepala Kejaksaan Tinggi Sulteng juga telah membentuk tim yang bertugas mengusut kasus dana recovery tersebut, baik yang bekerja di Poso maupun Palu.
"Karena itu, maka kami meminta agar masyarakat bisa bersabar menunggu hasil kerja tim yang sedang bekerja itu," pinta Kadarsyah.
Menanggapi keinginan, pengunjuk rasa yang meminta pihak Kejati Sulteng untuk segera memanggil Bupati Poso, Piet Inkiriwang, yang dianggap paling bertangungjawab atas penyaluran dana recovery itu, Kadarsyah mengatakan, untuk memanggil Bupati harus melalui prosedur hukum yang berlaku, yaitu harus melalui ijin presiden.
"Yang penting kita sudah menunjukkan komitmen untuk mengusutnya dengan memanggil pejabat berwenang, selain bupati, karena untuk memanggil Bupati memerlukan proses yang lama," ujarnya.
Dugaan korupsi dana recovery mencuat ketika Tim Pansus Angket Dana Recovery DPRD Poso, yang diketuai Rudolf Boka, menemukan berbagai indikasi korupsi dana tersebut pada akhir 2007 lalu.
Indikasi korupsi tersebut adalah penggunaan dana recovery yang tidak sesuai petunjuk teknis dan tidak tepat sasaran, seperti pemeberian dana bantuan koperasi yang terbukti fiktif, serta dana pelatihan Hansip yang jumlahnya terlampau besar, lebih Rp 4 miliar.***
Tuesday, February 26, 2008
Thursday, February 14, 2008
Tiga Perusahaan Manggkir Bayar UMP
Tiga perusahaan yang hingga kini tidak menerapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kota (UMK) tidak memenuhi panggilan Dinas Tenaga Kerja, Kependudukan dan Catatan Sipil (Nakerdukcapil) Kota Palu. Ketiga perusahaan tersebut adalah PT Pantai Timur Jaya, PT Saribumi Pertiwi dan CV Dinamis Abadi.
Kepala Nakerdukcapil Kota Palu, Burhanuddin Maragau, membenarkan hal itu. Ia menegaskan, pihaknya telah memanggil pimpinan tiga perusahaan perusahaan yang bergerak di usaha rotan dan pengelolaan kayu di Palu Utara itu agar menjelaskan soal tidak diterapkannya UMP dan UMK itu.
Menurut Burhanuddin Maragau, tidak ada alasan bagi tiga perusahaan tersebut tidak memberikan upah layak kepada karyawannnya, karena sejak Januari lalu, pihaknya telah mengirimkan surat pemberitahuan kepada semua perusahaan di Palu untuk segera membayar upah karyawannya sesuai UMK Kota Palu, yakni sebesar Rp. 685 ribu per bulannya.
Pimpinan PT Pantai Timur Jaya, Acingki, yang dikonfirmasi mengatakan, pihaknya segera memenuhi panggilan dari Nakerdukcapil tersebut. “Iya kami sudah menerima panggilan tersebut, dan saya sudah menjadwalkan untuk datang,” katanya.
Data pengupahan Sulteng mencatat, tahun 2007 tercatat 1.115 perusahaan di Palu dengan jumlah tenaga kerja sekitar kerja 28.500 orang. Dari jumlah itu, hanya 50 persen di antaranya yang membayar gaji karyawannya sebesar Rp 615 ribu per bulan berdasarkan UMP dan UMK.
Andi Miswar Arman, manajer Informasi Sistem Perhimpunan Bantuan Hukum Rakyat (PBHR), menyatakan, sangat menyesalkan sikap tiga perusahaan tersebut. Seharusnya, kata Miswar, pemerintah bersikap tegas. Bila perlu, pemerintah memberikan deadline, dalam waktu yang ditentukan, kalau mereka tidak memenuhi panggilan, maka perusahaan tersebut harus dibekukan.
“Perusahaan-perusahaan tersebut membandel, karena tidak ada sikap tegas pemerintah,” kata Andi Miswar Arman, yang memimpin investigasi kasus perburuhan di Kota Palu itu.
Berdasarkan Surat Edaran Walikota Palu Nomor 561/01.1340/NKCPL/2007 2006, UMK Palu tahun 2008 yang harus dipenuhi oleh perusahaan, standarnya adalah Rp 685 ribu. Jumlah tersebut terdiri dari Upah Pokok dan Tunjangan Tetap sebesar Rp 27.400 per hari.
Bahkan, Andi Miswar mengatakan, bukan hanya tiga perusahaan tersebut yang tidak menerapkan UMK. Pihaknya mengindikasikan sekitar 50 persen perusahaan di Palu membayar upah karyawannya hanya sebesar Rp 500 ribu per bulannya.
Ada juga salah satu perusahaan daur ulang plastik hanya memberikan upah karyawannya hanya sebesar antara Rp 12 ribu hingga Rp 15 ribu per harinya. Itu berarti, jika dirata-ratakan sebesar Rp 15 ribu per orang per hari selama enam hari, maka karyawan hanya menerima sekitar Rp 360 ribu per bulannya.
“Ini masalah serius dan pemerintah tidak boleh tinggal diam. Pemerintah harus bersikap tegas, sebelum terjadi masalah baru yang tidak diinginkan,” tegas Andi Miswar Arman.***
Kepala Nakerdukcapil Kota Palu, Burhanuddin Maragau, membenarkan hal itu. Ia menegaskan, pihaknya telah memanggil pimpinan tiga perusahaan perusahaan yang bergerak di usaha rotan dan pengelolaan kayu di Palu Utara itu agar menjelaskan soal tidak diterapkannya UMP dan UMK itu.
Menurut Burhanuddin Maragau, tidak ada alasan bagi tiga perusahaan tersebut tidak memberikan upah layak kepada karyawannnya, karena sejak Januari lalu, pihaknya telah mengirimkan surat pemberitahuan kepada semua perusahaan di Palu untuk segera membayar upah karyawannya sesuai UMK Kota Palu, yakni sebesar Rp. 685 ribu per bulannya.
Pimpinan PT Pantai Timur Jaya, Acingki, yang dikonfirmasi mengatakan, pihaknya segera memenuhi panggilan dari Nakerdukcapil tersebut. “Iya kami sudah menerima panggilan tersebut, dan saya sudah menjadwalkan untuk datang,” katanya.
Data pengupahan Sulteng mencatat, tahun 2007 tercatat 1.115 perusahaan di Palu dengan jumlah tenaga kerja sekitar kerja 28.500 orang. Dari jumlah itu, hanya 50 persen di antaranya yang membayar gaji karyawannya sebesar Rp 615 ribu per bulan berdasarkan UMP dan UMK.
Andi Miswar Arman, manajer Informasi Sistem Perhimpunan Bantuan Hukum Rakyat (PBHR), menyatakan, sangat menyesalkan sikap tiga perusahaan tersebut. Seharusnya, kata Miswar, pemerintah bersikap tegas. Bila perlu, pemerintah memberikan deadline, dalam waktu yang ditentukan, kalau mereka tidak memenuhi panggilan, maka perusahaan tersebut harus dibekukan.
“Perusahaan-perusahaan tersebut membandel, karena tidak ada sikap tegas pemerintah,” kata Andi Miswar Arman, yang memimpin investigasi kasus perburuhan di Kota Palu itu.
Berdasarkan Surat Edaran Walikota Palu Nomor 561/01.1340/NKCPL/2007 2006, UMK Palu tahun 2008 yang harus dipenuhi oleh perusahaan, standarnya adalah Rp 685 ribu. Jumlah tersebut terdiri dari Upah Pokok dan Tunjangan Tetap sebesar Rp 27.400 per hari.
Bahkan, Andi Miswar mengatakan, bukan hanya tiga perusahaan tersebut yang tidak menerapkan UMK. Pihaknya mengindikasikan sekitar 50 persen perusahaan di Palu membayar upah karyawannya hanya sebesar Rp 500 ribu per bulannya.
Ada juga salah satu perusahaan daur ulang plastik hanya memberikan upah karyawannya hanya sebesar antara Rp 12 ribu hingga Rp 15 ribu per harinya. Itu berarti, jika dirata-ratakan sebesar Rp 15 ribu per orang per hari selama enam hari, maka karyawan hanya menerima sekitar Rp 360 ribu per bulannya.
“Ini masalah serius dan pemerintah tidak boleh tinggal diam. Pemerintah harus bersikap tegas, sebelum terjadi masalah baru yang tidak diinginkan,” tegas Andi Miswar Arman.***
Tuesday, February 05, 2008
Akbar Tanjung Nilai Partai Golkar Mundur
Mantan Ketua DPR Akbar Tanjung, menyatakan perkembangan demokrasidi Indonesia di era sekarang, mengalami perkembangan yang sangat pesat. Bahkan dalam hal pemilihan presiden saja, Indonesia lebih maju dari sistem yang dianut Amerika Serikat.
Kemajuan itu, kata Akbar Tanjung, misalnya Presiden terpilih dalam Pemilu di Indonesia, adalah peraih suara terbanyak, sementara di Amerika sangat ditentutakan perolehan kursi terbanyak dalam dewan pemilih.
"Dengan begitu maka peraih suara terbanyak di Amerika, bukan jaminan menjadi presiden," kata Akbar Tanjung pada forum Seminar Nasional dengan tema "Wajah Demokrasi Indonesia" yang dirangkaikan dengan Milad Himpunan Mahasiswa Islam ke-61, Selasa (5/2).
Walau begitu, menurut Akbar Tanjung, sistem demokrasi Indonesia belum final dan masih membutuhkan pembenahan dalam berbagai hal, terutama pencapaian substansi dari demokrasi itu sendiri.
Demokrasi, katanya, tidak hanya sebatas prosedural yang ditandai pemilihan langsung dan multi partai, sebagai pilar demokrasi. "Tapi Yang terpenting dari semua itu adalah esensi dari demokrasi yang menghargai perbedaan, menghormati kemajemukan, penegakkan hukum dan keadilan," ujar Akbar Tanjung.
Menurut mantan Ketua DPP Partai Golkar itu, konflik di tataran pemimpin maupun masyarakat umum saat ini, masih sering terjadi hanya karena adanya perbedaan-perbedaan itu. Seharusnya kondisi itu ini tidak perlu terjadi,
jika semua pihak memaknai esensi demokrasi yang sedang berjalan di Indonesia sekarang.
Akbar Tanjung menambahkan, sistem presidensial yang dianut Indonesia, sangat kontroversi dengan prilaku politik yang sangat parlementer. Itu karena presiden terpilih tidak serta merta berasal dari partai pemenang pemilu yang menguasai DPR.
Lantaran itu, kata Akbar Tanjung, untuk menjinakan parlemen, Presiden Indonesia terpaksa merekrut kabinet dari kalangan partai, meskipun partai tersebut tidak mendukungnya sejak awal. Itu disebabkan, karena tidak adanya keseragaman platform yang terbangun sejak awal. Orang partai dalam pemerintahan, kerapkali jalan sendiri-sendiri dan membuat pemerintahan tidak efektif.
"Oleh karena itu, maka koalisi permanen harusnya telah dibangun jauh sebelum pemilu dilangsungkan," katanya.
Soal calon perseorangan atau independen, baik sebagai calon Presiden maupun Kepala Daerah, menurut Akbar Tanjung, juga merupakan kemajuan demokrasi Indonesia. Harapannya, kata mantan Ketua HMI itu, pada pemilu 2014 atau 2019 mendatang, calon perseorangan presiden dimungkinkan sebagai perwujudan dari hak politik warga negara.
Menyinggung soal Partai Golkar, Akbar Tanjung menilai bahwa saat ini, partai berlambang Pohon Beringin itu mengalami kemunduran, karena meniadakan mekanisme konvensi dalam rekrutmen calon presiden. Padahal, mekanisme konvensi itu merupakan sebuah tradisi yang sangat maju, yang pernah dipraktekkan Partai Golkar.
"Saat ini justru partai-partai mulai mengadopsi mekanisme konvensi dalam menjaring calon pemimpin, tapi Golkar sebagai inovator konvensi justru meniadakan. Padahal, politik tidak serta merta mengejar kekuasaan, tapi yang terpenting adalah bagaimana memperjuangkan sebuah cita-cita bersama untuk kemajuan bangsa," kata penulis buku Survival Partai Golkar dalam Trubulensi Politik di Indonesia itu.
Kemajuan itu, kata Akbar Tanjung, misalnya Presiden terpilih dalam Pemilu di Indonesia, adalah peraih suara terbanyak, sementara di Amerika sangat ditentutakan perolehan kursi terbanyak dalam dewan pemilih.
"Dengan begitu maka peraih suara terbanyak di Amerika, bukan jaminan menjadi presiden," kata Akbar Tanjung pada forum Seminar Nasional dengan tema "Wajah Demokrasi Indonesia" yang dirangkaikan dengan Milad Himpunan Mahasiswa Islam ke-61, Selasa (5/2).
Walau begitu, menurut Akbar Tanjung, sistem demokrasi Indonesia belum final dan masih membutuhkan pembenahan dalam berbagai hal, terutama pencapaian substansi dari demokrasi itu sendiri.
Demokrasi, katanya, tidak hanya sebatas prosedural yang ditandai pemilihan langsung dan multi partai, sebagai pilar demokrasi. "Tapi Yang terpenting dari semua itu adalah esensi dari demokrasi yang menghargai perbedaan, menghormati kemajemukan, penegakkan hukum dan keadilan," ujar Akbar Tanjung.
Menurut mantan Ketua DPP Partai Golkar itu, konflik di tataran pemimpin maupun masyarakat umum saat ini, masih sering terjadi hanya karena adanya perbedaan-perbedaan itu. Seharusnya kondisi itu ini tidak perlu terjadi,
jika semua pihak memaknai esensi demokrasi yang sedang berjalan di Indonesia sekarang.
Akbar Tanjung menambahkan, sistem presidensial yang dianut Indonesia, sangat kontroversi dengan prilaku politik yang sangat parlementer. Itu karena presiden terpilih tidak serta merta berasal dari partai pemenang pemilu yang menguasai DPR.
Lantaran itu, kata Akbar Tanjung, untuk menjinakan parlemen, Presiden Indonesia terpaksa merekrut kabinet dari kalangan partai, meskipun partai tersebut tidak mendukungnya sejak awal. Itu disebabkan, karena tidak adanya keseragaman platform yang terbangun sejak awal. Orang partai dalam pemerintahan, kerapkali jalan sendiri-sendiri dan membuat pemerintahan tidak efektif.
"Oleh karena itu, maka koalisi permanen harusnya telah dibangun jauh sebelum pemilu dilangsungkan," katanya.
Soal calon perseorangan atau independen, baik sebagai calon Presiden maupun Kepala Daerah, menurut Akbar Tanjung, juga merupakan kemajuan demokrasi Indonesia. Harapannya, kata mantan Ketua HMI itu, pada pemilu 2014 atau 2019 mendatang, calon perseorangan presiden dimungkinkan sebagai perwujudan dari hak politik warga negara.
Menyinggung soal Partai Golkar, Akbar Tanjung menilai bahwa saat ini, partai berlambang Pohon Beringin itu mengalami kemunduran, karena meniadakan mekanisme konvensi dalam rekrutmen calon presiden. Padahal, mekanisme konvensi itu merupakan sebuah tradisi yang sangat maju, yang pernah dipraktekkan Partai Golkar.
"Saat ini justru partai-partai mulai mengadopsi mekanisme konvensi dalam menjaring calon pemimpin, tapi Golkar sebagai inovator konvensi justru meniadakan. Padahal, politik tidak serta merta mengejar kekuasaan, tapi yang terpenting adalah bagaimana memperjuangkan sebuah cita-cita bersama untuk kemajuan bangsa," kata penulis buku Survival Partai Golkar dalam Trubulensi Politik di Indonesia itu.
Sunday, February 03, 2008
Dana Recovery Poso Diduga Diselewengkan
Penyaluran Dana Recovery senilai Rp 58 miliar di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, diduga dikorupsi. Mantan Ketua Pansus Dana Recovery, Rudolf Boka, Sabtu (2/2) sore mengatakan, indikasi korupsi itu berupa penyaluran dana bantuan koperasi yang tidak jelas dan biaya pelatihan Pertahanan Sipil (Hansip) senilai Rp 8,5 miliar.
Menurut Rudolf Boka, biaya pelatihan petugas Hansip tersebut, dinilai sangat banyak dan terjadi duplikasi anggaran, karena dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), kegiatan tersebut juga dianggarkan. Padahal, katanya, sebaiknya anggaran tersebut digunakan untuk mengoptimalkan kinerja personel TNI/Polri sehingga lebih bermanfaat.
Rudolf Boka menambahkan, indikasi penyelewengan dana bantuan dana recovery tersebut, juga terlihat dari penyaluran dana ke sejumlah koperasi di Poso. Karena seharusnya setiap koperasi menerima bantuan sebesar Rp 100 juta, namun kenyataannya ada beberapa koperasi menerima bantuan bervariasi, dari Rp 50 juta hingga Rp 70 juta.
Bahkan, data yang berhasil dihimpun wartawan, ada salah satu koperasi di Poso Kota menerima bantuan dari dana recovery sebesar Rp 200 juta. Tidak hanya itu, dari 57 koperasi yang menerima bantuan, sebanyak 27 di antaranta dipotong masing-masing Rp 25 juta.
"Itu yang bermasalah, kenapa pihak penyalur memotong dana bantuan sebesar itu. Mau diapakan dana yang sudah mereka potong itu," tegas Rudolf Boka.
Pihak kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Tengah, telah memerintahkan Kejaksaan Negeri (Kejari) Poso, untuk mengusut tuntas kasus tersebut. Bahkan, Kuasa Pengguna Anggaran Dana Recovery, M Nelo telah diperiksa pada 28 Januari lalu. Namun, belum diketahui bagaimana hasil pemeriksaan tersebut. Tim dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga kini telah berada di Poso guna mengusut kasus tersebut.
Memang, dana recovery Poso ini seakan-akan dibuat sulit untuk diselidiki berbagai pihak di Poso. Akses untuk mendapatkan data tersebut ditutup rapat-rapat. Jangankan wartawan, anggpta DPRD Poso pun mengaku tidak diberikan penjelasan mengenai pelaksanaan penyaluran dana recovery tersebut. Padahal, dana yang dikucurkan oleh Pemerintah Pusat melalui Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) itu, dimaksudkan untuk pemulihan ekonomi masyarakat dan penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Poso.
Anggota DPRD Kabupaten Poso Komisi C, Sahir T Sampeali mengatakan, indikasi tidak diberikannya akses itu terlihat dengan adanya surat edaran Bupati Poso, yang ditandatangani Sekretaris Kabupaten Poso.
Surat tersebut ditujukan kepada seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di jajaran Pemerintah Kabupaten Poso, untuk tidak menerima evaluasi dewan tentang dana recovery. "Kenapa ada surat edaran yang melarang dinas dan instansi terkait untuk menolak evaluasi DPRD. Ini yang patut dipertanyakan," kata Sahir Sampeali.
“Tidak transparan pihak Pemerintah Kabupaten Poso inilah, mengindikasikan adanya penyelewengan dana recovery itu," tambah Sahir Sampeali.
Ia mencontohkan, penyaluran dana recovery terhadap sejumlah koperasi pada tanggal 14 Juni 2007 silam. Seharusnya koperasi yang sudah lama terbentuk yang diberi bantuan, tapi yang terjadi justru koperasi yang baru didirikan tanggal 12 Juni 2007, justru mendapat bantuan. “Apa itu bukan indikasi penyelewengan,” ujarnya.
Menurut Sahir, pihaknya siap memberikan data-data hasil temuan Pansus Angket DPRD Poso di lapangan, terhadap adanya indikasi penyelewengan penyaluran dana recovery tersebut. "Jika ada pihak yang membutuhkan bukti-bukti penyelewengan itu, kami siap memberikannya," katanya.
Juru Bicara Pemerintah Kabupaten Poso, Amir Kiat yang ditemui di salah sau kafe di Palu, Minggu (3/2) mengatakan, secara keseluruhan pelaksanaan realisasi dana recovery di kabupaten Poso, telah berjalan dengan baik dan dirasakan langsung oleh masyarakat.
Pemerintah pusat pada 2006 memberikan dana dekonsentrasi senilai Rp58 miliar untuk memulihkan kondisi perekonomian masyarakat korban kerusuhan di Poso. Dana untuk membantu penyediaan infrastruktur, meningkatkan kapasitas kelembagaan institusi masyarakat serta untuk modal usaha itu yang mulai disalurkan pada awal 2007. Namun, banyak warga korban kerusuhan Poso diduga tidak mendapatkan dana tersebut, sementara sebagian lagi hanya menerima sebagian.
pada November lalu Polres Poso sudah menetapkan Ketua Koperasi Poso Bersatu berinsial DM sebagai tersangka kasus penyalahgunaan dana recovery. Namun, kasus tersebut hingga kini belum dilimpahkan ke kejaksaan, karena kemungkinan alat buktinya kurang lengkap. Sebanyak 57 koperasi di Kabupaten Poso pada 2007 menerima bantuan modal usaha melalui dana recovery dengan total plafon Rp 2,22 miliar. ***
Menurut Rudolf Boka, biaya pelatihan petugas Hansip tersebut, dinilai sangat banyak dan terjadi duplikasi anggaran, karena dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), kegiatan tersebut juga dianggarkan. Padahal, katanya, sebaiknya anggaran tersebut digunakan untuk mengoptimalkan kinerja personel TNI/Polri sehingga lebih bermanfaat.
Rudolf Boka menambahkan, indikasi penyelewengan dana bantuan dana recovery tersebut, juga terlihat dari penyaluran dana ke sejumlah koperasi di Poso. Karena seharusnya setiap koperasi menerima bantuan sebesar Rp 100 juta, namun kenyataannya ada beberapa koperasi menerima bantuan bervariasi, dari Rp 50 juta hingga Rp 70 juta.
Bahkan, data yang berhasil dihimpun wartawan, ada salah satu koperasi di Poso Kota menerima bantuan dari dana recovery sebesar Rp 200 juta. Tidak hanya itu, dari 57 koperasi yang menerima bantuan, sebanyak 27 di antaranta dipotong masing-masing Rp 25 juta.
"Itu yang bermasalah, kenapa pihak penyalur memotong dana bantuan sebesar itu. Mau diapakan dana yang sudah mereka potong itu," tegas Rudolf Boka.
Pihak kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Tengah, telah memerintahkan Kejaksaan Negeri (Kejari) Poso, untuk mengusut tuntas kasus tersebut. Bahkan, Kuasa Pengguna Anggaran Dana Recovery, M Nelo telah diperiksa pada 28 Januari lalu. Namun, belum diketahui bagaimana hasil pemeriksaan tersebut. Tim dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga kini telah berada di Poso guna mengusut kasus tersebut.
Memang, dana recovery Poso ini seakan-akan dibuat sulit untuk diselidiki berbagai pihak di Poso. Akses untuk mendapatkan data tersebut ditutup rapat-rapat. Jangankan wartawan, anggpta DPRD Poso pun mengaku tidak diberikan penjelasan mengenai pelaksanaan penyaluran dana recovery tersebut. Padahal, dana yang dikucurkan oleh Pemerintah Pusat melalui Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) itu, dimaksudkan untuk pemulihan ekonomi masyarakat dan penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Poso.
Anggota DPRD Kabupaten Poso Komisi C, Sahir T Sampeali mengatakan, indikasi tidak diberikannya akses itu terlihat dengan adanya surat edaran Bupati Poso, yang ditandatangani Sekretaris Kabupaten Poso.
Surat tersebut ditujukan kepada seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di jajaran Pemerintah Kabupaten Poso, untuk tidak menerima evaluasi dewan tentang dana recovery. "Kenapa ada surat edaran yang melarang dinas dan instansi terkait untuk menolak evaluasi DPRD. Ini yang patut dipertanyakan," kata Sahir Sampeali.
“Tidak transparan pihak Pemerintah Kabupaten Poso inilah, mengindikasikan adanya penyelewengan dana recovery itu," tambah Sahir Sampeali.
Ia mencontohkan, penyaluran dana recovery terhadap sejumlah koperasi pada tanggal 14 Juni 2007 silam. Seharusnya koperasi yang sudah lama terbentuk yang diberi bantuan, tapi yang terjadi justru koperasi yang baru didirikan tanggal 12 Juni 2007, justru mendapat bantuan. “Apa itu bukan indikasi penyelewengan,” ujarnya.
Menurut Sahir, pihaknya siap memberikan data-data hasil temuan Pansus Angket DPRD Poso di lapangan, terhadap adanya indikasi penyelewengan penyaluran dana recovery tersebut. "Jika ada pihak yang membutuhkan bukti-bukti penyelewengan itu, kami siap memberikannya," katanya.
Juru Bicara Pemerintah Kabupaten Poso, Amir Kiat yang ditemui di salah sau kafe di Palu, Minggu (3/2) mengatakan, secara keseluruhan pelaksanaan realisasi dana recovery di kabupaten Poso, telah berjalan dengan baik dan dirasakan langsung oleh masyarakat.
Pemerintah pusat pada 2006 memberikan dana dekonsentrasi senilai Rp58 miliar untuk memulihkan kondisi perekonomian masyarakat korban kerusuhan di Poso. Dana untuk membantu penyediaan infrastruktur, meningkatkan kapasitas kelembagaan institusi masyarakat serta untuk modal usaha itu yang mulai disalurkan pada awal 2007. Namun, banyak warga korban kerusuhan Poso diduga tidak mendapatkan dana tersebut, sementara sebagian lagi hanya menerima sebagian.
pada November lalu Polres Poso sudah menetapkan Ketua Koperasi Poso Bersatu berinsial DM sebagai tersangka kasus penyalahgunaan dana recovery. Namun, kasus tersebut hingga kini belum dilimpahkan ke kejaksaan, karena kemungkinan alat buktinya kurang lengkap. Sebanyak 57 koperasi di Kabupaten Poso pada 2007 menerima bantuan modal usaha melalui dana recovery dengan total plafon Rp 2,22 miliar. ***
Subscribe to:
Posts (Atom)