Thursday, November 27, 2008
Morowali, Kabupaten Terkaya di Sulteng
Kabupaten Morowali, mungkin satu-satunya kabupaten di Sulawesi Tengah yang sangat kaya akan kandungan sumber daya alamnya. Bayangkan saja, mulai dari marmer hingga minyak bumi ada di wilayah yang luasnya mencapai 45.453 kilometer persegi ini.
“Ya, kalau boleh sedikit bersombong, seluruh tanah di kabupaten ini penuh dengan kekayaan alam yang dapat digarap,” kata Bupati Morowali, Anwar Hafid kepada The Jakarta Post (15/11) lalu.
Dia menjelaskan, untuk nikel saja misalnya tercatat luas arealnya mencapai lebih kurang 149.700 hektar dengan Cadangan terduga 8 juta WMT. Lokasinya, terletak Blok Tompira dengan cadangan inferred untuk Limonite 6 juta ton, dengan kadar Ni 1,40 persen, saprolit 0,3 juta ton dengan kadar Ni 2,4 persen.
Belum lagi di Blok Ungkaya, dengan potensi inferred untuk Limonite 3,1 juta ton, dengan kadar Ni 1,37 persen, saprolit 0,2 juta ton dengan kadar Ni 2,63 persen. Di Blok Bulu Taloa, potensi inferred untuk Limonite 1 juta ton dengan kadar Ni 1,15 persen.
Sedangkan di Blok Bahodopi, tercatat sekitar 36.635,36 hektar. Hanya saja, sejak tahun 1968, PT. INCO Tbk., sudah menandatangani Kontrak Karya seluas untuk pengelolaannya. Sedangkan PT Rio Tinto menandatangangi kontrak karya untuk pertambangan nikel di blok tersebut seluas 132.100 hektar.
Sedangkan chromite (bahan baku stainles) terletak di Kecamatan Bungku Barat seluas 3.000 hektar, dengan cadangan pasti 88.010 DMT ( Dry Metric Ton). Cadangan terkira sekitar 459.772 DMT, dan cadangan terduga 250.000 DMT, dengan kadar rata-rata sebesar 4 persen ( Cr2O3).
Tidak hanya itu, menurut Bupati Anwar Hafid, di Kabupaten Morowali juga memiliki cadangan marmer yang sangat menjanjikan. Marmer itu menyebar di Desa Tinompo, Uluanso, Wawopada, Korowalelo dan Beteleme di Kecamatan Lembo. Juga terdapat du Desa Didiri, Koromatantu, Bunta dan Bungiatimbe Kecamatan Petasia.
Marmer ini, katanya, kenampakan lapangan tersingkap di permukaan dengan ketinggian rata-rata 5-20 meter, warna bervariasi mulai dari putih keabu-abuan, abu-abu kecoklatan, abu-abu kehitaman, merah kecoklatan, hijau muda/hijau tua, hijau kehitaman. Sifat fisik kompak dan keras. Sedangkan kekerasan mencapai 4-5 Skala Mohs.
Juga terdapat marmer jenis onyx yang tersebar di Kecamatan Petasia. Kenampakan lapangan yang cukup tebal dijumpai pada marmer, berwarna kuning gading– coklat, dengan cadangan sekitar 25 hektar.
Di daerah ini juga terdapat kandungan batugamping ( Limestone). Lokasinya terdapat di Kecamatan Petasia, Kecamatan Lembo, Kecamatan Bungku Utara, dan Kecamatan Bungku Selatan. Kenampakan lapangan tersingkap di atas permukaan dgn ketinggian sekitar 1 – 15 meter.
Warna umum dari batugamping ini, mulai dari putih sampai kekuningan, kuning kemerahan, berbutir halus, padat, keras, tidak berlapis. Sebagian kapur ditemukan dalam bentuk chalky limestone. “Diperkirakan cadangan geologinya mencapai 30.000.000 meter kubik,” ujar Bupati Anwar Hafid.
Cukupkah kekayaan alam itu di Kabupaten Morowali? Tidak, kata Bupati Morowali. Di daerahnya juga ada fosfat, yang terdapat di Desa Wawopada, Kecamatan Lembo dan ditemukan dalam bentuk gua-gua batu kapur. Hanya saja, cadangan fosfat ini belum diketahui pasti. “Sekarang masih diteliti oleh tim yang sudah dibentuk,” ujarnya.
Sedangkan Batubara terdapat di Desa Londi, Trende dan Ensa Kecamatan Mori Atas, dengan ketebalan berkisar antara 0,5-3 meter dengan kemiringan bervariasi 20-40 derajat, dan di tempat lain 1-2 derajat. Kenampakan fisik di lapangan warna coklat kehitaman. Secara megaskopis, batubara ini termasuk lignit. Selama sekitar lima tahun (sejak 1989) batubara ini tersebar dan berada pada ruas jalan raya, sehingga jalan tersebut selalu runtuh.
Kadar air batubara di Morowali, mencapai 20,79 persen, abu 9,68 persen, Mix Carbon 29,55 persen, belerang 1,26 persen, nilai kalori Carbon mencapai 4,130 KKal.
Potensi Migas
Selain potensi bebatuan itu, di Morowali juga terdapat potensi migas yang sangat menjanjikan. Minyak misalnya, telah ditemukan di Kecamatan Bungku Utara yang dikenal dengan nama lapangan minyak Tiaka Blok Trili.
Lapangan minyak Tiaka dengan fasilitas penunjang terletak sekitar 17 mil dari garis pantai. Kini telah dioperasikan oleh Joint Operating Body (JOB) Pertamina, Medco dan Ekspan Tomori Sulawesi sejak tahun 2001 silam. Di sini terdapat empat sumur minyak yang sudah dieksploitasi.
Hasil evaluasi dengan perhitungan dari keempat sumur tersebut, menunjukkan bahwa cadangan minyak di lapangan Tiaka (Original oil in Place – OOIP) sebesar 106,56 MMBO (Million barrel oil/juta barrel minyak). Total kapasitas produksi per hari mencapai sekitar 6.500 barrel (BOPD) yang diperoleh dari enam sumur produksi atau rata-rata produksi setiap sumur sebesar sekitar 1.100 BOPD.
Eksploitasi minyak di lapangan Tiaka ini dimulai pada 31 Juli 2005 lalu. Sesuai dengan tipe minyak mentah (crude oil) yang dihasilkan, maka minyak Tiaka dikirim untuk diolah di Kilang UP-III PT Pertamina (Persero) di Plaju, Palembang, Sumatera Selatan.
Produksi awal minyak mentah Lapangan Tiaka sekitar 1.200 barel per hari (bph). Pada awal Januari 2006, produksi mencapai 1.850 bph dan akan ditingkatkan hingga mencapai 4.000 bph pada akhir tahun 2006 setelah ada penambahan sumur produksi.
Pada kondisi puncak, produksi diperkirakan dapat mencapai 5.000 bph. Produksi Lapangan Tiaka ini sekaligus meningkatkan total produksi minyak mentah hingga mencapai sekitar 80.000 boepd (barrel oil equivalent per day). Di samping itu, juga meningkatkan status Cekungan Banggai (basin)–formasi minyak Tiaka berada—dari status cekungan temuan menjadi cekungan berproduksi.
Struktur Lapangan Tiaka ditemukan oleh Union Texas (South East Asia) Inc. pada tahun 1985. Setelah melakukan pengeboran di empat sumur (tiga berhasil dan satu gagal), struktur ini kemudian ditinggalkan, karena dianggap tidak memiliki nilai ekonomi untuk dikembangkan. Selanjutnya, keempat sumur tersebut ditutup secara permanen di bawah dasar laut.
Pada tahun 2000, JOB Pertamina–Ekspan Tomori Sulawesi–mulai 2004 berubah nama (rebranding) menjadi JOB Pertamina-Medco E&P Tomori Sulawesi—melakukan berbagai upaya untuk mengembangkan lapangan ini. Upaya tersebut antara lain dengan metode pembuatan pulau buatan (reklamasi) sebagai lokasi sumur yang jauh lebih efisien apabila dibandingkan dengan menggunakan platform rig, metode pengeboran sistem cluster (beberapa sumur dalam satu lokasi), pengeboran directional (terarah).
Setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah pada Januari 2002 untuk mengembangkan lapangan tersebut, maka pada akhir tahun 2004 dilakukan pengeboran satu sumur pengembangan dan pada tahun 2005 dilakukan pengeboran dua sumur pengembangan. Pada tahun 2006, JOB Pertamina–Medco E&P Tomori Sulawesi memprogramkan pengeboran di tiga sumur pengembangan guna meningkatkan produksi minyak mentah.
Sedangkan gas bumi, dari hasil pemboran sumur produksi, dihasilkan juga gas ikutan sebanyak sekitar 3,5 TCF (Ton cubic feet) dengan air terproduksi sekitar 3.000 BOPD. Gas ikutan yang dihasilkan dalam proses ini, karena jumlahnya kecil, maka tidak diproses lebih lanjut melainkan langsung dibuang dan dialirkan serta dibakar ke udara melalui flore.
Sampai saat ini, tercatat lebih dari 100 Pemegang Izin Usaha Pertambangan di wilayah itu. Tapi celakanya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Morowali dalam tiga tahun anggaran terakhir mengalami defisit. Tahun 2006 defisit APBD Morowali mencapai lebih Rp 75 miliar, tahun 2007 lebih Rp 63 miliar dan tahun anggaran 2008 mencapai lebih 63 miliar.
Sedangkan APBD tahun 2007 tercatat sebesar lebih Rp 279 miliar, sedangkan tahun 2008 mencapai lebih Rp 590 miliar. ***
Tuesday, November 18, 2008
Berbukit, Berbatu dan Berkelok
Mobil Kijang Avanza warna merah itu melaju kencang. Tiba-tiba, sekitar pukul 12 malam, roda bagian depan berbunyi tidak seperti biasanya. “Muhlis, kenapa roda depan bunyinya lain,” begitu saya bertanya kepada sopir mobil Avanza yang ku sewa ke Morowali.
Ia menghentikan mobilnya, dan parkir di pinggiran jalan di Kelurahan Moengko, tepatnya di depan Depo Pertamina Poso. Saya dan Muhlis turun dari mobil. Ia kemudian membuka ban mobil itu, ternyata ada yang rusak. Perjalanan ke Morowali pun jadi terhambat.
Suasana begitu sunyinya. Yang ada hanya tiga orang masih ngobrol di depan rumahnya. Saya lalu menyapa mereka. Yang paling tua dipanggil dengan nama Papa Citra. Dia kemudian membantu kami. Tapi, alat mobil yang rusak itu tidak bisa diperbaiki, kecuali harus diganti. Bengkel sudah tutup. Malam itu, kami terpaksa tidur di mobil, sambil menunggu pagi datang.
Dalam tidur malam itu, saya teringat kembali masa lalu di tahun 2000. Waktu itu, di masjid Depo Pertamina itu, saya bersama anggota TNI Detasemen Zeni Tempur (Den Zipur) dari Makassar yang ditugaskan membawa mobil panser ke Poso, untuk mengamankan kerusuhan. Di Depo Pertamina itulah kami berhenti. Kami sempat menyelamatkan satu keluarga keturunan Jawa, yang lari tunggang langgang karena kampungnya diserang.
Kami menyelematkannya dan mengamankannya di masjid Depo Pertamina itu. Waktu itu, Mei 2000, saya menyarankan kepada anggota Denzipur itu, bahwa karena keluarga itu beragama Islam, sehingga sebaiknya amankan dulu di masjid itu, sembari menunggu pagi. Begitu pagi datang, keluarga muslim yang rumahnya sudah dibakar perusuh itu, kami antar ke markas Kodim 1307 Poso.
Air mata saya meleleh ketika mengingat masa itu. Saya tidak membayangkan, jika saja mobil kami yang rusak di malam buta itu, pas ketika Poso masih dilanda kerusuhan. Mungkin saja saya dan Muhlis sudah dihabisi para perusuh. Dalam tangisku, saya pun hilang dalam ketidaksadaran malam.
Hari sudah terang. Saya melihat jam di tanganku, waktu menunjukkan pukul 08.30 wita. Ku dengar Muhlis si sopir rentalku mengetuk-ngetuk alat mobil yang rusak itu. Saya bangun dan melihat mobil yang ku tumpangi sudah berada di depan bengkel sepeda motor, yang berjarak hanya sekitar 5 meter dari tempat berhenti pertama di malam itu.
“Chan, kita ke dealer Haji Kalla saja. Kita beli lahar (gotri) di sana. Gotrinya pecah jadi harus diganti,” kata Muhlis. “Berapa harganya,” saya bertanya pada Muhlis. “Mungkin sekitar 100 ribu rupiah,” jawab Muhlis lagi.
Saya pamitan kepada pemilik bengkel sepeda motor itu, untuk cuci muka di belakang. Kebetulan bengkelnya satu bagian dengan rumahnya yang hanya berdinding papan itu. Setelah mencuci muka, ku teguk air mineral bekal perjalananku ke Morowali. Ku hisap sebatang rokok lalu ku rogoh hand phone dari saku ku.
“Assalamu alaikum. Kak Mansyur, gmn kabar?,” tanyaku. “Baik alhamdulillah. Siapa nih,” tanya Mansyur. “Saya ochan bos,” jawabku. “Heiiiiiiii ochan, di mana ki...,” tanya Mansyur dengan dialeg bugisnya. “Saya ini mau ke Morowali, tapi tadi malam gotri mobilku pecah. Saya di Poso,” kataku. Mansyur menimpali, “Di mana ki sekarang. Ke kantor ki saja, dan cari Yunus di sana, bilang disuruh Mansyur. Saya lagi di Makassar ki Chan,” katanya. Mansyur ini adalah Kepala Cabang PT Haji Kalla di Poso.
Meminjam sepeda motor pemilik bengkel, saya dan Muhlis ke Dealer PT Haji Kalla. Yunus yang ku cari belum datang, karena masih pagi. Kami bertemu dengan salah seorang bawahannya, yang akhinrya menjual gotri mobil dengan separuh harga. Harganya Rp 400 ribu tapi disuruh membayar Rp 200 ribu saja.
Mobil diperbaiki dan kami pun melanjutkan perjalanan ke Morowali. Namun sebelumnya, kami harus sarapan. “Kita sarapan Coto Makassar saja,” kataku kepada Muhlis. Coto Makassar ini menjadi makanan andalanku selama liputan di Poso. Banyak yang mengakui bahwa Coto Makassar Poso ini paling enak. Lokasinya berdekatan dengan Markas Kodim 1307 Poso.
Coto Makassar Poso
Jam menunjukkan pukul 09.00 Wita di hari Jumat (14/11). Ku suruh Muhlis agar mengempiskan sedikit ban mobilnya biar tak terlalu menghentak kalau di jalanan yang rusak. Setelah itu kami pun berangkat ke Morowali. Setelah melewati beberapa kelokan, perut saya terasa mual sampai akhirnya saya tertidur. Saya tak tahu lagi ketika mobil yang kami tumpangi telah melewati Tentena. Saya terbangun setelah mobil tiba di perbatasan Poso Morowali.
Ku lihat jarum jam telah menunjukkan pukul 13.00 wita. Perutku mulai kriuk...kriuk....Ku buka bekal keripik yang ku beli di salah satu swalayan di Palu. Saya dan Muhlis makan keripik itu. Dua bungkus habis.
Tapi perut masih saja lapar, karena jalanan tak bersahabat. Selain berkelok-kelok, juga berlobang dan berbatu. Dari 500 kilometer, saya hanya menikmati perjalanan mulus sejauh 50 kilometer. Akhirnya, sekitar pukul 15.00 Wita, kami tiba juga di Bungku, ibukota Kabupaten Morowali. Setelah berputar-putar mencari Pom Bensin untuk mengisi perut mobil kami, mobil Avanza pun melanjutkan perjalanan ke Bahodopi.
Jalanan kembali tidak bersahabat. Mendaki, berkelok-kelok, berlobang dan berbatu menjadi sahabat selama perjalanan. Di Desa Pungkoilu, Bungku Tengah, kami berhenti. Ku cari seorang pamanku di kampung itu. Paman ini meninggalkan kampung halaman kami di Tidore, Maluku Utara sejak tahun 1953. Meski belum pernah mengenalnya, akhirnya kami bisa bertemu juga. Setelah aku memperkenalkan diri, ku dipeluk, dicium dan dia menangis. Usia pamanku ini sudah 67 tahun. Sudah terlalu tua untuk menangisi ponakannya yang baru pertama kali bertemu.
Anak perempuannya yang sudah berusia 38 tahun dipanggil Isi, menyeduh teh untuk saya dan Muhlis. Kami minum teh sambil memakan roti. Dua potong roti berisi kelapa, ku habiskan. Sambil ngobrol melepas kangen, kami pamit ke Bahodopi. Pamanku dengan suara terbata-bata Ditunjukkannya jalan kepada saya dan Muhlis. Lagi-lagi perut belum diisi nasi, sementara jalanan tidak bersahabat. Berkelok-kelok, berlobang dan berbatu. Mobil kami sempat tergelincir, namun Muhlis dengan sigapnya berhasil keluar dari masalah itu.
Dalam perjalanan, saya melirik ke kanan di sebuah bukit, ada sebuah papan nama terbuat dari beton, bertuliskan “Benteng Fafontofure”. Ku minta Muhlis berhenti sejenak. Ku ambil gambar tulisan itu. Perjalanan dilanjutkan. Berbukit-bukit, berkelok-kelok dan berlobang kembali menjadi pengalaman mengasyikan.
Jam menunjukkan pukul 18.30 Wita. Kami tiba di Desa Bahomotefe, Kecamatan Bungku Tengah. “Muhlis, kita berhenti di rumah makan itu. Kita makan dulu. Saya sudah terlalu lapar,” kataku. Muhlis lalu memarkir mobilnya di halaman rumah makan yang luas. Ternyata halaman itu adalah pasar tradisional yang buka setiap hari Sabtu.
Ku pesan ikan dan cumi-cumi. Ku pilih ikan Baronang dan seekor cumi-cumi sedang. Kami makan dengan lahapnya. Ku tanya kepada pemilik warung, di mana letak Desa Bahodopi. Ku dapat penjelasan bahwa Desa Bahodopi masih sekitar 4 kilometer lagi. “Huh....kenapa sangat jauh. Kayaknya tidak ada ujungnya ini Morowali,” kataku dalam hati.
Ku sampaikan maksudku ke Bahodopi. Pemilik warung mengatakan kepada saya: “Nginap saja di sini. Nanti cerita dengan bapak sini mengenai INCO yang sudah terlalu lama berjanji kepada kami di sini,” kata pemilik warung yang ku taksir usianya sudah sekitar 35 tahun itu. Ternyata saya tak salah berhenti di warung makan yang sederhana itu.
Blok Bahodopi di Bahomotefe
Namanya Blok Bahodopi, tapi dari 11 desa yang masuk dalam areal konsesi PT INCO Tbk. Ternyata desa terbesarnya adalah Bahomotefe. Saya kemudian mewawancarai bapak pemilik warung, yang kebetulan namanya sama dengan sopir mobil yang ku sewa. Muchlis Thahir, begitu nama si orang tua itu. Di pertengahan wawancara, Pak Muchlis Thahir kemudian mengundang Kepala Desa Bahomotefe dan dua tokoh masyarakat lain.
Kami lalu bertemu dengan Sudin Ahda, kepala Desa Bahomotefe, Anwar Seho (58), tokoh masyarakat Bahomotefe, Sahrir Yakub (43), masyarakat Bahomotefe, Sahrir Yakub (43), masyarakat Bahomotefe, Jalam (38), Kepala Desa Onepute Jaya, transmigran asal Ciamis Jawa Barat, Muhammad Sunusi (67), mantan kepala sekolah SDN Onepute Jaya, dan lain-lain yang saya temui untuk wawancara.
Arloji di tanganku sudah menunjukkan pukul 02.00 Wita dini hari. Saya pamit tidur dan berjanji paginya akan kembali mewawancari warga setempat. Paginya pukul 08.00 wita saya bangun. Di luar sudah sangat ramai. Ternyata hari itu adalah hari Pasar Bahomotefe. Orang dari berbagai desa tumplek plek di pasar itu. Jadi, saya pun dengan mudahnya mencari warga yang bisa diwawancarai mengenai masalah kasus INCO.
Sampai akhirnya kami kembali ke Bungku dan bertemu dengan Bupati dan mencari data lain di Ibukota Kabupaten Morowali. Sayangnya, Bupati Anwar Hafid terlalu bikroratis. Untuk bertemu dengan seorang bupati di daerah terpencil seperti Morowali saja, harus pakai janji dua hari sebelumnya.
Tapi tak apa. Aku bisa mengambil data soal INCO dari mana saja tanpa lewat bupati. Aku bertemu dengan dua kawan lama di sana. Dulunya kami satu sekolah. Muhammad Zen dan Abd. Rahman. Keduanya banyak cerita ke saya, soal bagaimana Bupati yang bernama Anwar Hafid itu. Ku pikir, data yang ku butuhkan sudah cukup. Pukul 17.00 waktu setempat, aku pun berpamitan balik ke Palu. Selamat tinggal Morowali. ***
Wednesday, November 12, 2008
Sidang Majelis Sinode di Poso Berlangsung Aman
Walau berada dalam pengamanan ketat aparat keamanan, namun Sidang Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) di Tentena, Kabupaten Poso Sulawesi Tengah berlangsung aman dan sukses.
Acara yang berlangsung sejak Selasa (11/11) sore itu telah menghasilkan sejumlah keputusan penting untuk umat Kristiani di Sulawesi Tengah. Hanya saja, pihak panitia tidak merinci secara pasti soal sejumlah program yang dimaksud. Tapi yang pasti, salah satu keputusan penting adalah bahwa pihak GKST tetap mendorong suasana damai dan mendorong kesejahteraan bagi masyarakat setempat.
Salah seorang peserta Sidang Majelis Sinode GKST, Yesaya Erick Tamalagi kepada The Jakarta Post, Rabu (12/11) mengatakan, sidang majelis gereja Sulawesi Tengah itu, tidak terpengaruh dengan adanya eksekusi Amrozi dan kawan-kawan.
“Memang ada pemeriksaan di sejumlah pos penjagaan saat kita memasuki Kota Paoso dan Kota Tentena. Bahkan pengamanan di sekitar lokasi sidang juga sangat ketat, tapi semuanya masih dalam kewajaran. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi,” kata Erik Tamalagi yang juga produser di salah satu televisi swasta nasional di Jakarta itu.
Erik Tamalagi mengatakan, dia sengaja datang dari Jakarta untuk menghadiri sidang majelis Sinode itu sebagai peserta, selain karena termasuk salah seorang pengurud GKST, juga karena merasa yakin bahwa kondisi keamanan di daerah bekas konflik itu sudah membaik. “Saya tak perlu merasa takut lagi. Saya hanya berharap kondisi yang sudah ada seperti sekarang ini dapat bertahan dan bahkan lebih baik lagi di hari-hari mendatang,” ujarnya.
Bupati Poso, Piet Inkiriwang mengatakan warga Poso tidak terpengaruh dengan adanya isu teror menjelang bahkan pasca eksekusi Amrozi cs. Buktinya, kata dia, aktivitas masyarakat tetap berlangsung seperti biasa, walau pun sempat ada beberapa warga Poso, sempat takut berjualan di Pasar Central Poso.
“Tapi itu hanya ketakutan sesaat. Buktinya, tidak ada masalah kan. Anda lihat sendiri kan, bagaimana Anda jalan dari Palu ke Poso sampai ke Tentena ini. Tidak ada masalah kan? Semua baik-baik saja kok. Anda saja (wartawan) yang terlalu berlebihan memberitakan soal Poso ini,” tegas Piet Inkiriwang kepada The Jakarta Post, Selasa, (11/11) sore.
Sementara itu, seperti dilansir Kantor Berita Antara, sekitar 200 umat Katolik di Poso, hari Minggu (9/11) lalu sempat menggelar Misa di Gereja Sion Jln Yos Sudarso Poso Kota untuk melakukan doa bersama kepada Amrozi, Ali Ghufron alias Muchlas, dan Imam Samudra yang telah dieksekusi pada Sabtu (8/11) lalu.
Dalam ibadah ini, Pastor Jhony Mojanggo yang memimpin misa berkali-kali mengimbau jemaatnya mendoakan Amrozi dan kawan-kawan agar arwahnya diterima di sisi Tuhan. Mereka juga mendoakan agar keluarga yang ditinggalkan para almarhum dapat menerima dengan tabah atas hukuman mati yang dijalani ketiga terpidana kasus Bom Bali tersebut.***
Acara yang berlangsung sejak Selasa (11/11) sore itu telah menghasilkan sejumlah keputusan penting untuk umat Kristiani di Sulawesi Tengah. Hanya saja, pihak panitia tidak merinci secara pasti soal sejumlah program yang dimaksud. Tapi yang pasti, salah satu keputusan penting adalah bahwa pihak GKST tetap mendorong suasana damai dan mendorong kesejahteraan bagi masyarakat setempat.
Salah seorang peserta Sidang Majelis Sinode GKST, Yesaya Erick Tamalagi kepada The Jakarta Post, Rabu (12/11) mengatakan, sidang majelis gereja Sulawesi Tengah itu, tidak terpengaruh dengan adanya eksekusi Amrozi dan kawan-kawan.
“Memang ada pemeriksaan di sejumlah pos penjagaan saat kita memasuki Kota Paoso dan Kota Tentena. Bahkan pengamanan di sekitar lokasi sidang juga sangat ketat, tapi semuanya masih dalam kewajaran. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi,” kata Erik Tamalagi yang juga produser di salah satu televisi swasta nasional di Jakarta itu.
Erik Tamalagi mengatakan, dia sengaja datang dari Jakarta untuk menghadiri sidang majelis Sinode itu sebagai peserta, selain karena termasuk salah seorang pengurud GKST, juga karena merasa yakin bahwa kondisi keamanan di daerah bekas konflik itu sudah membaik. “Saya tak perlu merasa takut lagi. Saya hanya berharap kondisi yang sudah ada seperti sekarang ini dapat bertahan dan bahkan lebih baik lagi di hari-hari mendatang,” ujarnya.
Bupati Poso, Piet Inkiriwang mengatakan warga Poso tidak terpengaruh dengan adanya isu teror menjelang bahkan pasca eksekusi Amrozi cs. Buktinya, kata dia, aktivitas masyarakat tetap berlangsung seperti biasa, walau pun sempat ada beberapa warga Poso, sempat takut berjualan di Pasar Central Poso.
“Tapi itu hanya ketakutan sesaat. Buktinya, tidak ada masalah kan. Anda lihat sendiri kan, bagaimana Anda jalan dari Palu ke Poso sampai ke Tentena ini. Tidak ada masalah kan? Semua baik-baik saja kok. Anda saja (wartawan) yang terlalu berlebihan memberitakan soal Poso ini,” tegas Piet Inkiriwang kepada The Jakarta Post, Selasa, (11/11) sore.
Sementara itu, seperti dilansir Kantor Berita Antara, sekitar 200 umat Katolik di Poso, hari Minggu (9/11) lalu sempat menggelar Misa di Gereja Sion Jln Yos Sudarso Poso Kota untuk melakukan doa bersama kepada Amrozi, Ali Ghufron alias Muchlas, dan Imam Samudra yang telah dieksekusi pada Sabtu (8/11) lalu.
Dalam ibadah ini, Pastor Jhony Mojanggo yang memimpin misa berkali-kali mengimbau jemaatnya mendoakan Amrozi dan kawan-kawan agar arwahnya diterima di sisi Tuhan. Mereka juga mendoakan agar keluarga yang ditinggalkan para almarhum dapat menerima dengan tabah atas hukuman mati yang dijalani ketiga terpidana kasus Bom Bali tersebut.***
Warga Australia Minta Pemerintahnya Cabut Travel Warning
Pilot Paralayang asal Negeri Kanguru Australia, Tom Berryman mengatakan, meskipun pemerintah di negaranya memberikan travel warning untuk berkunjung ke Indonesia, tapi ia mengaku tidak pernah takut mengunjungi Kota Palu, Sulawesi Tengah.
“Sangat aman di Indonesia dan di Palu, saya enjoy saja, tidak ada masalah. Palu is very-very save. Seharusnya, pemerintah saya tidak perlu mengeluarkan travel warning,” kata Tom Berryman kepada The Jakarta Post, Rabu (12/11) pagi.
Menurut Tom Berryman, selama berada di Kota Palu, ia tak hanya sekadar menikmati keindahan daerah ini. Ia juga mengaku sangat sangat nyaman dan jauh lebih aman daripada pandangan publik di negaranya.
“Di negara saya tahu bahwa Palu merupakan salah satu daerah konflik. Tapi ternyata di sini bagus. Orangnya ramah-ramah. Saya pernah ke warnet hingga larut malam, tapi tidak ada apa-apa. Tidak ada yang menggangu saya,” jelasnya.
Tom Berryman, yang seorang ahli akupuntur sekaligus counselor psychologies ini, mengaku mencintai olahraga dirgantara sejak lima tahun silam. Ia juga mengaku sudah beberapa kali menjuarai paralayang di beberapa negara.
Ia juga mengaku telah melakukan gliding di beberapa negara, di antaranya India, Hongkong, Nepal, Afrika Selatan, Eropa. Sedangkan di Indonesia, semua daerah yang memiliki launching untuk paralayang telah ia datangi.
Porame Mountain Number One in The World
Dari sekian daerah dan negara yang telah ia datangi, menurut Tom Berryman, pegunungan Matantimali dan Porame di Kabupaten Donggala, Sulawesi dengan kondisi alamnya, memenuhi syarat menjadi lokasi pelaksanaan event-event nasional, bahkan internasional. Pegunungan Porame memiliki kontur bumi dan weather (cuaca), serta kelebihan alamnya yang tidak ia jumpai di tempat lain.
“Porame and Matantimali Mountains is very good, number one in the word,” katanya sambil mengacungkan jempol kanannya.
Ia berharap agar Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah tidak menyia-nyiakan potensi alam yang luar biasa ini. Beberapa fasilitas harus ditingkatkan seperti jalan, sarana mandi cuci kakus (MCK), serta kebersihannya yang harus dijaga.
Jika hendak dikembangkan jadi fasilitas internasional, harus disiapkan klinik, serta helikopter yang bisa disiasati dengan melakukan kerjasama, antara Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah dengan daerah lainnya di Indonesia.
Karena keindahan Kota Palu dan alamanya itulah, Tom Berryman yang telah berada di Kota Palu sejak tanggal 1 November lalu itu, mengaku belum akan pulang ke negaranya. Bahkan ia belum tahu kapan akan kembali. “Saya belum punya rencana kembali ke Australia. Saya masih betah tinggal di Palu. Alamnya indah di sini,” ujarnya.
Tom Berryman yang mengaku sudah mengantongi 5000 jam terbang, dengan jelajah terbang tertinggi mencapai 3000 kaki, dan jarak tempuh terjauh hingga 48 kilometer. Ia berjanji setelah kembali ke clubnya nanti. Ia juga akan menceritakan potensi alam Sulteng ini.
“Nanti akan saya sampaikan, saya juga akan sampaikan kepada teman-teman paraglider di negara lain. Saya juga akan menulis artikel tentang pengalaman saya selama di sini,” katanya sambil menegaskan, seharusnya pemerintahnya tidak usah mengeluarkan travel warning bagi warganya untuk datang ke Indonesia.***
“Sangat aman di Indonesia dan di Palu, saya enjoy saja, tidak ada masalah. Palu is very-very save. Seharusnya, pemerintah saya tidak perlu mengeluarkan travel warning,” kata Tom Berryman kepada The Jakarta Post, Rabu (12/11) pagi.
Menurut Tom Berryman, selama berada di Kota Palu, ia tak hanya sekadar menikmati keindahan daerah ini. Ia juga mengaku sangat sangat nyaman dan jauh lebih aman daripada pandangan publik di negaranya.
“Di negara saya tahu bahwa Palu merupakan salah satu daerah konflik. Tapi ternyata di sini bagus. Orangnya ramah-ramah. Saya pernah ke warnet hingga larut malam, tapi tidak ada apa-apa. Tidak ada yang menggangu saya,” jelasnya.
Tom Berryman, yang seorang ahli akupuntur sekaligus counselor psychologies ini, mengaku mencintai olahraga dirgantara sejak lima tahun silam. Ia juga mengaku sudah beberapa kali menjuarai paralayang di beberapa negara.
Ia juga mengaku telah melakukan gliding di beberapa negara, di antaranya India, Hongkong, Nepal, Afrika Selatan, Eropa. Sedangkan di Indonesia, semua daerah yang memiliki launching untuk paralayang telah ia datangi.
Porame Mountain Number One in The World
Dari sekian daerah dan negara yang telah ia datangi, menurut Tom Berryman, pegunungan Matantimali dan Porame di Kabupaten Donggala, Sulawesi dengan kondisi alamnya, memenuhi syarat menjadi lokasi pelaksanaan event-event nasional, bahkan internasional. Pegunungan Porame memiliki kontur bumi dan weather (cuaca), serta kelebihan alamnya yang tidak ia jumpai di tempat lain.
“Porame and Matantimali Mountains is very good, number one in the word,” katanya sambil mengacungkan jempol kanannya.
Ia berharap agar Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah tidak menyia-nyiakan potensi alam yang luar biasa ini. Beberapa fasilitas harus ditingkatkan seperti jalan, sarana mandi cuci kakus (MCK), serta kebersihannya yang harus dijaga.
Jika hendak dikembangkan jadi fasilitas internasional, harus disiapkan klinik, serta helikopter yang bisa disiasati dengan melakukan kerjasama, antara Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah dengan daerah lainnya di Indonesia.
Karena keindahan Kota Palu dan alamanya itulah, Tom Berryman yang telah berada di Kota Palu sejak tanggal 1 November lalu itu, mengaku belum akan pulang ke negaranya. Bahkan ia belum tahu kapan akan kembali. “Saya belum punya rencana kembali ke Australia. Saya masih betah tinggal di Palu. Alamnya indah di sini,” ujarnya.
Tom Berryman yang mengaku sudah mengantongi 5000 jam terbang, dengan jelajah terbang tertinggi mencapai 3000 kaki, dan jarak tempuh terjauh hingga 48 kilometer. Ia berjanji setelah kembali ke clubnya nanti. Ia juga akan menceritakan potensi alam Sulteng ini.
“Nanti akan saya sampaikan, saya juga akan sampaikan kepada teman-teman paraglider di negara lain. Saya juga akan menulis artikel tentang pengalaman saya selama di sini,” katanya sambil menegaskan, seharusnya pemerintahnya tidak usah mengeluarkan travel warning bagi warganya untuk datang ke Indonesia.***
Thursday, November 06, 2008
Pedagang di Poso Takut Jualan di Pasar
Detik-detik eksekusi tiga terpidana mati kasus bom Bali I, Imam Samudra Cs, membuat sejumlah masyarakat di bekas daerah konflik Poso mengaku khawatir terjadinya kembali gangguan keamanan.
Ini terlihat situasi di pasar Sentral Poso, para pedagang rempah, sayur dan buah yang berasal dari sejumlah desa seperti Desa Maliwuko, Sepe, Silanca, Tangkura dan Desa Malei di kecamatan Lage yang biasa berjualan di pasar Sentral Poso, memilih tidak berdagang. Desa-desa tersebut memang berpenduduk mayoritas Nasrani. Mereka dihantui ketakutan.
Dua hari belakangan ini, para pedagang kecil itu memilih berjualan di pasar tradisioanal Tentena yang jaraknya sekitar 50 kilometer sebelah selatan Kota Poso. Mereka merasa aman bila berjualan di Kota Tentena sebagai basis umat Kristen.
Salah seorang warga Desa Maliwuko Erni Mega mengaku, warga pedagang kecil yang berada di sekitar kecamatan Lage sejak Senin lalu mulai berdagang ke pasar Tentena. “Sejak informasi jelang eksekusi Amrozi cs, pedagang mulai berjualan ke pasar Tentena, mereka khawatir berjualan di pasar Sentral Poso, takut terjadi teror,” kata Mega.
Tak hanya pedagang, sejumlah warga mengaku tidak memilih megunjungi tempat-tempat keramaian seperti pasar. “Kami tidak mengunjungi pasar atau tempat keramaian dulu jelang eksekusi Amrozi cs,” kata Isnah Mustafa warga Kelurahan Kawua, Poso Kota.
Kekhawatiran warga itu dinilai beralasan karena warga Poso pernah diwarnai teror berkepanjangan. Karena itu, aparat keamanan, dari Kepolisian dan TNI mengambil langkah pengamanan ekstra ketat. Pengamanan tersebut disambut baik warga Poso.
Purnama Megati, warga asal Kelurahan Kawua mengaku sangat berterimah kasih pada aparat keamanan yang tidak kenal lelah melakukan razia sepanjang hari. “Kami tidak merasa keberatan di razia, bahkan, sangat berterimah kasih,” kata Purnama.***
Ini terlihat situasi di pasar Sentral Poso, para pedagang rempah, sayur dan buah yang berasal dari sejumlah desa seperti Desa Maliwuko, Sepe, Silanca, Tangkura dan Desa Malei di kecamatan Lage yang biasa berjualan di pasar Sentral Poso, memilih tidak berdagang. Desa-desa tersebut memang berpenduduk mayoritas Nasrani. Mereka dihantui ketakutan.
Dua hari belakangan ini, para pedagang kecil itu memilih berjualan di pasar tradisioanal Tentena yang jaraknya sekitar 50 kilometer sebelah selatan Kota Poso. Mereka merasa aman bila berjualan di Kota Tentena sebagai basis umat Kristen.
Salah seorang warga Desa Maliwuko Erni Mega mengaku, warga pedagang kecil yang berada di sekitar kecamatan Lage sejak Senin lalu mulai berdagang ke pasar Tentena. “Sejak informasi jelang eksekusi Amrozi cs, pedagang mulai berjualan ke pasar Tentena, mereka khawatir berjualan di pasar Sentral Poso, takut terjadi teror,” kata Mega.
Tak hanya pedagang, sejumlah warga mengaku tidak memilih megunjungi tempat-tempat keramaian seperti pasar. “Kami tidak mengunjungi pasar atau tempat keramaian dulu jelang eksekusi Amrozi cs,” kata Isnah Mustafa warga Kelurahan Kawua, Poso Kota.
Kekhawatiran warga itu dinilai beralasan karena warga Poso pernah diwarnai teror berkepanjangan. Karena itu, aparat keamanan, dari Kepolisian dan TNI mengambil langkah pengamanan ekstra ketat. Pengamanan tersebut disambut baik warga Poso.
Purnama Megati, warga asal Kelurahan Kawua mengaku sangat berterimah kasih pada aparat keamanan yang tidak kenal lelah melakukan razia sepanjang hari. “Kami tidak merasa keberatan di razia, bahkan, sangat berterimah kasih,” kata Purnama.***
Banjir di Parigi, Satu Tewas
Hujan yang mengguyur Kabupaten Parigi Moutong selama sepekan terakhir menyebabkan banjir sejumlah desa di Kecamatan Balinggi, Selasa (4/11) malam. Banjir terparah menerjang Desa Balinggi Jati. Ratusan rumah dan 50 hektar sawah terendam banjir. Seorang warga dilaporkan meninggal.
Warga setempat mengatakan, banjir disebabkan meluapnya Sungai Balinggi dan Sungai Uwe tua. Luapan sungai menyebabkan salah satu tanggul sepanjang 16 meter tak mampu lagi menahan kuatnya arus sungai.
Banjir juga merendam puluhan hektar kebun coklat warga. Ratusan karung gabah yang tersimpan di gudang gilingan padi juga ikut terendam. Akibat banjir ini warga mengaku, mengalami kerugian ratusan juta rupiah.
Saat ini warga masih dilanda kekhawatiran karena hujan masih terus mengguyur wilayah itu. “Kami masih khawatir banjir akan datang lagi. Hujan masih terus turun,” kata seorang warga.
Camat Balinggi, Kahar Hanusu mengatakan, dari sepuluh dusun di Desa Balinggi Jati, empat yang parah yakni Cakrosari, Pancasari , Tutuk dan Antosari.
Di empat dusun ini ketinggian air mencapai 1,25 meter atau setinggi dada orang dewasa.
Menurut Camat Balinggi, akibat banjir ini, seorang warga bernama I Wayan Redag (75), warga Dusun Cakrosari meninggal dunia, karena terkejut setelah mendengar sawahnya seluas sekira satu hektar ikut terendam banjir. “Mungkin kakek ini kaget mendengar sawahnya yang siap panen ikut terendam air,” ujar Kahar.
Kahar menambahkan, saat ini warga setempat tengah melakukan penanganan darurat, dengan bergotong royong mengeluarkan air bercampur pasir yang berada di rumah-rumah warga yang tergenang air.
Ia sudah mengintruksikan warga untuk mengamankan barang-barang berharga di rumahnya masing-masing. Ia meminta warga mengantisipasi banjir susulan mengingat cuaca di wilayah tersebut masih rawan hujan.
Pasca banjir, Wakil Bupati Parigi Moutong Samsurizal Tombolotutu bersama Kadis Kimpraswil Syafullah Djafar, Selasa (4/11) malam telah mengunjungi lokasi banjir. Hingga Rabu (5/11)kemarin, banjir masih mengenangi sejumlah rumah warga dengan ketinggian air mencapai lutut orang dewasa. Banjir juga masih menggenangi ruas jalan desa itu, sehingga menyebabkan lumpuhnya jalur transportasi yang menghubungkan wilayah itu dengan desa tetangga.
Warga setempat mengatakan, banjir disebabkan meluapnya Sungai Balinggi dan Sungai Uwe tua. Luapan sungai menyebabkan salah satu tanggul sepanjang 16 meter tak mampu lagi menahan kuatnya arus sungai.
Banjir juga merendam puluhan hektar kebun coklat warga. Ratusan karung gabah yang tersimpan di gudang gilingan padi juga ikut terendam. Akibat banjir ini warga mengaku, mengalami kerugian ratusan juta rupiah.
Saat ini warga masih dilanda kekhawatiran karena hujan masih terus mengguyur wilayah itu. “Kami masih khawatir banjir akan datang lagi. Hujan masih terus turun,” kata seorang warga.
Camat Balinggi, Kahar Hanusu mengatakan, dari sepuluh dusun di Desa Balinggi Jati, empat yang parah yakni Cakrosari, Pancasari , Tutuk dan Antosari.
Di empat dusun ini ketinggian air mencapai 1,25 meter atau setinggi dada orang dewasa.
Menurut Camat Balinggi, akibat banjir ini, seorang warga bernama I Wayan Redag (75), warga Dusun Cakrosari meninggal dunia, karena terkejut setelah mendengar sawahnya seluas sekira satu hektar ikut terendam banjir. “Mungkin kakek ini kaget mendengar sawahnya yang siap panen ikut terendam air,” ujar Kahar.
Kahar menambahkan, saat ini warga setempat tengah melakukan penanganan darurat, dengan bergotong royong mengeluarkan air bercampur pasir yang berada di rumah-rumah warga yang tergenang air.
Ia sudah mengintruksikan warga untuk mengamankan barang-barang berharga di rumahnya masing-masing. Ia meminta warga mengantisipasi banjir susulan mengingat cuaca di wilayah tersebut masih rawan hujan.
Pasca banjir, Wakil Bupati Parigi Moutong Samsurizal Tombolotutu bersama Kadis Kimpraswil Syafullah Djafar, Selasa (4/11) malam telah mengunjungi lokasi banjir. Hingga Rabu (5/11)kemarin, banjir masih mengenangi sejumlah rumah warga dengan ketinggian air mencapai lutut orang dewasa. Banjir juga masih menggenangi ruas jalan desa itu, sehingga menyebabkan lumpuhnya jalur transportasi yang menghubungkan wilayah itu dengan desa tetangga.
Subscribe to:
Posts (Atom)