Ruslan Sangadji
Banjir dan longsor yang Kabupaten Morowali--sekitar 640 kilometer dari Kota Palu, Ibukota Provinsi Sulawesi Tengah pada Minggu (22/7) sekitar pukul 19.00 Wita lalu, telah menyebabkan 56 orang warga Desa Uweruru, Kecamatan Bungku Utara meninggal dunia.
Hanya saja, pihak kecamatan setempat belum dapat melaporkan secara detail identitas korban yang meninggal akibat tertimbun lumpur itu. Pihak kecamatan hanya menyatakan bahwa sebagian besar korban yang meninggal dunia itu, telah dievakuasi dan telah dikuburkan secara massal di Desa Kolo Bawah di kecamatan itu. Sedangkan sebagian lainnya dilaporkan masih tertimbun lumpur.
Bupati Morowali, Datlin Tamalagi yang dikonfirmasi via telepon satelit menjelaskan, dari 22 Desa di Kecamatan itu, ada 10 desa yang paling parah dilanda banjir, yakni Desa Kalombang, Toranggo, Matube, Tambarone, Uweruru, Saliti, Toklal Tasa, Lesong, Pangkal dan Desa Tirongan. "Tapi hanya desa Uweruru yang dilanda longsor dan menyebabkan lebih 50 orang meninggal dunia, dan sebagian besarnya masih dalam upaya evakuasi," kata Bupati Datlin Tamalagi.
Kapolda SUlawesi Tengah, Brigadir Jenderal Polisi Badordin Haiti mengatakan kondisi lokasi sangat menyulitkan pihak evakuator, baik anggota kepolisian dan TNI serta masyarakat. Pasalnya, selain jarak antara lokasi kejadian dengan Desa Baturube, ibukota Kecamatan Bungku Utara jauh, yakni sekitar 32 kilometer, juga karena kondisi jalan yang susah dilewati karena rusak akibat dilanda banjir itu.
"Karena itulah yang menyebabkan kami kesulitan mengevakuasi dan melakukan penanganan cepat terhadap korban," kata Kapolda Sulteng kepada The Jakarta Post, Selasa (23/7) siang.
Menurut Kapolda Sulteng, salah satu penyebab banyaknya korban tewas itu, karena sebelumnya tersiar kabar bahwa akan terjadi tsunami. Akhirnya warga lari menyelematkan diri ke bukit-bukit sekitar, dan membangun tenda di tempat itu. Tak dinyana, ternyata bukit tempat mereka mengungsi itu longsor dan menimbun mereka. "Akhirnya banyak korban yang tewas," terang Kapolda.
Bupati Morowali menambahkan, saat ini para sebagian besar korban banjir dan longsor telah dievakuasi ke Desa Baturube, ibu Kota Kecamatan Bungku Utara, sementara sebagian lainnya memilih masih terus bertahan di pegunungan.
Menurutnya, sejak peristiwa itu, ia langsung memimpin tim dari pemerintah kabupaten telah berangkat menuju lokasi untuk membawa sejumlah bantuan sembako bagi pengungsi, tapi sampai tadi malam mereka belum berhasil mencapai lokasi.
Penyebab tidak berhasil sampai lokasi, katanya, karena faktor alam dan kondisi jalan yang sangat berat (banyam yang rusaak) juga karena beberapa jembatan telah hanyut dibawa banjir.
"Kami berusaha membawa bantuan sembako dan obat-obatan melalui jalur laut, tapi itu juga sangat sulit karena gelombang masih sangat tinggi," urai Bupati Datlin Tamalagi.
Akhirnya, kata Bupati saat ini selain berpasrah dsiri pda Tuhan, pihaknya akan terus berusaha dengan cara apa pun demi menyelematkan para korban musibah banjir dan tanah longsor itu.
"Kami sudah menyiapkan satu kapal, tapi kami juga berharap ada yang bisa membantu angkutan laut yang baik, agar kami bisa segera membawa bantuan ini. Kasihan warga di sana," kata Bupati dengan suara terbata-bata.
Akibat terlambatnya bantuan itu, dilaporkan bahwa saat ini para pengungsi di Bungku Utara mulai kelaparan, didera penyakit gatal-gatal dan gangguan kesehatan lainnya. Mereka tak bisa berharap banyak, karena memang bantuan belum sampai ke lokasi.
Warga di Kolonodale dan Bungku di Morowali, bergotong royong mengumpulkan sejumlah bantuan bahan makanan, Senin (22/7) malam, telah berhasil terkumpul 500 doz mie instan, pakaian bekas layak pakai dan jutaan uang tunai untuk diberikan kepada para korban.
"Rencananya bantuan ini akan kami bawa dengan kapal yang sudah disiapkan pemerintah daerah," kata Yulmartin Tauwa, salah seorang warga Kolonodale.
Banjir tidak hanya terjadi di Kabupaten Morowali. Di Parigi Moutong pun juga terjadi banjir yang menyebabkan ratusan rumah terendam air. Pun halnya dengan ratusan hektar kebun dan sawah milik warga.
Bupati Parigi Moutong, Longky Djanggola melaporkan, di desa Ogotumubu, Kecamatan Tomini, tercatat ada 200 rumah yang terendam banjir, arus lalu lintas yang melewati jalan Trans Sulawesi juga terganggu. Kondisi itu juga terjadi di Desa Ongka Malino, Kecamatan Bolano Lambunu dan Desa Sidoan di Kecamatan Tinombo.
Sedangkan di Desa Laemanta, Kecamatan Kasimbar, hujan deras disertai angin kencang menyebabkan terjadinya longsor, ada dua tiang listrik dilaporkan tumbang. Namun tidak ada korban jiwa dalam musibah itu.
Lagi-lagi Bupati Parigi Moutong mengingatkan warganya untuk terus menjaga kelestarian alam dan tidak menebang hutan. Sebab, salah satu penyebab terjadinya banjir ini karena makin seringnya terjadi pembabatan hutan di sekitar pegunungan.
"Kalau kita tidak hentikan pembabatan hutan, musibah yang lebih besar lagi akan menimpa kita. Ini pelajaran bagi kita untuk menyudaho praktik pembatatan hutan itu," kata Longky Djanggola mengingatkan. ***
Banjir dan longsor yang Kabupaten Morowali--sekitar 640 kilometer dari Kota Palu, Ibukota Provinsi Sulawesi Tengah pada Minggu (22/7) sekitar pukul 19.00 Wita lalu, telah menyebabkan 56 orang warga Desa Uweruru, Kecamatan Bungku Utara meninggal dunia.
Hanya saja, pihak kecamatan setempat belum dapat melaporkan secara detail identitas korban yang meninggal akibat tertimbun lumpur itu. Pihak kecamatan hanya menyatakan bahwa sebagian besar korban yang meninggal dunia itu, telah dievakuasi dan telah dikuburkan secara massal di Desa Kolo Bawah di kecamatan itu. Sedangkan sebagian lainnya dilaporkan masih tertimbun lumpur.
Bupati Morowali, Datlin Tamalagi yang dikonfirmasi via telepon satelit menjelaskan, dari 22 Desa di Kecamatan itu, ada 10 desa yang paling parah dilanda banjir, yakni Desa Kalombang, Toranggo, Matube, Tambarone, Uweruru, Saliti, Toklal Tasa, Lesong, Pangkal dan Desa Tirongan. "Tapi hanya desa Uweruru yang dilanda longsor dan menyebabkan lebih 50 orang meninggal dunia, dan sebagian besarnya masih dalam upaya evakuasi," kata Bupati Datlin Tamalagi.
Kapolda SUlawesi Tengah, Brigadir Jenderal Polisi Badordin Haiti mengatakan kondisi lokasi sangat menyulitkan pihak evakuator, baik anggota kepolisian dan TNI serta masyarakat. Pasalnya, selain jarak antara lokasi kejadian dengan Desa Baturube, ibukota Kecamatan Bungku Utara jauh, yakni sekitar 32 kilometer, juga karena kondisi jalan yang susah dilewati karena rusak akibat dilanda banjir itu.
"Karena itulah yang menyebabkan kami kesulitan mengevakuasi dan melakukan penanganan cepat terhadap korban," kata Kapolda Sulteng kepada The Jakarta Post, Selasa (23/7) siang.
Menurut Kapolda Sulteng, salah satu penyebab banyaknya korban tewas itu, karena sebelumnya tersiar kabar bahwa akan terjadi tsunami. Akhirnya warga lari menyelematkan diri ke bukit-bukit sekitar, dan membangun tenda di tempat itu. Tak dinyana, ternyata bukit tempat mereka mengungsi itu longsor dan menimbun mereka. "Akhirnya banyak korban yang tewas," terang Kapolda.
Bupati Morowali menambahkan, saat ini para sebagian besar korban banjir dan longsor telah dievakuasi ke Desa Baturube, ibu Kota Kecamatan Bungku Utara, sementara sebagian lainnya memilih masih terus bertahan di pegunungan.
Menurutnya, sejak peristiwa itu, ia langsung memimpin tim dari pemerintah kabupaten telah berangkat menuju lokasi untuk membawa sejumlah bantuan sembako bagi pengungsi, tapi sampai tadi malam mereka belum berhasil mencapai lokasi.
Penyebab tidak berhasil sampai lokasi, katanya, karena faktor alam dan kondisi jalan yang sangat berat (banyam yang rusaak) juga karena beberapa jembatan telah hanyut dibawa banjir.
"Kami berusaha membawa bantuan sembako dan obat-obatan melalui jalur laut, tapi itu juga sangat sulit karena gelombang masih sangat tinggi," urai Bupati Datlin Tamalagi.
Akhirnya, kata Bupati saat ini selain berpasrah dsiri pda Tuhan, pihaknya akan terus berusaha dengan cara apa pun demi menyelematkan para korban musibah banjir dan tanah longsor itu.
"Kami sudah menyiapkan satu kapal, tapi kami juga berharap ada yang bisa membantu angkutan laut yang baik, agar kami bisa segera membawa bantuan ini. Kasihan warga di sana," kata Bupati dengan suara terbata-bata.
Akibat terlambatnya bantuan itu, dilaporkan bahwa saat ini para pengungsi di Bungku Utara mulai kelaparan, didera penyakit gatal-gatal dan gangguan kesehatan lainnya. Mereka tak bisa berharap banyak, karena memang bantuan belum sampai ke lokasi.
Warga di Kolonodale dan Bungku di Morowali, bergotong royong mengumpulkan sejumlah bantuan bahan makanan, Senin (22/7) malam, telah berhasil terkumpul 500 doz mie instan, pakaian bekas layak pakai dan jutaan uang tunai untuk diberikan kepada para korban.
"Rencananya bantuan ini akan kami bawa dengan kapal yang sudah disiapkan pemerintah daerah," kata Yulmartin Tauwa, salah seorang warga Kolonodale.
Banjir tidak hanya terjadi di Kabupaten Morowali. Di Parigi Moutong pun juga terjadi banjir yang menyebabkan ratusan rumah terendam air. Pun halnya dengan ratusan hektar kebun dan sawah milik warga.
Bupati Parigi Moutong, Longky Djanggola melaporkan, di desa Ogotumubu, Kecamatan Tomini, tercatat ada 200 rumah yang terendam banjir, arus lalu lintas yang melewati jalan Trans Sulawesi juga terganggu. Kondisi itu juga terjadi di Desa Ongka Malino, Kecamatan Bolano Lambunu dan Desa Sidoan di Kecamatan Tinombo.
Sedangkan di Desa Laemanta, Kecamatan Kasimbar, hujan deras disertai angin kencang menyebabkan terjadinya longsor, ada dua tiang listrik dilaporkan tumbang. Namun tidak ada korban jiwa dalam musibah itu.
Lagi-lagi Bupati Parigi Moutong mengingatkan warganya untuk terus menjaga kelestarian alam dan tidak menebang hutan. Sebab, salah satu penyebab terjadinya banjir ini karena makin seringnya terjadi pembabatan hutan di sekitar pegunungan.
"Kalau kita tidak hentikan pembabatan hutan, musibah yang lebih besar lagi akan menimpa kita. Ini pelajaran bagi kita untuk menyudaho praktik pembatatan hutan itu," kata Longky Djanggola mengingatkan. ***
No comments:
Post a Comment