Ruslan Sangadji
Pihak DPRD Sulawesi Tengah menyatakan, warga Dongi-Dongi atau Ngata Katuwua (Kampung Kemerdekaan) di kawasan Taman Nasional Lore Lindu telah melanggar kesepakatan dengan lembaga yang telah mengadvokasi mereka dan pemerintah, sehingga mereka harus direlokasi ke wilayah yang lebih baik.
Kesepakatan yang sudah dilanggar itu antara lain, tidak boleh menambah luasan kawasan yang dirambah, tidak boleh merambah wilayah daerah aliran sungai (DAS), tidak boleh menebang kayu berdiameter di bawah dari 40 CM dan tidak boleh memindahtangankan areal kebun kepada orang lain.
"Bahwa luas areal yang dirambah hanya boleh sampai 4000 hektar, tapi yang terjadi sekarang, warga Dongi-Dongi telah menambah luasan areal, bahkan menjual sebagian lokasi kepada pihak luar. Itu sangat berbahaya bagi kelestarian Taman Nasional Lore Lindu," kata Muharram Nurdin, ketua Komisi Pembangunan DPRD Sulteng kepada The Jakarta Post, Jumat (20/7) malam.
Hanya saja, menurut Muharram Nurdin, sampai kini wacana Gubernur Sulawesi Tengah, Bandjela Paliudju belum merealisasikan rencana relokasi itu, padahal, pertemuan demi pertemuan untuk membicarakan soal itu telah beberapa kali dilakukan.
Ketidaktegasan Gubernur Paliudju, kata Muharram Nurdin, justru membuat warga berada dalam ketidakpastian. Mereka dibayang-bayangi ketakutan, tidak diberikan kepastian akan hak mereka, juga kepastian untuk hidup tenang dan banyak ketidakpastian lainnya
"Sikap Gubernur Sulteng itu, justru telah melanggar HAM. Makanya sekarang kita sedang menjajaki untuk memberikan interpelasi kepada Gubernur Sulteng," kata Muharram Nurdin.
Memang, kata politisi muda Sulteng ini, untuk merelokasi warga Dongi-Dongi, tidaklah semudah membalik telapak tangan, tapi persoalannya adalah karena Gubernur Bandjela Paliudju selalu menggantung masalah dan mengganggap mudah semua urusan, akibatnya banyak kebijakannya yang tidak bisa berjalan maksimal.
Tidak hanya itu, kata Muharram Nurdin, untuk merelokasi warga di Ngata Katuwua, membutuhkan anggaran sedikitnya Rp 75 miliar. Anggaran sebesar itu, digunakan untuk pembangunan fasilitas rumah sederhana, kesehatan, sekolah dasar satu atap, pasar tradisional, fasilitas ibadah.
"Itu belum termasuk pembangunan jalan dan biaya hidup warga selama setahun sebelum mereka berproduksi. Jika semua fasilitas dibangun ditambah biaya hidup, diperkirakan anggaran yang dibutuhkan sebesar Rp 100 miliar," tegasnya.
Gubernur Sulawesi Tengah yang dikonfirmasi terpisah mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan penelitian di beberapa lokasi yang dianggap layak untuk merelokasi warga Dongi-Dongi itu. Antara lain lokasi yang sudah dianggap layak adalah di Banawa Selatan, Kabupaten Donggala.
"Tapi kita masih harus mengkaji lagi soal kelayakan dan banyak hal lainnya. Tapi yang pasti bahwa warga Dongi-Dongi harus dipindahkan," kata Gubernur Sulteng yang dikonfirmasi, Sabtu (21/7) siang.
Agussalim Faisal Said, aktivis lingkungan yang juga mengadvokasi warga Dongi-Dongi mengatakan, tidak ada alasan lain bagi pemerintah daerah untuk merelokasi warga setempat. Pasalnya, semua warga berhak atas setiap lahan untuk mempertahankan hidup mereka.
Menurut Agussalim Faisal Said, alasan masuknya warga luar ke Dongi-Dongi dan membangun pemukiman di situ, karena ada kebijakan pemerintah sebelumnya yang telah merugikan mereka. "Mereka telah dibohongi oleh pemerintah, sehingga jangan salahkan mereka kalau akhirnya mereka masuk ke kawasan itu dan membangun pemukiman baru, " tegas Agussalim Faisal Said.
Untuk diketahui, warga yang merambah dan membangun pemukiman baru di kawasan Taman Nasional itu, karena sebelumnya mereka adalah korban kesalahan kebijakan pemerintah soal transmigrasi lokal tahun 1980-an di Kecamatan Palolo, Kabupaten Donggala.
Ketika itu, pemerintah menjanjikan selain mendapatkan rumah, juga akan mendapatkan lahan usaha seluas satu hektar. Tapi ternyata lahan usaha yang diberikan hanya seluas 0,5 hektar. Akhirnya, seiring bertambahnya populasi penduduk dan desakan hidup makin bertambah, maka pada tahun 1993, sedikitnya 1.030 jiwa warga pun kemudian merambah kawasan Taman Nasional Lore Lindu dan membangun pemukiman baru yang mereka beri nama Ngata Katuwua.
Akhirnya, sepanjang jalan utama dari menuju Taman Nasional Lore Lindu, yang dulunya hutan belantara kini berubah menjadi kawasan pemukiman. Pepohonan yang dulunya rindang, telah berubah menjadi kebun warga. Bahkan, karena telah terjadi penetrasi dari pihak luar, warga setempat sudah berani menebang kayu untuk dijual kepada para cukong kayu asal Palu.
Padahal, kawasan itu menjadi daerah penyangga Kota Palu dan sekitarnya. Tahun 2000 lalu, banjir bandang pun menghantam kawasan di bawah Taman Nasional Lore itu. Beberapa jembatan pun putus karena dibawa banjir, dan kerugian saat itu mencapai Rp 50 miliar. Akankah kita biarkan kerusakan hutan Taman Nasional Lore Lindu itu makin meluas...??? ***
Pihak DPRD Sulawesi Tengah menyatakan, warga Dongi-Dongi atau Ngata Katuwua (Kampung Kemerdekaan) di kawasan Taman Nasional Lore Lindu telah melanggar kesepakatan dengan lembaga yang telah mengadvokasi mereka dan pemerintah, sehingga mereka harus direlokasi ke wilayah yang lebih baik.
Kesepakatan yang sudah dilanggar itu antara lain, tidak boleh menambah luasan kawasan yang dirambah, tidak boleh merambah wilayah daerah aliran sungai (DAS), tidak boleh menebang kayu berdiameter di bawah dari 40 CM dan tidak boleh memindahtangankan areal kebun kepada orang lain.
"Bahwa luas areal yang dirambah hanya boleh sampai 4000 hektar, tapi yang terjadi sekarang, warga Dongi-Dongi telah menambah luasan areal, bahkan menjual sebagian lokasi kepada pihak luar. Itu sangat berbahaya bagi kelestarian Taman Nasional Lore Lindu," kata Muharram Nurdin, ketua Komisi Pembangunan DPRD Sulteng kepada The Jakarta Post, Jumat (20/7) malam.
Hanya saja, menurut Muharram Nurdin, sampai kini wacana Gubernur Sulawesi Tengah, Bandjela Paliudju belum merealisasikan rencana relokasi itu, padahal, pertemuan demi pertemuan untuk membicarakan soal itu telah beberapa kali dilakukan.
Ketidaktegasan Gubernur Paliudju, kata Muharram Nurdin, justru membuat warga berada dalam ketidakpastian. Mereka dibayang-bayangi ketakutan, tidak diberikan kepastian akan hak mereka, juga kepastian untuk hidup tenang dan banyak ketidakpastian lainnya
"Sikap Gubernur Sulteng itu, justru telah melanggar HAM. Makanya sekarang kita sedang menjajaki untuk memberikan interpelasi kepada Gubernur Sulteng," kata Muharram Nurdin.
Memang, kata politisi muda Sulteng ini, untuk merelokasi warga Dongi-Dongi, tidaklah semudah membalik telapak tangan, tapi persoalannya adalah karena Gubernur Bandjela Paliudju selalu menggantung masalah dan mengganggap mudah semua urusan, akibatnya banyak kebijakannya yang tidak bisa berjalan maksimal.
Tidak hanya itu, kata Muharram Nurdin, untuk merelokasi warga di Ngata Katuwua, membutuhkan anggaran sedikitnya Rp 75 miliar. Anggaran sebesar itu, digunakan untuk pembangunan fasilitas rumah sederhana, kesehatan, sekolah dasar satu atap, pasar tradisional, fasilitas ibadah.
"Itu belum termasuk pembangunan jalan dan biaya hidup warga selama setahun sebelum mereka berproduksi. Jika semua fasilitas dibangun ditambah biaya hidup, diperkirakan anggaran yang dibutuhkan sebesar Rp 100 miliar," tegasnya.
Gubernur Sulawesi Tengah yang dikonfirmasi terpisah mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan penelitian di beberapa lokasi yang dianggap layak untuk merelokasi warga Dongi-Dongi itu. Antara lain lokasi yang sudah dianggap layak adalah di Banawa Selatan, Kabupaten Donggala.
"Tapi kita masih harus mengkaji lagi soal kelayakan dan banyak hal lainnya. Tapi yang pasti bahwa warga Dongi-Dongi harus dipindahkan," kata Gubernur Sulteng yang dikonfirmasi, Sabtu (21/7) siang.
Agussalim Faisal Said, aktivis lingkungan yang juga mengadvokasi warga Dongi-Dongi mengatakan, tidak ada alasan lain bagi pemerintah daerah untuk merelokasi warga setempat. Pasalnya, semua warga berhak atas setiap lahan untuk mempertahankan hidup mereka.
Menurut Agussalim Faisal Said, alasan masuknya warga luar ke Dongi-Dongi dan membangun pemukiman di situ, karena ada kebijakan pemerintah sebelumnya yang telah merugikan mereka. "Mereka telah dibohongi oleh pemerintah, sehingga jangan salahkan mereka kalau akhirnya mereka masuk ke kawasan itu dan membangun pemukiman baru, " tegas Agussalim Faisal Said.
Untuk diketahui, warga yang merambah dan membangun pemukiman baru di kawasan Taman Nasional itu, karena sebelumnya mereka adalah korban kesalahan kebijakan pemerintah soal transmigrasi lokal tahun 1980-an di Kecamatan Palolo, Kabupaten Donggala.
Ketika itu, pemerintah menjanjikan selain mendapatkan rumah, juga akan mendapatkan lahan usaha seluas satu hektar. Tapi ternyata lahan usaha yang diberikan hanya seluas 0,5 hektar. Akhirnya, seiring bertambahnya populasi penduduk dan desakan hidup makin bertambah, maka pada tahun 1993, sedikitnya 1.030 jiwa warga pun kemudian merambah kawasan Taman Nasional Lore Lindu dan membangun pemukiman baru yang mereka beri nama Ngata Katuwua.
Akhirnya, sepanjang jalan utama dari menuju Taman Nasional Lore Lindu, yang dulunya hutan belantara kini berubah menjadi kawasan pemukiman. Pepohonan yang dulunya rindang, telah berubah menjadi kebun warga. Bahkan, karena telah terjadi penetrasi dari pihak luar, warga setempat sudah berani menebang kayu untuk dijual kepada para cukong kayu asal Palu.
Padahal, kawasan itu menjadi daerah penyangga Kota Palu dan sekitarnya. Tahun 2000 lalu, banjir bandang pun menghantam kawasan di bawah Taman Nasional Lore itu. Beberapa jembatan pun putus karena dibawa banjir, dan kerugian saat itu mencapai Rp 50 miliar. Akankah kita biarkan kerusakan hutan Taman Nasional Lore Lindu itu makin meluas...??? ***
No comments:
Post a Comment