Ruslan Sangadji
Damai Poso, Jalan Panjang yang Penuh Liku
Diakui atau tidak, Deklarasi Malino ternyata telah membawa perubahan yang cukup signifikan, untuk membawa Poso ke jalan damai yang lebih baik. Meski, ada beberapa pihak berpendapat bahwa pertemuan damai yang digagas Susilo Bambang Yudhoyono (ketika masih menjabat sebagai Menkopolkam) dan Jusuf Kalla (saat masih menjadi Menko Kesra) itu, tidak membawa perbaikan kondisi yang lebih baik, signifikansi dari perjanjian itu untuk membawa poso kembali damai dipertanyakan.
Tapi, fakta di lapangan menunjukkan kalau kondisi Poso dapat berubah hingga kini. Sebelum adanya pertemuan damai di Malino, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, masyarakat di Poso hidup dalam kelompok masing-masing. Ada garis demarkasi yang jelas dari kedua kelompok yang bertikai di Poso (Islam dan Kristen).
Tapi, pasca Deklarasi Malino, dan walau tidak sekaligus, tapi garis demarkasi itu pun hilang dengan sendirinya. Artinya, warga Islam Poso yang dulunya tidak dapat melintas hingga melewati Kelurahan Kawua di Poso Kota Selatan, kini sudah dapat berbaur kembali. Pun sebaliknya, bagi warga Kristen, sudah dapat bergaul lagi dengan warga Islam di Poso Kota.
PAsar Sentral Poso di Poso Kota (basis umat Islam), tidak hanya menjadi tempat berbelanja bagi orang Islam, tapi pasar yang terletak di tengah-tengah kota Poso itu benar-benar telah menjadi sebuah sarana pertemuan antardua komunitas yang bertikai sebelumnya. Memang tidak seperti Ambon yang dikenal dengan "Pasar Baku BAe", tapi paling tidak suasana seperti itu kini telah nampak di Poso.
"Siapa bilang Deklarasi Malino tidak bisa menjadikan perubahan di Poso. Perjanjian itu telah terbukti menjadi perekat dua pihak yang bertikai di Poso," tegas Yus Mangun, salah seorang tokoh masyarakat Poso yang kini menjadi anggota DPRD Sulawesi Tengah.
Memang, menurut Yus Mangun bahwa proses untuk menuju kedamaian sejati, tidaklah semudah yang dibayangkan, tapi secara berproses kedamaian itu akhirnya datang juga, dan sekarang fakta itu telah terlihat dengan jelas di depan mata kita.
Konflik komunal bertendi agama di Poso memang sudah tidak ada lagi. Tidak ada lagi massa dalam jumlah besar menyerang dan membakar satu kawasan tertentu. Kondisi itu berlangsung sejak ditekennya Deklarasi Malino, hingga sekarang. Memang, diakui bahwa pasa perjanjian damai itu, permasalahan sosial dan eksistensi beberapa kelompok yang merasa keberadaannya terusik yang memang mengganggu jalan menuju damai itu.
Tapi, kelompok-kelompok itu akhirnya dapat ditangkap dan bahkan ada yang tertembak sampai mati. "Yah, itulah resiko. Kalau cita-cita kita mau agar Poso damai, maka tidak boleh ada kelompok yang mengganggu, apalagi sampai menghalangi cita-cita itu," kata Yus Mangun lagi.
MOTAMBU TANA
Tahmidi Lasahido, sosiolog dari Universitas Tadulako yang juga pekerja damai untuk Poso, mengatakan, kedamaian Poso dapat tercapai secara komprehensif, jika semua pihak yang pernah bertikai bersepakat untuk mengubur dalam-dalam semua dendam yang pernah ada.Menguburkan dendam itu, yang kemudian masyarakat menyatu dalam satu ikatan adat dan budaya nenek moyang yang pernah ada di Poso. Adat dan tradisi itu disebut dengan Motambu Tana atau mengubur dendam.
"Saya dan teman-teman, termasuk Ichsan Malik, pernah punya rencana menggelar adat Motambu Tana itu. Tapi sampai sekarang belum tercapai rencana itu. Maka kita berharap, tradisi Motambu Tana itu tidak perlu dilakukan secara seremoni lagi, tapi yang paling penting adalah tumbuhnya kesadaran kolektif untuk mengubur dendam itu," kata Tahmidi Lasahido.
Untuk menumbuhkan kesadaran kolektif itu, kata Tahmidi Lasahido, adalah perlunya sosialisasi tentang pentingnya perdamaian secara terus menerus kepada stakeholders di Poso. Selain itu, yang perlu dilakukan juga adalah pentingnya ada tokoh yang dapat menjadi perekat bagi kedua kelompok agama di Poso. "Kita tidak punya tokoh itu di Poso," ujarnya singkat.
Hal lain yang juga sangat penting dilakukan adalah pemberdayaan ekonomi masyarakat. Pasca konflik Poso ribuan warga Poso kehilangan pekerjaan. Rata-rata dari mereka adalah anak-anak yang sekarang sangat produktif. Dan bahanyanya adalah sebagian dari mereka yang kehilangan pekerjaan itu adalah eks kombatan yang terlatih dalam melakukan tindakan kekerasan
"Ini sangat serius, sehingga rekomendasinya adalah, pemerintah harus betul-betul memberikan perhatian serius soal ini," kata Tahmidi Lasahido.
Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air di Sulewana, Poso, menjadi salah satu proyek bergengsi yang diharapkan dapat merekrut tenaga kerja lokal. Tapi ternyata di satu sisi mega proyek itu tidak bisa menjawab masalah penggangguran di Pos, demikian halnya dengan masalah kemiskinan. Pembangunan PLTA SUlewana (Poso I, II dan III) yang akan menghasilkan energi listrik hingga 690 megawatt (MW) itu, ternyata tidak dinikmati warga Poso.
Wakil Bupati Poso, Abdul Muthalib Rimi, menyebutkan bahwa jumlah orang miskin di Poso saat ini mencapai sekitar 50.000 jiwa dari 194.241 jiwa total penduduk Poso saat ini. Jumlah rumah tangga miskin (RTM) mencapai sekitar 20.000 RTM, dan angka pengangguran terbesar adalah para tamatan SLTA, yakni sekitar 2.000 orang. Tingginya akan kemiskinan ini menjadi sangat ironi bila dibandingkan dengan Kabupaten Poso yang kaya sumber daya alam (SDA) sehingga tidak mesti rakyatnya hidup sengsara dan miskin.
Jadi, yang pasti bahwa kini keadaan di Poso sudah pulih. Suasana kota sudah sangat terasa sehri-hari. Hilir mudik lalulintas orang dan kendaraan pun sudah semakin lancar. Sudah sangat jarang terlihat ada aparat keamanan yang berjalanan menenteng senjata bak di medan tempur. Tidak ada lagi pengawalan bagi setiap kendaraan yang akan nmelintasi daerah yang dulunya laksana surga di Sulawesi Tengah itu.
Tapi, untuk menuju kedamaian yang sejati, masih memerlukan jalan yang sangat panjang dan penuh liku. Jika saja, pemerintah keliru menetapkan kebijakan menyangkut penanggulangan kemiskinan dan mengurangi angka pengangguran di Poso, maka bukan tidak mungkin, Poso akan kembali membara, dan kedamaian sejati itu sulit dicapai. ***
Damai Poso, Jalan Panjang yang Penuh Liku
Diakui atau tidak, Deklarasi Malino ternyata telah membawa perubahan yang cukup signifikan, untuk membawa Poso ke jalan damai yang lebih baik. Meski, ada beberapa pihak berpendapat bahwa pertemuan damai yang digagas Susilo Bambang Yudhoyono (ketika masih menjabat sebagai Menkopolkam) dan Jusuf Kalla (saat masih menjadi Menko Kesra) itu, tidak membawa perbaikan kondisi yang lebih baik, signifikansi dari perjanjian itu untuk membawa poso kembali damai dipertanyakan.
Tapi, fakta di lapangan menunjukkan kalau kondisi Poso dapat berubah hingga kini. Sebelum adanya pertemuan damai di Malino, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, masyarakat di Poso hidup dalam kelompok masing-masing. Ada garis demarkasi yang jelas dari kedua kelompok yang bertikai di Poso (Islam dan Kristen).
Tapi, pasca Deklarasi Malino, dan walau tidak sekaligus, tapi garis demarkasi itu pun hilang dengan sendirinya. Artinya, warga Islam Poso yang dulunya tidak dapat melintas hingga melewati Kelurahan Kawua di Poso Kota Selatan, kini sudah dapat berbaur kembali. Pun sebaliknya, bagi warga Kristen, sudah dapat bergaul lagi dengan warga Islam di Poso Kota.
PAsar Sentral Poso di Poso Kota (basis umat Islam), tidak hanya menjadi tempat berbelanja bagi orang Islam, tapi pasar yang terletak di tengah-tengah kota Poso itu benar-benar telah menjadi sebuah sarana pertemuan antardua komunitas yang bertikai sebelumnya. Memang tidak seperti Ambon yang dikenal dengan "Pasar Baku BAe", tapi paling tidak suasana seperti itu kini telah nampak di Poso.
"Siapa bilang Deklarasi Malino tidak bisa menjadikan perubahan di Poso. Perjanjian itu telah terbukti menjadi perekat dua pihak yang bertikai di Poso," tegas Yus Mangun, salah seorang tokoh masyarakat Poso yang kini menjadi anggota DPRD Sulawesi Tengah.
Memang, menurut Yus Mangun bahwa proses untuk menuju kedamaian sejati, tidaklah semudah yang dibayangkan, tapi secara berproses kedamaian itu akhirnya datang juga, dan sekarang fakta itu telah terlihat dengan jelas di depan mata kita.
Konflik komunal bertendi agama di Poso memang sudah tidak ada lagi. Tidak ada lagi massa dalam jumlah besar menyerang dan membakar satu kawasan tertentu. Kondisi itu berlangsung sejak ditekennya Deklarasi Malino, hingga sekarang. Memang, diakui bahwa pasa perjanjian damai itu, permasalahan sosial dan eksistensi beberapa kelompok yang merasa keberadaannya terusik yang memang mengganggu jalan menuju damai itu.
Tapi, kelompok-kelompok itu akhirnya dapat ditangkap dan bahkan ada yang tertembak sampai mati. "Yah, itulah resiko. Kalau cita-cita kita mau agar Poso damai, maka tidak boleh ada kelompok yang mengganggu, apalagi sampai menghalangi cita-cita itu," kata Yus Mangun lagi.
MOTAMBU TANA
Tahmidi Lasahido, sosiolog dari Universitas Tadulako yang juga pekerja damai untuk Poso, mengatakan, kedamaian Poso dapat tercapai secara komprehensif, jika semua pihak yang pernah bertikai bersepakat untuk mengubur dalam-dalam semua dendam yang pernah ada.Menguburkan dendam itu, yang kemudian masyarakat menyatu dalam satu ikatan adat dan budaya nenek moyang yang pernah ada di Poso. Adat dan tradisi itu disebut dengan Motambu Tana atau mengubur dendam.
"Saya dan teman-teman, termasuk Ichsan Malik, pernah punya rencana menggelar adat Motambu Tana itu. Tapi sampai sekarang belum tercapai rencana itu. Maka kita berharap, tradisi Motambu Tana itu tidak perlu dilakukan secara seremoni lagi, tapi yang paling penting adalah tumbuhnya kesadaran kolektif untuk mengubur dendam itu," kata Tahmidi Lasahido.
Untuk menumbuhkan kesadaran kolektif itu, kata Tahmidi Lasahido, adalah perlunya sosialisasi tentang pentingnya perdamaian secara terus menerus kepada stakeholders di Poso. Selain itu, yang perlu dilakukan juga adalah pentingnya ada tokoh yang dapat menjadi perekat bagi kedua kelompok agama di Poso. "Kita tidak punya tokoh itu di Poso," ujarnya singkat.
Hal lain yang juga sangat penting dilakukan adalah pemberdayaan ekonomi masyarakat. Pasca konflik Poso ribuan warga Poso kehilangan pekerjaan. Rata-rata dari mereka adalah anak-anak yang sekarang sangat produktif. Dan bahanyanya adalah sebagian dari mereka yang kehilangan pekerjaan itu adalah eks kombatan yang terlatih dalam melakukan tindakan kekerasan
"Ini sangat serius, sehingga rekomendasinya adalah, pemerintah harus betul-betul memberikan perhatian serius soal ini," kata Tahmidi Lasahido.
Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air di Sulewana, Poso, menjadi salah satu proyek bergengsi yang diharapkan dapat merekrut tenaga kerja lokal. Tapi ternyata di satu sisi mega proyek itu tidak bisa menjawab masalah penggangguran di Pos, demikian halnya dengan masalah kemiskinan. Pembangunan PLTA SUlewana (Poso I, II dan III) yang akan menghasilkan energi listrik hingga 690 megawatt (MW) itu, ternyata tidak dinikmati warga Poso.
Wakil Bupati Poso, Abdul Muthalib Rimi, menyebutkan bahwa jumlah orang miskin di Poso saat ini mencapai sekitar 50.000 jiwa dari 194.241 jiwa total penduduk Poso saat ini. Jumlah rumah tangga miskin (RTM) mencapai sekitar 20.000 RTM, dan angka pengangguran terbesar adalah para tamatan SLTA, yakni sekitar 2.000 orang. Tingginya akan kemiskinan ini menjadi sangat ironi bila dibandingkan dengan Kabupaten Poso yang kaya sumber daya alam (SDA) sehingga tidak mesti rakyatnya hidup sengsara dan miskin.
Jadi, yang pasti bahwa kini keadaan di Poso sudah pulih. Suasana kota sudah sangat terasa sehri-hari. Hilir mudik lalulintas orang dan kendaraan pun sudah semakin lancar. Sudah sangat jarang terlihat ada aparat keamanan yang berjalanan menenteng senjata bak di medan tempur. Tidak ada lagi pengawalan bagi setiap kendaraan yang akan nmelintasi daerah yang dulunya laksana surga di Sulawesi Tengah itu.
Tapi, untuk menuju kedamaian yang sejati, masih memerlukan jalan yang sangat panjang dan penuh liku. Jika saja, pemerintah keliru menetapkan kebijakan menyangkut penanggulangan kemiskinan dan mengurangi angka pengangguran di Poso, maka bukan tidak mungkin, Poso akan kembali membara, dan kedamaian sejati itu sulit dicapai. ***
No comments:
Post a Comment