Ruslan Sangadji
Sulawesi Tengah seakan tak pernah sepi dari teror. Mulai dari penembakan hingga peledakan bom, tidak lagi menjadi berita baru bagi masyarakat di daerah ini. Entah karena keseringan atau apalah namanya, sebagian masyarakat pun menanggapinya biasa-biasa saja.
Tapi, tidak bagi pemerintah dan sebagian masyarakat lainnya, teror itu menjadi momok yang sangat menakutkan, sehingga harus ditangani secara serius. Presiden kemudian menginstruksikan pembentukan Satuan Tugas Khusus (Satgas) Penanganan Poso.
Baru saja sekitar dua bulan lembaga itu bekerja, tiba-tiba di saat umat kristiani sedang bersiap-siap merayakan Tahun Baru, ledakan bom pun terjadi di tempat penjualan daging Babi di Kampung Maesa, Jalan Sulawesi, Palu Selatan.
Korban tewas dan luka-luka pun berjatuhan di sana. Lagi-lagi, ini ancaman serius yang harus segera dan tuntas ditangani. Pemerintah membentuk lagi Komando Operasi Pemulihan Keamanan (Koopskam) yang dipimpin jenderal polisi bintang dua atau Inspektur Jenderal. Maka, Paulus Purwoko pun terpilih menjadi komandannya.
Kelompok-kelompok kritis di Sulawesi Tengah ramai-ramai menolak kehadiran Koopskam itu. Mereka khawatir, institusi itu akan sama dengan Komkamtib di masa lalu, yang dengan mudah menangkap orang, kemudian memenjarakan tanpa pengadilan. Atau pun menculik orang-orang yang belum tentu bersalah.
Sedikitnya 31 organisasi non pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Poso Center, yang paling gencar melakukan penolakan itu. Mereka khawatir, kehadiran Koopskam sebagai pintu masuk untuk pemberlakuan darurat militer di daerah ini.
”Pokoknya kami menolak pembentukan Koopskam di Sulteng. Yang harus segera direalisasikan pemerintah adalah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta,” kata dedengkot Poso Center, Ariyanto Sangadji.
Poso Center menilai, pembentukan Koopskam merupakan perpindahan operasi militer dari Aceh yang sudah damai ke Sulawesi Tengah.
Tapi, pemerintah tetap ngotot. Koopskam harus dibentuk dan mendapat mandat menyelesaikan beberapa bengkalai sebagai ikutan dari konflik Poso. Komandan Koopskam Sulteng, Irjen Paulus Purwoko mengatakan, pihaknya diberi tugas sebagai lembaga yang mengkoordinasikan atau mensinergikan kerja-kerja yang sudah ditangani Satgas Poso, aparat keamanan, pemerintah dan masyarakat di daerah.
Selain itu, menurut Paulus Purwoko, pihaknya juga diberi tugas untuk penegakan hukum, penyelesaian kasus korupsi dan menyelidiki kemungkinan ada aparat yang terlibat dalam kasus kekerasan.
Upaya meyakinkan masyarakat dan lembaga-lembaga di Sulteng yang menolak kehadiran Koopskam terus dilakukan. Maka, sebagai tahap awal Irjen Paulus Purwoko pun gencar berkunjung dan bertemu dengan berbagai pihak untuk menjelaskan duduk soal dari pembentukan Koopskam tersebut.
Maka, selesailah sudah tugas tahap awal. Masyarakat dan Poso Center pun bisa mafhum, bahwa Koopskam tidak akan menjalakan fungsi-fungsi seperti Komkamtib ketika pada masa Orde Baru.
”Jujur saja, kami (Poso Center) lah lembaga pertama yang ngotot menolak pembentukan Koopskam. Kami milihat bahwa ini merupakan pengembalian militerisasi di Sulteng. Itu karena kami trauma dengan masa lalu. Tapi setelah bapak menjelaskannya, barulah kami paham,” kata Jusuf Lakaseng, koordinator Poso Center suatu ketika pada pertemuan dengan Komandan Koopskam di kantor Yayasan Tanah Merdeka Palu.
Aksi Lapangan Koopskam
Sembari memberikan keyakinan kepada warga, Koopskam pun dengan pelan tapi pasti terus berupaya menyelesaikan berbagai bengkalai di Poso. Kepala Penerangan Koopskam Sulteng, Komisaris Besar Polisi Didi Rochyadi kepada The Jakarta Post menegaskan, pihaknya segera melakukan rehabilitasi lima unit masjid, lima unit gereja, dan rehabilitasi rumah sakit di Tentena.
Program rehabilitasi itu bekerjasama dengan pihak Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan World Food Programme. ”Ini dimaksudkan untuk menciptakan dinamisasi kehidupan masyarakat di Poso,” kata Kombes Didi Rochyadi, Jumat (20/1).
Menurut Didi Rochyadi, rehabilitasi rumah ibadah itu diperkirakan menelan anggaran lebih dari Rp 6 miliar. Sedangkan untuk rehabilitasi rumah sakit, akan dialokasikan anggaran sebanyak Rp 1,5 miliar.
Selain itu, menurut Rochyadi pihaknya juga akan segera mencairkan dana Jaminan Hidup dan Bekal Hidup (Jadup-Bedup) kepada 2.807 kepala keluarga, dengan rincian untuk pegawai negeri sipil 339 kepala keluarga dan bagi masyarakat umum sebanyak 2.468 kepala keluarga.
Dana Jadup-Bedup ini pun bervariasi. Bagi masyarakat umum non PNS akan diberikan Rp 2,5 juta per kepala keluarga, sedangkan untuk PNS akan diberikan Rp 1,25 juta per kepala keluarga. Koopskam tak lagi mendistribusinya dengan cara door to door seperti dulu, tapi bagi penerima akan mencairkannya sendiri di bank terdekat.
Menurut Komandan Koopskam, Irjen Paulus Purwoko, cara dengan mencairkan langsung di bank itu, untuk menghindari terjadi penyelewengan seperti sebelumnya.
”Dulunya, karena pembagian dengan cara door to door, akhirnya terjadi pemotongan dan penyelewengan dana Jadup-Bedup itu. Harusnya warga menerima Rp 2,5 juta, tapi ternyata sudah dikebiri oleh petugas pembagi,” katanya.
Kinerja lain di bidang penegakan hukum, menurut Kombes Didi Rochyadi, pihaknya tengah konsentrasi menyelesaikan sedikit 47 kasus yang hingga kini belum jelas penanganannya. Antara lain kasus-kasus tersebut adalah pembunuhan kepala desa Pinedapa 2004 silam, kasus pemenggalan tiga siswi Kristen Poso (2005), penembakan dua siswi SMK di Poso Kota (akhir 2005).
Selain itu, juga sedang serius menangani kasus korupsi dana bantuan Bahan Bangunan Rumah, korupsi dana Jaminan Hidup dan Bekal Hidup, penyelidikan keterlibatan aparat keamanan dalam kasus kekerasan di Poso, termasuk juga penuntasan kasus 16 nama yang disebut-sebut oleh terpidana mati Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu, sebagai aktor intelektual di balik kasus kerusuhan Poso.
”Hanya saja, kasus 16 ini belum termasuk kategori sebagai kasus hukum, karena masih sebatas pengakuan. Makanya kita sedang menyelidikinya,” kata Didi Rochyadi.
Irjen Paulus Purwoko menambahkan, pihaknya harus bekerja ekstra, karena waktu yang diberikan pemerintah pusat hanya tiga bulan. Oleh karena itu, ada beberapa kasus yang dianggap sangat prioritas untuk secepatnya diselesaikan. Hanya saja, Purwoko enggan menyebut secara detail, kasus apa saja yang mejadi prioritas itu.
Namun, informasi yang dihimpun The Jakarta Post di lapangan, antara lain kasus yang menjadi skala prioritas itu adalah penyelesaian kasus korupsi dana Jadup-Bedup, kasus korupsi dana Bahan Bangunan Rumah, pemenggalan kepala tiga siswi SMU Kristen dan kasus peledakan bom di tempat penjualan daging Babi di Palu.
Simbiosis Mutualisme Kekerasan di Poso
Jumlah aparat keamanan TNI dan Polri yang bertugas di Poso tercatat ribuan orang. Pemerintah Kabupaten Poso mencatat, pasukan non organik tahun 2003 mencapai 5 ribu personil. Lalu dikurangi lagi menjadi 3.900 orang tahun 2004, bahkan setahun terakhir resmi berdiri Batalyon 714 Sintuwu Maroso Poso.
Tapi, kasus kekerasan dan teror di Poso tak kunjung usai. Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Sulawesi mencatat, pasca Deklarasi Malino 2001 hingga November 2005, terdapat 153 kasus kekerasan dan pelanggaran Hak Azasi Manusia.
Kasus penembakan menempati urutan pertama, yakni 42 kasus, disusul 34 kasus peledakan bom, 27 kasus penyerangan, 25 kasus penganiayaan dan 11 kasus pembunuhan. Belum lagi penemuan bom, penculikan dan kasus salah tangkap.
Yusuf Lakaseng, koordinator Poso Center mengatakan, penyebab berlarut-larutnya konflik Poso, karena proses penegakan hukum yang lemah. ”Aparat yang seharusnya menjadi bagian pemulihan keamanan, justru menjadi pelaku kekerasan,” kata Yusuf Lakaseng
Kekerasan di Poso itu tumpang tindih antara faktor ekonomi dan keinginan untuk melindungi pelaku korupsi, kepentingan politik lokal, kemudian perilaku aparat keamanan di lapangan, sehingga simbiosis mutulisme ini kemudian menjadi rantai kekerasan pasca Deklarasi Malino.
Meski kehadiran Koopskam sudah bisa diterima di Sulawesi Tengah, namun disamping membawa harapan untuk bisa menuntaskan berbagai masalah di Poso dan Sulteng pasca konflik, juga tak luput diselimuti pesimistis sejumlah kalangan.
Di bidang penuntasan kasus korupsi dana kemanusiaan Poso, dinilai mulai menunjukkan kemajuan. Namun, diharapkan tidak hanya sebatas Andi Azikin Suyuti, Ivan Sidjaya, Arif Mubin Rajadewa dan Agus saja, tapi beberapa nama pejabat penting lain di lingkungan TNI dan Polri juga harus tersentuh. Mereka juga diduga ikut menyalahgunakan dana kemanusiaan Poso ratusan miliaran rupiah itu.
Terlepas dari itu semua, akankah kehadiran Koopskam bisa mengobati kerinduan warga Sulteng akan rasa aman, ataukah justru di akhir tugasnya, teror kembali terjadi di daerah ini? Sebab pengalaman selama ini, setiap kali berakhir masa tugas operasi, selalu saja ada teror, selalu saja ada penembakan, pembunuhan dan ledakan bom. Kita tunggu saja, toh Koopskam masih punya waktu beberapa bulan lagi. ***
No comments:
Post a Comment