Ruslan Sangadji
Partai Golongan Karya Sulawesi Tengah, menjadi partai pemenang Pemilu 2004 lalu. Partai ini berhasil meraih 47 persen suara dari 1,2 juta pemilih dan mampu mendudukan 17 kadernya di DPRD setempat. Urutan kedua adalah PPP, kemudian PDIP dan Partai Demokrat.
Mencermati angka yang signifikan ini, seharusnya pada Pilkada Provinsi Sulawesi Tengah, Partai Golkar juga menjadi pemenang dan kembali memimpin daerah itu. Tapi, ternyata analisis itu keliru, dan pasangan Aminuddin Ponulele-Sahabuddin Mustapa yang dicalonkan melalui partai berlambang pohon beringin itu kalah bertarung.
Pasangan dari partai gurem yang tak diandalkan sama sekali, yakni Bandjela Paliudju-Achmad Yahya yang justru jadi pemenang.
Lantas, apa penyebab kekalahan Aminuddin Ponulele yang juga Ketua DPD Partai Golkar Sulawesi Tengah itu yang berpasangan dengan Sahabuddin Mustapa yang juga Rektor Universitas Tadulako Palu, perguruan tinggi negeri nomor wahid di daerah ini.
Ada empat faktor penyebab kekalahan kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur Sulteng dari partai pemenang Pemilu 2004 ini. Pertama; munculnya deretan panjang barisan sakit hati di internal Partai Golkar, karena tidak diperhitungkan mendampingi Aminuddin Ponulele.
Barisan sakit hati ini lebih didominasi oleh kelompok muda partai. Mereka kemudian membuat manuver perlawanan yang sangat kuat dan sistematis. Tujuannya adalah untuk menciderai kepemimpinan Aminuddin Ponulele sebagai Ketua DPD PartaiGolkar Sulteng.
"Saya setuju itu, dan mereka inilah justru yang tidak sungguh-sungguh memperjuangkan dan memenangkan Aminuddin Ponulele," kata Tahmidy Lasahido, pengamat politik dari Universitas Tadulako Palu.
Kelompok sakit hati ini, pada mulanya berjuang keras agar bisa diakomodir menjadi pendamping Aminuddin Ponulele. Kelompok muda ini hanya dinilai sebagai politisi bocah yang tidak akan mampu menjadi pemimpin. Mereka tidak diperhitungkan sama sekali dalam Pilkada Sulteng, Senin (16/1) lalu.
Faktor kedua adalah soal konstituen dari kelompok Kristiani, Budha dan Hindu, yang selama ini selalu didekati oleh Partai Golkar, ternyata merasa bahwa mereka hanya dijadikan pupuk bagi kesuburan lembaga politik.
Pada akhirnya, kelompok ini kemudian mencari ruang lain untuk menyatakan eksistensinya dalam Pilkada. Sebagai kelompok minoritas di Sulteng, mereka juga sangat membutuhkan rasa aman dan pemerintahan sipil tidak mampu memberikan jaminan i
No comments:
Post a Comment