Tiga mahasiswa Universitas Tadulako (Untad) Palu, Sulawesi Tengah, batal mengikuti prosesi wisuda sarjana pada Sabtu (29/12), karena dicekal oleh pihak rektorat. Ketiga mahasiswa itu adalah Muhammad Afandi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Ruslan dari Fakultas Hukum dan Muhammad Anwar dari Fakultas Pertanian.
Dua di antaranya, yakni Muhammad Afandi dan Ruslan bahkan diusir auditorium universitas itu, padahal mereka telah hadir dengan bersama 1.349 mahasiswa lainnya yang akan diwisuda hari itu. Sedangkan Muhammad Anwar yang juga mantan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa, tidak hadir karena sudah mendengar kabar dirinya bakal dicekal.
“Saya sudah mendengar kabar kalau saya akan dicekal nanti. Makanya saya tidak hadiri wisuda itu,” kata Muhammad Anwar yang ditemui, Minggu (30/12) pagi di rumahnya.
Sedangkan Muhammad Afandi dan Ruslan langsung melapor ke pihak Koisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Sulawesi Tengah dan Polresta Palu, karena tidak menerima tindakan pengusiran yang dilakukan panitia wisuda Untad itu.
Bahkan, Muhammad Afandi dengan lantang berteriak saat pengusiran itu, bahwa Rektor Universitas Tadulako, Sahabuddin Mustapa adalah orang yang mengatur pencekalan itu. “Tidak mungkin kami diusir kalau bukan atas perintah rektor. Saya sangat yakin, Rektor-lah yang berada di balik pencekalan ini,” tegas Muhammad Afandi.
Muhammad Afandi menduga, pencekalan mereka itu karena ketiganya sangat aktif memimpin aksi demonstrasi mahasiswa dalam kasus korupsi Sumbangan Dana Persiapan Otonomi Perguruan Tinggi (SDPOPT) bernilai Rp 7,5 miliar, yang ikut membawa Rektor Sahabuddin Mustapa menjadi terdakwa. Tapi, Pengadilan Negeri Palu kemudian menjatuhkan vonis bebas terhadap Rektor Universitas Tadulako itu.
Abi Kusno dan Ny. Munawwarah, orang tua Afandi, menyatakan kekecewaan mereka atas tindakan panitia wisuda yang melarang anaknya mengikuti acara yang dianggap sakral bagi mahasiswa itu.
"Kami sangat kecewa. Kami benar-benar dipermalukan, apalagi anak saya sudah berpakaian toga, tapi tiba-tiba dikelurakan dari auditorium tempat wisuda berlangsung. Kalau memang tidak mau diwisuda, kenapa panitia mengundang kami," kata Ny. Munawwarah sambil meneteskan air mata.
Rektor Sahabuddin Mustapa yang dikonfirmasi di kediamannya Jalan Setiabudi, membenarkan telah mengeluarkan nota dinas kepada panitia wisuda agar tidak mengikutkan Muhammad Anwar, Muhammad Afandi dan Ruslan dalam proses wisuda ke-52 itu.
Itu dilakukan, kata Rektor Sahabuddin Mustapa, karena dalam setiap kesempatan aksi unjuk rasa kasus korupsi yang sempat menyeret dirinya itu, ketiganya selalu menyatakan menolak diwisuda dan menyatakan tidak bersedia kalau ijazah mereka ditandatangi oleh Rektor Sahabuddin Mustapa.
"Jadi, saya tidak mencekal mereka, saya hanya mengikuti permintaan mereka yang menolak diwisuda oleh saya dalam kapasitas sebagai rektor. Mereka bertiga ini juga masih dalam pembinaan atas perbuatan tersebut," kata Sahabuddin Mustapa.
Sunday, December 30, 2007
Wednesday, December 26, 2007
Cafe Toragila Ganti Logo
(Logo mana yang Anda pilih...???)
Cafe Toragila, satu-satunya cafe yang lengkap dengan hotspot di Palu, merencanakan mengganti logo lama. Penggantian logo itu akan berlaku pada tanggal 1 Januari 2008 mendatang. Hanya saja, pihak manajemen Cafe Toragila belum dapat menetapkan logo yang akan digunakan nantinya.
"Kami akan memberikan kesempatan kepada publik untuk memilih logo mana yang akan digunakan," kata Sandrawali, manajer Cafe Toragila.
Menurut Sandrawali, ada enam pilihan logo dengan gambar yang sama namun warna yang berbeda. Logo tersebut berupa sebuah bulatan bertuliskan Cafe Toragila di kelilingnya dan bergambar lelaki berjanggut. Lelaki berjanggut itu adalah Karman Karim, pemilik Cafe Toragila.
Sandrawali mengatakan, pihaknya sengaja memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menentukan logo yang akan digunakan, karena ide awal pendirian Cafe Toragila itu adalah untuk kenyamanan dan kepuasan konsumen.
"Termasuk soal menentukan logo. Kalau konsumennya nyaman dengan logo tersebut, maka mereka akan semakin tertarik untuk datang. Ini merupakan salah satu strategi pemasaran kami," jelas Sandra, sapaan akrab Sandrwali.
Untuk penentuan penggunaan logo itu, manajemen Cafe Toragila akan memulainya dengan mengundang sejumlah wartawan media cetak dan elektronik di Kota Palu, untuk minum kopi gratis dan diskusi pada Kamis (27/12) sore, sembari memilih logo yang terbaik. Setelah dipilih, dengan cara divooting, barulah pada awal tahun baru 2008, Cafe Toragila resmi menggunakan logo baru. ***
Cafe Toragila, satu-satunya cafe yang lengkap dengan hotspot di Palu, merencanakan mengganti logo lama. Penggantian logo itu akan berlaku pada tanggal 1 Januari 2008 mendatang. Hanya saja, pihak manajemen Cafe Toragila belum dapat menetapkan logo yang akan digunakan nantinya.
"Kami akan memberikan kesempatan kepada publik untuk memilih logo mana yang akan digunakan," kata Sandrawali, manajer Cafe Toragila.
Menurut Sandrawali, ada enam pilihan logo dengan gambar yang sama namun warna yang berbeda. Logo tersebut berupa sebuah bulatan bertuliskan Cafe Toragila di kelilingnya dan bergambar lelaki berjanggut. Lelaki berjanggut itu adalah Karman Karim, pemilik Cafe Toragila.
Sandrawali mengatakan, pihaknya sengaja memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menentukan logo yang akan digunakan, karena ide awal pendirian Cafe Toragila itu adalah untuk kenyamanan dan kepuasan konsumen.
"Termasuk soal menentukan logo. Kalau konsumennya nyaman dengan logo tersebut, maka mereka akan semakin tertarik untuk datang. Ini merupakan salah satu strategi pemasaran kami," jelas Sandra, sapaan akrab Sandrwali.
Untuk penentuan penggunaan logo itu, manajemen Cafe Toragila akan memulainya dengan mengundang sejumlah wartawan media cetak dan elektronik di Kota Palu, untuk minum kopi gratis dan diskusi pada Kamis (27/12) sore, sembari memilih logo yang terbaik. Setelah dipilih, dengan cara divooting, barulah pada awal tahun baru 2008, Cafe Toragila resmi menggunakan logo baru. ***
Tuesday, December 25, 2007
Natal di Palu dan Poso Dijaga Ekstra Ketat
Perayaan Natal 25 Desember di Palu dan Poso, Sulawesi Tengah dijaga ekstra ketat. Ibadah Natal malam harinya di Kota Palu, dipusatkan di Gereja Immanuel, di Jalan Masjid Raya Palu Timur.
Di gereja itu, polisi memasang tiga pintu masuk. Semua anggota jemaat dan tamu (para pejabat Kota Palu) yang masuk ke gereja dan di tenda yang disiapkan panitia, harus melalui pemeriksaan dengan metal detektor.
Sedangkan pagi harinya, ibadah Natal berlangsung di masing-masing gereja di Kota Palu. Di Gereja Effatha, Jalan Banteng Palu Selatan, misalnya, ibadah berlangsung khidmat. Ada beberapa jemaat yang tampak menangis, karena mengingat peristiwa penembakan tahun 2004 silam yang menewaskan Pendeta Susianti Tinulele.
Marten Tibe (41), usai mengikuti ibadah Natal, mengatakan, meski sedih juga mengingat peristiwa itu, tapi ia bersyukur karena polisi berhasil menangkap para pelakunya. Para pelaku yang dimaksud adalah Basri dan kawan-kawan. Sekarang mereka sedang menjalani hukuman dalam berbagai kasus kekerasan di Poso dan Palu.
Pengamanan di Gereja Effatha sangat ketat. Dua mobil gegana dan puluhan anggota polisi yang dipimpin langsung Kapolresta Palu, Ajun Komisaris Besar Polisi Soenarko, tampak menjaga setiap sudut jalan dan di halaman gereja. Bahkan, jalan masuk dari Jalan Touwa ke Jalan Banteng ditutup. Pun halnya di Gereja Immanuel.
Menurut Kapolresta Soenarko, pihaknya menurunkan sedikitnya 785 personel untuk menjaga sedikitnya 62 gereja di Kota Palu. Jumlah personel itu, masing-masing dari Ditsamapta Polres dan Polda serta Brimob Polda Sulteng.
Di Gereja Effatha, Pendeta Lagarense dalam khutbahnya lebih menekan soal menjaga kelestarian lingkungan hidup kaitannya dengan perubahan iklim. Menurutnya, jika umat tidak menjaga lingkungan dengan baik, maka 20 atau 30 tahun mendatang, bumi ini akan tenggelam.
"Sebagai umat yang baik, kita harus berterima kasih karena Tuhan telah memberikan bumi sebagai tempat kita bernaung. Maka bumi ini harus dijaga dan diselamatkan dari kerusakannya," tandas Pendeta Lagarense.***
Di gereja itu, polisi memasang tiga pintu masuk. Semua anggota jemaat dan tamu (para pejabat Kota Palu) yang masuk ke gereja dan di tenda yang disiapkan panitia, harus melalui pemeriksaan dengan metal detektor.
Sedangkan pagi harinya, ibadah Natal berlangsung di masing-masing gereja di Kota Palu. Di Gereja Effatha, Jalan Banteng Palu Selatan, misalnya, ibadah berlangsung khidmat. Ada beberapa jemaat yang tampak menangis, karena mengingat peristiwa penembakan tahun 2004 silam yang menewaskan Pendeta Susianti Tinulele.
Marten Tibe (41), usai mengikuti ibadah Natal, mengatakan, meski sedih juga mengingat peristiwa itu, tapi ia bersyukur karena polisi berhasil menangkap para pelakunya. Para pelaku yang dimaksud adalah Basri dan kawan-kawan. Sekarang mereka sedang menjalani hukuman dalam berbagai kasus kekerasan di Poso dan Palu.
Pengamanan di Gereja Effatha sangat ketat. Dua mobil gegana dan puluhan anggota polisi yang dipimpin langsung Kapolresta Palu, Ajun Komisaris Besar Polisi Soenarko, tampak menjaga setiap sudut jalan dan di halaman gereja. Bahkan, jalan masuk dari Jalan Touwa ke Jalan Banteng ditutup. Pun halnya di Gereja Immanuel.
Menurut Kapolresta Soenarko, pihaknya menurunkan sedikitnya 785 personel untuk menjaga sedikitnya 62 gereja di Kota Palu. Jumlah personel itu, masing-masing dari Ditsamapta Polres dan Polda serta Brimob Polda Sulteng.
Di Gereja Effatha, Pendeta Lagarense dalam khutbahnya lebih menekan soal menjaga kelestarian lingkungan hidup kaitannya dengan perubahan iklim. Menurutnya, jika umat tidak menjaga lingkungan dengan baik, maka 20 atau 30 tahun mendatang, bumi ini akan tenggelam.
"Sebagai umat yang baik, kita harus berterima kasih karena Tuhan telah memberikan bumi sebagai tempat kita bernaung. Maka bumi ini harus dijaga dan diselamatkan dari kerusakannya," tandas Pendeta Lagarense.***
Thursday, December 13, 2007
Sulteng Terima Dana Pasca Bencana Rp 22,5 Miliar
Sulawesi Tengah menerima dana pasca bencana tahap III sebesar Rp 22,5 miliar. Dana dari Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Dana tersebut, digunakan pembangunan infrastruktur pekerjaan umum (PU), terutama untuk jalan dan jembatan.
Iskandar Nongtji, salah seorang pejabat di Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah Sulawesi Tengah yang dikonfirmasi The Jakarta Post, Kamis (13/12) siang, membenarkan telah dikucurkan dana tersebut.
Menurut Iskandar Nongtji, anggaran miliaran rupiah itu merupakan implementasi dari Percepatan Pembangunan Sulawesi Tengah. Lantaran itu, dana tersebut diarahkan untuk pembangunan ruas jalan Kalawara-Kulawi di Kabupaten Donggala sepanjang 8,1 kilometer yang dianggarkan dari dana tersebut sebesar Rp 7,5 miliar.
Juga untuk pembangunan dan pemeliharaan ruas jalan Tonusu-Gintu sepanjang lima kilometer di Kabupaten Poso dengan anggaran Rp 7,5 miliar dan ruas Napu-Sanginora sejauh lima kilometer juga di Kabupaten Poso dengan anggara yang juga sama, yakni Rp 7,5 miliar.
"Dana tesebut akan segera ditransfer oleh pihak Menko Kesra melalui rekening Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah," kata Iskandar Nongtji
Dana tersebut, kata Iskandar Nongtji, merupakan janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat berkunjung ke Palu Maret 2007 lalu, dan karena masih melewati proses panjang, sehingga baru sekarang dana tersebut direalisasikan.
Tidak hanya itu, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah juga menerima sebesar Rp 76 miliar dari Dana Alokasi Umum (DAU) 2007. Dana tersebut untuk sub bidang Jasa Marga.
Dana tersebut terbilang sangat besar. Karena untuk pembangunan dan pemeliharaan ruas jalan Kalawara-Kulawi di Kabupaten Donggala, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah hanya menganggarkannya melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (ABPD) 2007 sebesar Rp 1,2 miliar. Sedangkan ruas jalan Tonusu-Gintu di Poso sebesar Rp 2,4 miliar dan ruas jalan Napu-Sanginora di Poso hanya sekitar Rp 100 juta.
Menurut Iskandar Nongtji, jalan provinsi saat ini berjarak 2037 kilometer, tapi anggarannya hanya sekitar Rp 76 miliar. Jumlah tersebut, sesungguhnya belum ideal, jika diukur dari tingkat kematangan jalan yang tiap tahun makin menurun. "Akibatnya, setelah dibangun dan dipelihara, usia jalan itu tidak panjang," kata Iskandar Nongtji.
Sedangkan jalan nasional (jalan negara) sepanjang 1864 kilometer yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2007 anggarannya sampai Rp 250 miliar. Dan APBN tahun 2008 dianggarkan sebesar Rp 458 miliar. "Itu berarti pembangunan infrastruktur di bidang ke-PU-an dari APBD Sulteng sangat kecil," tegas Iskandar Nongtji.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Sulawesi Tengah tahun 2007 dilaporkan sebesar Rp lebih Rp 685 miliar, jumlah ini lebih besar dibanding tahun 2006 yang hanya lebih 595 miliar. Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah menargetkan, tahun 2008 APBD Sulteng akan mencapai hampir Rp 1 triliun.***
Iskandar Nongtji, salah seorang pejabat di Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah Sulawesi Tengah yang dikonfirmasi The Jakarta Post, Kamis (13/12) siang, membenarkan telah dikucurkan dana tersebut.
Menurut Iskandar Nongtji, anggaran miliaran rupiah itu merupakan implementasi dari Percepatan Pembangunan Sulawesi Tengah. Lantaran itu, dana tersebut diarahkan untuk pembangunan ruas jalan Kalawara-Kulawi di Kabupaten Donggala sepanjang 8,1 kilometer yang dianggarkan dari dana tersebut sebesar Rp 7,5 miliar.
Juga untuk pembangunan dan pemeliharaan ruas jalan Tonusu-Gintu sepanjang lima kilometer di Kabupaten Poso dengan anggaran Rp 7,5 miliar dan ruas Napu-Sanginora sejauh lima kilometer juga di Kabupaten Poso dengan anggara yang juga sama, yakni Rp 7,5 miliar.
"Dana tesebut akan segera ditransfer oleh pihak Menko Kesra melalui rekening Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah," kata Iskandar Nongtji
Dana tersebut, kata Iskandar Nongtji, merupakan janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat berkunjung ke Palu Maret 2007 lalu, dan karena masih melewati proses panjang, sehingga baru sekarang dana tersebut direalisasikan.
Tidak hanya itu, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah juga menerima sebesar Rp 76 miliar dari Dana Alokasi Umum (DAU) 2007. Dana tersebut untuk sub bidang Jasa Marga.
Dana tersebut terbilang sangat besar. Karena untuk pembangunan dan pemeliharaan ruas jalan Kalawara-Kulawi di Kabupaten Donggala, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah hanya menganggarkannya melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (ABPD) 2007 sebesar Rp 1,2 miliar. Sedangkan ruas jalan Tonusu-Gintu di Poso sebesar Rp 2,4 miliar dan ruas jalan Napu-Sanginora di Poso hanya sekitar Rp 100 juta.
Menurut Iskandar Nongtji, jalan provinsi saat ini berjarak 2037 kilometer, tapi anggarannya hanya sekitar Rp 76 miliar. Jumlah tersebut, sesungguhnya belum ideal, jika diukur dari tingkat kematangan jalan yang tiap tahun makin menurun. "Akibatnya, setelah dibangun dan dipelihara, usia jalan itu tidak panjang," kata Iskandar Nongtji.
Sedangkan jalan nasional (jalan negara) sepanjang 1864 kilometer yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2007 anggarannya sampai Rp 250 miliar. Dan APBN tahun 2008 dianggarkan sebesar Rp 458 miliar. "Itu berarti pembangunan infrastruktur di bidang ke-PU-an dari APBD Sulteng sangat kecil," tegas Iskandar Nongtji.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Sulawesi Tengah tahun 2007 dilaporkan sebesar Rp lebih Rp 685 miliar, jumlah ini lebih besar dibanding tahun 2006 yang hanya lebih 595 miliar. Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah menargetkan, tahun 2008 APBD Sulteng akan mencapai hampir Rp 1 triliun.***
Tuesday, December 11, 2007
Patung Megalith Sulteng Dijual di Bali
Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah mengaku tidak tahu-menahu, soal penjualan sekitar 100 patung megalith dari Kecamatan Lore Selatan dan Lore Utara, Kabupaten Poso. Padahal, menurut laporan kalau situs yang telah berusia lebih 2000 tahun itu, telah di jual sejumlah galery barang antik di Bali seperti yang ditulis Kompas, Selasa (11/12).
Wakil Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulawesi Tengah, Jethan Towakit yang dikonfirmasi, Selasa (11/12) pagi mengatakan, pihaknya sebagai penanggungjawab situs-situs purbakala itu belum tahu sama sekali soal penjualan situs megalith itu.
"Jika informasi itu benar adanya, maka kami segera membentuk tim terpadu untuk melakukan penyelidikan dan berusaha mengembalikan situs megalith itu ke tempatnya semula," kata Jethan Towakit.
Tapi yang pasti, penjualan situs megalith itu terungkap, setelah pihak DPRD Poso menerima laporan warganya yang sekarang berdomisili di Denpasar, Bali, bahwa sejumlah galery barang antik di kota itu terlihat memperjualbelikan sejumlah situs megalith asal Sulawesi Tengah.
Setelah menerima laporan tersebut, pihak DPRD Poso kemudian mengirim dua orang anggotanya untuk mengecek kebenaran informasi itu di Denpasar. Dan setelah dicek, ternyata informasi itu benar adanya. Bahkan, patung megalith itu dijual dengan harga mulai puluhan juta rupiah hingga lima miliar rupiah.
Ketua DPRD Poso, S Pelima yang dikonfirmasi membenarkan hasil temuan tersebut. Dia mengatakan ada patung megaltih yang bernama Batu Nongko asal Lore Utara, dijual dengan harga Rp 5 miliar kepada pembeli asal Amerika. Sedangkan 20 situs lainnya yang sudah laku terjual, sekarang masih dipajang sambil menunggu proses pengiriman kepada pembelinya.
Pencurian situs megalith itu, mulai berlangsung kurun enam tahun terakhir. Diperkirakan lebih 100 patung megalith yang sudah dicuri, tapi baik Pemerintah Kabupaten Poso maupun Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, mengaku tidak tahu menahu dan tidak melakukan tindakan pencegahannya. "Ini yang kami sesalkan, padahal kami sudah menyampaikan hasil temuan itu kepada Pemerintah Kabupaten Poso," tegas Ketua DPRD Poso, S. Pelima
Berdasarkan hasil penelitian The Nature Concervancy (TNC) Sulawesi Tengah bekerjasama dengan Yayasan Katopasa Palu tahun 2001 lalu, terdapat 432 objek situs megalith di Sulawesi Tengah, tersebar di Kecamatan Lore Utara sebanyak 349 situs, di Lore Selatan sebanyak 55 situs dan di Kecamatan Kulawi Kabupaten Donggala sebanyak 27 situs.
Tapi pihak Museum Sulawesi Tengah menyebutkan, situs megalith itu tidak hanya ada di tiga wilayah itu, tapi juga tersebar di Doda, Kecamatan Lore Tengah, di Desa Tulo, Kecamatan Dolo Kabupaten Donggala, Desa Watunonju, Kecamatan Sigi Biromaru, Kecamatan Pipikiro, dan Desa Bangga di Kabupaten Donggala. Hanya saja, pihak Museum mengaku tidak punya data soal jumlah situs menhir tersebut.
Iskam Lasarika, petugas Museum Sulawesi Tengah mengatakan, pihaknya hanya memberi nama terhadap patung-patung megalith ini. Salah satu patung megalith yang berdiri sendiri misalnya, dinamai Tadulako yang berarti pemimpin. Tingginya sekitar 170 centimeter. Patung itu berukiran orang. Mungkin saja pembuatnya hendak menggambarkan bahwa begitulah pemimpin di masa zaman pra sejarah itu.
Untuk menuju patung Tadulako itu, kita harus berjalan kaki dari jalan utama sekitar 2 kilometer dengan melewati persawahan. Sekitar 30 meter dari patung Tadulako ditemukan lagi beberapa situs megalith lain yang diberi nama Kalamba atau perahu, batu yang tengahnya bolong. Tidak hanya di situ, sekitar 5 kilometer dari kalamba, masih banyak ditemukan situs-situs megalith serupa.
Situs ini disebut juga dengan menhir, yakni bangunan yang berupa tugu batu yang didirikan untuk upacara menghormati roh nenek moyang, sehingga bentuk menhir ada yang berdiri tunggal dan ada yang berkelompok serta ada pula yang dibuat bersama bangunan lain yaitu seperti punden berundak-undak.
Saat ini, terdapat 60 ribu artefak asal Sulawesi termasuk Sulawesi Tengah yang disimpan di Museum Leiden Belanda. Sedangkan di Museum Sulawesi Tengah sendiri hanya menyimpan sekitar 10 ribu artefak.***
Wakil Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulawesi Tengah, Jethan Towakit yang dikonfirmasi, Selasa (11/12) pagi mengatakan, pihaknya sebagai penanggungjawab situs-situs purbakala itu belum tahu sama sekali soal penjualan situs megalith itu.
"Jika informasi itu benar adanya, maka kami segera membentuk tim terpadu untuk melakukan penyelidikan dan berusaha mengembalikan situs megalith itu ke tempatnya semula," kata Jethan Towakit.
Tapi yang pasti, penjualan situs megalith itu terungkap, setelah pihak DPRD Poso menerima laporan warganya yang sekarang berdomisili di Denpasar, Bali, bahwa sejumlah galery barang antik di kota itu terlihat memperjualbelikan sejumlah situs megalith asal Sulawesi Tengah.
Setelah menerima laporan tersebut, pihak DPRD Poso kemudian mengirim dua orang anggotanya untuk mengecek kebenaran informasi itu di Denpasar. Dan setelah dicek, ternyata informasi itu benar adanya. Bahkan, patung megalith itu dijual dengan harga mulai puluhan juta rupiah hingga lima miliar rupiah.
Ketua DPRD Poso, S Pelima yang dikonfirmasi membenarkan hasil temuan tersebut. Dia mengatakan ada patung megaltih yang bernama Batu Nongko asal Lore Utara, dijual dengan harga Rp 5 miliar kepada pembeli asal Amerika. Sedangkan 20 situs lainnya yang sudah laku terjual, sekarang masih dipajang sambil menunggu proses pengiriman kepada pembelinya.
Pencurian situs megalith itu, mulai berlangsung kurun enam tahun terakhir. Diperkirakan lebih 100 patung megalith yang sudah dicuri, tapi baik Pemerintah Kabupaten Poso maupun Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, mengaku tidak tahu menahu dan tidak melakukan tindakan pencegahannya. "Ini yang kami sesalkan, padahal kami sudah menyampaikan hasil temuan itu kepada Pemerintah Kabupaten Poso," tegas Ketua DPRD Poso, S. Pelima
Berdasarkan hasil penelitian The Nature Concervancy (TNC) Sulawesi Tengah bekerjasama dengan Yayasan Katopasa Palu tahun 2001 lalu, terdapat 432 objek situs megalith di Sulawesi Tengah, tersebar di Kecamatan Lore Utara sebanyak 349 situs, di Lore Selatan sebanyak 55 situs dan di Kecamatan Kulawi Kabupaten Donggala sebanyak 27 situs.
Tapi pihak Museum Sulawesi Tengah menyebutkan, situs megalith itu tidak hanya ada di tiga wilayah itu, tapi juga tersebar di Doda, Kecamatan Lore Tengah, di Desa Tulo, Kecamatan Dolo Kabupaten Donggala, Desa Watunonju, Kecamatan Sigi Biromaru, Kecamatan Pipikiro, dan Desa Bangga di Kabupaten Donggala. Hanya saja, pihak Museum mengaku tidak punya data soal jumlah situs menhir tersebut.
Iskam Lasarika, petugas Museum Sulawesi Tengah mengatakan, pihaknya hanya memberi nama terhadap patung-patung megalith ini. Salah satu patung megalith yang berdiri sendiri misalnya, dinamai Tadulako yang berarti pemimpin. Tingginya sekitar 170 centimeter. Patung itu berukiran orang. Mungkin saja pembuatnya hendak menggambarkan bahwa begitulah pemimpin di masa zaman pra sejarah itu.
Untuk menuju patung Tadulako itu, kita harus berjalan kaki dari jalan utama sekitar 2 kilometer dengan melewati persawahan. Sekitar 30 meter dari patung Tadulako ditemukan lagi beberapa situs megalith lain yang diberi nama Kalamba atau perahu, batu yang tengahnya bolong. Tidak hanya di situ, sekitar 5 kilometer dari kalamba, masih banyak ditemukan situs-situs megalith serupa.
Situs ini disebut juga dengan menhir, yakni bangunan yang berupa tugu batu yang didirikan untuk upacara menghormati roh nenek moyang, sehingga bentuk menhir ada yang berdiri tunggal dan ada yang berkelompok serta ada pula yang dibuat bersama bangunan lain yaitu seperti punden berundak-undak.
Saat ini, terdapat 60 ribu artefak asal Sulawesi termasuk Sulawesi Tengah yang disimpan di Museum Leiden Belanda. Sedangkan di Museum Sulawesi Tengah sendiri hanya menyimpan sekitar 10 ribu artefak.***
Sunday, December 09, 2007
Gua Latea, Kuburan Nenek Moyang Orang Pamona
Gua Latea, adalah gua alam berupa bukit kapur yang usia genesisnya sekitar lebih 30 juta tahun silam. Lokasinya berada di atas bukit parere. Gua ini digunakan sebagai kuburan warga suku Pamona---warga asli Poso---pada masa lalu.
Nenek moyang orang Pamona itu, dulunya hidup di bukit-bukit, khususnya yang hidup di perbukitan Wawolembo. Sistem penguburan dengan menaruh jenazah di gua-gua itu, baru berakhir sekitar abad ke-19 Masehi. Gua ini pernah mengalami keruntuhan batuan sekitar lebih 2000 tahun silam.
Gua Latea ini ada dua. Pertama letaknya di bagian bawah. Di sini terdapat empat pasang peti jenazah dan 36 buah tengkorak manusia. Gua ini pernah dipugar tahun 1994 lalu.
Sedangkan gua kedua berlokasi di bagian atas. Terdapat 17 pasang peti jenazah, 47 buah tengkorakdan lima buah gelang tangan. Seperti pada gua pertama, gua ini pernah dipugar tahun 1994.
Gua ini adalah kuburan nenek moyang suku bangsa Pamona. Cara penguburan zaman dulu masyarakat Pamona ini, sama seperti yang dilakukan di Tanah Toraja,Sulawesi Selatan. Memang, menurut Yustinus Hoke (60 tahun), budayawan Pamona,
berdasarkan historisnya, orang Pamona dan orang Toraja masih memiliki hubungan kekerabatan yang sangat erat.
Karena masih ada hubungan kekerabatan itulah, sehingga beberapa tradisi nyaris sama, termasuk salah satunya adalah cara penguburan jenazah dengan menaruhnya di gua-gua.
Tidak hanya di Gua Latea. Kuburan nenek moyang orang Pamona lainnya terdapat di Gua Pamona yang letaknya persis di tepi Danau Poso. Gua ini memiliki 12 ruang. Menurut Yustinus Hoke, orang Pamona dikuburkan di Gua Pamona ini berdasarkan kelas sosial masing-masing. Hanya saja tidak dijelaskan, di ruangan ke berapa menjadi kuburan bagi kalangan bangsawan dan di mana letak kuburan rakyat biasa.
Meski sebagai kuburan nenek moyang orang Pamona, tapi Gua Pamona ini tidak hanya menjadi tempat wisata yang indah untuk dikunjungi, tapi juga menjadi tempat bermain anak-anak setempat.
Ny. Ruweyana Gundo (50 tahun), kepada The Jakarta Post, mengakui bahwa masa kanak-kanaknya selalu dihabiskan dengan bermain-main di dalam Gua Pamona ini. Ia bersama teman-temannya kadang membolos dari sekolah, hanya karena ingin bermain di dalam gua tersebut.
Lantaran itulah, Ny Ruweyana Gundo ini bisa menjelaskan dengan detail, dari sau ruangan ke ruangan yang lain. Menurutnya, kita hanya bisa masuk sampai ke ruangan ke-3, karena selebihnya sudah sangat gelap dan harus menggunakan alat penerang seperti obor atau senter. "Dan kalau kita masuk sampai ke bilik 12, maka posisi kita sudah berada di bawah air danau Poso," jelas Ny. Ruweyana Gundo.
DICAPAI DENGAN JALAN KAKI
Gua Late, letaknya sekitar 2 kilometer dari jalan utama Tentena, Ibukota Kecamatan Pamona Utara, Kabupaten Poso. Untuk dapat mencapainya, bisa dengan menggunakan sepeda motor sekitar satu kilometer, lalau kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki sejauh sekitar satu kilometer pula.
Jalanannya agak mendaki dan licin. Tapi sudah dibuat tangga beton. Lantaran itu, perlu hati-hati kalau berjalan. Walau begitu, jalannya tetap licin karena penuh lumut. Di samping kiri kanan yang terlihat hanyalah pepohonan dan kebun kakao warga. Dan, kita pun akan hiur dengan merdunnya suara-suara binatang hutan dan aliran air sungai di sekitar tempat itu.
Sebelum sampai ke Gua Late, kita juga akan melewati dua buah jembatan. Jembatan pertama kondisi masih baik, sedangkan jembatan kedua sudah mulai rusak. Sehingga warga hanya menutupi kerusakan itu dengan menggunakan bambu dan batang kayu.
Pendeta Hengky Bawias (32 tahun) yang menjadi penunjuk jalan The Jakarta Post, menjelaskan bahwa jembatan ini sudah mulai rusak sejak tahun 2004 lalu dan belum diperbaiki sama sekali.
Lokasi Gua Late ini berjarak sekitar 57 kilometer arah Selatan Kota Poso, atau 258 kilometer dari Kota Palu, ibukota Provinsi Sulawesi Tengah.
TAK DILIRIK FDP ke-10
Gua Latea dan Gua Pamona, adalah dua cagar budaya di Kabupaten Poso. Kedua gua ini terakhir kali ramai dikunjungi pada 1997 lalu, ketika dilaksanakannya Festival Danau Poso yang ke-9.
Setelah meletusnya konflik Poso tahun 1998, praktis Gua Latea dan Gua Pamona ini tak lagi dikunjungi wisatawan maupun peneliti. "Iya, memang sejak kerusuhan, dua gua ini sudah sangat jarang dikunjungi," kata Pendeta Hengky Bawias, orang yang saya minta menjadi guide ketika saya ke Gua Latea itu.
Dan lebih menyedihkan lagi, pada Festival Danau Poso yang ke-10 tahun 2007 ini, pihak panitia tidak memasukan Gua Latea dan Gua Pamona sebagai tempat untuk dikunjungi. Padahal, menurut Pendeta Hengky Bawias, pada FDP ke-9 tahun 1997 lalu, Gua Latea merupakan salah satu tempat yang ramai dikunjungi oleh tamu lokal, tamu dari luar Poso maupun tamu mancanegara yang hadir pada FDP.
Menurut Ny. Roana Kabi, panitia bidang Publikasi pada Festival Danau Poso ke-10, karena pihaknya baru membangkitkan kembali FDP dengan tujuan mengabarkan kepada dunia bahwa Poso sudah aman.
"Kita akan mengembalikan agenda budaya dan wisata, nanti pada FDP 2008 nanti. Kalau sekarang, kita masih pada batas kampanye Poso Aman," tandasnya.***
Nenek moyang orang Pamona itu, dulunya hidup di bukit-bukit, khususnya yang hidup di perbukitan Wawolembo. Sistem penguburan dengan menaruh jenazah di gua-gua itu, baru berakhir sekitar abad ke-19 Masehi. Gua ini pernah mengalami keruntuhan batuan sekitar lebih 2000 tahun silam.
Gua Latea ini ada dua. Pertama letaknya di bagian bawah. Di sini terdapat empat pasang peti jenazah dan 36 buah tengkorak manusia. Gua ini pernah dipugar tahun 1994 lalu.
Sedangkan gua kedua berlokasi di bagian atas. Terdapat 17 pasang peti jenazah, 47 buah tengkorakdan lima buah gelang tangan. Seperti pada gua pertama, gua ini pernah dipugar tahun 1994.
Gua ini adalah kuburan nenek moyang suku bangsa Pamona. Cara penguburan zaman dulu masyarakat Pamona ini, sama seperti yang dilakukan di Tanah Toraja,Sulawesi Selatan. Memang, menurut Yustinus Hoke (60 tahun), budayawan Pamona,
berdasarkan historisnya, orang Pamona dan orang Toraja masih memiliki hubungan kekerabatan yang sangat erat.
Karena masih ada hubungan kekerabatan itulah, sehingga beberapa tradisi nyaris sama, termasuk salah satunya adalah cara penguburan jenazah dengan menaruhnya di gua-gua.
Tidak hanya di Gua Latea. Kuburan nenek moyang orang Pamona lainnya terdapat di Gua Pamona yang letaknya persis di tepi Danau Poso. Gua ini memiliki 12 ruang. Menurut Yustinus Hoke, orang Pamona dikuburkan di Gua Pamona ini berdasarkan kelas sosial masing-masing. Hanya saja tidak dijelaskan, di ruangan ke berapa menjadi kuburan bagi kalangan bangsawan dan di mana letak kuburan rakyat biasa.
Meski sebagai kuburan nenek moyang orang Pamona, tapi Gua Pamona ini tidak hanya menjadi tempat wisata yang indah untuk dikunjungi, tapi juga menjadi tempat bermain anak-anak setempat.
Ny. Ruweyana Gundo (50 tahun), kepada The Jakarta Post, mengakui bahwa masa kanak-kanaknya selalu dihabiskan dengan bermain-main di dalam Gua Pamona ini. Ia bersama teman-temannya kadang membolos dari sekolah, hanya karena ingin bermain di dalam gua tersebut.
Lantaran itulah, Ny Ruweyana Gundo ini bisa menjelaskan dengan detail, dari sau ruangan ke ruangan yang lain. Menurutnya, kita hanya bisa masuk sampai ke ruangan ke-3, karena selebihnya sudah sangat gelap dan harus menggunakan alat penerang seperti obor atau senter. "Dan kalau kita masuk sampai ke bilik 12, maka posisi kita sudah berada di bawah air danau Poso," jelas Ny. Ruweyana Gundo.
DICAPAI DENGAN JALAN KAKI
Gua Late, letaknya sekitar 2 kilometer dari jalan utama Tentena, Ibukota Kecamatan Pamona Utara, Kabupaten Poso. Untuk dapat mencapainya, bisa dengan menggunakan sepeda motor sekitar satu kilometer, lalau kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki sejauh sekitar satu kilometer pula.
Jalanannya agak mendaki dan licin. Tapi sudah dibuat tangga beton. Lantaran itu, perlu hati-hati kalau berjalan. Walau begitu, jalannya tetap licin karena penuh lumut. Di samping kiri kanan yang terlihat hanyalah pepohonan dan kebun kakao warga. Dan, kita pun akan hiur dengan merdunnya suara-suara binatang hutan dan aliran air sungai di sekitar tempat itu.
Sebelum sampai ke Gua Late, kita juga akan melewati dua buah jembatan. Jembatan pertama kondisi masih baik, sedangkan jembatan kedua sudah mulai rusak. Sehingga warga hanya menutupi kerusakan itu dengan menggunakan bambu dan batang kayu.
Pendeta Hengky Bawias (32 tahun) yang menjadi penunjuk jalan The Jakarta Post, menjelaskan bahwa jembatan ini sudah mulai rusak sejak tahun 2004 lalu dan belum diperbaiki sama sekali.
Lokasi Gua Late ini berjarak sekitar 57 kilometer arah Selatan Kota Poso, atau 258 kilometer dari Kota Palu, ibukota Provinsi Sulawesi Tengah.
TAK DILIRIK FDP ke-10
Gua Latea dan Gua Pamona, adalah dua cagar budaya di Kabupaten Poso. Kedua gua ini terakhir kali ramai dikunjungi pada 1997 lalu, ketika dilaksanakannya Festival Danau Poso yang ke-9.
Setelah meletusnya konflik Poso tahun 1998, praktis Gua Latea dan Gua Pamona ini tak lagi dikunjungi wisatawan maupun peneliti. "Iya, memang sejak kerusuhan, dua gua ini sudah sangat jarang dikunjungi," kata Pendeta Hengky Bawias, orang yang saya minta menjadi guide ketika saya ke Gua Latea itu.
Dan lebih menyedihkan lagi, pada Festival Danau Poso yang ke-10 tahun 2007 ini, pihak panitia tidak memasukan Gua Latea dan Gua Pamona sebagai tempat untuk dikunjungi. Padahal, menurut Pendeta Hengky Bawias, pada FDP ke-9 tahun 1997 lalu, Gua Latea merupakan salah satu tempat yang ramai dikunjungi oleh tamu lokal, tamu dari luar Poso maupun tamu mancanegara yang hadir pada FDP.
Menurut Ny. Roana Kabi, panitia bidang Publikasi pada Festival Danau Poso ke-10, karena pihaknya baru membangkitkan kembali FDP dengan tujuan mengabarkan kepada dunia bahwa Poso sudah aman.
"Kita akan mengembalikan agenda budaya dan wisata, nanti pada FDP 2008 nanti. Kalau sekarang, kita masih pada batas kampanye Poso Aman," tandasnya.***
Menengok Kearifan Lokal To Wana di Morowali
perempuan berbusana hanya sebatas dada. Dandanan apa adanya, berjalan membawa keranjang yang terbuat dari dedaunan. Ada yang menjunjungnya di kepala, ada yang di bahu dan ada pula yang dijinjing. Di dalam keranjang itu berisi beberapa keperluan sehari-hari.
Sementara beberapa lelaki, ada yang memakai kaus, ada yang memakai rompi yang terbuat dari kulit kayu, ada yang hanya menggunakan sarung, menggunakan ikat kepala dan ada yang bertelanjang dada bercelana pendek, berjalan membawa tombak, sumpit dan golok.
Tiba-tiba seseorang yang mungkin adalah kepala suku, berjalan ke depan diikuti seorang perempuan. Keduanya terlibat percakapan dalam bahasa lokal yang sulit dimengerti. Ternyata, keduanya sedang berbalas pantun dengan gaya bertutur. Balas pantun dengan gaya bertutur itu adalah sastra bertutur, yang dalam bahasa lokal disebut dengan Kayori.
Itulah gambaran kehidupan masyarakat To Wana, masyarakat penghuni hutan di Kabupaten Morowali, SUlawesi Tengah. Jumat (7/12) malam, masyarakat yang punya ciri khas sebagai peladang berpindah itu dilibatkan untuk mementaskan teater kehidupan mereka dalam pelaksanaan Festival Danau Poso yang ke 10 kali ini.
Saat keduanya terlibat dalam kayori, beberapa orang di belakangnya mengiringinya musik tradisional, Talali atau suling, ngeso-ngeso atau alat musik gesek, due atau popondo (alat musik satu tali yang menggunakan bagian depan tubuh sebagai resonator), tutubua atau perkusi dari bambu, gendang dan gong.
Amirullah Sia, pimpinan kontingen Kabupaten Morowali pada FDP itu mengatakan, kayori atau berbalas pantun itu, berisi harapanagar semakin banyak To Wana (orang Wana) diberi kesempatan pada pentas-pentas seni budaya di Sulawesi Tengah maupun di Indonesia.
Setelah selesainya Kayori, warga Suku Wana itu juga memainkan tarian Dendelu. Yaotu tarian melingkar dengan iringan syair-syair yang dinyanyikan oleh penarinya sendiri. Tarian ini dimainkan pada hari-hari tertentu misalnya untuk mengenang kematian seseorang atau menghibur keluarga yang sedang berduka. Makanya, gerakan-gerakan dalam tarian itu sangat lamban.
Mereka juga memainkan tarian Salonde. Tarian ini hanya dimainkan oleh para perempuan Suku Wana sebagai ungkapan rasa syukur mereka atas hasil panen dan menyambut tamu penting yang datang ke daerah mereka.
Tidak hanya itu, warga To Wana juga memainkan tarian Tendebomba. Tarian ini lebih bersifat umum, dapat dimainkan pada berbagai kesempatan dan boleh dimainkan baik oleh pria maupun wanita. Tarian ini pun, mengajak orang lain untuk dapat ikut bersama-sama.
"Tari Tandebomba biasanya dimainkan semalam suntuk. Makanya, beberapa warga yang ikut dalam tarian itu, bahkan yang menonton pun sampai tertidur," kata Amirullah Sia.
Suku Wana, memang sangat kaya akan tradisi budaya lokalnya. Selain tarian dan nyanyian, ada juga permainan rakyat yang mereka sebut Wawinti. Ini adalah permainan adu betis, dan hanya dapat dimainkan oleh laki-laki saja. Permainan ini hanya sebagai pengisi waktu luang saat menunggui ladang atau kebun mereka.
Biasannya juga, permainan ini dilakukan pada awal mereka menanam padi dan saat memanen. Wawinti atau adu betis ini, bisa dilakukan dengan satu lawan satu atau satu lawan dua atau lebih secara bergantian sampai ada yang kalah. Seorang pemain akan memasang kuda-kuda untuk kemudian ditendang oleh lawan di bagian betis.
Bila satu orang melawan dua orang atau lebih, maka dua orang tersebut akan menyusun kaki mereka secara berdempetan kemudian memasang kuda-kuda untuk siap ditendang.
Tidak hanya itu, masih ada tradisi lain milik suku asli To Wana, adalah menyumpit. Ini merupakan salah satu aktivitas yang penting dalam kehidupan keseharian To Wana. Mereka menggunakan sumpit untuk keperluan berburu binatang seperti burung, monyet dan babi untuk dikonsumsi.
Sumpit bagi orang Wana sangat penting. Tidak hanya sebatas sebagai senjata berburu, tapi juga menjadi senjata pamungkas untuk membela diri dari berbagai ancaman binatang buas dan pihak lain yang bermaksud mengganggu kehidupan mereka di hutan.
Anak sumpit To Wana, terbuat dari bambu yang dibuat runcing, lalu kemudian mata sumpit diberi impo, sejenis ramuan khusus yang sangat beracun. Sehingga siapa saja yang terkena sumpitan orang Wana, dipastikan tidak bisa diselamatkan.
PENGOBATAN DAN BONGKAR RUMAH
Orang Wana juga, memiliki upacara pengobatan terhadap orang sakit yang mereka sebut dengan Momago atau Mobolong. Yaitu memanfaatkan kekuatan roh gaib yang bersemayam di alam seperti di pohon-pohon besar, di tebing atau di mata air.
Dalam upaara ini peran dukun atau Walia sangatlah penting sebagai perantara kekuatan roh gaib, untuk menyembuhkan si sakit.
Pengobatan diiringi musik seperti dua gong dan gendang yang berfungsi untuk mendukung kegiatan pengobatan. Dalam proses pengobatan, sang Walia dan beberapa orang lainnya melakukan gerakan-gerakan tertentu.
Beberapa sesajen seperti pinang, sirih, tembakau, daun kemangi, baru (minuman khas To Wana) yang juga menjadi syarat terlaksanakan upacara ini.
"Upacara ini biasanya juga dilakukan secara massal sepanjang malam. Alat musik gong dan gendang merupakan bagian yang sangat penting dalam upacara ini," kata Amin Abdullah, peneliti To Wana.
Itulah sebabnya, sebelum memulai upacara ini, alat musik itu sudah harus disiapkan terlebih dahulu. Alat-alat ini dimainkan secara bereulang-ulang, yang dimaksudkan untuk mengundang roh gaib yang dipercaya dapat mengobati orang sakit melalui perantara dukun.
Irama gong dan gendang dihentikan dan dukun memulai membacakan mantra-mantra untuk memohon kekuatan roh gaib, untuk turut membantu upacara pengobatan ini. "Inilah yang disebut dengan inti pengobatan," kata Amin Abdullah.
Dukun menggunakan selembar kain putih untuk mendeteksi penyakit seseorang. Kain putih juga diletakan di atas tubuh si sakit atau ditiupkan di tubuhnya dengan dilapisi kain putih di atas tubuh si sakit. Dukun menggerak-gerakan kain itu, seakan-akan memasukkan sesuatu ke dalam tubuh si sakit lalu mengibaskannya. Pada saat itu, musik sudah berhenti.
Tiba-tiba irama gong dan gendang dimainkan lagi untuk mengiringi kegiatan ritual pengobatan itu, dan dilakukan berulang-ulang sampai si dukun merasa cukup melakukan pengobatan itu.
Lalu, untuk memberikan motivasi pada si dukun, biasanya ada beberapa wanita yang menari-nari dan mereka yang dipercaya memiliki kemampuan khusus.
Kalau ada yang tidak sanggup diobati dan si sakit itu akan meninggal, mayatnya dibungkus tidak dibungkus kain putih atau dengan menggunakan peti mayat seperti lazimnya, tapi justru dibungkus dengan kulit kayu sebagai bukti kesederhanaan masyarakat Wana.
Dan lebih haru lagi, saat menguburkan jenazah, keluarga yang ditinggal menangis sambil meronta-ronta sembari mencakar tubuh dan mengacak-acak rambutnya sendiri.
"Ini menggambarkan bahwa mereka tak sanggup berpisah dengan keluarga yang dicintai," kata Amin Abdullah.
Setelah pemakaman, 16 hari kemudian, keluarga kemudian melaksanakan acara Momata untuk melepas kerinduan dan kenangan kepada yang meninggal dunia dengan cara membongkar rumah.
Pihak keluarga menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan. Mereka terus berduka dan menanti keluarga yang tidak sempat hadir dalam upacara pemakaman.
Mereka yang tidak sempat hadir dalam pemakaman itu, kemudian mengungkapkan penyesalannya dengan menangis dan meronta-ronta dan membongkar rumah. Tapi masih ada yang mencegahnya, namun rumah tersebut tetap dibongkar karena dianggap membawa sial.
Setelah rumah milik si mati itu dibongkar, keluargana kemudian pindah lagi ke tempat lain untuk membuat kebun dan tempat tinggal yang baru, dan begitu seterusnya. Lantaran itulah mereka biasa disebut nomaden atau peladang berpindah. ***
Penjagaan di Festival Danau Poso Diperketat
Pasca terjadinya ledakan di Jalan Tabatoki, Keluruhan Kawua, Kecamatan Poso Kota Selatan, semua pintu masuk dan keluar dijaga ketat aparat keamanan. Semua kendaraan yang masuk ke Kabupaten Poso harus berhenti. Semua isi mobil diperiksa.
Polisi juga memeriksa identitas sopir dan para penumpang. Pemeriksaan itu juga menggunakan metal detektor.
Terlebih lagi ketika memasuki arena Festival Danau Poso (FDP). Sejak masuk ke Kota Tentena, semua pengunjung sudah harus melewati beberapa kali pemeriksaan. Semua penumpang kendaraan roda empat harus turun dari mobil, dan polisi "mengacak-ngacak" isi mobil. Sedikitnya, tiga kali pemeriksaan sebelum memasuki lokasi FDP.
Untuk pengamanan jalannya pelaksanaan FDP itu, Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah dan Kepolisian Resort Poso, harus menerjunkan sebanyak 600 personel Brimob dan Perintis. Menurut Kapolres Poso, Ajun Komisaris Besar Polisi Adheni Muhan DP, sesuai prosedurnya, pengamanan itu dilakukan secara terbuka dan tertutup.
Semua hotel dan penginapan yang digunakan oleh peserta FDP, tak luput dari penjagaan ketat. Pemandangan itu terlihat jelas di Hotel Intim, Hotel Pamona Indah, Penginapan Victory dan beberapa penginapan lainnya di Tentena. Siapa saja yang hendak masuk, pasti melewati prosedur pemeriksaan. Pemandangan yang sangat berbeda dengan FDP tahun 1997 silam itu.
Aparat keamanan juga menyebarkan foto beberapa orang yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Mereka itu antara lain Iwan Asapa dan Upi yang selama ini disebut-sebut oleh polisi sebagai bagian dari jaringan Basri CS. Basri adalah seorang yang dianggap sebagai anak muda yang tergabung kelompok penebar teror dan kekerasan di Poso dan Palu.
Pengamanan yang sangat ketat itu, dilakukan setelah terjadinya ledakan pada malam hari sebelum dibukanya FDP di Tentena. Meski Kapolres Poso, Ajun Komisaris Besar Polisi Adheni Muhan DP membantah kalau ledakan itu hanyalah petasan, tapi sebagian warga menyangsikannya.
Sebagian warga tetap meyakini kalau ledakan itu adalah bom rakitan yang sengaja diletakkan di tepi jalan menuju Tentena, tempat pelaksanaan Festival Danau Poso itu. "Buktinya, kalau ledakan itu hanya petasan, kenapa pengamanan begitu ketat dan sangat berlebihan," kata Sandra Dewi (25), warga Kelurahan Bonesompe, Kecamatan Poso Kota Utara.
KAMPANYE POSO AMAN
Festival Danau Poso, sebuah agenda tahunan yang terakhir dilaksanakan tahun 1997 silam. Kini, festival budaya bertaraf internasional itu, kembali dihidupkan. Sejumlah petinggi di
daerah ini "bereriak-teriak" bahwa pelaksanaan FDP itu sebagai bukti bahwa Poso sudah benar-benar aman.
Tapi, pada 5 Desember malam sebelum diresmikannya ceremony pembukaan festival itu, terjadi sebuah ledakan dahsyat. Terlepas apakah ledakan itu berasal dari bom rakitan atau petasan, namun yang pasti sempat membuat warga panik.
Ledakan yang sama dan pada waktu yang hampir bersamaan, juga terjadi di Desa Soulowe, Kecamatan Dolo, Kabupaten Donggala---sekitar 17 kilometer arah Selatan Kota Palu, Sulawesi Tengah. Belum ada kesimpulan dari pihak kepolisian, apakah masih ada kaitannya antara ledakan di Poso dan di Dongala itu.
Sejumlah kalangan berpendapat bahwa ledakan tersebut, diindikasikan sebagai salah satu upaya menggagalkan pelaksanaan Festival Danau Poso yang pesertanya adalah duta wisata dan budaya utusan delapan dari 10 kabupaten dan kota se Sulawesi Tengah.
"Saya pikir, ledakan itu sebagai salah satu bentuk teror dalam skala kecil, yang sengaja dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang bermaksud menganggu jalannya pelaksanaan FDP," kata Tahmidi Lasahido, sosiolog Universitas Tadulako (Untad) Palu.
Tidak hanya soal itu. Panitia pelaksana FDP juga tampak kurang siap melaksanakan kegiatan tersebut. Ketidaksiapan terlihat dari koordinasi yang tidak berjalan dengan baik. Jadwal yang mesti dilaksanakan pada pagi hari seperti lomba Perahu hias, ditunda hingga sore harinya. Tapi ditanyakan pada panitia, mereka mengaku tidak tahu menahu ada penundaan itu.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulawesi Tengah, Muhammad Ramatu, saat dikonfirmasi mengatakan, secara teknis semua kegiatan diserakan pada ketua panitia. Ketika dihubungi, ketua Panitia sedang berangkat ke Palu untuk mengantar Dirjen Nilai Seni, Budaya dan Film, Muhlis Pahendi.
Budayawan Sulawesi Tengah, Nungci Ali mengatakan, FDP kali ini tidak memprioritaskan masalah kebudayaan dan pariwisata, tapi lebih pada soal kampanye pada dunia internasional bahwa kondsi Poso enar-benar sudah sangat aman.
Buktinya, warga Muslim dan Kristen bisa berbaur menjadi satu di lokasi pelaksanaan FDP hingga dini hari. Tak ada lagi rasa curiga atau ketakutan seperti sebelumnya "Nah...kondisi inilah yang hendak dikampanyekan dalam pelaksanaan FDP ini," kata Nungci yang juga salah seorang dewan juri pada lomba seni tradisional di acara FDP ini.
Sovi Tamuntuan (25), warga Poso ini mengaku situasi sangat aman. Ia sama sekali tidak merasa takut datang menonton FDP di Tentena. ia sangat merindukan suasana seperti saat ini. "Sudah bertahun-tahun saya tidak pernah lagi menyaksikan acara-acara seni dan budaya seperti di FDP ini. Makanya saya sangat bersyukur sekali," kata Sofi Tamuntuan.
Vega Silviana (19) mengaku terakhir kali menonton FDP ketika masih berusia 12 tahun.
Setelah itu, nanti tujuh kemudian barulah ia kembali menyaksikan acara seperti ini lagi. Ia mengakui bahwa FDP kali ini tidak seramai tahun 1997 lalu. Ketika itu, tamunya lebih banyak dan turis-turis mancanegara pun memenuhi arena FDP.
"Kali ini tidak terlalu ramai seperti dulu. Tapi bagaimana pun juga, sudah cukup membuat kami senang," kata Vega Silviana. Memang, situasi sangat aman. Aktivitas warga di siang hari berjalan sangat dinamis.
Sedangkan di arena FDP berlangsung gladi untuk persiapan lomba di malam harinya. Tapi, lagi-lagi setiap kali masuk lokasi FDP, pengunjung harus melewati pemeriksaan ketat oleh polisi."Anda boleh saksikan sendiri, bagaimana amannya Poso. Anda bisa bebas ke mana saja, baik siang maupun malam hari. Itu bukti bahwa situasi Poso sudah kondusif. Memang, pemeriksaan itu hanya untuk mengantisipasi kemungkinan yang tidak diinginkan saja. Itu kan biasa, di Jakarta, masuk hotel saja diperiksa, padahal Jakarta kan aman," tegas Kapolres.***
Polisi juga memeriksa identitas sopir dan para penumpang. Pemeriksaan itu juga menggunakan metal detektor.
Terlebih lagi ketika memasuki arena Festival Danau Poso (FDP). Sejak masuk ke Kota Tentena, semua pengunjung sudah harus melewati beberapa kali pemeriksaan. Semua penumpang kendaraan roda empat harus turun dari mobil, dan polisi "mengacak-ngacak" isi mobil. Sedikitnya, tiga kali pemeriksaan sebelum memasuki lokasi FDP.
Untuk pengamanan jalannya pelaksanaan FDP itu, Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah dan Kepolisian Resort Poso, harus menerjunkan sebanyak 600 personel Brimob dan Perintis. Menurut Kapolres Poso, Ajun Komisaris Besar Polisi Adheni Muhan DP, sesuai prosedurnya, pengamanan itu dilakukan secara terbuka dan tertutup.
Semua hotel dan penginapan yang digunakan oleh peserta FDP, tak luput dari penjagaan ketat. Pemandangan itu terlihat jelas di Hotel Intim, Hotel Pamona Indah, Penginapan Victory dan beberapa penginapan lainnya di Tentena. Siapa saja yang hendak masuk, pasti melewati prosedur pemeriksaan. Pemandangan yang sangat berbeda dengan FDP tahun 1997 silam itu.
Aparat keamanan juga menyebarkan foto beberapa orang yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Mereka itu antara lain Iwan Asapa dan Upi yang selama ini disebut-sebut oleh polisi sebagai bagian dari jaringan Basri CS. Basri adalah seorang yang dianggap sebagai anak muda yang tergabung kelompok penebar teror dan kekerasan di Poso dan Palu.
Pengamanan yang sangat ketat itu, dilakukan setelah terjadinya ledakan pada malam hari sebelum dibukanya FDP di Tentena. Meski Kapolres Poso, Ajun Komisaris Besar Polisi Adheni Muhan DP membantah kalau ledakan itu hanyalah petasan, tapi sebagian warga menyangsikannya.
Sebagian warga tetap meyakini kalau ledakan itu adalah bom rakitan yang sengaja diletakkan di tepi jalan menuju Tentena, tempat pelaksanaan Festival Danau Poso itu. "Buktinya, kalau ledakan itu hanya petasan, kenapa pengamanan begitu ketat dan sangat berlebihan," kata Sandra Dewi (25), warga Kelurahan Bonesompe, Kecamatan Poso Kota Utara.
KAMPANYE POSO AMAN
Festival Danau Poso, sebuah agenda tahunan yang terakhir dilaksanakan tahun 1997 silam. Kini, festival budaya bertaraf internasional itu, kembali dihidupkan. Sejumlah petinggi di
daerah ini "bereriak-teriak" bahwa pelaksanaan FDP itu sebagai bukti bahwa Poso sudah benar-benar aman.
Tapi, pada 5 Desember malam sebelum diresmikannya ceremony pembukaan festival itu, terjadi sebuah ledakan dahsyat. Terlepas apakah ledakan itu berasal dari bom rakitan atau petasan, namun yang pasti sempat membuat warga panik.
Ledakan yang sama dan pada waktu yang hampir bersamaan, juga terjadi di Desa Soulowe, Kecamatan Dolo, Kabupaten Donggala---sekitar 17 kilometer arah Selatan Kota Palu, Sulawesi Tengah. Belum ada kesimpulan dari pihak kepolisian, apakah masih ada kaitannya antara ledakan di Poso dan di Dongala itu.
Sejumlah kalangan berpendapat bahwa ledakan tersebut, diindikasikan sebagai salah satu upaya menggagalkan pelaksanaan Festival Danau Poso yang pesertanya adalah duta wisata dan budaya utusan delapan dari 10 kabupaten dan kota se Sulawesi Tengah.
"Saya pikir, ledakan itu sebagai salah satu bentuk teror dalam skala kecil, yang sengaja dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang bermaksud menganggu jalannya pelaksanaan FDP," kata Tahmidi Lasahido, sosiolog Universitas Tadulako (Untad) Palu.
Tidak hanya soal itu. Panitia pelaksana FDP juga tampak kurang siap melaksanakan kegiatan tersebut. Ketidaksiapan terlihat dari koordinasi yang tidak berjalan dengan baik. Jadwal yang mesti dilaksanakan pada pagi hari seperti lomba Perahu hias, ditunda hingga sore harinya. Tapi ditanyakan pada panitia, mereka mengaku tidak tahu menahu ada penundaan itu.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulawesi Tengah, Muhammad Ramatu, saat dikonfirmasi mengatakan, secara teknis semua kegiatan diserakan pada ketua panitia. Ketika dihubungi, ketua Panitia sedang berangkat ke Palu untuk mengantar Dirjen Nilai Seni, Budaya dan Film, Muhlis Pahendi.
Budayawan Sulawesi Tengah, Nungci Ali mengatakan, FDP kali ini tidak memprioritaskan masalah kebudayaan dan pariwisata, tapi lebih pada soal kampanye pada dunia internasional bahwa kondsi Poso enar-benar sudah sangat aman.
Buktinya, warga Muslim dan Kristen bisa berbaur menjadi satu di lokasi pelaksanaan FDP hingga dini hari. Tak ada lagi rasa curiga atau ketakutan seperti sebelumnya "Nah...kondisi inilah yang hendak dikampanyekan dalam pelaksanaan FDP ini," kata Nungci yang juga salah seorang dewan juri pada lomba seni tradisional di acara FDP ini.
Sovi Tamuntuan (25), warga Poso ini mengaku situasi sangat aman. Ia sama sekali tidak merasa takut datang menonton FDP di Tentena. ia sangat merindukan suasana seperti saat ini. "Sudah bertahun-tahun saya tidak pernah lagi menyaksikan acara-acara seni dan budaya seperti di FDP ini. Makanya saya sangat bersyukur sekali," kata Sofi Tamuntuan.
Vega Silviana (19) mengaku terakhir kali menonton FDP ketika masih berusia 12 tahun.
Setelah itu, nanti tujuh kemudian barulah ia kembali menyaksikan acara seperti ini lagi. Ia mengakui bahwa FDP kali ini tidak seramai tahun 1997 lalu. Ketika itu, tamunya lebih banyak dan turis-turis mancanegara pun memenuhi arena FDP.
"Kali ini tidak terlalu ramai seperti dulu. Tapi bagaimana pun juga, sudah cukup membuat kami senang," kata Vega Silviana. Memang, situasi sangat aman. Aktivitas warga di siang hari berjalan sangat dinamis.
Sedangkan di arena FDP berlangsung gladi untuk persiapan lomba di malam harinya. Tapi, lagi-lagi setiap kali masuk lokasi FDP, pengunjung harus melewati pemeriksaan ketat oleh polisi."Anda boleh saksikan sendiri, bagaimana amannya Poso. Anda bisa bebas ke mana saja, baik siang maupun malam hari. Itu bukti bahwa situasi Poso sudah kondusif. Memang, pemeriksaan itu hanya untuk mengantisipasi kemungkinan yang tidak diinginkan saja. Itu kan biasa, di Jakarta, masuk hotel saja diperiksa, padahal Jakarta kan aman," tegas Kapolres.***
Panitia FDP Tak Libatkan Warga Lokal
Sejumlah warga di Tentena, Kecamatan Pamona Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, mengaku sangat kecewa dengan pihak panitia pelaksana Festival Danau Poso, karena tidak melibatkan warga setempat sebagai panitia.
Kalau pun ada, keterlibatan warga Tentena, tempat dilaksanakannya Festival Danau Poso, hanya untuk membersihkan lokasi dan tidak tidak terlibat dalam
soal-soal teknis.
Hal itu sangat berbeda dengan Festival Danau Poso sebelumnya, dimana warga Tentena dan Poso terlibat secara aktif dan sehingga mereka merasa memiliki acara itu sendiri.
Yustinus Hoke (60 tahun) salah seorang budayawan Tentena yang juga pengurus Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST), mengatakan, karena warga Tentena tidak dilibatkan sebagai panitia, sehingga pelaksanaan FDP kali ini tidak terlalu semarak seperti tahun-tahun sebelumnya.
"Kami di sini (Tentena) yang punya pengalaman soal pelaksanaan FDP, karena dari tahun ke tahun kami yang teribat langsung. Nah, sekarang justru kami tidak dilibatkan sama sekali," katanya kepada The Jakarta Post, sabtu (8/12) pagi.
Karena itulah, kata Yustinus Hoke, FDP tahun 2007 ini justru kehilangan ruhnya, karena hanya memprioritaskan pagelaran kesenian tradisional, tanpa menyentuh pada soal pariwisata dan budaya nenek moyang suku Pamona.
Beberapa lokasi yang seharusnya dikunjungi oleh para duta budaya dan pengunjung lainnya, tidak masuk dalam agenda FDP kali ini, sehingga acara terasa sangat hampa.
Di tempat yang sama, Pendeta Hengky Bawias (32) mengatakan, pada FDP tahun-tahun sebelumnya tidak dilaksanakan pada bulan Desember, tapi dilaksanakan antara bulan Juni - Agustus, karena disesuaikan dengan musim libur masyarakat Eropa.
Makanya, pada FDP sebelumnya itu sangat banyak tamu dari Eropa yang datang. "Tapi sekarang, FDP dilaksanakan pada bulan Desember, di mana warga Kristen di Tentena sedang siap-siap menyambut Natal. Ya...akhirnya beginilah jadinya. Semaraknya cuma malam hari saja,' kata Hengky Bawias.
Terlepas dari bagus tidaknya respon warga yang haus akan hiburan pasca kerusuhan, tapi yang pasti bahwa FDP kali ini justru kehilangan makna yang sesungguhnya," kata Pendeta Hengky Bawias.
Juru Bicara Pemerintah Kabupaten Poso, Amir Kiat, juga mengatakan hal yang sama. Menurutnya, pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Tengah tidak melibatkan Pemerintah Kabupaten Poso sebagai panitia.
"Semuanya diambil alih oleh Pemerintah Provinsi Sulteng. Jadi, kalau Anda tanyakan ke saya soal teknis kegiatan, ya maaf saja, saya tidak bisa jelaskan," katanya sambil berlalu meninggalkan The Jakarta Post.
Bahkan, Ketua Panitia Pelaksana FDP, Jethan Towakit, setelah selesai acara pembukaan, ia langsung meninggalkan Tentena. Alasannya, karena mengantar pejabat yang mewakili Menteri Kebudayaan dan Pariwisata kembali ke Palu.
"Saya di Palu, mungkin akan kembali ke Tentena nanti hari Minggu karena saya sedang mengantar Pak Dirjen dan sedang ada urusan lain," kata Jethan Towakit.
Padahal, acara FDP itu sudah akan selesai pada hari Minggu (9/12) malam. Itu artinya, yang bersangkutan yang mestinya bertanggungjawab atas semua detail acara, hanya hadir pada acara pembukaan dan penutupan saja.***
Two blasts mark preparations for Poso Lake Festival
- December 07, 2007
Ruslan Sangadji, The Jakarta Post, Poso
Two explosions marred preparations for Thursday's opening of the revived Poso Lake Festival, which had been canceled indefinitely following religious conflict in Central Sulawesi in the early 2000s.
The first explosion occurred at Kawua village in South Poso district, Poso regency, at 7 p.m. on Wednesday, in front of Puncak restaurant and about 200 meters from the Sintuwu Maroso military post. The second was at Soulowe village in Dolo district, Donggala regency, at 10 p.m.
There were no reports of casualties.
Poso, which used to be famous for its pristine natural beauty, and surrounding areas had been the scene of a series of bloody conflicts between Muslims and Christians that left some 1,000 people dead between 2000 and 2001.
The police had not yet determined the cause and nature of the Thursday's explosions, but local people suspected they had been caused by bombs.
Some witnesses in front of Puncak restaurant reported seeing a plastic bag at the side of the road just before the explosion. They had thought it was merely garbage.
"We only realized it was a bomb after it exploded," a resident, who asked not to be identified, told The Jakarta Post.
Head of the Central Sulawesi Police, Gen. Brig. Badrodin Haiti, said police were still investigating the cases and had not determined conclusively whether the explosions were caused by bombs.
Police and soldiers closed all roads leading to Poso and investigated several places in the two regencies. They said the festival, to be held from Thursday to Monday, would go on as planned.
"We have prepared our officers to oversee events. We guarantee the festival will run well," Badrodin said.
One bomb squad was deployed to Saulowe in Donggala soon after the explosion there, but was unable to reach any conclusions due to an electricity outage.
Ruslan Sangadji, The Jakarta Post, Poso
Two explosions marred preparations for Thursday's opening of the revived Poso Lake Festival, which had been canceled indefinitely following religious conflict in Central Sulawesi in the early 2000s.
The first explosion occurred at Kawua village in South Poso district, Poso regency, at 7 p.m. on Wednesday, in front of Puncak restaurant and about 200 meters from the Sintuwu Maroso military post. The second was at Soulowe village in Dolo district, Donggala regency, at 10 p.m.
There were no reports of casualties.
Poso, which used to be famous for its pristine natural beauty, and surrounding areas had been the scene of a series of bloody conflicts between Muslims and Christians that left some 1,000 people dead between 2000 and 2001.
The police had not yet determined the cause and nature of the Thursday's explosions, but local people suspected they had been caused by bombs.
Some witnesses in front of Puncak restaurant reported seeing a plastic bag at the side of the road just before the explosion. They had thought it was merely garbage.
"We only realized it was a bomb after it exploded," a resident, who asked not to be identified, told The Jakarta Post.
Head of the Central Sulawesi Police, Gen. Brig. Badrodin Haiti, said police were still investigating the cases and had not determined conclusively whether the explosions were caused by bombs.
Police and soldiers closed all roads leading to Poso and investigated several places in the two regencies. They said the festival, to be held from Thursday to Monday, would go on as planned.
"We have prepared our officers to oversee events. We guarantee the festival will run well," Badrodin said.
One bomb squad was deployed to Saulowe in Donggala soon after the explosion there, but was unable to reach any conclusions due to an electricity outage.
Security at Poso Lake Festival to be intensified
- December 08, 2007
In response to two blasts in Poso and Donggala regencies, the authorities on Friday stepped up security around the venue of the Poso Lake Festival in Tentena, Central Sulawesi.
Police officers are checking identities of all drivers and passengers coming into the area, and inspecting vehicles and bags being carried by pedestrians.
Upon arrival in Tentena, people have to pass through at least three gates to get to the venue for the culture festival, where they and their belongings are searched. Passengers are required to exit vehicles so officers can search them.
Poso Police chief Adj. Sr. Comr. Adheni Muhan DP said at least 600 police officers had been deployed to maintain security.
All hotels near the festival have also been subject to stepped up security. Anybody entering a hotel is searched.
These types of security measures were not in place during the last festival in 1997, just before religious violence broke out in the area.
Police also are distributing photos of wanted people, including Iwan Asapa and Upi. The two are believed to belong to a terror network led by Basri, who is thought to be responsible for several attacks in Poso and Palu.
Tight security was taken after two explosions on Wednesday, the night before the opening of the festival in Tentena.
While police say the explosions were caused by firecrackers, some residents claim they were bombs.
"If it was only firecrackers, why is security so tight, and in certain case being exaggerated?" said Sandra Dewi, a resident of Bonesompe village in North Poso district.
The Poso Lake Festival, which used to be an annual international culture festival, is being held this year for the first time since 1997.
Local figures say the festival shows peace has returned to Poso, the scene of a bloody conflict between Christians and Muslims in the early 2000s.
Despite the peace claim, however, a explosion took place in Poso on eve of the opening of the festival, followed by another similar blast in Donggala, 17 kilometers south of Palu.
There has been no official statement from the police on the blasts, but some people believe they were intended to disturb the festival, which is scheduled to be attended by tourist and culture representatives from 10 regencies and mayoralties throughout Central Sulawesi.
"The explosions were a kind of a small-scale terror which was intentionally intended to disrupt the festival," Tahmidi Lasahidi, a sociologist at Tadulako University in Palu, said.
Apart from the security threats, the festival so far has been plagued by poor planning, with numerous events being postponed without prior announcement.
The decorated boat competition, for example, was scheduled to be held Friday morning, but it was delayed until the afternoon with no information being given for the decision.
Central Sulawesi culture observer Nungci Ali said this year's festival was not only about culture and tourism, but also showing the world that conditions in Poso have returned to normal.
He said proof of this was that Muslims and Christians were able to mingle until late into the night at the festival, which opened Thursday.
"This is the condition we want to show to the world," Nungci said.
Sofi Tamuntuan, a resident of Poso, said people were excited about the festival and there were no safety concerns.
"I expected this event for years. I am grateful that I'm able to witness it again," Sofi said.
In response to two blasts in Poso and Donggala regencies, the authorities on Friday stepped up security around the venue of the Poso Lake Festival in Tentena, Central Sulawesi.
Police officers are checking identities of all drivers and passengers coming into the area, and inspecting vehicles and bags being carried by pedestrians.
Upon arrival in Tentena, people have to pass through at least three gates to get to the venue for the culture festival, where they and their belongings are searched. Passengers are required to exit vehicles so officers can search them.
Poso Police chief Adj. Sr. Comr. Adheni Muhan DP said at least 600 police officers had been deployed to maintain security.
All hotels near the festival have also been subject to stepped up security. Anybody entering a hotel is searched.
These types of security measures were not in place during the last festival in 1997, just before religious violence broke out in the area.
Police also are distributing photos of wanted people, including Iwan Asapa and Upi. The two are believed to belong to a terror network led by Basri, who is thought to be responsible for several attacks in Poso and Palu.
Tight security was taken after two explosions on Wednesday, the night before the opening of the festival in Tentena.
While police say the explosions were caused by firecrackers, some residents claim they were bombs.
"If it was only firecrackers, why is security so tight, and in certain case being exaggerated?" said Sandra Dewi, a resident of Bonesompe village in North Poso district.
The Poso Lake Festival, which used to be an annual international culture festival, is being held this year for the first time since 1997.
Local figures say the festival shows peace has returned to Poso, the scene of a bloody conflict between Christians and Muslims in the early 2000s.
Despite the peace claim, however, a explosion took place in Poso on eve of the opening of the festival, followed by another similar blast in Donggala, 17 kilometers south of Palu.
There has been no official statement from the police on the blasts, but some people believe they were intended to disturb the festival, which is scheduled to be attended by tourist and culture representatives from 10 regencies and mayoralties throughout Central Sulawesi.
"The explosions were a kind of a small-scale terror which was intentionally intended to disrupt the festival," Tahmidi Lasahidi, a sociologist at Tadulako University in Palu, said.
Apart from the security threats, the festival so far has been plagued by poor planning, with numerous events being postponed without prior announcement.
The decorated boat competition, for example, was scheduled to be held Friday morning, but it was delayed until the afternoon with no information being given for the decision.
Central Sulawesi culture observer Nungci Ali said this year's festival was not only about culture and tourism, but also showing the world that conditions in Poso have returned to normal.
He said proof of this was that Muslims and Christians were able to mingle until late into the night at the festival, which opened Thursday.
"This is the condition we want to show to the world," Nungci said.
Sofi Tamuntuan, a resident of Poso, said people were excited about the festival and there were no safety concerns.
"I expected this event for years. I am grateful that I'm able to witness it again," Sofi said.
Tuesday, December 04, 2007
Izin Investasi di Kota Palu, Cukup Dilakukan di Jakarta
Kota Palu, Sulawesi Tengah, kini terus membenahi kotanya. Berbagai upaya terus dilakukan untuk menarik investor. Mulai dari melakukan lobi-lobi kepada para pengusaha, sampai membuka kantor Badan Promosi Palu (BPP) di Jakarta.
Ketua DPRD Kota Palu, Mulhanan Tombolotutu, Selasa (4/12), mengatakan, dibukanya kantor BPP yang beralamat di Gedung Mustika Ratu, Pancoran, Jakarta Selatan itu, dimaksudkan untuk memudahkan urusan investasi yang akan dilakukan para investor yang hendak datang ke Palu.
Di kantor tersebut, kata Mulhanan, menyiapkan berbagai data potensi, peta potensi usaha, termasuk mengurusi berbagai perizinan dan mengurusi Memorandum of Understanding dengan Pemerintah Kota Palu. Bahkan, Mulhanan menjamin, urusan perizinan dilakukan melalui satu atap (SIMTAP) dengan waktu kurang dari satu minggu.
"Kami bisa menjamin, para investor akan dimudahkan dalam urusan investasi itu. Tidak proses birokrasi panjang dan berbelit-belit," tegas Mulhanan Tombolotutu.
Semua itu dilakukan, katanya, hanya melalui kantor BPP tersebut. Semua itu dimaksudkan untuk tidak memberatkan para investor yang hendak menanam modalnya di Kota Palu. Termasuk soal meminimalisir cost yang akan dikeluarkan para investor.
Sejak dibukanya kantor BPP di Jakarta pada 8 Pebruari 2007 lalu itu, sejumlah pengusaha telah menandatangani MoU investasi di Palu. Antara lain para pengusaha itu adalah Minadi Punjaya, direktur PT Ina International Co.
Pengusaha ini berencana membangun pelabuhan laut yang lebih representatif. sebagai jawaban atas pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) seluas 1500 hektar di Kecamatan Palu Utara.
Tidak hanya itu, sejumlah calon investor lain pun telah menandatangani MoU itu. Antara lain, Raymond Kim, CEO PT Konesia Utama, dan Nyoman Dharmawanti, direktur PT Diaksa Pramana Wisesa.
Ternyata, upaya itu menggelitik pihak Departemen Perindustrian. Akhirnya, pihak departemen telah mengalokasikan anggaran sekitar Rp 13 miliar untuk mendorong Kawasan Ekonomi Khusus itu. Harapannya, kawan ekonomi ini akan menjadi contoh bagi daerah lainnya.
Yang menjadi soal sekarang, kata Mulhanan Tombolotutu, ada pada soal infrastruktur Kota Palu yang belum memadai. "Nah, karena kondisi itulah sehingga PT Ina International mau menginvestasikan sekitar US$100 juta guna membangun pelabuhan yang akan terintegrasi dengan Kawasan Industri Khusus itu.
Sedangkan untuk membangun infrastruktur telekomunikasi, pihak Telkom Divisi Regional VII telah menyediakan 54.902 satuan sambungan telepon (sst) di kota Palu. Sedangkan untuk telekomunikasi selular, semua operator GSM sudah ada di daerah ini.
“Jadi, tidak ada masalah lagi soal sarana telekomunikasi. Semuanya sudah beres,” kata Mulhanan Tombolotutu.
Mengenai listrik, Pemerintah Kota Palu telah membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Palu Utara sebesar 30 megawatt dan telah beroperasi sejak Maret 2007 lalu. Pembangunan PLTU itu dilakukan atas kerjasama dengan PT Pusaka Jaya Palu Power.
Camat Palu Utara, Sudaryano Lamangkona, yang ditemui terpisah menyatakan, soal kesiapan sosial masyarakat dengan kehadiran Kawasan Ekonomi Khusus itu tidak ada masalah lagi. "Masyarakat sangat menyambut positif kehadiran KEK itu," kata Sudaryano Lamangkona.
Bahkan, menurut Sudaryano Lamangkona, masyarakat di Palu Utara sangat berharap dengan kehadiran Kawasan Ekonomi Khusus itu dapat mendorong peningkatan ekonomi masyarakat setempat. ***
Ketua DPRD Kota Palu, Mulhanan Tombolotutu, Selasa (4/12), mengatakan, dibukanya kantor BPP yang beralamat di Gedung Mustika Ratu, Pancoran, Jakarta Selatan itu, dimaksudkan untuk memudahkan urusan investasi yang akan dilakukan para investor yang hendak datang ke Palu.
Di kantor tersebut, kata Mulhanan, menyiapkan berbagai data potensi, peta potensi usaha, termasuk mengurusi berbagai perizinan dan mengurusi Memorandum of Understanding dengan Pemerintah Kota Palu. Bahkan, Mulhanan menjamin, urusan perizinan dilakukan melalui satu atap (SIMTAP) dengan waktu kurang dari satu minggu.
"Kami bisa menjamin, para investor akan dimudahkan dalam urusan investasi itu. Tidak proses birokrasi panjang dan berbelit-belit," tegas Mulhanan Tombolotutu.
Semua itu dilakukan, katanya, hanya melalui kantor BPP tersebut. Semua itu dimaksudkan untuk tidak memberatkan para investor yang hendak menanam modalnya di Kota Palu. Termasuk soal meminimalisir cost yang akan dikeluarkan para investor.
Sejak dibukanya kantor BPP di Jakarta pada 8 Pebruari 2007 lalu itu, sejumlah pengusaha telah menandatangani MoU investasi di Palu. Antara lain para pengusaha itu adalah Minadi Punjaya, direktur PT Ina International Co.
Pengusaha ini berencana membangun pelabuhan laut yang lebih representatif. sebagai jawaban atas pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) seluas 1500 hektar di Kecamatan Palu Utara.
Tidak hanya itu, sejumlah calon investor lain pun telah menandatangani MoU itu. Antara lain, Raymond Kim, CEO PT Konesia Utama, dan Nyoman Dharmawanti, direktur PT Diaksa Pramana Wisesa.
Ternyata, upaya itu menggelitik pihak Departemen Perindustrian. Akhirnya, pihak departemen telah mengalokasikan anggaran sekitar Rp 13 miliar untuk mendorong Kawasan Ekonomi Khusus itu. Harapannya, kawan ekonomi ini akan menjadi contoh bagi daerah lainnya.
Yang menjadi soal sekarang, kata Mulhanan Tombolotutu, ada pada soal infrastruktur Kota Palu yang belum memadai. "Nah, karena kondisi itulah sehingga PT Ina International mau menginvestasikan sekitar US$100 juta guna membangun pelabuhan yang akan terintegrasi dengan Kawasan Industri Khusus itu.
Sedangkan untuk membangun infrastruktur telekomunikasi, pihak Telkom Divisi Regional VII telah menyediakan 54.902 satuan sambungan telepon (sst) di kota Palu. Sedangkan untuk telekomunikasi selular, semua operator GSM sudah ada di daerah ini.
“Jadi, tidak ada masalah lagi soal sarana telekomunikasi. Semuanya sudah beres,” kata Mulhanan Tombolotutu.
Mengenai listrik, Pemerintah Kota Palu telah membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Palu Utara sebesar 30 megawatt dan telah beroperasi sejak Maret 2007 lalu. Pembangunan PLTU itu dilakukan atas kerjasama dengan PT Pusaka Jaya Palu Power.
Camat Palu Utara, Sudaryano Lamangkona, yang ditemui terpisah menyatakan, soal kesiapan sosial masyarakat dengan kehadiran Kawasan Ekonomi Khusus itu tidak ada masalah lagi. "Masyarakat sangat menyambut positif kehadiran KEK itu," kata Sudaryano Lamangkona.
Bahkan, menurut Sudaryano Lamangkona, masyarakat di Palu Utara sangat berharap dengan kehadiran Kawasan Ekonomi Khusus itu dapat mendorong peningkatan ekonomi masyarakat setempat. ***
Saturday, December 01, 2007
Walikota Canangkan Gerakan Palu Berbunga
Walikota Palu, Rusdy Mastura, Sabtu (1/12) pagi mencanangkan Gerakan Palu Berbunga. Pencanangan itu dilakukan pada acara Pameran Bunga dan Bursa Tanaman Hias di halaman parkir utara Mall Tatura Indah Palu.
Acara yang dilaksanakan oleh Perhimpunan Pencinta Flora Sulawesi Tengah itu, sebagai wujud dari Gerakan Nasional Penanman 10 Juta Pohon.
Walikota Palu mengajak semua warganya agar menghijaukan lingkungannya masing-masing, dan di halaman rumah agar ditanami pohon-pohon yang bermanfaat dan bunga-bunga yang cantik.
"Percayalah, semakin hijau kota kita, maka akan semakin indah kota kita. Begitu juga dengan suami-suami, kalau di rumahnya selalu melihat yang indah-indah di rumah, maka suami tidak akan melirik kepada yang lain," kata Rusdy Mastura.
Setelah mencanangkan Gerakan Palu Berbunga itu, Walikota,Ketua DPRD Kota Palu, Mulhanan Tombolotutu didampingi istri masing-masing, melakukan penananaman pohon di halaman Mall Tatura Indah, selanjutnya meninjau pameran bunga dan lomba tanaman hias.
Yus Mangun, presidium Perhimpunan Pencinta Flora Sulawesi Tengah, kepada The Jakarta Post mengatakan, bunga yang dipamerkan itu mulai dari harga Rp 60 ribu hingga Rp 1 miliar.
Bunga yang paling mahal adalah jenis agronema, anthurium, adenium, caladium dan sansiviera. Sedangkan tanaman hias yang mahal harganya adalah jenis komodo, gajah dan alien.
"Semua jenis bunga dan tanaman hias itu sangat mahal. Tapi kita sengaja pmerkan di tempat ini, dengan maksud agar warga tergugah untuk menghijaukan kota ini," tandas Yus Mangun.***
Thursday, November 29, 2007
Massa Pendukung Calon Bupati Morowali Demo
Sedikitnya 100 orang massa yang tergabung dalam Solidaritas Masyarakat untuk Demokrasi Kabupaten Morowali, menggelar aksi unjukrasa di kantor Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah, mendesak agar pihak pengadilan membatalkan hasil Pilkada Morowali yang berlangsung 5 November 2007 lalu.
Aksi unjukrasa itu sendiri dilaksanakan, bertepatan dengan berlangsungnya sidang gugatan pasangan calon Bupati Morowali, Caheruddin Zen dan Aminullah BK terhaap KPU Morowali.
Desakan pembatalan itu, karena mereka menilai bahwa hasil Pilkada tersebut tidak demokratis dan penuh kecurangan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Morowali dinilai berpihak pada pasangan Anwar Hafid - SU Marunduh dan memenangkan mereka.
Selain berorasi di depan kantor Pengadilan Tinggi Sulteng di Jalan Mohammad Yamin Palu itu, unjukrasa yang dipimpin M. Zulfikar itu juga mendesak Gubernur Sulawesi Tengah agar menolak hasil perhitungan dan penetapan suara yang diselenggarakan KPUD Morowal tanggal 13 November 2007.
Mendesak Gubernur Sulteng agar menolak pelantikan kandidat yang terpilih pada perhitungan suara versi KPU Morowali sebelum adanya kejelasan mengenai proses hukum.
Para pengunjukrasa juga mendesak Kepala Kejaksaan Tinggi Sulteng untuk melakukan proses hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi pada pelaksanaan Pilkada di Morowali.
"Kami juga meminta agar pihak Kejati Sulteng segera memanggil Ketua KPU Morowali terkait dengan keputusannya yang dinilai telah melanggar undang-undang," tegas Zulfikar.
Para pengunjukrasa itu kemudian membeberkan beberapa fakta kecurangan itu. Antara lain di TPS 2 Desa Kolo Atas, Kecamatan Mamosalato, telah terjadi penjoblosan surat suara tanggal 4 November 2007, padahal Pilkada baru akan dilaksanakan tanggal 5 November 2007.
Di tempat itu juga sebanyak 107 lembar kertas suara dibawa ke TPS dengan menggunakan kantong plastik warna putih sebagai kotak suaranya. Itu dilakukan oleh petugas KPPS dan Sekretaris Desa Kolo Atas.
"Ini jelas sangat bertentangan dengan pasal 104 ayat 2 huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Pemerintahan Daerah," kata Zulfikar.
Sementara itu, pihak KPU yang diwakili para kuasa hukumnya menyatakan bahwa KPU Morowali telah menjalankan tugas sesuai kewenangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 junto PP Nomor 6 tahun 2005.
"Itu artinya bahwa KPU telah bekerja sesuai aturan hukum yang berlaku, yang dimulai dari menyusun jadwal pilkada hingga penghitungan. Dan tidak ada kesalahan pada proses itu," tegas Andi Makassau, kuasa hukum KPUD Morowali.
Pada Pilkada Morowali itu, pasangan Anwar Hafid - SU Marunduh yang diusung Koalisi Pembaharuan (Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD) dan Partai Bulan Bintang (PBB) ditetapkan sebagai pemenang dengan meraih suara sebanyak 26.271 suara atau 25,76 persen.
Sedangkan pada urutan kedua adalah pasangan Caheruddin Zen - Aminullah yang hanya terpaut 306 suara dari pasangan Anwar Hafid - SU Marunduh.
Calon yang diusung Koalisi Reformasi Bangkit Bersatu (Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Bintan Reformasi) ini mengumpulkan 25.965 suara atau 25,46 persen.
Sementara itu, kandidat PDIP, Datlin Tamalagi-Djaidin Rompone, meraup 22.116 suara (21,69 persen), serta pasangan Zainal Abidin Ishak - RO Marunduh yang diusung Partai Golkar hanya meraih 18.424 suara (18,07 persen).
Pasangan Muhammad Ilyas Mekka-Atha Mahmud dari Koalisi Rakyat Morowali (Partai Amanat Nasional, Partai Demokrat, Partai Keadilan Persatuan Indonesia dan Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan) hanya mendapat 9.195 suara (9,02 persen).
Total suara sah sebanyak 101.971 dan sebanyak 1.571 kartu pemilih yang sudah dicoblos dinyatakan tidak sah. Sementara pemilih terdaftar yang tidak menyalurkan haknya mencapai 14.843 orang atau 12,54 persen dari 118.385 total pemilih terdaftar.***
Aksi unjukrasa itu sendiri dilaksanakan, bertepatan dengan berlangsungnya sidang gugatan pasangan calon Bupati Morowali, Caheruddin Zen dan Aminullah BK terhaap KPU Morowali.
Desakan pembatalan itu, karena mereka menilai bahwa hasil Pilkada tersebut tidak demokratis dan penuh kecurangan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Morowali dinilai berpihak pada pasangan Anwar Hafid - SU Marunduh dan memenangkan mereka.
Selain berorasi di depan kantor Pengadilan Tinggi Sulteng di Jalan Mohammad Yamin Palu itu, unjukrasa yang dipimpin M. Zulfikar itu juga mendesak Gubernur Sulawesi Tengah agar menolak hasil perhitungan dan penetapan suara yang diselenggarakan KPUD Morowal tanggal 13 November 2007.
Mendesak Gubernur Sulteng agar menolak pelantikan kandidat yang terpilih pada perhitungan suara versi KPU Morowali sebelum adanya kejelasan mengenai proses hukum.
Para pengunjukrasa juga mendesak Kepala Kejaksaan Tinggi Sulteng untuk melakukan proses hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi pada pelaksanaan Pilkada di Morowali.
"Kami juga meminta agar pihak Kejati Sulteng segera memanggil Ketua KPU Morowali terkait dengan keputusannya yang dinilai telah melanggar undang-undang," tegas Zulfikar.
Para pengunjukrasa itu kemudian membeberkan beberapa fakta kecurangan itu. Antara lain di TPS 2 Desa Kolo Atas, Kecamatan Mamosalato, telah terjadi penjoblosan surat suara tanggal 4 November 2007, padahal Pilkada baru akan dilaksanakan tanggal 5 November 2007.
Di tempat itu juga sebanyak 107 lembar kertas suara dibawa ke TPS dengan menggunakan kantong plastik warna putih sebagai kotak suaranya. Itu dilakukan oleh petugas KPPS dan Sekretaris Desa Kolo Atas.
"Ini jelas sangat bertentangan dengan pasal 104 ayat 2 huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Pemerintahan Daerah," kata Zulfikar.
Sementara itu, pihak KPU yang diwakili para kuasa hukumnya menyatakan bahwa KPU Morowali telah menjalankan tugas sesuai kewenangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 junto PP Nomor 6 tahun 2005.
"Itu artinya bahwa KPU telah bekerja sesuai aturan hukum yang berlaku, yang dimulai dari menyusun jadwal pilkada hingga penghitungan. Dan tidak ada kesalahan pada proses itu," tegas Andi Makassau, kuasa hukum KPUD Morowali.
Pada Pilkada Morowali itu, pasangan Anwar Hafid - SU Marunduh yang diusung Koalisi Pembaharuan (Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD) dan Partai Bulan Bintang (PBB) ditetapkan sebagai pemenang dengan meraih suara sebanyak 26.271 suara atau 25,76 persen.
Sedangkan pada urutan kedua adalah pasangan Caheruddin Zen - Aminullah yang hanya terpaut 306 suara dari pasangan Anwar Hafid - SU Marunduh.
Calon yang diusung Koalisi Reformasi Bangkit Bersatu (Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Bintan Reformasi) ini mengumpulkan 25.965 suara atau 25,46 persen.
Sementara itu, kandidat PDIP, Datlin Tamalagi-Djaidin Rompone, meraup 22.116 suara (21,69 persen), serta pasangan Zainal Abidin Ishak - RO Marunduh yang diusung Partai Golkar hanya meraih 18.424 suara (18,07 persen).
Pasangan Muhammad Ilyas Mekka-Atha Mahmud dari Koalisi Rakyat Morowali (Partai Amanat Nasional, Partai Demokrat, Partai Keadilan Persatuan Indonesia dan Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan) hanya mendapat 9.195 suara (9,02 persen).
Total suara sah sebanyak 101.971 dan sebanyak 1.571 kartu pemilih yang sudah dicoblos dinyatakan tidak sah. Sementara pemilih terdaftar yang tidak menyalurkan haknya mencapai 14.843 orang atau 12,54 persen dari 118.385 total pemilih terdaftar.***
Thursday, November 22, 2007
Pelo, Pria Tuna Grahita Parigi Peraih Medali Emas di Sanghai
"Parigi… Mariama… Parigi… Mariama," begitulah teriakan Pelo ketika memasuki arena pertandingan softball di Sanghai China tahun 2006 silam. Bagi Pelo, dua kata itu memiliki arti yang sangat penting dalam hidupnya.
Parigi adalah daerah kelahirannya, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Sedangkan Mariama, adalah nama ibunya yang telah membesarkannya setelah ditinggal meninggal oleh ayahnya.
Bicaranya tak jelas. Air liur selalu membasahi mulutnya. Itu adalah Muhammad Rizal alias Pelo. Terlahir dari pasangan Mariama dan Hasanuddin Ndue ini, adalah putera kelahiran Parigi 11 Maret 1984.
Pelo, adalah salah seorang penyandang cacat mental atau tuna grahita. Tapi, di balik itu semua, ia memiliki prestasi luar biasa.
Pelo berhasil menyumbangan medali emas dan perunggu bagi Indonesia pada Olimpiade Tuna Grahita Dunia atau special Olympics World Summer Games XII di Sanghai, 2006 silam. Ia bertanding pada cabang olahraga softball. Ia berhasil menyisihkan atlet dari Mauritania, Jerman dan Kosta Rika.
Kepada The Jakarta Post, Rabu (21/11) di rumahnya Kelurahan Maesa, Kecamatan Parigi, Kabupaten Parigi Moutong, Pelo menceritakan, ia tak peduli dengan cuaca dingin dan angin kencang saat bertanding pada saat itu.
Ia tetap percaya diri, sembari membusungkan dada, ia melambaikan tangannya ke arah penonton dan berteriak “Parigi.....Mariama....Parigi....Mariama....”
“Saya jadi semangat setelah bilang nama Parigi dan mama. Saya tidak takut lagi dan saya menang. Saya dapat medali emas dan perunggu,” kata Pelo yang diterjemahkan oleh ibunya, Mariama.
BUAH KESABARAN SANG BUNDA
Saat Pelo masih berusia 10 tahun, ayahnya Hasanuddin Ndue meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan lalulintas di kapungnya. Saat itulah dengan penuh kesabaran, ibunya membesarkan dan mendidiknya.
Meski mengalami seorang penyandang tuna grahita, tapi Ny. Mariama (41) terus mendidiknya. Dengan penih kesabaran, ibunya mengajari membaca dan menulis. Usahanya itu membuahkan hasil. Dalam waktu yang tak terlalu lama, Pelo pun bisa membaca dan menulis.
“Kadang saya menangis kalau sudah mengajarkannya membaca dan menulis. Tapi saya selalu sabar dan terus berdoa, agar Pelo diberikan kemampuan yang mungkin tidak dimiliki oleh anak lain,” kata Mariama.
Mariama tak kehabisan akal. Ia berpikir bahwa kalau diajarkannya sendiri di rumah, mungkin Pelo tidak bisa sukses. Agar putranya itu berprestasi, ia pun mengirim Pelo ke Panti Sosial Bina Grahita di Palu. Dan hampir seminggu sekali, ibunya berangkat ke Palu untuk memantau perkembangan anak pertamanya dari empat bersaudara itu.
Di situlah kemampuan Pelo diasah. Ia meraih juara pertama pada Pekan Olahraga Penyandang Cacat tingkat Provinsi Sulteng. Kemudian mewakili daerah ini pada Pekan Olahraga Nasional Penyandang Cacat (Pornas) V tahun 2006.
Karena meraih medali emas pada Pornas V itu, akhirnya dipercaya mewakili Indonesia pada Olimpiade Tuna Grahita Dunia atau special Olympics World Summer Games XII di Sanghai, China 2006.
BUPATI BANGGA
Bupati Parigi Moutong, Longky Djanggola bangga dengan prestasi Pelo. Ia pun diberikan penghargaan dan bonus. Bahkan disambut dengan menggelar open house di kediaman bupati.
“Ini menjadi bukti, bahwa janganlah kita menilai seseorang itu cacat. Tapi di balik cacatnya itu, tersimpan rahasia Tuhan yang kita tidak tahu. Buktinya, meski pun cacatr mental, tapi Pelo berhasil membawa nama baik Parigi Moutong dan Indonesia,” kata Bupati Parigi Moutong, Longky Djanggola.
“Ini sebuah prestasi yang sangat membanggakan bagi Parigi Moutong dan Pelo pantas mendapat penghargaan atas semuanya itu,” tambah Longky Djanggola.***
Wednesday, November 21, 2007
Pertumbuhan Ekonomi Sulteng Membaik
Perekonomian Sulawesi Tengah saat ini cenderung mengalami perubahan dibanding sebelumnya. Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Tengah melaporkan, pertumbuhan ekonomi Sulteng tahun 2006 mencapai 7,9 persen, meningkat dibanding tahun 2005 yang tercatat sebesar 7,57 persen.
Kepala BPS Sulawesi Tengah, Bambang Suprijanto di Palu, Rabu (21/11), menjelaskan, kondisi tersebut dengan didukung kemampuan ekspor dan penawaran ekonomi dari semua sektor ekonomi, menunjukkan bahwa Sulawesi Tengah telah berada pada fase development.
Menurut Suprijanto, kemampuan ekonomi Sulteng ditinjau dari Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2006 atas dasar harga berlaku mencapai 19.331.706 juta rupiah, meningkat dibanding tahun 2005 yang hanya 17.089.580 juta rupiah, tahun 2004 hanya 14.659.017 juta rupiah dan tahun 2003 hanya sebesar 13.013.148 juta rupiah.
Tercatat, ada empat sektor yang mendominasi kehidupan perokonomian Sulawesi Tengah, yakni sektor pertanian, perdagangan, hotel dan restoran serta jasa-jasa dan sektor industri pengolahan.
Sektor pertanian masih merupakan tumpuan kehidupan perekonomian daerah ini. Tapi, menurut Bambang Suprijanto, peranannya mengalami penurunan dari 45,65 persen tahun 2005 menjadi 45,32 persen pada tahun 2006. "Walau mengalami penurunan, tapi sektor ini masih tetap memberikan andilnya terhadap PDRB Sulteng," katanya.
Kemudian sektor jasa berada pada posisi kedua yang memberikan peranan sebesar 14,74 persen. Angka ini juga mengalami penurunan dibanding tahun 2006 yang berada pada angka 14,84 persen.
Bambang Suprijanto jga menjelaskan, jika dilihat dari PDRB per kapita berdasarkan harga berlaku, sebagian besar PDRB digunakan untuk memenuhi konsumsi rumah tangga.
Pada tahun 2006 besarnya pengeluaran konsumsi rumah tangga ditambah lembaga non profit mencapai 12.125.259 juta rupiah atau menyerap sekitar 62,72 persen dari total PDRB Sulawesi Tengah, yakni 19.331.706 juta rupiah.
PDRB KABUPATEN DONGGALA TERBESAR
Kepala BPS Sulteng mengatakan, dari 10 kabupaten dan kota di Sulawesi Tengah, Kabupaten Donggala merupakan wilayah yang memiliki PDRB terbesar. Nilai PDRB atas dasar harga berlaku tahun 2006 ini sebesar 3.729.071 juta rupiah atau 19,52 persen.
Di posisi kedua terbesar adalah Kabupaten Parigi Moutong 3.462.071 juta rupiah atau 18,12 persen, dan Kota Palu dengan nilai PDRB sebesar 3.324565 juta rupiah atau 17,40 persen. Sedangkan Kabupaten Tojo Una-Una merupakan wilayah dengan PDRB terkecil, yang hanya 362.679 juta rupiah atau sekitar 2,95 persen.
"Tapi, dari sisi pertumbuhan tahun 2006, seluruh kabupaten dan kota di Sulteng mengalami pertumbuhan positif," kata Bambang Suprijanto.***
Poso Mulai Bangkit
Pagi itu jam masih menunjukkan pukul 08.00 Wita. Tapi panasnya matahari
itu tak ketulungan. Berjalan kaki dari sebuah penginapan di Poso Kota
menuju Pasar Sentral, cukup membuat aku berkeringat.
Lulintas di pagi yang cerah itu sangat ramai. Aktivitas warga di depan
Pasar Sentral Poso Kota pun begitu ramainya. Warung-warung makan yang
berderet rapi di seberang jalan depan pasar yang pernah diledakan bom
itu juga tampak ramai.
Satu dua mobil mikrolet warna kuning terlihat menurunkan penumpang dan
barang dagangan mereka. Pemandangan lain, terlihat begitu jelas satu
dua anak berseragam putih abu-abu (yang mungkin baru berangkat sekolah)
berjalan kaki di sela-sela mobil mikrolet yang sedang parkir menunggu
penumpang.
Dari sudut yang berbeda, anggota Polri di markasnya yang hanya berjarak
sekitar 10 meter dari pasar Sentral Poso, keluar masuk melalui pintu
gerbang. Terlihat pula ada sekitar enam polisi berpangkat brigadir dan
seorang perwira berpangkat Ajun Komisaris, setia di pos penjagaan pintu
masuk Polres.
Sekitar 20 meter dari Polres ke arah Selatan, ada sekitar 15 orang
dewasa sedang duduk di sebuah bangku panjang di depan sebuah hotel, yang
juga menjadi agen sebuah mobil bus jurusan Poso-Palu. Ya...mereka sedang
menunggu keberangkatan mobil bus itu menuju Palu. Sangat ramai situasi
di pagi yang cerah itu.
"Kita mau ke Palu. Mungkin mobilnya berangkat jam 10. Sekarang lagi
jemput penumpang lain," kata M. Sunusi (34), salah seorang calon penumpang
bus itu.
Suasana itu sangat kontras dengan tahun 2006 lalu. Dimana pada saat
itu, suasana memang ramai, tapi ketakutan masih tetap menyelimuti warga
Poso. Ketakutan, karena masih ada sekelompok warga sipil, yang menebar
teror dan kekerasan di wilayah itu. Wajah-wajah penuh curiga pun masih
terpancar jelas dari raut mereka.
"Itu suasana dulu. Sekarang sudah mulai membaik. Warga sudah berbaur.
Kesenian tradisional yang sempat tak lagi punya tempat di Poso Kota,
sudah bisa mendapatkan ruang lagi," kata Amir Kiat, juru bicara Pemerintah
Kabupaten Poso, kepada The Jakarta Post, Minggu (18/11) lalu.
PERKEMBANGAN EKONOMI, BUKTI GELIAT POSO
Denyut ekonomi di Kabupaten Poso mulai menggeliat lagi. Ekonomi masyarakat terus brkembang. Itu dapat dilihat dari Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Poso yang setiap tahun mengalami peningkatan.
Badan Pusat Statistik Sulawesi Tengah melaporkan, PDRB per kapita Kabupaten Poso, tahun 2006 meningkat tajam, yakni sebesar Rp7.017.531. Dibanding tahun 2005 yang hanya Rp6.858.674 dan tahun 2004 tercatat sebesar Rp6.018.140.
BPS Sulteng juga melaporkan, PDRB Poso berdasarkan harga konstan (pertumbuhan ekonomi) juga mengalami kenaikan yang sangat signifikan sejak tahun 2002 silam.
PDRB Poso berdasarkan harga konstan tahun 2006 sebesar 7,86 persen. Dibanding tahun 2005 hanya 7,59 persen, 5,64 persen pada tahun 2004 dan 4,47 persen tahun 2003. Padahal, di tahun 2002, PDRB Poso berdasarkan harga konstan itu hanya 1,73 persen.
"Ini membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi Poso pasca konflik mulai menggeliat. Dan itu berarti pula bahwa situasi ekonomi sudah mulai membaik," kata Syaiful Rahman, Kepala Bidang Statistik Sosial BPS Sulteng.
Berdasarkan pengertiannya, pendapaan regional merupakan salah satu indikator penting dalam mengukur keberhasilan pembangunan di suatu daerah, struktur perekonomian, pendapatan per kapita maupun pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun.
FDP, GELIAT WISATA YANG HILANG
Poso, dulunya dikenal sebagai Surga bagi Sulawesi Tengah. Pasalnya, selain karena sebagai daerah wisata terbaik di Sulteng, juga karena kehidupan malamnya dan pola pergaulan masyarakatnya. Jika orang Jakarta memilih libur akhir pekan ke puncak Bogor dan Bandung, maka orang Sulawesi Tengah memilih Poso untuk mengisi liburan akhir pekannya. Tapi, semua itu sirna karena daerah itu dilanda konflik berdarah sejak tahun 1998 silam.
Kini, konflik telah berakhir. Masyarakat sudah bisa berbaur kembali. Geliat wisata pun kembali terlihat. Bangkitnya pariwisata Poso itu, diawali dengan digelarnya Festival Budaya Poso (FBP) yang sudah dilaksanakan sejak tanggal 13 hingga 16 November 2007 lalu.
Bupati Poso, Piet Inkiriwang, mengatakan FBP itu sebagai pra-kondisi dilaksanakannya Festival Danau Poso (FDP) yang sudah menjadi agenda nasional sepanjang tahun.
FDP itu sendiri terakhir dilaksanakan tahun 2007. Setelah konflik melanda Poso tahun 1998, FDP pun tidak lagi dilaksanakan. Bahkan, cottage yang dulunya begitu indah di tepian Danau Poso di Tentena, Kecamatan Pamona Utara, berubah menjadi tempat penampungan pengungsi.
"Tapi, sekarang kita sudah perbaiki, kita sudah tata lagi untuk persiapan pelaksanaan Festival Danau Poso tanggal 6 Desember 2007 mendatang," kata Bupati Piet Inkiriwang.
Bupati Piet Inkiriwang mengatakan, festival itu merupakan langkah awal mengantar daerah bekas konflik itu menuju kemajuan yang positif. Diharapkan, beragamnya adat dan budaya di Kabupaten Poso, akan menjadi cerminan kokohnya rasa persatuan dan kesatuan masyarakat Poso.
Selain sebagai ajang festival, acara ini juga sebagai wujud nyata rekonsiliasi di tanah Sintuwu Maroso dan promosi kepada dunia luar bahwa Poso tidak lagi menakutkan. Itu dibuktikan dengan digelar Festival Budaya Poso lalu, dimana ribuan warga Poso (muslim dam Kristen) tumplek di Lapangan Sintuwu Maroso, Poso Kota untuk menghadiri acara itu.
Tidak hanya warga Poso dari 15 kecamatan yang hadir menampilkan dan memamerkan kesenian tradisionalnya dan pakaian adat mereka, tapi warga pendatang seperti Bali, Jawa, Lombok, Bugis, Makassar dan Gorontalo pun ikut hadir dengan pakaian tradisional asal daerahnya. "Itu membuktikan bahwa telah tercipta rekonsiliasi di Poso. Orang tidak lagi membeda-bedakan suku dan ras masing-masing," jelas Piet Inkiriwang.
Tidak hanya itu, ada kesenian tradisional seperti Tari Dero (tari pergaulan), yang pernah dilarang di Poso Kota, karena bertentangan dengan ajaran Islam, pada Festival Budaya Poso, sempat pula digelar dan mendapat respon positif warga setempat dan tidak ada lagi yang mengganggu.
"Sekali lagi, itu menjadi bukti kalau kita sudah mulai bangkit," terang Bupati Piet Inkiriwang.
Padahal, dulu ketika Poso masih membara, setiap kali ada acara Tari Dero, pasti ada teror. Teror itu tidak hanya dengan lemparan batu, tapi juga diledakan bom di tempat acara itu samai merenggut nyawa peserta tari. Sekarang, justru masyarakat sendiri yang menjaga situasi itu.
LANTODAGO, OPERASI KEAMANAN YANG BELUM BERAKHIR
Terlepas dari itu semua, operasi keamanan di Poso belum juga berakhir. Operasi keamanan itu bernama sandi Operasi Lantodago II yang dimulai sejak Oktober dan akan berakhir pada Desember 2007 nanti. Pasukan Brimob yang di BKO dari Mabes Polri, masih ikut terlibat dalam operasi itu.
Menurut Juru Bicara Polda Sulawesi Tengah, Ajun Komisaris Besar Polisi Heddy, tercatat masih ada sekitar dua satuan setingkat kompi atau lebih dari 200 personel.
Apakah masih akan diperpanjang operasi itu? Kapolda Sulawesi Tengah, Brigadir Jenderal Polisi Badrodin Haiti, di Palu, Rabu (21/11) siang, mengatakan tidak ada rencana untuk diperpanjangnya Operasi Lantodago itu hingga tahap ketiga.
"Situasi sudah membaik. Dengan begitu, besar kemungkinan Operasi Lantodago tidak akan diperpanjang lagi," tegas Kapolda Sulteng.
Meski operasi Lantodago sudah akan berakhir dan kemungkinan tidak diperpanjang lagi, tapi menurut Kapolda Sulteng, operasi kewilayahan dibaah kendali Polda Sulteng akan terus dilaksanakan. Tapi, operasi kewilayahan itu tidak lagi dengan menambah pasukan dari luar, tapi cukup dengan pasukan organik yang bertugas di Poso dan juga anggota Brimob Polda Sulteng.
Kapolda menjelaskan, di penghujung operasi Lantodago itu, pihaknya berhasil mengamankan sedikitnya 67 cashing bom rakitan dan supucuk senjata api rakitan. Benda berbahaya itu ditemukan di Kelurahan Tegalrejo, Kecamatan Poso Pesisir Utara pada Sabtu (17/11) lalu. Tapi, tidak diketahui pemiliknya dan polisi masih terus memburu pemilik tersebut.
Puluhan cashing bahan peledak dan senjata api rakitan ini ditemukan secara kebetulan oleh salah seorang warga Kelurahan Tegalrejo yang melintas di perkebunan kakao, dan menemukannya di bawah tumpukan genteng bekas. Menurut Kapolda, kemungkinan sengaja diletakkan di tempat agar mudah dilihat untuk segera diamankan.
Melihat benda berbahaya ini, warga tadi langsung menghubungi aparat kepolisian Resort Poso. Usai menerima laporan, tim Gegana pun langsung menuju lokasi dan mengamankan benda berbahaya ini. Setelah diidentifikasi ternyata ada enam puluh tujuh cashing bom dan satu pucuk senjata api rakitan. Selanjutnya dimasukkan ke karung dan dibawa masuk ke mobil patroli.
Tim gegana sempat melakukan penyisiran di sekitar lokasi untuk mencari kemungkinan masih adanya sisa bahan peledak dan barang berbahaya lainnya. Namun setelah disisir selama setengah jam ternyata tidak ditemukan.
Kapolda mengakui, ditemukannya cashing dan senjata rakitan itu, tidak menjadi indikasi tidak amannya situasi di Poso saat ini. Situasi sudah begitu membaik, masyarakat sudah bisa hidup berbaur dan tidak ada lagi ketakutan seta saling curiga. Meski begitu, Kapolda berharap agar warga Poso tetap memantau setiap pergerakan orang-orang luar yang mencurigakan saat masuk ke Poso. "Jadilah polisi bagi diri sendiri," begitu pesan Kapolda kepada warga Poso. ***
Thursday, November 15, 2007
Kita Hidup Butuh Lobang
Sungguh, kita hidup membutuhkan lobang. Mungkin ini kalimat yang tepat, untuk membicarakan soal kebutuhan akan lobang itu. Mau bukti....???
Saat kita lahir, keluarnya dari lobang (kecuali yang operasi cesar). Kita makan, juga masuknya melalui lobang (mulut). Kita pipis, juga keluarnya dari lobang (meskipun kecil). Kita pup, juga keluarnya dari lobang. Jika kita adalah laki-laki, maka kita akan memasukan sesuatu ke lobang ketika sudah menikah (ada juga yang belum menikah, tapi sudah memasukan tongkatnya ke lobang).
Semua itu, pasti terasa nikmat. Kecuali melahirkan dari lobang yang menurut kaum perempuan, sakit rasanya. Tapi yang lainnya, mulai dari pipis, pup, makan, minum, dan saat menikah, semuanya nikmat---ajiiiib.
Saya tak bisa membayangkan, jika kita hidup tanpa lobang. Dari mana kita pipis, dari mana kita pup, lewat mana kita lahir, lewat mana kita makan dan minum. Oleh karena itu, selalulah mencari lobang dan jangan salah memilih lobang. Hati-hati pula jangan sampai kita terperosok ke dalam lobang. Hidup lobang.....***
Saat kita lahir, keluarnya dari lobang (kecuali yang operasi cesar). Kita makan, juga masuknya melalui lobang (mulut). Kita pipis, juga keluarnya dari lobang (meskipun kecil). Kita pup, juga keluarnya dari lobang. Jika kita adalah laki-laki, maka kita akan memasukan sesuatu ke lobang ketika sudah menikah (ada juga yang belum menikah, tapi sudah memasukan tongkatnya ke lobang).
Semua itu, pasti terasa nikmat. Kecuali melahirkan dari lobang yang menurut kaum perempuan, sakit rasanya. Tapi yang lainnya, mulai dari pipis, pup, makan, minum, dan saat menikah, semuanya nikmat---ajiiiib.
Saya tak bisa membayangkan, jika kita hidup tanpa lobang. Dari mana kita pipis, dari mana kita pup, lewat mana kita lahir, lewat mana kita makan dan minum. Oleh karena itu, selalulah mencari lobang dan jangan salah memilih lobang. Hati-hati pula jangan sampai kita terperosok ke dalam lobang. Hidup lobang.....***
Ditemukan Granat Aktif di Depan BRI Palu
Dengan langkah gontai, seorang ibu paroh baya bernama Ny. Elia (55 tahun), meninggalkan bank BRI Cabang Palu di Jalan KH. Ahmad Dahlan. Di depan bank, ia melihat sebuah benda yang terbungkus lakban warna coklat. Ibu rumah tangga yang sedang menggendong cucunya ini, kemudian memungut benda tersebut.
"Saya pikir itu benda berharga orang yang tercecer. Jadi saya pun ambil untuk melihatnya," kata Ny Elia kepada wartawan, Kamis (15/11) di lokasi kejadian. Sambil menggendong cucunya yang bernama Revan (2 tahun), pensiunan PNS itu tampak tenang.
Pada saat ia sedang melihat benda-benda tersebut, saudaranya yang bernama Ny. Rohani (50) menegurnya dengan mengatakan, agar menaruh kembali benda tersebut, karena jangan sampai itu adalah bom. Kaget mendengar anjuran saudaranya, Ny. Elia pun menaruh kembali benda tersebut dengan perlahan.
Seorang pengendara sepeda motor melintas di depan Ny. Elia dan bertanya soal benda tersbut. Ibu yang berasal dari Desa Kotapulu, Kecamatan Dolo, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah itu pun mengatakan bahwa mungkin bom.
Pada saat bersamaan, melintas pula seorang anggota polisi dengan menggunakan sepeda motor. Ny. Elia pun melaporkan kepada anggota polisi tersebut. "Pak, tolong dilihat ini, mungkin ada bom, karena ada kabel dan sumbunya pak," kata Ny. Elia.
Seorang anggota polisi itu kemudian melaporkannya ke Markas Polresta Palu yang berjarak hanya sekitar 50 meter dari Bank BRI Palu. Pihak polisi kemudian datang dan memasang police line. Setelah ditemukan pada pukul 10.10 Wita, sekitar 35 menit kemudian, tim Penjinak Bom Gegana Polda Sulteng datang ke lokasi dan menjinakkan benda yang diduga bom tersebut.
Begitu diteliti, disimpulkan bahwa benda yang diduga bom rakitan itu, ternyata adalah granat asli dan aktif. Hanya saja, pen granatnya sudah dilepas, lalu dipasangi sumbu, kabel dan baterai dan dililit lakban warna coklat, untuk memudahkan dihubungkan dengan remot kontrol.
Granat buatan Korea yang mirip dengan miliknya salah satu angkatan di TNI itu, kemudian dibawa ke sebuah lapangan yang berjarak sekitar 50 meter dari lokasi temuan, untuk selanjutnya diledakkan.
Kapolresta Palu, Ajun Komisaris Besar Polisi Sunarto, yang dikonfirmasi wartawan membenarkan kalau benda tersebut adalah granat asli dan masih aktif. "Iya betul, itu granat asli dan masih aktif," kata Kapolresta Sunarto.
Kapolresta mengatakan, kemungkinan granat tersebut diletakkan pada waktu subuh, di saat lampu listrik sedang padam, sehingga tidak ada yang mengetahuinya. Pihaknya juga menduga, pihak peneror itu merencanakan akan meledakkannya saat situasi di bank tersebut sudah ramiai oleh nasabah.
"Tapi itu masih dugaan sementara saja. Semuanya baru bisa jelas, kalau kita sudah berhasil menangkap pelakunya," jelas Kapolresta.
Menurut AKBP Sunarto, pihaknya akan menyelidiki dan mengejar pelaku teror tersebut. Polisi juga sudah memeriksa Ny. Elia, orang yang pertama kali menemukan granat tersebut, termasuk Ny. Rohani. Polisi juga sedang mencari pengendara sepeda motor yang menegur Ny Elia pertama kali itu, pun halnya anggota polisi yang melintas dengan sepeda motor tersebut.
KEADAAN LOKASI TEMUAN GRANAT
Lokasi ditemukannya granat itu, terletak di atas troatar depan kantor pusat BRI Cabang Palu di Jalan KH AHmad Dahlan. Bank tersebut, berhadapan langsung dengan kantor DPRD Kota Palu, kantor Telkom, yang hanya dibatasi oleh Jalan Mohommad Hatta.
Di bagian kanan bank tersebut adalah koperasi Telkom dan rumah warga. Sedangkan di samping kantor DPRD Kota Palu sendiri, adalah tempat penitipan anak dan kantor Perlindungan Masyarakat. Depan DPRD Kota Palu, juga terdapat kantor Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dan lapangan tenes. Sekitar 50 meter dari BRI adalah Markas Kepolisian Resort Kota Palu.
Sekitar 30 meter arah selatan BRI Cabang Palu, adalah kantor Bank Mandiri dan Bank Danamon. Kemudian, sekitar 100 meter adalah markas Polisi Militer Palu. 30 meter utara BRI, adalah Puskesmas Singgani dan asrama Korem 132 Tadulako. 50 meter bagian utara, adalah markas Korem 132/Tadulako Sulawesi Tengah.***
Wednesday, November 14, 2007
Tenun Donggala, Asset Donggala yang Dipelihara
Mungkin, selama ini orang hanya mengenal kain tenmun songket dari Sumatera. Padahal, di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, pun ada sarung tenun yang sangat terkenal. Namanya Buya Sabe atau Sarung Tenun Donggala. Buya Sabe ini, tidak hanya sekadar ditenun secara tradisional, tapi juga sudah ada yang modern melalui pabrik yang dipesan secara khusus. Sayangnya, kalau untuk pabrik hanya bisa dipesan di Jawa.
Kain tenun Donggala dikenal bukan saja sebagai kerajinan tangan tradisional kaum perempuan di Donggala, tetapi tenun donggala memiliki ciri khas Donggala yang mengandung nilai seni dan budaya. Di Desa Towale, Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala, pembuatan tenun Donggala, sudah menjadi kegiatan rutinitas kaum ibu.
Telah menjadi pekerjaan utama bagi perempuan remaja hingga ibu-ibu paroh baya. Tidak heran, setiap rumah memiliki minimal satu alat tenun sarung Donggala tradisional. Bahkan, satu rumah ada yang memiliki hingga tiga unit peralatan itu. Bagi pengrajin tenun Donggala di Towale, mereka mengaku mahir membuat tenun dari orang tua mereka secara turun temurun.
Pembuatan tenun Donggala, hampir sama dengan pembuatan tenun-tenun yang ada di daerah lain. Baik dari proses pewarnaan benang hingga penenunan. Menariknya, di Desa Towale, para penenun sarung Donggala, jumlahnya mencapai 300 orang.
Proses pembuatan tenun Donggala, tergantung corak tenun. Di Kabupaten Donggala tehnik pembuatan dan corak kainnya ada enam jenis kain Donggala. Antara lain, kain palekat garusu, buya bomba, buya sabe, kombinasi bomba dan sube. Dari sekian corak tersebut, buya bomba yang paling sulit, hingga membutuhkan waktu pengerjaan satu hingga dua bulan. Berbeda dengan corak lainnya yang hanya membutuhkan waktu satu hingga dua minggu saja.
“Untuk Buya Bomba, kami mengerjakannya dengan sangat hati-hati. Karena corak yang akan dihasilkan sangat banyak. Biasanya pembuatannya sampai dua minggu,” kata Dayama, salah seorang penenun.
Keunikan serta memiliki ciri khas menarik, menjadi salah satu daya tarik bagi pembeli tenun. Tidak heran, tenun Donggala banyak diminati orang hingga ke pelosok nusantara.
Pemerintah Kabupaten Donggala, dalam melestarikan tenun Donggala, melakukan pengumpulan seluruh pengrajin tenun donggala tradisional yang ada di Kabupaten Donggala. Bahkan, untuk mengatur dan melestarikan tenun Donggala, pemerintah Kabupaten Donggala menerbitkan peraturan daerah tentang tenun Donggala.
“Perda itu untuk menjaga agar tenun Donggala itu bisa lestari dan tidak diduplikasi oleh pihak lain. Istilahnya itu sebagai hak paten Donggala,’’ jelas Habir Ponulele, Bupati Donggala.
Di Kabupaten Donggala, pengrajin tradisional tenun Donggala, terdapat di tiga kecamatan. Yakni Kecamatan Banawa, Kecamatan Tavaili dan di wilayah pantai barat.
Pemakaian tenun Donggala, saat ini banyak digunakan pada cara-cara tertentu. Seperti pakain pesta untuk orang tua, untuk menjamu tamu dari luar, serta pakain untuk acara kedukaan. Bahkan, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, telah mengeluarkan aturan bagi PNS untuk berseragam tenun Donggala pada setiap akhir pekan di kantor.
Untuk harga, tenun Donggala tergantung coraknya. Harga termurah mencapai Rp. 300 ribu dan paling mahal seharga Rp.650 ribu.
Poso Menggeliat Lagi
Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, kini menggeliat lagi. Itu dibuktikan dengan digelarnya Festival Budaya Poso, yang berlangsung mulai Selasa 13 hingga 15 November 2007. Festival itu diikuti oleh 15 kecamatan di Kabupaten Poso. Inisiatif digelarnya festival budaya ini, untuk menunjukkan kepada dunia internasional, bahwa Poso kini sudah sangat aman untuk dikunjungi oleh wisatawan.
Alasan lainnya, masuknya budaya dari luar membuat warga Poso mulai melupakan tradisi daerah. Sejak konflik yang memporak-porandakan tata kehidupan masyarakat setempat, sudah sangat jarang terdengar musik tradisional Poso, yang menggunakan alat musik tradisional. Setiap kegiatan seni tari sudah diiringi dengan musik moderen yang mudah dimainkan iramanya.
"Kegiatan ini bertujuan mempererat persatuan, memupuk kebersamaan dalam satu kesatuan, serta menumbuhkankembangkan rasa kecintaan nilai-nilai budaya yang dimiliki," kata panitia penyelenggara.
Tidak hanya itu, tujuan festival itu juga untuk mewujudkan ketahanan budaya dan citra pariwisata, guna menunjang ekonomi kerakyatan di Kabupaten Poso.
Festival Budaya Daerah Poso ini mengategorikan kegiatan lomba Musik Bambu, Moende, penyajian makanan khas daerah, pemilihan putra-putri kebudayaan pariwisata, gasing, moloko dan pameran produk/souvenir khas daerah.
Selain kegiatan lomba juga ada kegiatan yang tidak dilombakan. Ada kegiatan tari daerah, musik tradisi dan busana daerah, yang hanya ditontonkan kepada publik melalui pawai.
Ada yang menarik dari kegiatan ini, dimana panitia akan mengadakan dialog budaya dan pariwisata. Dari 15 kecamatan diharapkan menyiapkan dialog kebudayaan sesuai keadaan daerah masing-masing, serta dapat memberikan saran dan pendapat tentang keadaan seni budaya dan pariwisata Kabupaten Poso secara umum. Tema dialog ini adalah Konsep dasar kebudayaan dan pariwisata Kabupaten Poso dalam motto Sintuwu Maroso.
Suatu ide yang cemerlang yang disiapkan oleh panitia, supaya kegiatan dialog ini dapat menumbuhkan rasa memiliki budaya daerah terutama kaum muda di Poso.
Untuk kegiatan pemilihan putra-putri kebudayaan pariwisata dan tari daerah yang memenangkan perlombaan itu, akan mewakili Kabupaten Poso di acara Festival Danau Poso 2008.
Semoga saja dengan dengan kegiatan budaya daerah ini, kita tetap menjaga pelestarian budaya daearah poso.
Alasan lainnya, masuknya budaya dari luar membuat warga Poso mulai melupakan tradisi daerah. Sejak konflik yang memporak-porandakan tata kehidupan masyarakat setempat, sudah sangat jarang terdengar musik tradisional Poso, yang menggunakan alat musik tradisional. Setiap kegiatan seni tari sudah diiringi dengan musik moderen yang mudah dimainkan iramanya.
"Kegiatan ini bertujuan mempererat persatuan, memupuk kebersamaan dalam satu kesatuan, serta menumbuhkankembangkan rasa kecintaan nilai-nilai budaya yang dimiliki," kata panitia penyelenggara.
Tidak hanya itu, tujuan festival itu juga untuk mewujudkan ketahanan budaya dan citra pariwisata, guna menunjang ekonomi kerakyatan di Kabupaten Poso.
Festival Budaya Daerah Poso ini mengategorikan kegiatan lomba Musik Bambu, Moende, penyajian makanan khas daerah, pemilihan putra-putri kebudayaan pariwisata, gasing, moloko dan pameran produk/souvenir khas daerah.
Selain kegiatan lomba juga ada kegiatan yang tidak dilombakan. Ada kegiatan tari daerah, musik tradisi dan busana daerah, yang hanya ditontonkan kepada publik melalui pawai.
Ada yang menarik dari kegiatan ini, dimana panitia akan mengadakan dialog budaya dan pariwisata. Dari 15 kecamatan diharapkan menyiapkan dialog kebudayaan sesuai keadaan daerah masing-masing, serta dapat memberikan saran dan pendapat tentang keadaan seni budaya dan pariwisata Kabupaten Poso secara umum. Tema dialog ini adalah Konsep dasar kebudayaan dan pariwisata Kabupaten Poso dalam motto Sintuwu Maroso.
Suatu ide yang cemerlang yang disiapkan oleh panitia, supaya kegiatan dialog ini dapat menumbuhkan rasa memiliki budaya daerah terutama kaum muda di Poso.
Untuk kegiatan pemilihan putra-putri kebudayaan pariwisata dan tari daerah yang memenangkan perlombaan itu, akan mewakili Kabupaten Poso di acara Festival Danau Poso 2008.
Semoga saja dengan dengan kegiatan budaya daerah ini, kita tetap menjaga pelestarian budaya daearah poso.
Tragedi Bom Poso Diperingati
Mengenang tragedi ledakan bom di Pasar Sentral Poso Kabupaten Poso 13 November 2004 silam, sekitar seratus warga kelurahan sepe memperingatinya secara khusus. Peringatan insiden yang menewaskan enam warga ini dihadiri beberapa korban yang selamat
Peringatan tiga tahun terjadinya ledakan bom di Pasar Sentral Poso ini digelar secara khusus di balai Kantor Kelurahan Sepe, Kecamatan Lage. Selain keluarga korban, hadir pula tokoh masyarakat, tokoh agama serta beberapa korban bom yang selamat.
Yahya Aling, salah seorang korban yang selamat, menuturkan hingga kini ia masih trauma dengan peristiwa yang nyaris merenggut nyawanya itu. Namun ia juga tabah menerima cobaan dimana kedua kakinya terpaksa diamputasi akibat terkena ledakan bom.
Usai peringatan yang berlangsung selama dua jam ini, acara dirangkaikan dengan tabur bunga di makam para korban tewas akibat ledakan bom di pekuburan Sepe. Isak tangis mengiringi warga yang berjalan kaki sejauh dua ratus meter menuju pekuburan.
Teluk Tomini di Ambang Kehancuran
Teluk Tomini salah satu teluk yang terbesar di Indonesia. Teluk ini menjadi bagian wilayah dari 13 kabupaten yang meliputi Provinsi Sulawesi Tengah dan Gorontalo.
Di tengah-tengah Teluk Tomini ini, terdapat 56 rangkaian pulau-pulau yang dikenal dengan Kepulauan Togean yang panjangnya membentang hingga 90 kilometer. Enam pulau di antaranya termasuk yang kategori besar, yaitu Pulau Una-Una, Batulada, Togean dan Talatakoh, Waleakodi dan Waleabahi.
Selebihnya adalah pulau-pulau kecil yang indah. Di pulau-pulau kecil itu, menjadi kawasan wisata yang setiap saat ramai dikunjungi wisatawan asing dari Eropa. Pulau-pulau ini yang mengelilingi enam pulau besar tersebut.
Dalam pembagian kawasan keanekaragaman hayati, kawasan ini berada di zona Wallacea, yang dalam sejarahnya merupakan kawasan terpisah dari Benua Asia maupun Australia. Nama Wallacea sendiri, diambil dari nama peneliti dan naturalis Ingris yang menjelajahi kawasan timur Indonesia (1854-1862), Alfred Russel Wallace.
Di teluk ini, terkenal dengan keindahan alam bawah lautnya, dan seakan menjadi surga bagi para penyelam. Selain karena terumbu karangnya yang indah, berbagai jenis ikan juga hidup di sini.
Melihat besarnya potensi itu, tahun 2003 silam, ketika Megawati Soekarnoputri masih menjabat Presiden RI, telah dicanangkan teluk tersebut sebagu Pintu Gerbang Mina Bahari.
Bupati Parigi Moutong, Longky Djanggola kepada Berita Palu, Kamis (8/11) siang, mengatakan, harapan dicanangkannya Gerbang Mina Bahari itu, bahwa dengan potensi perikanan dan kelautan di dalamnya dapat menambah devisa negara, sekaligus dapat membukalapangan kerja bagi masyarakat sekitar.
Sayangnya, laporan dari Badan Kerjasama Pembangunan Regional Sulawesi (BKPRS), menunjukkan fakta miris bagi teluk itu. BKPRS menilai, beberapa teluk di wilayah Sulawesi, termasuk Teluk Tomini, mengalami kerusakan akibat kurang serasinya pembangunan kawasan darat dan laut.
Kerusakan ekosistem yang parah misalnya, meliputi kehancuran terumbu karang, hutan bakau, serta diperparah dengan kerusakan sejumlah daerah aliran sungai yang bermuara ke Teluk Tomini.
Kerusakan itu dapat disaksikan di Taman Nasional Kepulauan Togean yang terletak di Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah.
Data Badan Perencaan Pembangunan Daerah (Bappeda) setempat, menunjukkan bahwa kurun tahun 2001-2007, kerusakan terumbu karang mencapai 8,7 persen, padang lamun 4,6 persen dan mangrove berkurang hingga 5,11 persen.
Sedangkan luas keseluruhan Kepulauan Togean mencapai sekitar 411.373 ha, dan luas Kabupaten Tojo Una-Una yang berhadapan langsung dengan Togean, sekitar sekitar 5.721,15 km bujur sangkar. Di kawasan inilah yang paling banyak mengalami kerusakan.
Bupati Tojo Una-Una Damsik Ladjalani mengatakan, kerusakan itu diakibatkan adanya illegal fishing yang dilakukan warga sekitar. "Termasuk juga adanya pembuangan sampah ke laut," kata Damsik Ladjalani.
Padahal,UNESCO telah menetapkan Teluk Tomini sebagai salah satu kekayaan dunia yang patut dilindungi. Pasalnya, di teluk ini menyimpan potensi laut yang sangat menjanjikan.
Pemerintah provinsi Sulawesi Tengah melaporkan, potensi sumberdaya ikan di perairan tersebut, mencapai sekitar 330.000 ton per tahun. Yang dapat dikelola secara lestari sekitar 214.000 ton per tahun.
Sedangkan jenis ikan yang banyak dicari adalah jenis ikan pelagis besar dan ikan tuna sekitar 10.000 ton per tahun, ikan cakalang 14.000 ton per tahun. Juga terdapat jenis ikan seperti tongkol, sunu, baronang, kakap laut. Dan hasil laut lainnya seperti biji mutiara, teripang, udang dan rumput laut.
Dikhawatirkan, kerusakan di Teluk Tomini dan pulau-pulau yang mengitarinya kelak makin parah. Sehingga kebanggan menjadikan kawasan ini sebagai sokoguru kehidupan masyarakat setempat, tidak dapat tercapai.***
Tuesday, November 13, 2007
Palu Sebagai Pusat Industri Rotan
Pemerintah Kota Palu bertekad menjadikan kota ini sebagai pusat industri dan sentra rotan nasional, karena pasokan rotan Kota Palu mencapai 50-60 persen atau sekitar 50.000 sampai 60.000 ton untuk stok rotan nasional.
Sedangkan 80 persen kebutuhan bahan baku rotan dunia, berasal dari Indonesia. Negara-negara yang membutuhkan bahan baku rotan pun mencapai berbagai belahan dunia baik Eropa, Amerika, ASEAN hingga Timur Tengah.
"Ini potensi pasar yang cukup menjanjikan," kata Walikota Palu, Rusdy Mastura, kepada ochansangadji, (12/11).
Lantaran itulah, kata Walikota Palu, pihaknya menangkap peluang itu dengan menjadikan kota ini sebagai pusat industri dan sentra rotan nasional, karena 50-60 persen bahan baku rotan nasional ada di Sulawesi Tengah.
Data Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Perindagkop) Kota Palu, menyebutkan Sulawesi Tengah memiliki jenis rotan yang khas (endemik) seperti jenis lambang, barang, tohiti noko dan berbagai jenis lainnya yang diperkirakan berjumlah 12 jenis.
Itu semua, menurut Walikota Palu, karena kondisi alam Sulawesi Tengah yang umumnya merupakan tanah berkapur sehingga banyak mengandung silika. Kandungan ini diperkirakan memiliki pengaruh bagi kelenturan dan daya tahan rotan.
"Maka jangan heran kalau hanya di Sulteng yang memiliki jenis rotan endemik yang harganya sangat mahal," katanya.
Untuk mewujudkannya, Pemerintah Kota Palu telah membuka Sekolah Kriya Rotan yang saat ini masih menjadi salah satu jurusan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Palu, dan memberangkan lima tenaga pengajarnya untuk magang di Cirebon, Jawa Barat.
BANGUN UPT BERDAYAKAN HOME INDUSTRI
Pemerintah Kota Palu juga telah melakukan sinergitas dengan seluruh stakeholder, untuk mendirikan sebuah Unit Pelaksana Teknis (UPT) rotan Kota Palu.
Fokus pengembangan UPT rotan tersebut, kata Rusdy Mastura, adalah memberikan fasilitas peralatan mesin pengelola rotan, pemasaran, pendidikan dan pelatihan.
Untuk peralatan dan mesin Pemerintah Kota Palu telah mengalokasikan pembangunan dua pabrik dan gudang sebagai fasilitas penunjang untuk menuju perbaikan umum dan pengolahan rotan Sulawesi Tengah.
Kepala Bidang Perencanaan Dinas Perindagkop Kota Palu, M. Fatih, mengatakan, kehadiran UPT Rotan ini, akan mengarahkan usaha pada industri barang jadi berbasis home industri (industri rumah tangga).
Menurut M. Fatih, kemajuan Cirebon, Jawa Barat sebagai basis industri rotan karena tetap berdasarkan pemberdayaan rumah tangga. "Makanya, UPT Rotan ini kita arahkan pada pengembangan home industri itu," ujarnya.
Sedangkan untuk pengembangan dan perbaikan mutu barang jadi, UPT Rotan Kota Palu sedang memfokuskan pada perbaikan sumber daya manusia yang akan menjadi pelaku dunia usaha rotan.
Perbaikan sumber daya manusia itu, sesuai arah kebijakan pemerintah Kota Palu 2006-2007, dilaksanakan pelatihan berdasarkan kensentrasi berbagai bidang, baik pengawetan rotan, anyaman rotan, rangka desain hingga Finishing.
“Untuk melaksanakan itu, kami telah menjalin kerjasama dengan pihak Cirebon untuk mendatangkan tenaga pelatih. Semua itu kita maksudkan agar mutu barang jadi lebih berkualitas," tegas Rusdy Mastura.
Harapan besar bagi Pemerintah Kota Palu, kelak UPT rotan akan memaksimalkan perannya untuk menjadi unit pelayanan bagi masyarakat pengolah rotan.
"UPT menjadi milik masyarakat Industri rotan, selain mereka mencari produk dan sekaligus arah pengembangan rotan, UPT rotan juga bisa dijadikan tempat berbagi pengetahuan bagi kemajuan bersama ekonomi rakyat Kota Palu, bahkan Sulawesi Tengah," tandas Rusdy Mastura yang dikenal dengan sebutan Walikota nyentrik itu.
Sedangkan 80 persen kebutuhan bahan baku rotan dunia, berasal dari Indonesia. Negara-negara yang membutuhkan bahan baku rotan pun mencapai berbagai belahan dunia baik Eropa, Amerika, ASEAN hingga Timur Tengah.
"Ini potensi pasar yang cukup menjanjikan," kata Walikota Palu, Rusdy Mastura, kepada ochansangadji, (12/11).
Lantaran itulah, kata Walikota Palu, pihaknya menangkap peluang itu dengan menjadikan kota ini sebagai pusat industri dan sentra rotan nasional, karena 50-60 persen bahan baku rotan nasional ada di Sulawesi Tengah.
Data Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Perindagkop) Kota Palu, menyebutkan Sulawesi Tengah memiliki jenis rotan yang khas (endemik) seperti jenis lambang, barang, tohiti noko dan berbagai jenis lainnya yang diperkirakan berjumlah 12 jenis.
Itu semua, menurut Walikota Palu, karena kondisi alam Sulawesi Tengah yang umumnya merupakan tanah berkapur sehingga banyak mengandung silika. Kandungan ini diperkirakan memiliki pengaruh bagi kelenturan dan daya tahan rotan.
"Maka jangan heran kalau hanya di Sulteng yang memiliki jenis rotan endemik yang harganya sangat mahal," katanya.
Untuk mewujudkannya, Pemerintah Kota Palu telah membuka Sekolah Kriya Rotan yang saat ini masih menjadi salah satu jurusan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Palu, dan memberangkan lima tenaga pengajarnya untuk magang di Cirebon, Jawa Barat.
BANGUN UPT BERDAYAKAN HOME INDUSTRI
Pemerintah Kota Palu juga telah melakukan sinergitas dengan seluruh stakeholder, untuk mendirikan sebuah Unit Pelaksana Teknis (UPT) rotan Kota Palu.
Fokus pengembangan UPT rotan tersebut, kata Rusdy Mastura, adalah memberikan fasilitas peralatan mesin pengelola rotan, pemasaran, pendidikan dan pelatihan.
Untuk peralatan dan mesin Pemerintah Kota Palu telah mengalokasikan pembangunan dua pabrik dan gudang sebagai fasilitas penunjang untuk menuju perbaikan umum dan pengolahan rotan Sulawesi Tengah.
Kepala Bidang Perencanaan Dinas Perindagkop Kota Palu, M. Fatih, mengatakan, kehadiran UPT Rotan ini, akan mengarahkan usaha pada industri barang jadi berbasis home industri (industri rumah tangga).
Menurut M. Fatih, kemajuan Cirebon, Jawa Barat sebagai basis industri rotan karena tetap berdasarkan pemberdayaan rumah tangga. "Makanya, UPT Rotan ini kita arahkan pada pengembangan home industri itu," ujarnya.
Sedangkan untuk pengembangan dan perbaikan mutu barang jadi, UPT Rotan Kota Palu sedang memfokuskan pada perbaikan sumber daya manusia yang akan menjadi pelaku dunia usaha rotan.
Perbaikan sumber daya manusia itu, sesuai arah kebijakan pemerintah Kota Palu 2006-2007, dilaksanakan pelatihan berdasarkan kensentrasi berbagai bidang, baik pengawetan rotan, anyaman rotan, rangka desain hingga Finishing.
“Untuk melaksanakan itu, kami telah menjalin kerjasama dengan pihak Cirebon untuk mendatangkan tenaga pelatih. Semua itu kita maksudkan agar mutu barang jadi lebih berkualitas," tegas Rusdy Mastura.
Harapan besar bagi Pemerintah Kota Palu, kelak UPT rotan akan memaksimalkan perannya untuk menjadi unit pelayanan bagi masyarakat pengolah rotan.
"UPT menjadi milik masyarakat Industri rotan, selain mereka mencari produk dan sekaligus arah pengembangan rotan, UPT rotan juga bisa dijadikan tempat berbagi pengetahuan bagi kemajuan bersama ekonomi rakyat Kota Palu, bahkan Sulawesi Tengah," tandas Rusdy Mastura yang dikenal dengan sebutan Walikota nyentrik itu.
Subscribe to:
Posts (Atom)