Setelah berjalannya Program Peduli Kaum Dhuafa dengan segala kelebihan dan kekurangannya, kini Pemerintah Kota Palu kembali menerjemahkan program tersebut dengan nama Program Anantovea. Program itu telah dilaunching pada 30 Januari lalu oleh Walikota, Rusdy Mastura.
Anantovea berasal dari Bahasa Kaili (etnis asli di Palu, Sulawesi Tengah) berarti “Anak Kita Tersayang”. Pengertian itulah yang mengilhami Walikota Palu untuk mendorong program penanggulangan kemiskinan, yang lebih diarahkan pada membantu pendidikan anak-anak dari keluarga tidak mampu di daerahnya.
Walikota Palu, Rusdy Mastura kepada The Jakarta Post menjelaskan, Program Anantovea itu tak lebih untuk menstimulasi peran masyarakat, swasta dan pemerintah guna memberikan perhatian dan bantuan bagi anak-anak usia sekolah dari keluarga kurang mampu di Kota Palu.
Oleh karena itu, agar program ini mendapat respon dari stakeholders lainnya, Pemerintah Kota Palu memberikan bantuan sepeda mini kepada 20 anak usia sekolah yang berasal dari kawasan tertinggal di Kota Palu dan memberikan mendorong sekolah-sekolah agar menggratiskan biaya sekolah bagi anak-anak tidak mampu.
“Saya juga sudah memerintahkan kepada seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk dapat memberikan bantuan peralatan sekolah bagi anak usia sekolah yang kurang mampu lainnya di Kota Palu,” katanya.
Menurut Walikota Rusdy Mastura, tingkat kepedulian masyarakat saat ini terhadap sesama anak bangsa semakin terdegradasi, sebagai akibat menurunnya rasa nasionalisme dan rasa kepedulian sesama, sehingga rasa kemanusiaan dalam diri manusia hampir hilang.
“Olehn karena itu, saya berharap agar melalui program ini, diharapkan dapat menggugah rasa peduli warga dapat meningkat, sehingga pada gilirannya, anak-anak tidak mampu dapat menikmati pendidikan layaknya anak-anak dari keluarga mampu lainnya,” harapnya.
Gayung bersambut. Setelah melaunching program tersebut, pihak Bank Indonesia Cabang Palu, menyerahkan bantuan peralatan sekolah sebanyak 40 paket yang terdiri dari tas punggung, dua lusin buku tulis, buku gambar, pensil dan peralatan sekolah lainnya. Bantuan tersebut kemudian disalurkan kepada anak usia sekolah yang kurang mampu.
Anak Terlantar
Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulawesi Tengah, pernah mempublikasikan bahwa saat ini tercatat sedikitnya 54.235 anak terlantar yang tersebar di Sulawesi Tengah. Jumlah tertinggi terdapat di Kabupaten Poso, yakni sebanyak 12.002 anak.
Dari jumlah tersebut, anak terlantar di Kota Palu yang tidak dapat menikmati pendidikan sebanyak 1.913 anak. Selebihnya tersebar di sejumlah kabupaten se Sulteng. Antara lain di Kabupaten Tojo Una-Una 8.065 anak, Donggala (7.551 anak), Morowali (6.743 anak), Toli-Toli (4.987 anak), Parigi Moutong (4.459 anak), Banggai Kepulauan (3.083 anak) dan di Kabupaten Banggai sebanyak 2.912 anak.
Ketua LPA Sulawesi Tengah, Sofyan Farid Lembah, menjelaskan, selain itu terdapat pula anak usia sekolah yang telah bekerja dan yang berusaha mencari pekerjaan juga masih banyak. Anak laki-laki di perdesaan pada usia 15-19 tahun yang telah bekerja, tercatat sebanyak 42.174 orang, dan anak perempuan sebanyak 31.502 orang. Sedangkan yang ingin mencari kerja, tercatat sebanyak 5.983 orang anak laki-laki dan 4.469 anak perempuan.
Sementara di perkotaan, menurut Sofyan Farid Lembah, anak laki-laki yang bekerja sebanyak 4.696 anak laki-laki dan 3.437 anak perempuan. Sedangkan yang mencari kerja adalah 1.446 anak laki-laki dan 1.351 anak perempuan.
“Jumlah ini diperkirakan masih akan bertambah, karena saat ini masih sekitar 112.735 orang anak (56.895 perempuan-55.840 laki-laki) pelajar yang siap masuk dalam lapangan kerja," kata Sofyan Farid Lembah kepada The Jakarta Post.
Banyaknya jumlah anak terlantar dan yang bekerja serta pencari kerja itu, katanya, disebabkan karena tingkat kemiskinan keluarganya. Tahun 2007, tercatat 154.006 jiwa penduduk dalam klasifikasi batas miskin dan ada 557.400 jiwa penduduk miskin. Penyebarannya terbesar di wilayah perdesaan (24,97 persen) dan sisanya 12,86 persen di perkotaan.
Data Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Sulawesi Tengah, pada tahun 2007 lalu tercatat 143.760 kepala keluarga fakir miskin yang telah mendapat bantuan Usaha Kesejahteraan Sosial (UKS) yang tersebar pada 8.300 kepala keluarga di Banggai Kepulauan, 40.669 kepala keluarga di Banggai, 6.369 di Morowali, 20.785 kepala keluarga di Poso, 24.372 di Donggala, 10.789 kepala keluarga di Toli-Toli, 13.594 kepala keluarga di Buol, 13.929 kepala keluarga di Parigi Moutong, dan 4.955 di Kota Palu.
Kemiskinan, kata Sofyan Farid Lembah, pada akhirnya mendorong anak-anak Sulawesi Tengah, ikut bertarung bersama kedua orang tuanya untuk mendapatkan dan menambah penghasilan keluarga. Pada beberapa kasus, justru orang tua mendorong anak-anak untuk bekerja dan sekaligus mempekerjakan anak-anak mereka.
Akibat lain dari masalah ini, menurut pihak LPA Sulawesi Tengah, hampir 40 persen anak perempuan di daerah ini telah melangsungkan pernikahan pada usia dini. Untuk Klasifikasi usia di bawah 16 tahun anak-anak di Donggala mencatat angka tertinggi di banding kabupaten lainnya (23,20 persen), dan yang terendah terdapat di Kabupaten Banggai Kepulauan (7,88 %).
Sedangkan untuk klasifikasi umur 17-18 tahun, perkawinan usia dini tertinggi terjadi di Kabupaten Buol (27,82 %), dan terendah di kota Palu (16,71 %).
Sejumlah pihak berharap, Program Anantovea ini dapat menggugah warga Kota Palu, pihak swasta dan dunia usaha untuk dapat memberikan bantuan yang berarti, demi kelangsungan pendidikan anak. “Kami siap mengawal program Anantovea itu. Tapi kami juga berharap agar SKPD tidak menutup mata, mereka harus berkomitmen dan maksimal menerjemahkan program Anantovea tersebut,” kata Abubabar Hadaddo, Sekretaris Umum Himpunan Pengusaha Muda (HIPMI) Sulawesi Tengah. ***
No comments:
Post a Comment