PALU - Ketua KPU Parigi Moutong, Sulawesi Tengah (Sulteng), Sukirman Andi Rappe akhirnya dipanggil pihak Kejaksaan Tinggi Sulteng, karena diduga terlibat dalam kasus korupsi pengadaan logistik pilkada.
Hanya saja, dalam dua kali surat panggilan oleh pihak Kejati Sulteng yang dilayangkan kepada Sukirman Andi Rappe, tidak diindahkan sama sekali. Kenyataan itu membuat pihak kejati berang dan mengancam akan memanggil paksa yang bersangkutan.
Selain ketua, anggota KPU Parigi Moutong lainnya, yaitu Amelia Idris, Sekretaris KPU Djuanda L. Saehana, dan panitia tender, Ester Rombe dan Mas’at, juga mangkir dari panggilan jaksa.
“Pokoknya, kita akan hadirkan secara paksa untuk dimintai keterangan dalam dugaan kasus korupsi pengadaan logistik pilkada di Parigi Moutong,” kata Humas Kejati Sulteng, Edwin Binti (16/) di Palu.
Menurut Edwin Binti, seharusnya para anggota KPU, Sekretariat KPU dan panitia tender itu diperiksa pada Senin (15/12) lalu, hanya saja sampai sore harinya, mereka yang ditunggu itu tidak pernah menampakkan batang hidungnya.
Dari semua yang dipanggil jaksa, katanya, hanya mantan Sekretaris Panitia Tender, Fauzi dan Direktur CV Tora Tora Membangun, Latif, yang memenuhi panggilan kedua dari Kejati Sulteng itu. Fauzi oleh tim penyelidik kejaksaan ditanya seputar kinerja awal panitia tender sebelum dibekukan oleh KPU Parigi Moutong.
Fauzi kepada tim penyelidik kejaksaan mengaku tidak tahu menahu soal pembekuan dirinya sebagai sekretaris panitia tender. Sedangkan Latif ditanya seputar pengadaan tinta Pilkada. Latif mengaku sempat mengajukan protes, karena dia menandatangani kontrak Alat Tulis Kantor, tapi ternyata kontrak tersebut dipecah-pecah lagi berdasarkan petunjuk Ketua KPU, Sukirman Andi Rappe yang disampaikan melalui ketua panitia tender, Ester Rombe.
Sebelumnya, KPU Parigi Moutong telah membentuk panitia tender, namun akhirnya mengeluarkan kebijakan Penunjukan Langsung (PL) pengadaan logistik pilkada. Dari PL tersebut, keluarlah tiga perusahaan, yaitu CV Wilda Makassar untuk pekerjaan pengadaan surat suara, CV Tora Tora Membangun untuk pengadaan tinta, dan CV Karya untuk pengadaan kartu pemilih. Penunjukan langsung itu diduga menyalahi Keppres 80 tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa.
Anehnya, CV Wilda yang beralamatkan di Jalan Andi Pettarani Makassar itu, mengalihkan pekerjaan pencetakan surat suara kepada PT Swadarma Jakarta, yang notabene adalah perusahaan berlisensi nasional untuk pencetakan surat suara Pemilu. PT Swadarma sempat ikut tender sebelum munculnya kebijakan PL oleh KPU Parigi Moutong.
Sedangkan yang memberikan rekomendasi ke pada CV Wilda adalah dua orang anggota KPU, yakni Rizal dan Andi Arif Syawalani. Penetapan harga surat suara secara sepihak oleh KPU Parigi Moutong itu, diduga tidak memiliki dasar hukum sama sekali.
Pasalnya harga yang disetujui oleh DPRD hanya Rp. 1500 per lembar. Oleh KPU dinaikkan menjadi Rp. 2. 400. Padahal harga yang dibayarkan kepada perusahaan percetakan surat suara hanya Rp. 500 per lembarnya.
Parahnya, orderan surat suara juga diduga telah digelembungkan sebanyak 6000 lembar dari jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) 256.999 wajib pilih dan cadangan surat suara 2,5 persen. Penambahan bertentangan dengan ketentuan yang berlaku sehingga dugaan kerugian negara ditaksir ratusan juta rupiah.
Belum lagi dugaan kerugian negara berasal dari pengadaan Kartu Pemilih yang dari Rp. 1000 harga per lembarnya yang disetujui DPRD, oleh KPU secara sepihak juga dinaikkan menjadi Rp 2.300 per lembarnya.
No comments:
Post a Comment