Senin (28/10) sekitar jam 1.30 waktu setempat,
terdengar ledakan dum-dum (meriam rakitan) di Kelurahan Pengawu dan Dusun
Tanggiso, Kelurahan Duyu, Kecamatan Tatanga, Kota Palu. Entah dari mana asal
muasal bunyi ledakan itu. Tiba-tiba ada konsentrasi massa. Mereka melengkapi
diri dengan senapan angin, katapel, golok, batu dan kayu balok.
Hanya dalam hitungan menit, massa beringas dan saling
menyerang. Meski tak ada korban jiwa, tapi dua rumah warga dibakar, sebuah mobil
Toyota Avanza dirusak, dan dua orang terluka hingga dilarikan ke rumah sakit.
Suara handy talkie milik seorang intel polisi yang
kebetulan sedang berada di kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palu,
mengabarkan kejadian itu. Tanpa pikir
panjang, para wartawan, termasuk The Jakarta Post pun langsung menuju lokasi
kejadian.
Sekitar 5 menit para wartawan sudah berada di lokasi,
dua truk berisi anggota Brimob baru tiba
di lokasi. Tapi api dari rumah yang dibakar itu sudah menyala. Celakanya, anggota
polisi yang tiba di lokasi tidak berbuat apa-apa. “Belum ada perintah,” kata
seorang anggota polisi di malam yang gulita itu.
Warga yang lalu lalang dengan penuh kemarahan dengan
membawa senjata tajam dan senjata tradisional dengan leluasa lewat di depan
polisi. Yuslan, seorang warga yang rumahnya dibakar menyesalkan itu.
“Kenapa polisi hanya lihat saja. Kenapa tidak tangkap
orang-orang itu,” sesalnya.
Mobil pemadam kebakaran tiba di lokasi dan memadamkan
api. Tapi rumah itu tak dapat diselamatkan. Tinggal tembok yang berdiri,
sedangkan atap dan kayu sudah dilahap api. Yuslan tak dapat berbuat apa-apa.
Dia hanya terpana menyaksikan rumahnya yang dibangun dengan susah payah itu
dibakar warga yang terlibat bentrok.
Tiba-tiba satu per satu polisi melompat turun dari
mobil truk yang membawa mereka. Tembakan peringatan ke udara berkali-kali
dilesakkan dari senjata jenis Senapan
Serbu Satu milik polisi. Kapolres dengan menggunakan pengeras suara
memerintahkan warga yang bentrok itu untuk mundur dan kembali ke rumah
masing-masing. Suasana mulai reda.
POLISI DITARIK KE MARKAS
Setelah suasana mulai tenang, polisi terus siaga di
lokasi kejadian, baik di Kelurahan Pengawu maupun di Dusun Tanggiso, Kelurahan
Duyu. Mereka siaga hingga pagi hari. Tiba-tiba, sekitar jam 11.00 waktu
setempat, mungkin karena melihat situasi sudah mulai membaik, anggota polisi
pun ditarik ke markas.
Ketiadaan polisi itu ternyata memberikan kesempatan
kepada warga untuk melakukan pembalasan. Dengan cara diam-diam, sekitar jam
17.30 Waktu Indonesia Tengah, warga menyerang lagi. Sebuah rumah milik
Khaeruddin Saleh, wartawan Harian Media Alkhairaat menjadi sasaran pembakaran.
Tak satupun harta benda di dalam rumahnya berhasil
diselamatkan. Saat pembakaran itu, Khaeruddin memang sedang tidak berada di
tempat, karena mengungsikan anak dan istri ke rumah keluarganya di Jalan
Tolambu, Palu Barat.
“Saya kembali ke rumah lagi, tapi rumah saya sudah
terbakar. Tapi alhamdulillah, anak istri saya selamat,” katanya.
Khaeruddin yang
tinggal di perbatasan antara Kelurahan Pengawu dan Kelurahan Duyu itu
menyesalkan tindakan polisi yang meninggalkan lokasi, padahal situasi belum
benar-benar aman. Dia bahkan mendengar kabar, polisi ditarik karena mereka
belum makan sejak pagi. Dia juga mendapatkan informasi, Pemerintah Kota Palu
belum mencairkan anggaran bagi polisi di Kota Palu.
Tentu saja Kapolres Palu, Ajun Komisaris Besar Polisi
Trisno Rahmadi membantah soal anggaran dari Pemda itu. Dia hanya mengatakan,
penarikan pasukan itu karena dalam rangka apel siaga di markas dan penggantian
personel.
Sekretaris Kota Palu, Aminuddin Atjo berang. Dia
mengatakan, anggaran untuk polisi melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) Perubahan sedang dalam proses pencairan. Masih ada masalah
administrasi yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum dana itu berpindah
ke rekening polisi. Sayangnya, Aminuddin Atjo tidak merinci berapa besar anggaran
itu.
“Tapi itu bukan alasan. Mau ada anggaran atau tidak,
sudah cair atau belum, polisi harus menjalankan fungsinya sebagai pelindung dan
pengayom masyarakat. Kenapa mereka harus meninggalkan lokasi bentrok di saat
situasi belum aman betul,” sesal
Aminuddin Atjo.
Tahmidi Lasahido, aktivis Pusat Penelitian Perdamaian dan Pengelolaan
Konflik (P4K) Universitas Tadulako (Untad) Palu mencurigai adanya pembiaran
yang dilakukan oleh aparat keamanan. Pembiaran itu dilakukan, dengan maksud
agar anggaran mereka segera dicairkan oleh pemerintah daerah. “Ini bahaya,”
katanya.
Selain itu, karena polisi memang selalu
bertindak tak ubahnya sebagai pemadam kebakaran. Mereka datang ketika bentrokan
sudah terjadi, dan meninggalkan lokasi ketika masih ada bara. Oleh karena itu,
Tahmidi Lasahido menyarankan, agar fungsi pelayan, pelindung dan pengayom
masyarakat yang melekat pada polisi itu, harus benar-benar diwujudkan.
“Jangan hanya sekadar menjadi slogan saja,”
katanya.
Selain itu, Tahmidi Lasahido juga berpendapat,
agar bentrokan antarwarga yang sudah berulang-ulang terjadi di dua kelurahan
itu dapat diselesaikan, maka perlu ada pihak ketiga yang secara intens
melakukan pendampingan kepada warga, agar lahirnya insiatif lokal untuk
menyelesaikan masalah mereka.
Upaya penyelesaian masalah di dua wilayah itu
sudah sering dilakukan. Tapi upaya itu hanya selalu datang dari pihak elit.
Pemerintah daerah sampai pemerintah pusat melalui Menteri Sosial sudah turun
tangan untuk menyelesaikannya dengan pendekatan adat, tapi warga masih saja
menyimpan amarah.
“Maka, harus ada insiatif lokal, yang terlahir
dari keinginan warga sendiri yang diharapkan dapat menyelesaikan semua masalah
itu,” kata Tahmidi Lasahido memberi saran.
Bentrok antara warga Kelurahan Pengawu dan Kelurahan
Duyu, Dusun Tanggiso ini sudah yang ke sekian kalinya terjadi. Pada Juli 2013
lalu, tercatat ada sembilan rumah yang dibakar warga, dan seorang warga tewas
terkena tembakan senapan angin.***
i
No comments:
Post a Comment