Berita bentrok antarkampung yang di
Kota Palu dan Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, kerapkali menghiasi layar kaca,
laman koran situs-situs berita di Indonesia. Setiap terjadi bentrok dan konflik
di Kota Palu dan sekitarnya, hampir seluruh media cetak dan elektronik menjadi
sarana untuk menyebarluaskan apa yang sedang terjadi itu.
Berbagai pihak di Kota Palu cenderung
jenuh dengan hadirnya berita-berita bentrok antarkampung tersebut. Kejenuhan
itu, membuat berita bentrok dan konflik itu tidak lagi dilirik pembaca dan
pemirsa. Mereka kemudian mendesak agar wartawan lebih menulis berita yang
mengajak warga untuk berdamai.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota
Palu, merasa ikut bertanggungjawab atas persoalan tersebut. Lantaran itu, Kamis
(21/11) pagi, organisasi berhimpunnya para wartawan itu menggelar diskusi
terfokus mengenai media dan perdamaian.
Ketua AJI Kota Palu, Riski Maruto,
mengatakan diskusi yang difasilitasi Development and Peace, sebuah lembaga
donor dari Kanada itu, merupakan rangkaian dari Program Better Journalism for
Better Democracy.
Hasilnya, 30 jurnalis media cetak dan
televisi yang bertugas di Kota Palu dan sekitarnya sepakat menandatangani lima
point kesepakatan yang mereka sebut dengan Deklarasi Jurnalis Palu untuk
Perdamaian.
Deklarasi tersebut adalah jurnalis
Palu tidak akan berhenti meliput dan memberitakan konflik, tapi dikemas
dalam perspektif yang berbeda, yakni
memberitakan solusi daripada peristiwa, dengan manaati kaidah jurnalistik (Kode
Etik Jurnalistik dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers dan tetap
berpedoman pada aturan P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar
Program Siaran).
Selanjutnya, bahwa kebijakan
pemberitaan ada pada pimpinan media masing-masing. Oleh karena itu, jurnalis
Palu meminta pengertian pimpinan media di Palu dan Jakarta, agar apat memahami
psikologis wartawan yang bekerja di wilayah konflik.
Kesepakatan lainnya adalah, jurnalis
Palu akan menjadi agen perdamaian bagi warga yang terlibat konflik, dalam
berita-berita yang disiarkan. Perusahaan media harus memberikan jaminan
asuransi kepada jurnalis yang bertugas di wilayah konflik.
“Para wartawan di Palu juga mendesak organisasi
wartawan (AJI dan IJTI) untuk terus menggelar pelatihan yang bertujuan untuk
peningkatan kapasitas jurnalis di Palu,” kata Riski Maruto.
Menurutnya, jurnalis di Palu, Poso dan
sekitarnya kerapkali menjadi korban dari konflik/bentrok. Mulai dari korban
ancaman akan dibunuh, korban kena tembak dan ada yang diancam golok di
lehernya.
“Salahuddin, salah seorang kontributor
televisi di Palu bahkan kena tembak di leher saat meliput bentrok di Kabupaten
Sigi,” katanya.
Riski Maruto meyakini, media dapat memberi pengaruh signifikan kepada
publik, bahkan dapat mendorong kepada konflik lebih besar. Akibatnya, banyak
upaya rekonsiliasi yang diusahakan pada saat itu mengalami kesulitan ekstra,
karena warga lebih mudah memeroleh dan
membaca koran dan menonton televisi, dibandingkan dengan mendapatkan akses
dalam proses rekonsiliasi.
“Media dapat diakses dengan mudah dan
terbuka, sementara usaha-usaha rekonsiliasi harus melalui proses
berbelit-belit, birokratis bahkan terkesan elitis,” ujarnya.***
No comments:
Post a Comment