Pembawaan dan gaya bicaranya tenang. Jika berdebat, tidak kelihatan panik, meski sedang terdesak. Tidak tampak pula rasa takutnya, meski berhadapan dengan aparat bersenjata. Itu terlihat ketika dia memberikan perlindungan kepada korban kekerasan aparat Brimob di Poso, Sulawesi Tengah.
Perempuan yang satu ini berprinsip, ia tidak pernah takut jika apa yang dilakukannya dianggap benar. Menurut dia, jangan takut berkata benar, jangan pernah hiraukan persepsi orang lain yang menilai negatif, dan jangan pula takut kehilangan. Senantiasalah mengajak manusia menginsafi kebenaran dan menikmati kemanisannya.
Dia adalah Maharani Siti Shopia. Perempuan kelahiran Palu 12 September 1984 ini, adalah Staf Ahli Bidang Hukum, Diseminsasi dan Humas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Republik Indonesia. Dia juga merangkap sebagi juru bicara lembaga negara itu.
Pasca peristiwa penyanggongan yang menyebabkan tewasnya tiga orang anggota Brimob di Poso pada 20 Desember 2012 silam, polisi gencar melakukan operasi pencarian pelaku. Warga sipil yang tak terlibat dan tak bersalah pun menjadi sasaran penangkapan dan penganiayaan polisi.
Lima warga Poso Pesisir, yang menjadi korban salah tangkap dan penganiayaan polisi itu, adalah Syafruddin (50), Syamsul (45), Jufri (33), Sukamto (35) dan Syamsudin (32).
Maharani dan tim LPSK terbang ke Palu dan Poso memberikan perlindungan kepada korban kekerasan itu. Alumni magister Universitas Airlangga Surabaya ini tampil sebagai juru bicara. Dia begitu kritis terhadap polisi yang salah tangkap dan telah menyiksa warga sipil itu.
Bahkan, saat polisi meminta keterangan para korban itu, Maharani Siti Shopia dengan tegas meminta agar tidak diperiksa di kantor polisi. Lembaga itu kemudian menyiapkan kamar hotel, untuk memeriksa para korban yang masih trauma itu.
“Korban itu masih trauma. Melihat polisi dengan baju dinas saja mereka sudah takut. Jadi kalau mau dimintai keterangan, jangan di kantor polisi,” kata Maharani ketika itu.
Perempuan berjilbab ini punya nyali yang kuat. Pada proses persidangan di Pengadilan Negeri Palu, putri pasangan Menos Eri dan Neneng Supriati ini paling sibuk berbicara kepada wartawan. “Itu suda tugas saya,” katanya.
Apakah tidak takut mendapat perlakukan tidak baik dari polisi, Maharani mengatakan, polisi menjalankan tugas negara, ia pun memiliki tugas yang sama. Yang membedakan, dia dan lembaganya diberi amanah oleh negara untuk melindungi saksi dan korban kekerasan, juga mengobati traumanya, sedangkan polisi bertugas melindungi dan mengayomi masyarakat umum.
“Jadi, saya tidak pernah takut karena sama-sama menjalankan tugas negara,” ujarnya.
Bahkan, perlindungan yang diberikan kepada saksi dan korban kekerasan polisi di Poso itu pun dilakukan tanpa diminta. Justru LPSK yang jemput bola. Dialah yang datang ke Palu dan Poso untuk menawarkan perlindungan itu. Bahkan, di saat kondisi keamanan di Poso sedang rawan, perempuan asli Sunda ini tidak takut bolak balik Jakarta-Palu-Poso.
“Jangan takut untuk menyatakan kebanran di hadapan siapapun, walaupun itu kepada orang yang terdekat kita sekalipun, karena dengan berkata yang benar kita telah menunaikan kewajiban kita kepada saudara kita yang dzalim maupun terdzalim,” kata dia.
MENDAMBA SANG JUSTICE COLLABORATOR
Maharani, perempuan penyuka busana warna merah ini selalu gelisah mengenai penanggulangan terorisme di Indonesia. Dia mengatakan, penanggulangan kasus terorisme kerap tak menemukan titik temu. Upaya teror kerap terjadi meski otak pelaku dianggap telah ditangkap. Tak jarang, upaya penanggulangan kasus terorisme pun dianggap melanggar HAM, karena dilakukan dengan cara-cara tidak manusiawi bahkan salah tangkap.
Tak pelak, perlindungan Justice collaborator merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk membongkar suatu kejahatan yang terorganisir, seperti jaringan mafia termasuk kasus terorisme, narkotika atau korupsi yang biasanya dilakukan secara terorganisir. Kategori extraordinary crime (kejahatan luar biasa) bagi tindak pidana terorisme, jelas membutuhkan extraordinary measures/ extraordinary enforcement (penanganan yang luar biasa).
Di Indonesia, pemberlakuan justice collaborator sudah pernah diterapkan dalam kasus skandal cek pelawat pemilihan Deputy Senior Gubernur Bank Indonesia, Miranda Swaray Gultom yang melibatkan 31 Anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 kepada terpidana Agus Condro Prayitno. Pemberian status justice collaborator kepada mantan anggota DPR dari Fraksi PDI-P itu, justru sebelum keluarnya peraturan bersama Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia, Jaksa Agung, KPK dan LPSK. Kini Agus Condro telah bebas, setelah menjalani hukuman lebih ringan dari vonis Pengadilan Tipikor.
Dengan diadakannya kerjasama antara aparat penegak hukum dengan justice collaborator untuk mengungkap kasus tindak pidana terorganisir, yang dijadikan bahan pertimbangan majelis hakim dalam memutuskan pidanannya, maka tersangka sekaligus saksi tersebut perlu mendapatkan jaminan perlindungan hukum maupun keselamatannya terkait bentuk–bentuk dari perlindungan hukum itu, baik dalam instrumen internasional maupun nasional serta prospek pengaturan perlindungan hukum bagi Justice Collaborator dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Sebagaimana diketahui, Indonesia telah berkomitmen menjamin perlindungan terhadap justice collaborator. Komitmen tersebut ditunjukkan dengan diratifikasinya Konvensi PBB Anti Korupsi (United Nation Convention Againts Corruption (UNCA) 2003 ) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 dan diratifikasinya Konvensi PBB anti Kejahatan Transnasional yang terorganisasi (United Nation Transnational Organized Crimes (UNTOC) 2000) lewat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009. Konsekuensi diratifikasinya kedua konvensi tersebut: Indonesia wajib segera mengatur lebih tegas pemberian perlindungan bagi saksi pelaku yang bekerjasama.
UNCAC misalnya, menyebutkan dalam article 37 tentang perlunya perlindungan khusus terhadap justice collaborator sebagai tambahan dari bentuk perlindungan sebagai saksi atau pelapor. Lebih lanjut, Article 26 angka 2 dan 3 UNTOC Resolusi PBB Nomor 55/25 Tanggal 15 Nopember 2000 menyebutkan, setiap negara anggota UNTOC harus mempertimbangkan kemungkinan pengurangan hukuman hingga imunitas, kepada pelaku yang mau bekerjasama dengan aparat penegak hukum dalam membongkar suatu kejahatan yang terorganisir.
Dengan demikian, praktis kedua aturan tersebut mengharuskan Indonesia untuk memberikan sejumlah penghargaan bagi Justice collaborator yang perlu dituangkan dalam aturan yang tegas dan rinci mengenai persyaratan, prosedur, dan mekanisme untuk memperoleh penghargaan tersebut.
Peran justice collaborator
Seperti diketahui, pengungkapan suatu tindak pidana terorganisir kerap menyulitkan aparat penegak hukum, terutama dalam proses pembuktian. Ini karena pelaku cenderung mengorganisasi kejahatannya dengan sangat rapi, serta bekerjasama secara kolutif dengan oknum penegak hukum. Pada konteks itulah peran pelaku yang merupakan ‘orang dalam’ dalam jaringan kejahatan tersebut menjadi sangat vital dan strategis untuk memberikan informasi dan bukti-bukti penting yang dapat mengungkap suatu kejahatan.
Dalam konteks hukum pidana kontemporer, justice collaborator biasa dikenal dengan ‘saksi mahkota’. Tapi sesungguhnya esensi seorang justice collaborator tak sesederhana saksi mahkota. Peran seorang justice collaborator mensyaratkan suatu kerjasama dengan aparat penegak hukum dalam konteks sebagai pintu pembuka bagi terungkapnya semua pelaku kejahatan dalam kasus yang sama.
Karena itu, peran justice collaborator seringkali sangat strategis, terutama dalam mengungkap kejahatan-kejahatan terorganisasi (organized crimes) seperti korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang serta tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisasi dan biasanya dilakukan pelaku berdasi atau dikenal sebagai kejahatan kerah putih (white collar Crimes).
Terlepas dari itu semua, Maharani berharap, tak ada lagi senjata yang menyalak di Poso. Jangan lagi ada darah dan air mata tumpah di Poso. Cukup sudah korban masyarakat sipil di Poso. Kelompok garis keras di Poso, secepatnya dapat ditangkap, agar tak ada lagi teror dan ancaman kepada warga sipil dan aparat keamanan di Poso. ***
No comments:
Post a Comment