Kakula adalah alat musik sejenis gong berukuran kecil dan sedang, yang iramanya
sangat khas, dan hanya biasa diperdengarkan pada pesta-pesta perkawinan atau
pesta-pesta adat masyarakat setempat.
Meski termasuk
alat musik dan jenis musik tradisional, tapi Kakula adalah budaya gong yang menyebar di Asia Tenggara
mulai dari Filipina bagian selatan hingga Sumatra bagian selatan.
Selain di
Sulawesi Tengah, instrumen Kakula ini dapat pula ditemukan di Bolaang
Mangondow, Sulawesi Utara, Kalimantan, Sumatra, Maluku, Sabah, Serawak Malaysia
dan Brunei Darussalam.
Amin Abdullah,
salah seorang pekerja seni di Kota Palu yang menyelesaikan pendidikan
magisternya di Asian Studies, University of Hawaii di Manoa, terus mengembangkan Kakula ini menjadi sangat
menarik. Ia memadukan musik tradisional ini menjadi lebih lebih ngepop. Di Palu ia membentuk group musik
kakula dengan nama Ensamble Modero Palu.
Di tangan Amin
Abdullah, Kakula tidak hanya
dikembangkan di Palu, tapi juga diperkenalkan di Amerika, Amerika Latin dan
Asia. Dengan penuh kesabaran, Amin Abdullah berhasil mengajak beberapa pekerja
seni asal Amerika, Argentina, Jepang,
Vietnam dan juga Indonesia.
“Saya berhasil
mengajak mereka memainkan Kakula yang saya beri nama The Hawai Kakula Ensemble,” kata Amin
Abdullah.
Merekapun sukses
dalam konser Kakula di University of
Hawai dengan dengan Gamelan Ensemble
Concert, Honolulu, Hawai. Peristiwa yang terjadi pada November 2005 ini, untuk mencari dana pelestarian orang utan Rusty, termasuk
untuk korban tsunami di Aceh kala itu.
Amin Abdullah
membuat Kakula kreasi baru, namun tidak menggantikan kakula tradisi. Istilah
kreasi baru digunakan untuk mengidentifikasi karya-karya baru yang diciptakan
oleh komposer Indonesia.
“Dengan
menggunakan musik tradisi sebagai ide dasar, kreasi baru menyimbolkan tradisi
dan sekaligus modernitas. Kreasi baru adalah sebuah proses mentransformasi
musik yang dimainkan dalam kehidupan sehari-hari ke atas pentas,” katanya.
Menghipnotis Publik Maasin, Filipina
Kota Maasin
Provinsiilo-Ilo, Filipina menjadi saksi kemampuan Ensamble Modero Palu
memainkan irama Kakula yang modern. Februari 2013 lalu, Ensamble Modero Palu
ini sukses menghipnotis publik setempat dalam acara Festival Tuonog Tugan.
Loen M Vitto,
koordinator umum festival ini mengatakan, pihaknya sengaja mengundang Ensamble
Modero Palu, untuk memberi kesempatan kepada
pelajar-pelajar di tiga kota di Filipina, yaitu Dipolog, Maasin dan Iloilo,
untuk dapat mengenal musik tradisi Indonesia dari Sulawesi Tengah.
“Partisipasi Ensamble
Modero Palu di Festival Tuonog Tugan ini, memberi warna yang lain. Biasanya
orang luar negeri mengenal musik Indonesia hanya dengan gamelan Jawa dan Bali.
Tapi ternyata ada juga dari Sulawesi Tengah yang dikreasikan dengan lebih
modern,” katanya.
Itulah sebabnya
ketika Mayco Santaella, manager internasional Ensamble Modern Palu, mengatakan
saat mendengar musik yang dimainkan Amin Abdullah dan kawan-kawan dengan, nyata
sekali bahwa Ensamble Modero Palu telah
berhasil menghubungkan musik tradisi dengan modern.
“Group Anda tidak
menempatkan tradisi sebagai sesuatu yang terpisah, namun menghubungkannnya
dengan penonton. Sebagai contoh, Anda
mengundang mereka untuk ikut bermain bersama. Itu luar biasa,” puji Mayco Santaella.
Memang, Amin
Abdullah dan kawan-kawan dalam nomor pompaura
(judul lagu), mengundang empat orang
audiens untuk bermain musik bersama dengan memainkan pare’e (instrument dari bambu yang bergetar bila dipukulkan ke
tangan).
“Saya sering berpikir bahwa kalau kita berbicara tradisi,
kita berbicara tentang masa lalu, tua (kuno). Tetapi dengan musik Anda, tradisi
tidak terpisah (dengan kondisi saat ini). Ensamble Modero Palu menggabungkannya
secara bersama-sama. Penonton bukan sesuatu yang terpisah. Ini yang sangat
penting yang saya lihat dari group Anda” kata
perempuan muda yang menjadi salah satu koordinator festival ini.
Karena kekaguman
itulah, Ensamble Modero Palu mendapat
jamuan makan malam dari Walikota Maasin, IloIlo, Mariano M Malones. Dalam
jamuannya Walikota Maasin tak henti-hentinya berterima kasih atas kedatangan
delegasi Indonesia ke kota tersebut.
“Ini festival internsional
pertama yang kami gelar di sini. Kami sangat senang, penampilan Anda sangat
menghibur masyarakat di kota saya,” kata Walikota Maasin.
Bahkan, ada
seorang guru Sekolah Dasar setempat, secara
khusus datang ke hotel tempat Amin Abdullah dan kawan-kawan menginap, hanya
untuk meminta copyan compact disk yang diproduksi oleh Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kota Palu, untuk diperdengarkan
pada murid murid sekolahnya.
“Saya akan
menjadikan instrumen musik Anda sebagai musik wajib sebelum anak-anak mulai
belajar di kelas,” kata guru itu.
Setelah selesai
di kota itu, Ensamble Modero Palu tak langsung pulang ke Tanah Air. Mereka
harus memenuhi undangan dadakan dari tiga universitas di Manila, yaitu University
of the East-Caloocan, St. Paul University-Manila dan University of Asia and the
Pacific.
Prof. Ramon P
Santos, Ph. D Director festival Presiden/Excecutive Director, University of the
Philippines Center for Ethnomusicology, mengatakan musik di Filipina telah
menjadi barat atau sangat berkiblat ke musik Barat. Sebaliknya, pada musik
tradisi seperti Kakula, di Filipina hanya
tradisi saja yang ditonjolkan dan terbatas komunitasnya sendiri atau untuk kepentingan
tradisi itu sendiri seperti di upacara ritual dan bukan untuk orang lain.
“Sangat berbeda
dengan Anda. Anda berhasil memadukan musik tradisi dengan musik modern, yang
kemudian bisa diterima oleh publik. Itu luar biasa,” puji Prof. Ramon.
Perkembangan Kakula Kreasi Baru
Sejak 1997, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah mensponsori perkembangan gaya musik Kakula Kreasi Baru yang diprakarsai Amin Abdullah. Musik ini kemudian menjadi identitas orang Kaili.
Perubahan dari Kakula tradisi menjadi kreasi baru, dapat diketahui melalui tangga nadanya berubah dari locational tunning (tangga nada tidak tetap) menjadi absolute tuning (tangga nada yang tetap) dengan meniru tangga nada barat (well tempered) namun ide dari pentatonic masih dipertahankan.
Beberapa Instrumen lainnya juga ditambahkan seperti tambourine, cymbal, lalove (seruling tradisional masyarakat Kaili di Sulteng), gendang besar dan rebana.
Terkadang memainkannya dengan duduk di lantai (secara tradisi dimainkan dengan duduk di kursi. Laki-laki menggantikan posisi perempuan sebagai pemain kakula dan perempuan menjadi penyanyi (seperti pesinden dalam gamelan Jawa), dan menggunakan paduan suara pemusik pria (seperti gerongan pada gamelan Jawa).
Kakula, berarti instrumen yang terdiri dari tujuh buah gong kecil yang berderet. Bilah-bilah kakula diletakkan dalam penampang satu baris, di mana bagian bawahnya diberi tali. Di samping itu istilah kakula juga untuk menyebut musik yang dihasilkan oleh instrumen tersebut.
Perkembangan Kakula di Sulawesi Tengah menjadi menarik, terutama setelah zaman kemerdekaan. Pemerintah melalui Instansi Kebudayaan mengembangkan fungsi kakula tradisi, bukan hanya dalam fungsinya pada upacara perkawinan, namun untuk mengiringi tari dan lagu daerah serta komposisi baru. Oleh Amin Abdullah, Kakula ini disebut kakula kreasi baru.
Beberapa perubahan yang terjadi dapat ditengarai sebagai pengaruh Barat, dinamika gender, gamelan Jawa dan Bali. Pengaruh Barat dapat dilihat dari berubahnya tangga nada dari locational tunning (penyeteman berdasarkan kebiasaan pemain lokal di mana tidak ada jarak nada yang tetap) menjadi mengacu pada well-tempered Barat.
Hal ini
dimaksudkan untuk dapat mengiringi lagu daerah dengan memainkan pergerakan triad chord secara arpeggio. Di sini kita melihat pengaruh musik Barat yang sederhana
erat mempengaruhi perkembangan kakula kreasi. Apapun itu, Amin Abdullah telah
sukses membawa Kakula ke pentas Internasional, dan pemerintah harus tetap
mendorongnya menjadi salah satu daya tarik wisatawan ke Sulawesi Tengah. ***
No comments:
Post a Comment