Palu, dalam bahasa Indonesia
berarti martil. Mungkin dengan begitu, orang bisa saja beranggapan bahwa
masyarakat di kota ini identik dengan karakter yang keras. Tapi ternyata,
begitu kita menginjakkan kaki di kota yang dikenal dengan sebutan Bumi Tadulako
ini, kesan kasar itu tak terlihat sama
sekali.
Masyarakatnya begitu ramah, sangat bersahabat dan terkenal menjunjung tinggi
sikap setia kawan. Paling tidak, itulah yang diakui beberapa tamu yang
berkunjung ke kota yang berpenduduk hampir 500
ribu jiwa ini.
Entah dari mana nama itu terinspirasi menjadi nama kota. Belum ada penelitian ilmiah yang menjelaskan kenapa kota ini diberi nama Palu. Tapi, dari penuturan beberapa orang tua di Palu, Palu itu adalah nama pohon yang dulu banyak tumbuh di pesisir dan sekitar muara sungai yang membelah kota ini.
Konon, ketika itu, para pelaut dan pedagang asal Bugis, Makassar dan Mandar yang hendak berniaga ke daerah ini, selalu berisitirahat di bawah rindangnya Pohon Palu itu. Bahkan, mereka mereka membuat pondok kayu untuk menginap di bawahnya. Tapi, pohon palu itu kini telah musnah, tidak diketahui lagi jenis pohonnya seperti apa.
"Jadi, ketika para pelaut dan pedagang itu ditanya hendak ke mana, mereka akan menjawab ke Palu. Nah, dari situlah sehingga nama Palu pun menjadi nama kota ini," kata Tjatjo Tuan Syaikhu, seorang budayawan di Palu.
Dulunya, Palu adalah kota kecil sebagai pusat Kerajaan Palu. Daerah ini merupakan peninggalan penjajahan Belanda yang terbagi atas onder Afdeling (wilayah kekuasaan), dengan tiga landschap yakni, Landschap Palu terdiri dari Distrik Palu Timur, Distrik Palu Tengah dan Distrik Palu Barat, Landschap Kulawi dan Landschap Sigi Dolo.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 tahun 1950, Pemerintah Pusat kemudian menetapkan Wilayah Daerah Sulawesi Tengah dengan Ibukota Poso, sedang Palu hanya tempat kedudukan Kepala Pemerintahan Negeri (KPN) setingkat Wedana.
Di tahun 1957 status Kota Palu menjadi Ibukota Keresidenan Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah, terbentuk melalui Undang-Undang Nomor 13 tahun 1964, dengan Kota Palu sebagai Ibukota Provinsi Dati I Sulawesi Tengah.
Tahun 1978 melalui PP Nomor 18, Kota Palu ditetapkan menjadi Kota Administratif dan selanjutnya melalui UU Nomor 4 tahun 1994 berubah status menjadi Kotamadya Dati II Palu dengan Wilayah Kota Administratif Palu. Kini, Kota Palu terdiri dari delapan Kecamatan yaitu, Kecamatan Palu Utara, Palu Timur, Palu Barat, Palu Selatan, Tatanga, Mantikulore, Ulujadi dan Kecamatan Tawaili.
Wilayah-wilayah ini,
dipisahkan oleh sebuah sungai yang airnya mengalir deras dengan empat buah
jembatan panjang berukuran sekitar 500 meter.
Dulunya, Kota Palu begitu sepi. Dapat dipastikan tamu tidak akan betah kalau berlama-lama menginap di Palu. Tapi kini, kota ini benar-benar sudah berubah. Kota ini sudah mulai berdandan. Cafe dan resto tumbuh di mana-mana. Hotel dan penginapan juga tumbuh bak jamur di musim penghujan. Pokoknya, dari waktu ke waktu kota ini terus berkembang. Ke mana-mana sangat mudah dijangkau dan hanya dalam hitungan menit, karena tanpa kemacetan seperti di kota-kota besar di Indonesia.
Kota ini juga sangat indah. Ada laut, teluk, gunung dan sungai yang membelah kota. Lantaran itu, Wakil Walikota Palu, Andi Mulhanan Tombolotutu menyebutnya dengan Kota Empat Dimensi.
ADA PEJABAT, UTA DADA DAN SARABA
Kalau sudah berada di Palu, di mana kita akan menghibur diri, bersantai dan bersantap malam. Pertanyaan itu selalu keluar dari mulut tamu yang datang ke Palu. Dulu, di akhir tahun 1990-an, memang terasa sulit menjawab semua pertanyaan itu. Tapi tidak untuk saat ini.
Jika kita mau menghibur diri
dengan dentuman musik keras, kita bisa jalan-jalan ke Space Bar and Resto. Lokasinya hanya sekitar 1 kilometer arah barat
Bandara Mutiara Palu. Atau bisa juga ke Planet Palu yang oleh anak-anak muda
Palu menyebutnya dengan P2. Di sini, kita akan dihibur dengan grup band dari
Jakarta atau Bandung. Bahkan, di setiap malam Kamis, kita akan menikmati tarian
yang sedikit “panas” atau sedikit berani oleh para dancer dari luar Palu. Sudah dapat dipastikan, tempat yang baru
mulai beroperasi di atas pukul 10 malam ini, banyak juga dikunjungi oleh
perempuan malam yang muda-muda asal Manado dan Jawa.
Sebelumnya, jika kita mau
makan malam, di Kota Palu banyak menyediakan restoran kelas bawah hingga kelas
atas. Rata-rata restoran-restoran itu menyediakan menu ikan bakar, cumi bakar
dan goreng, kepiting, udang, lobster dan macam-macam sea food yang segar. Sebut saja misalnya Restoran Kampung Nelayan,
Restoran Taman Ria, Restoran Silae Beach dan beberapa restoran lainnya.
Kalau kita mau menyantap hidangan ala Eropa, Restoran Maestro adalah jawabannya. Pemilik restoran ini adalah warga keturunan Jerman. Dan kalau kita mau makan malam sambil menikmati terangnya Kota Palu di waktu malam, Restoran Panorama yang berada di atas bukit Kawatuna menjadi tempat terbaik untuk itu.
Kalau kita mau menyantap hidangan ala Eropa, Restoran Maestro adalah jawabannya. Pemilik restoran ini adalah warga keturunan Jerman. Dan kalau kita mau makan malam sambil menikmati terangnya Kota Palu di waktu malam, Restoran Panorama yang berada di atas bukit Kawatuna menjadi tempat terbaik untuk itu.
Lantas, ke mana kalau kita mau menikmati menu tradisional. Dengan kendaraan dalam jarak yang hanya sekitar 20 menit ke arah barat, kita bisa mencoba makanan khas Kaili---etnis asli di Palu---yang terletak di Dusun Padanjese, Kelurahan Donggala Kodi. Di sini semuanya serba tradisional.
Warga setempat menyediakan
menu seperti Uta Dada (mirip opor ayam) yang disantap dengan ketupat. Jangan
dibayangkan kita akan duduk di kursi seperti umumnya di restoran mewah. Tapi, tempatnya begitu bersih sehingga tidak
mengganggu selera makan. Dapat dipastikan, orang yang makan malam di tempat itu
akan berkeringat karena makanannya sedikit pedas.
Agak sedikit keluar dari Kota Palu di arah selatan, kita bisa menikmati menu ayam bakar rica yang dihidangkan dengan ketupat dan uta dada. Lokasinya berada di sudut pasar Biromaru. Uniknya, tempat ini hanya dibuka dua kali seminggu, malam Jumat dan malam minggu. Sejarahnya, pasar Biromaru itu hanya dibuka sekali seminggu. Para pedagang mulai berdatangan membuka lapak-lapak sejak Kamis sore, sehingga malamnya mereka harus makan. Warga setempat kemudian membuka warung makan yang menunya hanya ayam bakar rica-rica, uta dada dan ketupat. Jangan harap kita akan menemukan nasi di tempat itu.
Setelah menyantap makan malam, kita masih boleh bersantai di bibir Teluk Palu. Sebuah kawasan mirip Boulevard di Manado atau Losarinya Makassar ini, menjadi pilihan bersantai di waktu malam. Di sini banyak “Pejabat” atau Pedagang Jagung Bakar Talise dengan minuman khas mirip wedang jahe yang diberi nama Saraba. Kawasan ini memanjang sekitar 5 kilometer. Jika sedang musim durian seperti sekarang ini, maka akan sangat mudah kita bisa menyantap jagung bakar manis yang hangat, saraba yang hangat dan juga bisa membeli durian dengan harga yang sangat murah.
DPRD TINGKAT III
Ribut tapi mengasyikan..... obrolan ngalor-ngidul, serius, ringan, ngoceh, diskusi dengan berbagai topik. Mulai dari dari isu di tingkat Rukun Tetangga, sampai soal isu internasional yang mereka tonton di tivi dan baca di koran dan majalah. Ah....Semua hal dibicarakan di sini. Di sini juga mereka berdebat. Bersitegang. Bercanda. Dan macam-macam hal. Oh iya, di sini juga mereka bicarakan soal rencana aksi unjukrasa.
Orang-orang mengistilahkannya dengan DPRD Tingkat III. Karena di sini berkumpul para birokrat, bupati, walikota, politisi, akademisi, pengusaha, kontraktor, wartawan, polisi, tentara, advokat, jaksa, hakim sampai pengangguran. Di sini juga ada beragam orang dengan latar belakang agama dan kepercayaan. Ada Islam, Kristen, Budha, Hindu, Kong Hu Cu dan juga yang tak beragama. Komunis benaran sampai komunis malu-malu pun ada. Semuanya berkumpul di sini.
Mereka menyatu dan tidak kenal
perbedaan-perbedaan itu. Tak ada sekat-sekat dan tak ada orang dilihat dari
kelas sosialnya. Dan tak ada dendam di sini. Semuanya damai.
Ya... itulah suasana warung kopi (warkop) di Palu. Ada warung kopi Harapan Baru di Jalan Pramuka yang orang menyebutnya dengan warkop KNPI. Karena setiap siang hingga sore, mayoritas hanya diisi oleh para anggota dan pengurus KNPI. Ada warkop Aweng di Jalan Ki Maja. Nama itu diambil dari nama pemiliknya. Ada juga warkop MJM di Jalan Setiabudi. Ada juga di warkop di Jalan Pattimura, Jalan Cut Nyak Dien, Jalan Juanda, Jalan Balaikota Selatan dan Jalan Mohammad Yamin. Entahlah, apakah karena hoki atau apa, semua warkop itu dikelola oleh mereka yang masih saudara sekandung.
SALAM DAN JABAT TANGAN
Yang paling berkesan ketika kita datang ke warkop-warkop di Palu, seperti telah menjadi suatu konsensus bersama meski tak tertulis, tapi wajib kita harus mengucapkan salam (Assalamu'alaikum atau selamat pagi) lalu disertai dengan berjabatan tangan. Kita harus berjabat tangan dengan semua pengunjung. Nah boleh dibayangkan kalau pengunjung ada 50 orang. Capek bukan....???
Tapi, semua yang datang ke warkop, pasti melakukan itu. Bahkan Marini, seorang aktris senior yang bersuamikan orang Palu, pun mengikuti tradisi itu. Dengan begitu, sudah dapat dipastikan jika kita datang tanpa memberi salam dan tanpa berjabatan tangan, maka kita akan merasa asing di tengah hiruk pikuk itu.
Dan lebih terlihat lagi
persaudaraan itu, karena bagi yang memiliki uang lebih, tak peduli siapa orang
itu, mereka akan membayar kopi yang diminum para pengunjung lain. Itu juga
sudah menjadi semacam kesepakatan bersama. Tapi itu bukan sogokan atau pun
amplop.
Entahlah, siapa yang memulai tradisi salam, jabat tangan dan bayar kopi untuk semua di warkop-warkop Palu itu. Tapi yang pasti, itu sudah berlangsung sejak lama. "Oh tradisi itu sudah ada sejak tahun 1970-an," kata Bustamin Nongtji, salah seorang doktor dari Universitas Tadulako Palu yang menjadi pelanggan tetap warkop Aweng.
Kesan lain yang kita temukan di warkop-warkop di Palu, adalah istilah kopi setengah. Beberapa pelanggan hanya memesan kopi separuh gelas. Jadi, kalau harga kopi segelasnya Rp 5000, mereka hanya membayar Rp 2.500. Tapi tunggu dulu, setelah meminum beberapa teguk, pemesan kopi setengah itu meminta pelayan menambahkan air panas dan gula. Maka jadilah kopi segelas. Tapi, bayarnya tetap separuh. Sebuah strategi mendapatkan segelas kopi dengan bayaran separuh harga.
Cafe ini juga dilengkapi
dengan fasilitas HotSpot dengan bandwith besar yang memungkinkan anda beserta kawan
atau rekanan anda untuk bisa mengakses Internet berkecepatan tinggi dengan
kualitas sangat memuaskan.
BERBEDA DENGAN ULEE KARENG DI ACEH
Di negeri Serambi Mekkah itu, kita juga bisa menikmati kopi di warung kopi Ulee Kareng. Suasannya nyaris sama. Tapi, sewaktu saya berada di Aceh beberapa tahun silam (saat tsunami) saya tak melihat ada jabatan tangan dengan semua pengunjug warkop Ulee Kareng. Saya juga tak melihat ada diskusi terfokus untuk satu isu yang lagi hangat. Masing-masing orang sibuk dengan obrolan di kelompoknya sendiri-sendiri.
Seorang pejabat dari kantor
Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat pun, sampai harus membeli
sekilogram kopi Palu sebagai ole-ole untuk dibawa ke Jakarta. "Wah...saya
belum merasakan kopi seperti ini di Jakarta," kata Tono Supranoto, salah
seroang Deputi Menko Kesra saat itu ketika datang ke warkop Harapan.
Nah, kiranya Anda juga bisa mencoba kopi Palu, sekaligus menikmati suasananya. Bagaimana bisa ke warkop Palu....??? Dari Jakarta Anda bisa menggunakan pesawat Garuda, Lion Air, dan Sriwijaya Air, transit di Makassar atau di Balikpapan. Harga tiketnya paling murah Rp 900 ribu dan yang paling mahal Rp. 1,5 juta. Dari Bandara Mutiara Palu, Anda cukup naik mobil bandara dengan tarif one way hanya Rp 50 ribu ke hotel. Tak ada salah Anda mencobanya...!!! ***
No comments:
Post a Comment