Saturday, July 15, 2006

Pergolakan Politik Pemda Sulteng 1964- 1981

Ruslan Sangadji

PERGOLAKAN POLITIK

Adalah mutlak, untuk dalam setiap masa transisi atau peralihan kekuasaan, selalu saja tak terlepas dari dari adanya “konflik politik” atau “pergolakan politik”, termasuk di kalangan birokrasi. Pun halnya di Sulawesi Tengah. Pada tahun-tahun awal kehadiran Sulawesi Tengah sebagai daerah yang otonom, pergolakan terlihat sangat jelas di kalangan birokrasi.

Ketua Yayasan Wakaf Paramadina, Nurcholis Madjid, mengatakan bahwa kebijakan politik pemerintahan masa lalu cenderung menghasilkan perpecahan bangsa. Akibat kebijakan-kebijakan yang sewenang-wenang itu, kini kita semua yang merasakannya.

Pembangunan fisik yang menunjang peningkatan Sumber Daya Manusia memang terjadi, baik di perkotaan maupun pedesaan. Hanya saja, suatu bangsa tidak akan menjadi besar jika sekadar mengandalkan pembangunan fisik. Bangsa ini dan juga daerah ini, harus juga membangun SDM secara arif dan bijaksana.

Di tengah situasi daerah yang serba tak menentu seperti saat itu, sangat diperlukan tampilnya tokoh-tokoh cerdik pandai yang bersedia menerapkan pola kerja tekun dan terus berjuang.

Pekerja tekun dan pejuang yang ia maksudkan bukan sekadar pola berkorban, seperti penggalangan solidaritas dan mobilisasi massa. Pekerja tekun itu, tentu diharapkan berasal dari kalangan orang yang berkarakter dan tidak menginginkan publisitas dan popularitas, tetapi selalu produktif memberikan sumbangan kemampuannya dengan menjadi anggota kemanusiaan universal. (Nurcholis Madjid dalam Kompas, Sabtu, 6 Oktober 2001).

Janganlah kita membayangkan. Bahwa pergoalakan politik di Sulawesi Tengah, sama seperti pergolakan politik di beberapa tempat seperti Aceh, Papua atau di Maluku. Pergolakan politik di sana, lebih didasari pada rasa kekecewaan yang terpendam begitu dalam dan luka psikologis sebagai kawasan yang sekin lama terpinggirkan. Akibatnya, telah menumpuk seperti bara api dalam sekam yang setiap saat siap terbakar menjadi ledakan konflik dan kekerasan berskala luas.

Mizan menulis bahwa inilah karya terkini, yang menguak akar-akar pergolakan politik di daerah-daerah yang bersumber pada akumulasi kekecewaan rakyat terhadap arah dan kecenderungan pembangunan yang memarjinalkan peran dan andil masyarakat lokal di satu pihak, dan yang mengabaikan rasa keadilan masyarakat lokal di dalamnya, di lain pihak.
Misalnya, pergolakan politik seperti yang terjadi di Aceh, Maluku dan Papua dipandang sebagai produk dan dampak kekeliruhan fatal negara yang menempatkan daerah sebagai subordinasi kekuasaan sentralistik pemerintah pusat.

Ridwan al-Makassary, Research Coordinator, the Interseksi Foundation, menulis:
Dalam kehidupan sosial sehari-hari, perlawanan dan penentangan (resistensi) sering timbul dan dengan cepat bersalin rupa menjadi perlawanan terbuka yang lazim disebut sebagai ‘gerakan sosial’ (social movement). Pada tahun 1950-an, istilah ini muncul sebagai kosa kata yang dikenal dalam studi sosiologi di Amerika Serikat.

Adalah Erich Hobsbawn yang pertama kali menggunakan istilah ‘social movement’ dalam bukunya Primitive Rebels ‘Gerakan sosial’, sejatinya, dapat dibedakan dalam dua jenis. Pertama, gerakan sosial yang memulai proses perubahan dan kedua, gerakan sosial yang lahir sebagai reaksi terhadap perubahan yang sedang terjadi. Gerakan sosial yang paling lazim adalah gerakan sosial yang bertipe “reaktif” dan “melawan”, terutama gerakan rakyat yang menuntut perubahan ekonomi atau sosial (termasuk kepercayaan/agama) yang mengancam cara hidup yang berlaku dan mereka yakini kebenarannya.

Kajian mengenai social movement, tak terhindarkan akan mengkaji bagaimana berbagai protes sosial itu menyeruak ke permukaan, dan juga meneropong secara khusus struktur sosial dan politiknya. Namun, suatu kajian social movement kurang memperhatikan idiom-idiom budaya di mana protes tersebut diekspresikan.

Pada dasanya, kajian ‘gerakan sosial atau social movement berasosiasi dengan karya Max Weber, sosiolog Jerman. Weber mendasarkan pada struktur dan tindakan satu kelompok yang diderivasi dari komitmennya pada satu sistem keyakinan tertentu, mengenai tujuan, standar prilaku, dan legitimasi.

Selanjutnya, sistem Weberian menantang kemapanan sistem politik yang digerakkan oleh pribadi-pribadi kharismatik yang kuasa membangun satu kelompok dengan bersandar pada ide-ide tertentu.

Menurut Edmund Burke, ada kajian khusus mengenai Islamic Movements, yang menekankan pada konsep dan retorika Islam yang digunakan oleh gerakan-gerakan kebangkitan Islam dalam setting politik dan ekonomi yang beragam di seluruh dunia Muslim. Namun, secara keseluruhan kajian ini kurang memperhatikan mengapa gerakan ini terjadi.

KONFLIK POLTIK DI BIROKRASI SULAWESI TENGAH

Di Sulawesi Tengah, pergolakan yang dimaksud bukanlah pergolakan fisik yang berdarah-darah, tapi lebih pada pergolakan politik untuk merebut kekuasaan di pemerintahan. Salah satu yang paling membekas dalam sejarah bertutur para pelaku sejarah kita, adalah ketika perebutan kekuasan di pemerintahan pada masa peralihan dari Gubernur Kolonel Mohammad Yasin ke Brigadir Jenderal AR Tambunan.
Kolonel Mohammad Yasin menjadi Gubernur Sulawesi Tengah yang kedua (1968-1973). Beliau menggantikan Anwar Gelar Datuk Madjo Basa Nan Kuning (1964-1968).

Pada saat peralihan itu, terjadi pergolakan dari sekelompok pemuda cerdas Sulawesi Tengah. Persoalannya, karena Kolonel Mohammad Yasin yang telah berjanji akan mengangkat para tokoh daerah Sulawesi Tengah, kemudian akan ditenggelamkan kembali oleh Brigadir Jenderal AR Tambunan.

Sampai-sampai ada istilah yang berkembang saat itu, bahwa putra-putra Sulawesi Tengah, tak lebih sebagai “Batang yang Terendam”. Artinya, Sulawesi Tengah memiliki sejumlah orang yang cerdas, tapi sengaja untuk tidak dimunculkan ke permukaan.

Maka genderang perang terhadap Brigadir Jenderal AR Tambunan pun ditabuh. Tokoh-tokoh seperti Lukman Makmur dan Rusdy Toana (almarhum) serta beberapa tokoh Alkhairaat seperti Saiyid Muhammad bin Idrus Aljufrie, terus berusaha mempertahankan Kolonel Mohammad Yasin dan menolak dicalonkannya Brigadir Jenderal AR Tambunan.

Para tokoh ini sangat percaya, bahwa Kolonel Mohammad Yasin mampu memberdayakan kelompok cerdik pandai asal Sulawesi Tengah. Atau dengan kata lain, Kolonel Mohammad Yasin diyakini bisa mengangkat “Batang yang Terendam” tadi.
Perlawanan semakin tampak lagi, karena selain isu soal “Batang Terendam” tapi juga isu mengenai BaToKer yang sangat kuat saat itu. BaToKer adalah kependekan dari Batak, Toraja, Kristen.

Istilah tersebut begitu kuat berhembus ke mana-mana, karena didasari bahwa pada periode 1968, ketika Gubernur Sulawesi Tengah masih dijabat oleh Kolonel Mohammad Yasin, dipara pejabat di pemerintahan saat itu didominasi oleh orang-orang dari suku Batak dan Toraja yang beragama Kristen.

Ketika brigadir Jenderal AR Tambunan menjadi Gubernur (1973-1978) pertarungan politik di kekuasaan semakin sengit lagi, karena semakin mapannya kedudukan BaToKer di jajaran Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah pada saat itu. Sampai-sampai, lahir lagi istilah 3-S, yakni Sallata, Simak dan Sarapang. Istilah ini muncul, karena ketika tokoh ini yang dinilai sangat “berkuasa” di kantor Gubernur Sulawesi Tengah, pada masa AR Tambunan. Mereka ini juga, dianggap sebagai kelompok yang menghalang-halangi putra Sulawesi Tengah untuk tampil ke permukaan.

Padahal, Sulawesi Tengah pada saat itu, sudah memiliki sejumlah tokoh penting yang masuk dalam kelompok cerdik pandai.

Mereka itu antara lain seperti Andi Cella Nurdin dari Parmusi, Zainuddin A. Rauf dari PSII dan Ir Malloto dari Golkar. Tapi, mereka-mereka ini seakan ditekan dan tidak dibiarkan untuk tampil ke permukaan.

Pergolakan politik itu, sesungguhnya tidak berdiri sendiri. Tapi itu bermula dari Jakarta. Dan pergolakan itu berlangsung lama, sekitar lima tahun perjalanan Gubernur AR Tambunan. Perlawanan terus dilakukan oleh kelompok cerdik pandai Sulawesi Tengah. Perlawanan itu dilakukan mulai dengan mengedarkan surat-surat resmi yang berisi penolakan terhadap Brigadir Jenderal AR Tambunan, sampai pada protes secara terbuka.

Perlawanan seperti itu dilakukan, karena para tokoh politik menilai bahwa gerakan politik melalui lembaga legislatif, tidak lagi berguna, karena keran kebebasan terbelenggu sama sekali. Legislatif, hanya dituntut untuk berpikir dan bekerja untuk pembangunan, tanpa harus mengurusi politik yang ujung-ujungnya untuk “perebutan kekuasaan” di pemerintahan. Akibatnya, “Batang Terendam” itu tetap saja terendam dan tidak bisa tampak ke permukaan.

PENANGKAPAN TANPA ALASAN

Pergoalakan atau kita sebut saha dengan kisruh politik pada masa AR Tambunan, tidak hanya karena dipengaruhi oleh konstelasi politik di tingkat lokal. Tapi lebih dari itu, sangat diperahui oleh situasi negara yang masih dalam masa transisi dari Orde Lama di bawah kepemimpinan Soekarno, ke Orde Lama di bawa kekuasaan Soeharto.

Saat itu, sangat banyak tokoh-tokoh politik, orang-orang kritis dan kelompok cerdik pandai selalu dicurigai sebagai dengan macam-macam alasan. Mulai dari kecurigaan soal keterlibatan dalam Partai Komunis Indonesia (PKI), kecurigaan akan mendirikan PKI Gaya Baru, kecurigaan sebagai kelompok Nasakom, sampai pada kecurigaan sebagai orang-orang yang dekat Soekarno.

Oleh Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto, orang-orang dan kelompok-kelompok ini harus diamankan. Diamankan berarti ditangkap dan dimasukan ke dalam penjara dalam kurun waktu tertentu. Situasi itu tidak hanya terjadi di Pulau Jawa dan sekitarnya, tapi juga berimbas ke Sulawesi Tengah.

Maka, satu per satu tokoh-tokoh politik dan birokrat di daerah ini pun ditangkap oleh Kopkamtib. Anehnya, penangkapan itu tanpa surat perintah penangkapan, tanpa penjelasan kenapa mereka ditangkap. Pokoknya harus ditangkap, urusan kemudian soal alasan, surat penangkapan atau pun apalah namanya.

Maka, nama-nama seperti Aminuddin Ponulele. Theo Tumaka, MT Abdullah, B. Marunduh, Ir. Malloto, Husen Binol dan F. Poddung, dipanggil ke kantor Korem 132 Tadulako. Begitu mereka datang ke Korem, lantas mereka digiring ke suatu tempat yang mereka sendiri tidak tahu.

Menurut Theo Tumakaka, mereka dibawa ke suatu tempat itu dengan mata ditutup. Ternyata, mereka dibawa ke Markas Kodim di jalan Hasanuddin (di depan rumah keluarga Baso Lamakarate). Di tempat itulah, pagi, siang dan malam mereka terus dinterogasi.

Mereka dipaksa mengaku sebagai orang yang akan mendirikan PKI Gaya Baru. Tapi, ke-7 tokoh penting Sulawesi Tengah ini tetap berkeras, bahwa mereka tidak pernah akan mendirikan PKI Gaya Baru di Sulawesi Tengah. Jangankan mendirikan, berniat pun tidak pada saat itu. Kalau kedekatan mereka dengan Soekarno, adalah benar adanya. Tapi kedekatan itu pun karena mereka adalah kader Partai Nasional Indonesia (PNI).

Selama dalam penangkapan atau penahanan itu, tokoh-tokoh ini diperlakukan tidak layak sebagai manusia. Mereka tidur di atas kasur robek yang kapuknya berhamburan ke mana-mana.
Mereka tidak diizikan bertemu dengan keluarga. Makanan yang diantar keluarga ke penjara pun hanya sampai di piket dan melalui pemeriksaan berkali-kali. “Saya hampir bunuh diri waktu itu. Saya malu, karena saya tidak pernah tahu apa alasan penahanan saya,” kata Theo Tumakaka di suatu kesempatan.
Tahun 1977, mereka dibebaskan berdasarkan surat keputusan Danrem 132/Tadulako selaku Wakashar Latsusda Sulutteng Khusus Sulteng. Anehnya, selama dalam penahanan, mereka tidak tahu menahu alasan kenapa mereka ditangkap dan ditahan. Nanti setelah dibebaskan itulah baru mereka tahu dari penjelasan surat pembebasan itu.
Dalam satu salinan foto copy surat keputusan Nomor: SKEP/8/711/1977, misalnya, disebutkan bahwa:

Membaca : 1. Instruksi PANGKOPKAMTIB Nomor: INS-02/KOPKAM/X/1977
tanggal 10 Oktober 1977 punt (1) tentang pembebasan para TAH
yang terlibat dalam kegiatan PKI Gaya Baru di Kabupaten Donggala.
2. Instruksi LAKSUSDA SULUTTENG Nomor: INS-10/KAMDA/XI/1977
tanggal 5 Nopember 1977 tentang pelepasan/pembebasan dalam
kegiatan PKI Gaya Baru kecuali Restin Kajarante dan yang tersebuty
Nomor 1e.

Menimbang : Perlu segera mengeluarkan surat keputusan untuk melaksanakan
instruksi tersebut.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : 1. Yang namanya tersebut dalam daftar lampiran Surat Keputusan
ini tidak terlibat dalam kegiatan PKI Gaya Baru dan terhitung
mulai tanggal 3 Desember 1977 dilepaskan/dibebaskan dari
tahanan/wajib lapor serta dikembalikan kehormatannya
(direhabilitasikan) dengan catatan bahwa sebelum menerima
pembebasan terlebih dahulu mengangkat sumpah/janji dan
menandatangani naskah sumpah janji tersebut.
2. Apabila di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam
Surat Keputusan ini, akan diadakan pembetulan sebagaimana
mestinya.

Dikeluarkan di : Palu
Pada tanggal : 2-12-1977

DANREM 132/TADULAKO
SELAKU
WAKASHAR LAKSUSDA SULUTTENG
KHUSUS SULTENG


S O E R A N T O
KOLONEL INF NRP 1322628


TEMBUSAN:
1. LAKSUSDA SULUTTENG
2. PANGDAM XIII/MERDEKA
3. GUBERNUR KDH TKT I SULTENG
4. DAN SATGAS INTELDA SULUTTENG
5. DAN DIM 1306/DONGGALA
6. DAN YONIF 711/RAKSATAMA
7. BUPATI KDH TKT II DONGGALA

Dari surat pelepasan atau pembebasan inilah, barulah para elite Sulawesi Tengah ini mengetahui, bahwa mereka ditangkap karena dituduh sebagai orang-orang yang akan mendirikan PKI Gaya Baru di Donggala. Yang paling menyakitkan juga bagi mereka, penahanan selama berbulan-bulan di dalam penjara itu, tidak pernah melewati proses persidangan di pengadilan.

Syukurlah bahwa ternyata mereka tidak terbukti, nama mereka dibersihkan dan dikembalikan lagi ke keluarga dan masyarakat untuk beraktivitas. Bagi yang aktivis politik, kembali berpolitik dan bagi yang birokrat kembali ke jabatan sebelumnya. Seperti Aminuddin Ponulele akhirnya menjadi Ketua Persatuan Wartawan Indonesia, Theo Tumakaka kembali menjadi Kabag Protokol dan Perjalanan pada masa Gubernur AR Tambunan dan demikian yang lainnya kembali ke aktivitas semula.

Berawal dari penangkapan para tokoh penting inilah, kemudian membuat keder atau takut bagi para elite lainnya di Sulawesi Tengah. Sehingga meski pun dalam perjalanan pemerintahan di masa AR Tambunan terjadi banyak sekali penyelewengan dan penyalahgunan, tak satu pun berani bersuara. Mereka takut bersuara, nanti akan ditangkap oleh Laksusda dianggap sebagai PKI Gaya Baru.

Paling-paling, isu yang beredar adalah bahwa Gubernur AR Tambunan hanya menempatkan orang-orang dekatnya di jabatan strategis. Mereka ditempatkan di posisi yang basah. Dan saat itulah mulanya ada istilah ada tempat basah dan tempat kering. Tapi sekali lagi bahwa semua itu hanya menjadi isu dan obrolan tanpa suara di tempat-tempat yang dianggap aman.

Padahal, pada masa Gubernur AR Tambunan itu, penempatan jabatan tidak berdasarkan pada jejang kepangkatan dan melalui baperjakat, tapi semuanya berorientasi pada asal-usul daerah si pejabat atau sukuisme dan kedekatan dengan gubernur.

Beberapa jabatan yang nasa dipegang oleh orang-orang dekatnya dan berdasarkan asal-usul daerah itu, misalnya Kepala Biro Keuangan dijabat oleh Drs BS Tambunan. Kepala Dinas Kehutanan dijabat oleh IR R.L. Tobing dan di beberapa jabatan penting lainnya yang disebut basah itu.

Pada masa itu juga, sebenarnya terjadi kemandegan pemerintahan yang luar biasa. Karena setiap ada gerakan yang mengkritik pemerintah, para pengkritik itu langsung ditangkap dengan tuduhan sebagai PKI. Sungguh, terjadi kengerian politik yang amat sangat pada saat itu. Tapi, dari sisi positifnya, tidak terjadi konflik terbuka akibat dari kebijakan yang tidak populis itu.

BANGKITNYA BATANG TERENDAM

Sebagian kalangan menganggap, bekerja untuk membangun daerahnya, tidak harus terus-terusan berada di luar wilayah kekuasan. Oleh karena itu, sedapat mungkin kekuasaan itu direbut, dan kemudian menjadikan kekuasaan itu sebagai alat perjuangan untuk maju.

Atas dasar itulah, sehingga perjuangan-perjuangan merebut kekuasaan pemerintahan Sulawesi Tengah terus dilakukan oleh kaum cerdik pandai daerah ini. Batang yang terendam pada masa Gubernur AR Tambunan, jangan biarkan membusuk, tapi harus diusahakan agar bisa bangkit, untuk kemudian bisa memberikan manfaat yang besar bagi daerah ini.

Di mana-mana, termasuk di Sulawesi Tengah, tak pernah ada kata lelah dalam perjuangan. Meski pun memang sangat melelahkan. Perjuangan boleh memakan waktu yang teramat panjang, pengorbanan pun harus diberikan demi mencapai tujuan-tujuan. Maka, apa pun alasannya, tokoh Sulawesi Tengah harus bangkit, agat mereka tidak hanya menjadi penonton di lapangan sendiri, da tidak menjadi tamu di negeri sendiri.

Perjuangan panjang dan melelahkan itu pun sedikit membuahkan hasil. Ketika Pemerintah Pusat menunjuk Brigadir Jenderal Moenafri SH (1978-1979). menjadi Gubernur Sulawesi Tengah menggantikan Brigadir Jenderal AR Tambunan.

Brigjen Moenafri datang dengan salah satu isu yang sangat mumpuni, yakni Membangkitkan Batang Terendam. Isu ini mendapat dukungan yang cukup luas dari berbagai kalangan di Sulawesi Tengah, termasuk para tokoh politik maupun para pejuang pengembalian kekuasaan ke daerah ini.

Isu membangkitkan Batang Terendam itu benar-benar dibuktikan oleh Brigjen Moenafri. Bayangkan saja, dari 17 jabatam Eselon II di kantor Gubernur Sulawesi Tengah, Brigjen Moenafri SH menempatkan 13 pejabat adalah orang putera daerah Sulawesi Tengah. Semua itu dilakukannya, semata-mata dengan tujuan untuk membangkitkan Batang Terendam tadi. Dari situlah kemudian, peran dan pengariuh 3-S itu mulai bergeser ke putra-putra asli Sulawesi Tengah.

Para tokoh Sulteng memberikan apresiasi yang cukup tinggi kepada Brigjen Moenafri SH. Ada kecenderungan, mereka menganggap bahwa Brigjen Moenafri adalah seorang tokoh yang telah membangunkan mereka dari mimpi panjang selama lima tahun. Tapi, sehebat apapun Moenafri, sekuat apa pun dukungan rakyat Sulawesi Tengah, tetap saja remot control tetap berada di Jakarta. Sewaktu-waktu Gubernur Moenafri bia dicopot.

Terbukti, tahun Brigjen Moenafri SH hanya menjabat selama satu tahun sebagai Gubernur Sulawesi Tengah. Boleh jadi, pencopotan terhadap Moenafri itu, karena jenderal satu bintang ini mmberikan peran yang terlalu besar bagi putra-putra terbaik Sulawesi Tengah. Kebijakan ini tak bisa dibiarkan berlangsung lama. Moenafri harus secepatnya dikembalikan ke Jakarta. Maka dicarilah alasan, agar Moenafri bisa diguling dan dipindahkan secepatnya dari Sulawesi Tengah.

Memang, intervensi dan intrik Jakarta khususnya dari Markas Besar ABRI saat itu begitu besar. Suatu hari, salah seorang anak dari pejabat penting di tubuh Markas Besar ABRI di Jakarta, datang ke Palu hendak berbisnis kayu hitam.

Kayu hitam, saat itu memang menjadi salah satu primadona Sulawesi Tengah. Harganya sangat mahal, sehingga para pengusaha kaya dari Jakarta selalu memburunya. Bahkan, para pengusaha Sulawesi Tengah pun harus menyelundupkannya ke negeri tetangga, Malaysia.

Karena harganya yang sangat mahal itu, sampai akhirnya mengajak anak pejabat ABRI itu mau berbisnis kayu hitam di Sulawesi Tengah, dan berharap Gubernur Moenafri yang juga seorang anggota ABRI itu, bisa memberikan kemudahan. Tapi ternyata bukan kemudahan yang diperoleh, malah kehadirannya di Sulawesi Tengah, ditolak oleh Gubernur Moenafri.

Tidak disadari oleh Gubernur Moenafri, bahwa penolakan itu terdengar sampai di Jakarta. Maka, penolakan terhadap anak pejabat ABRI inilah, yang kemudian menjadi pintu masuk untuk segera melengserkannya dari kursi Gubernur Sulawesi Tengah. Isu itulah yang santer beredar ke mana-mana, bahwa Gubernur Moenafri diganti oleh Kolonel R.H Eddy Djadjang Djadjatmadja (1979-1980). Perwira tiga melati ini ditunjuk untuk menjadi pejabat sementara Gubernur Sulawesi Tengah.

Tapi, tidak hanya itu yang menjadi penyebab tidak bertahan lamanya Moenafri sebagai Gubernur Sulawesi Tengah. Beberapa sumber pelaku sejarah mengatakan bahwa gubernur ini cenderung sangat arogan. Gubernur ini cenderung tidak serius dalam menjalankan tugas-tugasnya. Sikap dan gaya kepemimpinan itu terjadi, karena mereka menanggap bahwa keberadaanya hanya sebagai pajangan saja, karena ditunjuk drbsgsi penjabat sementara. Sikap seperti itu juga, dilakukan oleh Gubernur RH Eddy Djadjang Djadjatmadja.

EDY SABARA LAHIRKAN GUBERNUR

Kolonel Eddy Djadjang Djadjaatmadja resmi menjadi pejabat sementara Gubernur Sulawesi Tengah (1979-1980). Di akhir-akhir masa jabatannya itu, kisruh politik atau pergolakan politik kekuasaan kembali terjadi dan semakin tajam.

Penyebabnya hanya satu, Sang Kolonel ini “berambisi” untuk menjadi Gubernur Sulawesi Tengah yang definitif. Padahal, para kaum cerdik pandai Sulawesi Tengah, telah mengincar posisi itu, sebagai bentuk dari perjuangan untuk membangkitkan Batang Terendam tadi.

Meski keinginan Bangkitnya Batang Terendam itu sudah sedikit terjawab, dengan penempatan 13 pejabat eselon II di kantor Gubernur Sulawesi Tengah, tapi yang paling penting lagi adalah bagaimana dapat merebut pucuk kekuasaan di birokrasi, atau merebut kursi Gubernur Sulawesi Tengah.

Namun apa hendak dikata, tokoh-tokoh sipil cerdik pandai Sulawesi Tengah tak bisa berbuat apa-apa, karena kuatnya dominasi ABRI ketika itu. Buktinya, pemerintah pusat lagi-lagi mengangkat Mayor Jenderal Edy Sabara (1980-1981) sebagai Gubernur Sulawesi Tengah.

Awalnya, kehadiran Mayor Jenderal Edy Sabara ini, dinilai sebagai salah satu penghalang untuk membangkitkan Batang Terendam tadi. Tapi ternyata, kehadiran Mayor Jenderal Edy Sabara justru sebaliknya. Kehadiran Edy Sabara ternyata melahirkan Gubernur Sulawesi Tengah. Kehadiran Mayjen Edy Sabara, justru akan membangkitkan Batang Terendam yang nyaris lapuk dimakan air dalam rendamannya.

Oleh sebagian kelompok cerdik pandai Sulawesi Tengah, menilai bahwa Edy Sabara, adalah seorang jenderal yang memiliki kepedulian yang sangat besar terhadap kemampuan kader-kader daerah ini. Bagi Edy Sabara, setelah dirinya meninggalkan jabatan sebagai gubernur, maka penggantinya tidak boleh tokoh yang dikirim dari Jakarta, tapi harus putra Sulawesi Tengah sendiri.

Keresahan Edy Sabara itu tidak hanya dipendam sendiri di dalam hatinya. Tapi keresahan itu diungkapkan kepada beberapa orang yang dianggap paham tentang siapa, apa dan bagaimana kemampuan tokoh-tokoh daerah Sulawesi Tengah, yang kelak bisa dipersiapkan untuk menggantikannya sebagai gubernur, jika masa jabatannya selesai.

Dengan melihat konstelasi politik dan desas-desus soal perjuangan para tokoh cerdik pandai Sulawesi Tengah pada masa perjuangan berdirinya Sulawesi Tengah menjadi provinsi otonom lepas dari Sulawesi Utara, membuat keyakinan Edy Sabara begitu kuat, bahwa pasti ada orang daerah ini yang bisa menjadi pemimpin.

Keyakinan Edy Sabara begitu kuat, karena sepeninggalnya dia sebagai Gubernur Sulawesi Tenggara, dia berhasil menciptakan putera terbaik daerah itu untuk menggantikannya. Keberhasilan itu, akhirnya membuat ia sangat yakin, bahwa di Sulawesi Tengah pun, dia akan mampu melahirkan orang daerah untuk memimpin di negerinya sendiri.

Makanya, dalam setiap kesempatan publik Sulawesi Tengah selalu mengatakan bahwa Edy Sabara itu adalah gubernur yang sudah keliling Indonesia. Ia ditugaskan oleh Pemerintah Pusat untuk menjadi penjabat gubernur di mana-mana, selalu sukses di akhir. kepemimpinan.

Misalnya, tahun 1979 pernah menjadi Gubernur Jambi. Eddy Sabara juga pernah menjadi Gubernur Sulawesi Tenggara pada tahun 1967-1978. Pernah juga menjadi penjabat Gubernur Daerah Istimewa Aceh di tahun 1981. Kemudian pada tahun 1983-1984 Eddy Sabara menjadi penjabat Gubernur Kalimantan Tengah. Itulah antara lain jejak langkah seorang Eddy Sabara. Pria ini berkumis tipis, bermata besar dan tatapannya selalu tajam.

Akhirnya, pada suatu malam di rumah jabatan Gubernur Sulawesi Tengah (sekarang Siranindi di Jalan Mohammad Hatta Palu), keresahan Gubernur Edy Sabara itu pun diungkap secara terus terang kepada Kepala bagian Protokol dan Perjalanan saat itu, Theo Tumakaka. Maka terjadilah dialog panjang antara atasan dan bawahan itu. Berikut kutipan dialognya:

Gubernur Edy Sabara : Coba Pak Theo, apakah tidak ada anak daerah Sulawesi Tengah yang mampu untuk kita ajukan memegang jabatan gubernur...???

Theo Tumaka : Wah, sebenarnya Pak, kalau kader Sulawesi Tengah sangat banyak. Kita telah berjuang untuk mendirikan Sulawesi Tengah menjadi provinsi sendiri lepas dari Sulawesi Utara, itu berarti kita juga sudah menyiapkan segala sesuatunya, termasuk kader-kader dari daerah ini Pak....”

Gubernur Edy Sabara : Siapa saja kader-kader itu Pak Theo...???

Theo Tumakaka : mmm ada Pak Galib Lasahido (saat itu sebagai Sekretaris Daerah Pemda Sulawesi Tengah) dan Pak Azis Lamadjido (saat itu sebagai jaksa di Mahkamah Agung).

Gubernur Edy Sabara: Betul juga ya Pak Theo. Terima kasih Pak Theo...

Percakapan itu terjadi, karena saat itu Theo Tumaka dipanggil ke kediaman Gubernur Sulawesi Tengah, untuk memberitahukan mengenai permintaan Menteri Dalam Negeri, Amir Machmud ketika itu, agar Theo Tumakaka bersedia menjadi Kepala Bagian Protokol di Departemen Dalam Negeri. Tapi Theo Tumaka menolak permintaan Menteri Dalam Negeri itu. Alasannya, dia harus konsisten dengan hasil Musyawarah Besar Mahasiswa Sulawesi Tengah di Jakarta, agar semua putera Sulteng kembali ke daerah dan mengabdi untuk daerah.

Percakapan itu, akhirnya sedikit mengobati keresahan Gubernur Edy Sabara. Dia telah mengantongi dua nama yang dianggap tepat untuk menggantikannya kelak sebagai Gubernur Sulawesi Tengah. Dua nama itu pun kemudian dibawa ke hadapan Menteri Dalam Negeri Amir Machmud di Jakarta. Selain itu, memang ada dukungan perjuangan yang dilakukan oleh sejumlah tokoh cerdik pandai asal daerah ini.

Maka pada tahun 1981, Drs H. Galib Lasahido terpilih menjadi Gubernur Sulawesi Tengah yang devinitif dan berakhir pada tahun 1986. Galib Lasahido mengantikan Mayor Jenderal Edy Sabara.

Saat itulah, mantan Bupati Poso (1967-1973) itu, disebut-sebut sebagai batang terendam pertama yang muncul ke permukaan, karena berhasil memegang kekuasaan tertinggi di birokrasi Sulawesi Tengah. Dan pada saat itulah, putera Sulawesi Tengah, tak lagi menjadi penonton di lapangannya sendiri, dan tidak lagi menjadi tamu di negerinya sendiri.

Dari masa itulah, kemudian berturut-turut yang menjadi Gubernur Sulawesi Tengah adalah putra-putra terbaik bangsa asal daerah ini. Mereka tak lagi menjadi batang terendam, tapi mereka justru tampil sebagai pemimpin. Mereka mampu, karena memang memiliki kemampuan itu dan atas usaha yang luar biasa, dan sesungguhnya bukan karena pemberian.

Berikut daftar nama-nama Gubernur Sulawesi Tengah dari masa ke masa:

1. Anwar Gelar Datuk Madjo Basa Nan Kuning 1964 1968
2. Kol. Mohammad Yasin 1968 1973
3. Brigjen A. M. Tambunan 1973 1978
4. Brigjen Moenafri, SH 1978 1979
5. Kol. R. H. Eddy Djajang Djadjatmadja 1979 1980
6. Mayjen H. Eddy Sabara 1980 1981
7. Drs. H. Ghalib Lasahido 1981 1986
8. H. Abdul Aziz Lamadjido, SH 1986 1996
9. Mayjen TNI (Purn). H. Bandjela Paliudju 1996 2001
10. Prof. (Em) Drs. H. Aminuddin Ponulele, M.S. 21 Februari 2001-24 Maret 2006
11. Mayjen TNI (Purn). H. Bandjela Paliudju 24 Maret 2006 sekarang

No comments: