Wednesday, October 31, 2007

Pesta Blogger 2007: Kerja Belum Selesai


Pesta Blogger 2007 yang sudah kita lewati kemarin, masih sebatas sebuah seremoni biasa. Sehingga kesannya, hanyalah sebuah pesta yang belum menyentuh pada substansi masalah soal komunitas kita.

Memang, di satu sisi kita mendapat legitimasi dari negara dengan menetapkan tanggal 27 Oktober sebagai HARI BLOGGER NASIONAL. Tapi pertanyaan kemudian adalah, apa yang mesti kita lakukan setelah mendapat pengakuan itu...???

Seharusnya, kemarin panitia mengagendakan sebuah pertemuan kecil atau membentuk semacam team work untuk membicarakan soal agenda ke depan pasca pesta blogger 2007 itu. Hasilnya, bisa tertuang sebagai rekomendasi, baik untuk komunitas kita maupun untuk kemajuan negeri ini.

Memang, kita tidak hendak membuat komunitas kita laiknya asosiasi pekerja media seperti AJI, PWI atau IJTI. Tapi, paling tidak, kerja-kerja team work itu, hendak menemukan sebuah pemaksanaan baru soal sebuah perspektif baru, termasuk menemukan pemahaman (yang paling tidak sama) soal SUARA BARU INDONESIA itu.

Diakui atau tidak, dengan pengakuan negara atas eksistensi Blogger Indonesia, itu berarti kita tertantang untuk berbuat yang lebih baik lagi dan lebih bermakna bagi bangsa ini. Kita juga bisa hadir sebagai sebuah komunitas yang akan merusak citra bangsa kita sendiri. Di sini, kita bisa memilih posisi dan peran kita. Mau berada di manakah kita...???

Oleh karena itu, mungkin pada pertemuan di waktu lain, soal-soal seperti ini perlu kita bicarakan lebih serius. Atau mungkin ada pertemuan terbatas bersama Enda, Mas Wimar, dan lain-lainnya termasuk saya dan juga Mbak Maylaffayza (paling gak sekitar 15 sampai 25 orang) untuk merumuskan masalah itu. Jika tidak, maka dari tahun ke tahun boleh jadi kita hanya datang untuk berpesta dan tidak mengasilkan sesuatu yang berarti. Entah saya keliru atau tidak, tapi begitulah pikiranku soal Pesta Blogger 2007 kemarin.

Mungkin saja, kemarin kita semua berada dalam sebua euforia sebuah pesta, sehingga kita cenderung melupakan beberapa hal penting yang mesti kita kerjakan bersama. Kita, para Blogger Indonesia, harus menasbihkan diri dan juga diakui oleh publik dan negara, bahwa kita juga sebagai salah satu pilar demokrasi di Indonesia.

Walau begitu, salut buat kawan-kawan penggagas pesta blogger 2007, terima kasih banyak telah menggelar acara ini sampai kami bisa datang dan berbagi bersama. Terima kasih buat Enda Nasution, Bang Wimar Witoelar, Anda sangat berkesan dan saya tidak akan melupakan Anda sampai kapan pun (semoga sehat selalu, panjang umur dan mudah rezeki).

So... Thanks God, karena Tuhan jualah yang mengizinkan pertemuan kita semua. Viva Blogger Indonesia

Pesta Blogger 2007: Aku, Miswar dan Maylaffayza


Hari itu, 27 Oktober 2007, Blitz Megaplex, Grand Indonesia lt. 8, Bundaran HI, Jakarta, seakan milik para blogger. Sedikitnya 500 orang dari berbagai penjuru tumpah ruah di gedung baru itu. Mereka yang sebelumnya hanya berkenalan di dunia maya, hari itu bisa bertemu dan ngobrol akrab. Mungkin juga ada yang ketemu jodoh.

Berbeda dengan pertemuan organisasi massa atau pun partai politik, yang harus diundang melalui undangan kertas yang wangi, dan disediakan tiket plus uang saku. Para blogger, datang dengan dana sendiri dan kesadaran sendiri. Tujuan mereka hanya satu, ingin bertemu dengan sesama blogger [...]

Aku dan Andi Miswar, adalah dua blogger yang mungkin pertama kali tiba di Blitz Megaplex itu. Panitia pun belum ada di tempat. Setelah berkeliling dan duduk santai sambil menghabiskan tiga batang rokok di ruang bebas rokok, barulah panitianya datang.

Wimar Witular, pun datang. Para blogger menyerbunya. Ada wartawan yang wawancara. Sambil menjawab pertanyaan wartawan, Wimar Witular yang ku sebut dengan opa blogger Indonesia itu sibuk melayani para blogger lainnya untuk foto bareng. Ya begitulah blogger. Kata seorang teman: Bukan blogger kalau gak narsis. hehehehe....

Aku dan Andi Miswar pun menghampiri Opa Blogger itu. Kami kenalan dan foto bareng. Ia hampir tak percaya kalau aku dan Andi Miswar bukan dari Sulawesi Tengah. "Ah, orang Sulteng yang tinggal di Jakarta?," katanya. Sampai akhirnya ia memintaku menunjukkan tiket ku. Maka kami pun foto bareng sambil ku perlihatkan tiket pesawat yang masih ku simpan di tas ku.

Dari situlah, awal ceritanya, sampai aku dan Andi Miswar mendapat surprise dari XL. Kami diberikan dua tiket kembali ke Sulawesi Tengah. Dasar rezeki....kalau Tuhan akan memberikannya, tak ada yang bisa menghalanginya. Dan ketika itulah, kami berdua tiba-tiba mendadak jadi seleb. Kami mengalahkan ketenaran Maylaffayza pada hari itu. Hehehehe.....

Padahal, Maylaffayza adalah seorang bintang. Ia adalah selebriti, artis, pemain biola terkenal dan murid Idris Sardi. Apalagi, kehadiran Maylaffayza di Pesta Blogger 2007 itu, dengan pakaian seksi yang mengundang semua mata tertuju padanya. Sorry ya Mbak Fay... aku pun selalu mencuri pandang padanya. Tapi gak sempat foto bareng karena gak pede. hehehehe....

Media elektronik dan cetak, menyorot kami. Wajah dan nama ku menghiasi halaman media cetak. Pun halnya di halaman blog dan site kawan-kawan. Sampai-sampai XL pun memasukan halaman utama blog ochansangadji.co.nr di halaman sitenya. Terima kasih XL.....telah menyambung hidup kami kembali ke Sulteng. Terima kasih Tuhan....semua karena izin-MU....***

Thursday, October 25, 2007

Sulawesi traditional figures pay homage to late king of Banawa

Ruslan Sangadji, The Jakarta Post, Palu

Bearing gifts, a group of Tobaku and Sarudu traditional leaders approached the house of Datu Wajar Lamarauna, son and heir of the late king, Adam Ardjad Lamarauna.

As per custom, the gifts included betel nut, a sack of rice, 14 eggs, four black and white chickens and a white cow.

Dressed in bright-colored clothing and traditional rimless caps, the men from Tobaku (Donggala regency, Central Sulawesi) and Sarudu (North Mamuju regency, West Sulawesi) had come to convey the condolences of the Tobaku and Sarudu peoples over the death of the Banawa king.




The melodious tunes of a traditional bamboo ensemble accompanied the ceremony.

"We call this tradition of paying homage to the king and his family melae tobaku sarudu," said JH Tarro, chief of Tobaku's traditional council.

King of Banawa (centered in Donggala regency, Central Sulawesi), Adam Ardjad Lamarauna, passed away on November 16, 2006, in Jakarta.

"At that time, we weren't able to attend the funeral ceremony. So we are visiting his now family to show our sympathy," said Tarro.

He said the melae tradition was important in maintaining a good relationship with Banawa. The relationship between the three Sulawesi entities is unique: a large majority of the Tobaku and Sarudu are Christian while the royal families of Banawa are Muslim.

"The traditional leaders, who are here today to pay their homage to the late king, are all Christians," said Tarro.

He pointed out that social and cultural differences between his people and the Banawa lineage -- including religion -- had never been considered important.

"That's one of the main reasons we've never experienced religious conflict."

In retrospect, he said, the religion-linked bloodshed in Poso could also have been avoided if the people of Poso hadn't forgotten their common traditions and customary institutions.

Meanwhile, Banawa heir Datu Wajar remembered his father, "the people's king". "When he was a regent, my father initiated an infrastructure development project that ended the Tobaku's geographical isolation."

Tarro said everyone in Tobaku and Sarudu valued traditions such as the melae and hoped they would help them maintain good relationships with other groups.

The kingdom of Banawa was founded in 1667 and originally known as Pujananti. The kings of Banawa include La Bugia Mpue Uva, Lasabanawa I Sangga Lea Dg Paloera, Lamarauna Mpue Totua, La Gaga, Laruhana Lamarauna, Laparenrengi Lamarauna and Adam Ardjad Malarauna.

At an intimate meal at the conclusion of the melae, the Tobaku and Sarudu leaders and Banawa royals shared traditional delicacies.

Tarro explained the significance of the special food items. "We don't want to put an unnecessary burden on the mourning family, that's why we bring our own meals."

Ex-Golkar seen dominating Hanura

PALU, Central Sulawesi: The Central Sulawesi branch of the People's Conscience Party (Hanura) is led by several former Golkar Party members.

The Golkar influence is clearly seen in the appointment of Abdul Karim Hanggi, former Golkar representative at the House of Representatives, as chairman of the branch's central board.

Apart from Hanggi, former Buol regent Bayu Alexander Montang, general manager of a local daily in Palu and head of the Golkar media department, is listed as vice speaker of the party, which was founded by Gen. (ret.) Wiranto.

"There are five former provincial Golkar Party leaders who have joined Hanura," said Montang.

Montang said he had joined Hanura as a form of protest against Golkar."I have never regretted moving to a new party," he said.

Wiranto was slated to appoint the leadership of the party's branch on Tuesday. He was also scheduled to attend a religious service at the Al-Akhairat Islamic Education Center in Palu on Oct. 24.

Head of Golkar in Central Sulawesi, Aminuddin Ponulele, said Golkar members had the right to move to Hanura and he had no authority to stop them.***

Monday, October 22, 2007

Pemekaran Sultim Masih Bermasalah

Desakan pemekaran Provinsi Sulawesi Timur (Sultim), nampaknya akan mengalami jalan buntu. Pasalnya, selain karena masih adanya masalah internal di tingkat para penggagas pemekaran Provinsi itu, dokumen kajian mengenai persyaratan juga dinilai belum layak, karena hanya dibuat oleh tim yang tidak independen sehingga terkesan subyektif.

Faisal Mahmud, anggota DPD Sulawesi Tengah kepada Jurnal Nasional, Senin (21/10) menjelaskan, masalah internal yang dimaksud adalah belum adanya kesepakatan soal penempatan ibukota Provinsi Sulawesi Timur nanti. Padahal, ada lima kabupaten yang nantinya akan menjadi wilayah SUlawesi Timur, yakni Kabupaten Banggai, Kabupaten Banggai Kepulauan, Kabupaten Tojo Unauna dan Kabupaten Morowali dan Kabupaten Poso.

Masih terjadi perbedaan persepsi soal di mana letak ibukota provinsi nanti. Menurut Faisal Mahmud, satu pihak mendesak ibukota Sultim terletak di Luwuk--ibukota Kabupaten Banggai, sedangkan pihak lain meminta ibukotanya berada di Poso. Adanya perbedaan persepsi ini, karena dokumen persyaratan yang disusun oleh tim hanya melibatkan satu pihak saja, yakni dari Universitas Tompotika Luwuk.

"Itulah yang saya maksudkan bahwa dokumen persyaratan itu terkesan sangat subyektif. Seharusnya mereka melibatkan pihak luar yang lebih independen. Dengan begitu maka kajiannya akan lebih obyektif," tegas Faisal Mahmud.

Lantaran adanya perbedaan persepsi itu, akhirnya melahirkan masalah baru, yakni pihak dari Poso mengancam menarik diri dari wilayah Sulawesi Timur dan tetap menjadi bagian dari Sulawesi Tengah seperti sekarang ini.

Walau begitu, kata Faisal Mahmud, karena desakan pemekaran Sulawesi Timur itu lahir dari masyarakat, maka pihaknya selaku anggota DPD tetap memberikan dukungan. "Tapi, kami juga tetap memberikan masukan kepada tim pemekaran Sultim untuk segera menyelesaikan dulu semua masalah tersebut," kata Faisal Mahmud.

Basir Nursin, tokoh Sulawesi Timur menegaskan, keinginan lahirnya Provinsi Sultim itu bukan karena apa-apa, tapi memang karena sesuatu yang harus lahir. "Ibarat kandungan, usianya sudah sembilan bulan dan tidak ada yang bisa menghalanginya," tegas Basir Nursin.

Menurut dia, soal kapan lahirnya Provinsi Sultim itu, tinggal persoalan waktunya saja. "Saya kira, perjuangan ke arah itu sudah maksimal dilakukan. Jadi, tinggal waktu jualah yang menentukan segalanya. Lambat atau cepat, provinsi itu pasti lahir," tegas Basir Nursin

Desakan mendirikan Provinsi Sulawesi Timur ini sudah berlangsung lama. Hanya saja, persyaratan pemekaran tidak terpenuhi. Salah satunya adalah soal luas wilayah pemekaran tidak boleh lebih luas dari provinsi induk, jumlah penduduk dan sebagainya. Kekurangan persyaratan inilah yang membuat Gubernur Sulawesi Tengah belum dapat memberikan rekomendasi pemekaran Provinsi itu.

Tidak hanya itu, masalah lain yang belum diselesaikan adalah soal tarik-menarik Ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan yang sampai sekarang belum ada solusinya. Seharusnya, ibukota Kabupaten Kepulauan itu berada di Salakan, tapi sementara ini berada di Kota Banggai. Ketika dipindahkan ke Salakan, warga protes sampai akhirnya terjadi konflik dan memakan korban jiwa. "Semua masalah ini diselesaikan dulu. Saya akan tantdatangani rekomendasi, kalau masalah di Banggai Kepulauan sudah diselesaikan," tegas Gubernur Paliudju.

Walau begitu, Gubernur Bandjela Paliudju, menegaskan, secara pribadi maupun selaku Gubernur Sulteng, ia sangat mendukung pemekaran Provinsi Sultim. "Saya sangat mendukung rencana pemekaran itu untuk mempercepat peningkatan pembangunan dan mendekatkan pelayanan ke masyarakatan," katanya.

Gubernur Paliudju berpendapat, ada beberapa hal yang harus diselesaikan, termasuk upaya-upaya konkret untuk diusulkan ke pemerintah pusat. Minimal ada pertemuan dari lima pimpinan kabupaten yang ada di wilayah pemekaran provinsi Sultim untuk berbicara dari hati ke hati agar pengusulan ke DPR RI tidak mengalami perubahan. ***