Tuesday, July 31, 2007

Akibat Banjir, Lebih 10 Hektar Kebun Kakao Masyarakat Hancur


Ruslan Sangadji

PALU -Banjir yang melanda Kabupaten Morowali, Parigi Moutong, Tojo Una dan Banggai, mengakibatkan sedikitnya 10 ribu dari total luas kebun kakao Sulteng sebesar 92.571 hektar milik warga rusak.

Padahal, seharusnya saat ini para petani sedang melakukan panen dari kebun mereka. Akibatnya, kerugian mencapai hingga Rp 120 miliar dengan asumsi produksi 1 ton per hektar dengan nilai jual sebesar Rp 12 juta per ton.

Herman Agan, ketua Asosiasi Eksportir Kakao Indonesia (Askidno) Cabang Sulawesi Tengah kepada Jurnal Nasional, Selasa (31/7) mengatakan, akibat kerusakan kebun kakao itu, secara otomatis berdampak pada produksi kakao secara nasional, karena Sulawesi Tengah termasuk salah satu daerah terbesar sebagai pemasok kakao secara nasional.

Lantaran itu, pihak Askindo Sulteng telah meminta sedikitnya 500 ribu bibit pohon kakao melalui Menteri Pertanian. Bibit akan dibagikan kepada petani kakao secara cuma-cuma, agar mereka bisa mengganti kembali kakao mereka yang rusak akibat banjir itu.

"Kita berharap agar Menteri Pertanian dapat merealisasikan permintaan kami itu. Untuk distribusi kepada petani, itu akan dilakukan dengan dana swadaya dari Askindo Sulteng bekerjasama dengan Gabungan Petani Kakao Seluruh Indonesia (Gapkasi) Sulteng," kata Herman Agan.

Menurut Herman Agan, sebenarnya bibir pohon kakao sebanyak 500 ribu pohon itu tidaklah cukup, karena dalam setiap hektar, pohon kakao yang ditanam rata-rata 1000 pohon. Artinya petani Sulteng membutuhkan sebanyak 10 juta bibit pohon kakao. "Tapi utuk sementara ini, kita usahakan dulu 500 ribu pohon, selebihnya akan dilakukan pembibitan sendiri oleh petani," kata Agan.

Seperti diberitakan sebelumnya, Kakao Sulawesi (celebes cacao) termasuk yang sangat diperhitungkan di tingkat dunia. Bahkan, dalam kacamata pasar kakao dunia, Kakao Sulawesi (celebes cacao) telah memiliki brand image sebagai salah satu penyumbang biji kakao terbesar di dunia. Hanya saja, masih terbentur pada kualitas dan mutu kakao.

Dalam catatan Asosiasi Eksportir Kakao Indonesia (Askindo) Sulawesi Tengah, tahun 2005 lalu, ekspor kakao dari daerah ini mencapai sekitar 121 ribu ton, atau lebih Rp 1 triliun. Itu jika diasumsikan dengan nilai transaksi harga ekspor 1.650 dolar per ton. Sedangkan tahun tahun 2003 tercatat sebesar 83.780 ton, pada tahun 2004 meningkat lagi menjadi 109.0834,83 ton. Ini menunjukkan bahwa ekspor kakao Sulteng setiap tahun terus meningkat.

Dari total produksi itu, 8o persen di antaranya berasal dari kebun kakao masyarakat. "Kita di Sulteng belum memiliki perkebunan besar milik investor. Yang ada hanya milik petani. Jadi kalau ii dibiarkan, maka sama artinya dengan kita membiarkan adanya kemiskinan di masyarakat pasca banjir," kata Herman Agan.

Luas kebun kakao milik masyarakat terus bertambah setiap tahunnya. Data Askindo menyebutkan tahun 2001 , luas lahan kakao milik masyarakat tercatat seluas 83.731 hektar, meningkat lagi tahun menjadi 85.500 hektar pada tahun 2002, 87.267 hektar (2003), 90.803 hektar (2004-2--5) dan tahun 2006 mencapai 92.571 hektar. Areal perkebunan kakao banyak terdapat di Kabupaten Donggala, Parigi Moutong, Poso, Morowali, Tojo Unauna, Buol, Tolitoli, Banggai, dan Banggai Kepulauan.

EVAKUASI KORBAN BANJIR TERUS DILAKUKAN

Sementara itu, dari Morowali dilaporkan, upaya pencarian korban banjir dan longsor di Kabupaten Morowali terus dilakukan. Pencarian tidak hanya dilakukan di darat atau dengan menggali lumpur bekas longsor, tapi juga dari udara dengan menggunakan helikopter.

Sedangkan alat berat yang diharapkan dapat menggali sisa-sisa longsoran, baru bisa tiba di Desa Ueruru, Kecamatan Bungku Utara pada Selasa (31/7) pagi. Itu pun menurut Gubernur Sulteng, Bandjela Paliudju, baru satu unit yang bisa dibawa ke Ueruru, sementara empat kendaraan berat lainnya masih tetap berada di Baturube, ibukota Kecamatan Bungku Utara.

Sementara itu, dari Poso dilaporkan bahwa Selasa (31/7) pagi, Camat Soyo Jaya, Kabupaten Morowali, M. Gufran mendatangi Posko Peduli Banjir Morowali di kapmus Universitas Sintuwu Maroso di Poso untuk meminta bantuan bahan makanan bagi sekitar seribu orang warganya yang saat ini mengungsi di pegunungan. Seribu warga tersebut, berasal dari Desa Malino dan Desa Panca Makmur.

"Selama sepekan ini mereka belum tersenuth bantuan makanan sedikit pun dari pemerintah," kata Camat M. Gufran kepada Jurnal Nasional, Kamis siang melalui telepon.

Menurut Camat Soyo Jaya ini, ia tidak melaporkan masalah ini ke Posko Induk Satkorlak di Kolonodale, Kecamatan Petasia, karena akses jalan ke wilayah itu tidak dapat dijangkau. Pasalnya, sepanjang 9 kilometer jalan dari daerahnya menuju Kolonodale putus total.

Mengenai jumlah korban, hingga kini masih tercatat 72 orang, sedangkan jumlah pengungsi menurut data Satkorlak Penanggulan Bencana Sulteng, saat ini mencapai 378 orang di Baturube, 48 orang dirawat di Rumah Sakit Umum Kolonodale karena luka parah.

Kemudian, masih terdapat sekitar 755 orang di Kecamatan Bungku Utara masih terisolir. Mereka ini hanya dapat dievakuasi melalui udara, karena tidak adanya akses jalan menuju lokasi. Para pengungsi itu terdapat di Desa Salubiro (330 jiwa), Makota (330), Uempanapa (100) dan Desa Wata 75 orang. Rumah penduduk yg rusak berat dan ringan yang baru terdata sebanyak 198 unit. Dan kerugian saat ini mencapai Rp 600 miliar. Jalan yang rusak akibat banjir diperkirakan sekitar 150 kilometer dan tiga jembatan konstruksi beton dan baja juga rusak total.***

Yahoo! oneSearch:

Petani Cengkeh Sulteng Tuntut Dana Penyertaan Modal Rp 19 Miliar


Ruslan Sangadji

PALU - Petani di Kabupaten Tolitoli dan Buol, Sulawesi Tengah menuntut pihak Pusat Koperasi Unit Desa (Puskud) segera membayar dana penyertaan modal petani cengkeh sebesar lebih Rp 19 miliar rupiah. Dana tersebut terhitung sejak tahun 1991 ketika masih adanya Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC).

Tuntutan petani cengkeh itu disampaikan melalui Komisi Keuangan DPRD Sulawesi Tengah. Untuk menindaklanjuti laporan masyarakat itu, pihak DPRD telah melakukan koordinasi dengan Gubernur Sulawesi Tengah agar masalah tersebut bisa ikut diselesaikan oleh pemerintah provinsi.

Ketua Komisi Keuangan DPRD Sulawesi Tengah, Ibrahim Timumun kepada The Jakarta Post, Selasa (31/7) mengatakan, total dana penyertaan modal petani cengkeh di dua kabupaten penghasil cengkeh di Sulawesi Tengah itu, sebesar lebih Rp38 miliar.

Tapi, menurut Ibrahim Timumun, yang baru dibayarkan oleh pihak Puskud Sulawesi Tengah, baru 50 persen atau sekitar Rp 19 miliar. Pembayaran itu dilakukan tahun 1998 silam. "Artinya, masih tersisa 50 persen dana penyertaan modal petani cengkeh itu yang harus dibayarkan lagi oleh Puskud Sulteng," kata Ibrahim Timumun.

Tapi masalah kemudian, kata Timumun, pihaknya bersama pemerintah daerah, petani, LSM dan sejumlah Koperasi Unit Desa di Kabupaten Tolitoli dan Buol telah berusaha memperjuangkan agar dana tersebut segera diserahkan kepada petani, namun hingga kini belum ada kejelasan sama sekali dari pihak Puskud Sulteng.

"Makanya kita akan melakukan hearing kepada Puskud Sulawesi Tengah. Dalam waktu dekat ini akan diundang untuk memberikan penjelasan," tegas Ibrahim Timumun.

Bahkan, kata Timumun, pihaknya juga telah mengkoordinasikan masalah ini dengan pihak Pemerintah Provinsi Sulteng, untuk ikut mendesak agar dana tersebut segera dibayarkan kepada petani.

Dari hasil koordinasi itu, katanya, Gubernur Sulteng, Bandjela Paliudju telah menugaskan Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi untuk secepatnya mengurusinya di Puskud.

Sekretaris Provinsi Sulawesi Tengah, Gumyadi, yang dikonfirmasi The Jakarta Post, membenarkan soal adanya dana penyertaan modal petani cengkeh itu. Bahkan, Pemerintah Provinsi Sulteng mengancam akan membawa kasus ini ke meja hukum, jika pihak Puskud tidak segera memenuhi tuntutan para petani tersebut.

"Jika pihak Puskud tidak segera membayar dana itu kepada petani, maka kami akan melanjutkan masalah ini ke meja hijau," tegas Sekretaris Provinsi Sulawesi Tengah, Gumyadi, Selasa (31/7) siang.

Direktur Puskud Sulawesi Tengah, Ambo Dalle yang dikonfirmasi terpisah, membenarkan soal dana penyertaan modal petani cengkeh itu. Menurut Ambo Dalle, total dana tersebut se Indonesia tercatat sebesar lebih Rp 454 miliar. Dana tersebut, untuk Sulawesi Tengah sebesar lebih Rp 96,16 miliar.

Dana tersebut, kata Ambo Dalle, dibagi untuk tiga pihak. Yakni untuk Koperasi Unit Desa (KUD) atau kepada petani sebesar lebih Rp 48,8 miliar atau 50 persen. Kepada Puskud Sulteng sebesar lebih Rp 28,8 miliar (30 persen), dan kepada Induk Koperasi Unite Desa (Inkud) sebesar lebih Rp 19,2 miliar atau sekitar 20 persen.

Ambo Dalle menjelaskan, dari total dana penyertaan modal petani cengkeh itu, telah diterima sebesar lebih Rp 48,8 miliar dan telah dibayarkan kepada petani cengkeh se Sulawesi Tengah pada tahun 1998 silam. Sedangkan untuk Kabupaten Tolitoli dan Buol lebih Rp 19 miliar. Sedangkan dana yang menjadi hak Puskud dan masih utuh saat ini adalah Rp 4,1 miliar.

Menurut Ambo Dalle, masih ada 50 persen dana penyertaan modal petani cengkeh yang saat ini berada di Induk Koperasi Unit Desa (Inkud) di Jakarta. Berdasarkan hasil Rapat Anggota Tahunan (RAT) 17 Juli 2007 lalu di Denpasar, disepakati bahwa semua sisa dana penyertaan modal petani cengkeh itu akan dibayarkan, setelah pihak Puskud dan Induk menjual sejumlah asset, termasuk dari usaha lain dan keuntungan dari sisa hasil usaha (SHU).

"Asset yang akan dijual itu antara lain seperti lahan perkebunan di Lampung dan penjualan PT Goro. Saat ini kita sedang mencari pihak-pihak yang mau membeli asset tersebut," kata Ambo Dalle.

Artinya, menurut Ibrahim Timumun, sampai kapan asset itu akan terjual. Dan jika asset itu tidak terjual, maka dengan sendirinya dana penyertaan modal petani cengkeh itu tidak dibayarkan. "Nah, kalau tidak dibayarkan, kemanakah para petani itu akan menuntut haknya,' kata Ibrahim Timumun.

Dana penyertaan modal petani cengkeh itu, mulai berlaku sejak tahun 1991 ketika adanya penyeragaman harga cengkeh di Indonesia melalui Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC).

Sebelum ditetapkan BPPC, harga cengkeh di Sulawesi Tengah berkisar antara Rp 12 ribu hingga Rp 17 ribu per kilogram. Tapi kemudian BPPC menetapkan harga menjadi Rp 7.900 per kilogram. Namun oleh Koperasi Unit Desa, hanya membayar kepada petani sebesar Rp 5.900 per kilogram. Dengan demikian, sisa uang sebesar Rp 2 ribu itu menjadi dana penyertaan modal bagi petani cengkeh.

"Nah dana itu yang kita tuntut sekarang. Maka Puskud atau pun Inkud harus segera membayarnya, karena itu adalah hak petani. Dana itu adalah hasil keringat petani yang harus segera dibayarkan secepatnya," tandas Timumun. ***

Monday, July 30, 2007

Damai Poso, Jalan Panjang yang Penuh Liku



Ruslan Sangadji

Damai Poso, Jalan Panjang yang Penuh Liku

Diakui atau tidak, Deklarasi Malino ternyata telah membawa perubahan yang cukup signifikan, untuk membawa Poso ke jalan damai yang lebih baik. Meski, ada beberapa pihak berpendapat bahwa pertemuan damai yang digagas Susilo Bambang Yudhoyono (ketika masih menjabat sebagai Menkopolkam) dan Jusuf Kalla (saat masih menjadi Menko Kesra) itu, tidak membawa perbaikan kondisi yang lebih baik, signifikansi dari perjanjian itu untuk membawa poso kembali damai dipertanyakan.

Tapi, fakta di lapangan menunjukkan kalau kondisi Poso dapat berubah hingga kini. Sebelum adanya pertemuan damai di Malino, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, masyarakat di Poso hidup dalam kelompok masing-masing. Ada garis demarkasi yang jelas dari kedua kelompok yang bertikai di Poso (Islam dan Kristen).

Tapi, pasca Deklarasi Malino, dan walau tidak sekaligus, tapi garis demarkasi itu pun hilang dengan sendirinya. Artinya, warga Islam Poso yang dulunya tidak dapat melintas hingga melewati Kelurahan Kawua di Poso Kota Selatan, kini sudah dapat berbaur kembali. Pun sebaliknya, bagi warga Kristen, sudah dapat bergaul lagi dengan warga Islam di Poso Kota.

PAsar Sentral Poso di Poso Kota (basis umat Islam), tidak hanya menjadi tempat berbelanja bagi orang Islam, tapi pasar yang terletak di tengah-tengah kota Poso itu benar-benar telah menjadi sebuah sarana pertemuan antardua komunitas yang bertikai sebelumnya. Memang tidak seperti Ambon yang dikenal dengan "Pasar Baku BAe", tapi paling tidak suasana seperti itu kini telah nampak di Poso.

"Siapa bilang Deklarasi Malino tidak bisa menjadikan perubahan di Poso. Perjanjian itu telah terbukti menjadi perekat dua pihak yang bertikai di Poso," tegas Yus Mangun, salah seorang tokoh masyarakat Poso yang kini menjadi anggota DPRD Sulawesi Tengah.

Memang, menurut Yus Mangun bahwa proses untuk menuju kedamaian sejati, tidaklah semudah yang dibayangkan, tapi secara berproses kedamaian itu akhirnya datang juga, dan sekarang fakta itu telah terlihat dengan jelas di depan mata kita.

Konflik komunal bertendi agama di Poso memang sudah tidak ada lagi. Tidak ada lagi massa dalam jumlah besar menyerang dan membakar satu kawasan tertentu. Kondisi itu berlangsung sejak ditekennya Deklarasi Malino, hingga sekarang. Memang, diakui bahwa pasa perjanjian damai itu, permasalahan sosial dan eksistensi beberapa kelompok yang merasa keberadaannya terusik yang memang mengganggu jalan menuju damai itu.

Tapi, kelompok-kelompok itu akhirnya dapat ditangkap dan bahkan ada yang tertembak sampai mati. "Yah, itulah resiko. Kalau cita-cita kita mau agar Poso damai, maka tidak boleh ada kelompok yang mengganggu, apalagi sampai menghalangi cita-cita itu," kata Yus Mangun lagi.

MOTAMBU TANA

Tahmidi Lasahido, sosiolog dari Universitas Tadulako yang juga pekerja damai untuk Poso, mengatakan, kedamaian Poso dapat tercapai secara komprehensif, jika semua pihak yang pernah bertikai bersepakat untuk mengubur dalam-dalam semua dendam yang pernah ada.Menguburkan dendam itu, yang kemudian masyarakat menyatu dalam satu ikatan adat dan budaya nenek moyang yang pernah ada di Poso. Adat dan tradisi itu disebut dengan Motambu Tana atau mengubur dendam.

"Saya dan teman-teman, termasuk Ichsan Malik, pernah punya rencana menggelar adat Motambu Tana itu. Tapi sampai sekarang belum tercapai rencana itu. Maka kita berharap, tradisi Motambu Tana itu tidak perlu dilakukan secara seremoni lagi, tapi yang paling penting adalah tumbuhnya kesadaran kolektif untuk mengubur dendam itu," kata Tahmidi Lasahido.

Untuk menumbuhkan kesadaran kolektif itu, kata Tahmidi Lasahido, adalah perlunya sosialisasi tentang pentingnya perdamaian secara terus menerus kepada stakeholders di Poso. Selain itu, yang perlu dilakukan juga adalah pentingnya ada tokoh yang dapat menjadi perekat bagi kedua kelompok agama di Poso. "Kita tidak punya tokoh itu di Poso," ujarnya singkat.

Hal lain yang juga sangat penting dilakukan adalah pemberdayaan ekonomi masyarakat. Pasca konflik Poso ribuan warga Poso kehilangan pekerjaan. Rata-rata dari mereka adalah anak-anak yang sekarang sangat produktif. Dan bahanyanya adalah sebagian dari mereka yang kehilangan pekerjaan itu adalah eks kombatan yang terlatih dalam melakukan tindakan kekerasan

"Ini sangat serius, sehingga rekomendasinya adalah, pemerintah harus betul-betul memberikan perhatian serius soal ini," kata Tahmidi Lasahido.

Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air di Sulewana, Poso, menjadi salah satu proyek bergengsi yang diharapkan dapat merekrut tenaga kerja lokal. Tapi ternyata di satu sisi mega proyek itu tidak bisa menjawab masalah penggangguran di Pos, demikian halnya dengan masalah kemiskinan. Pembangunan PLTA SUlewana (Poso I, II dan III) yang akan menghasilkan energi listrik hingga 690 megawatt (MW) itu, ternyata tidak dinikmati warga Poso.

Wakil Bupati Poso, Abdul Muthalib Rimi, menyebutkan bahwa jumlah orang miskin di Poso saat ini mencapai sekitar 50.000 jiwa dari 194.241 jiwa total penduduk Poso saat ini. Jumlah rumah tangga miskin (RTM) mencapai sekitar 20.000 RTM, dan angka pengangguran terbesar adalah para tamatan SLTA, yakni sekitar 2.000 orang. Tingginya akan kemiskinan ini menjadi sangat ironi bila dibandingkan dengan Kabupaten Poso yang kaya sumber daya alam (SDA) sehingga tidak mesti rakyatnya hidup sengsara dan miskin.

Jadi, yang pasti bahwa kini keadaan di Poso sudah pulih. Suasana kota sudah sangat terasa sehri-hari. Hilir mudik lalulintas orang dan kendaraan pun sudah semakin lancar. Sudah sangat jarang terlihat ada aparat keamanan yang berjalanan menenteng senjata bak di medan tempur. Tidak ada lagi pengawalan bagi setiap kendaraan yang akan nmelintasi daerah yang dulunya laksana surga di Sulawesi Tengah itu.

Tapi, untuk menuju kedamaian yang sejati, masih memerlukan jalan yang sangat panjang dan penuh liku. Jika saja, pemerintah keliru menetapkan kebijakan menyangkut penanggulangan kemiskinan dan mengurangi angka pengangguran di Poso, maka bukan tidak mungkin, Poso akan kembali membara, dan kedamaian sejati itu sulit dicapai. ***

Sunday, July 29, 2007

Data Korban Tewas Banjir dan Longsor Morowali Simpang Siur

Ruslan Sangadji

PALU - Data korban tewas akibat banjir dan longsor di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah hingga kini masih simpang siur. Sebelumnya, korban tewas diperkirakan mencapai 80 orang. Tapi setelah dicek di lapangan dan berdasarkan laporan dari sejumlah kepala desa, ternyata yang meninggal dunia tercatat 74 orang.

"Hingga Minggu (29/7) pagi, korban yang meninggal dunia dan sudah ditemukan jenazahnya, sebanyak 74 orang. Data ini berdasarkan laporan dari para kepala desa kepada saya," kata Bupati Morowali, Datlin Tamalagi melalui telepon selular kepada The Jakarta Post, Minggu siang.

Sementara data yang ditulis Lembaga Kantor Berita Nasional Antara, menyebutkan bahwa korban meninggal dunia hingga Sabtu (28/7) telah mencapai 72 orang.

"Itu tidak benar. Sampai Sabtu kemarin, korban yang meninggal dunia baru 70 orang. Empat orang lainnya baru ditemukan pada Minggu (29/7) pagi," tegas Bupati Morowali dengan suara keras.

Empat orang yang ditemukan Minggu pagi itu, katanya, tiga orang dewasa dan satu bayi. Dan yang paling menyedihkan adalah saat ditemukan di dalam timbunan lumpur longsor itu, bayi tersebut masih tetap dalam pelukan ibunya.

"Bayi tersebut tidak lepas dari pelukan ibunya. Itu yang membuat saya sedih. Empat korban itu ditemukan di Desa Mamo, Kecamatan Mamosalato," kata Bupati Datlin Tamalagi.

Sementara itu, dalam rapat yang dipimpin Gubernur Sulawesi Tengah, Bandjela Paliudju di Baturube, Kecamatan Bungku Utara, Sabtu (28/7) lalu, memperkirakan korban tewas mencapai 116 orang, dan 90 orang di antaranya masih dalam proses pencarian.

"Data itu masih dugaan dan belum pasti, karena saat ini masih terus dilakukan upaya pencarian," kata Gubernur Sulteng.

Sedangkan data dari kepolisian menyebutkan bahwa korban yang diperkirakan tewas mencapai 121 orang. Lagi-lagi menurut Kapolres Morowali, Ajun Komisaris Besar Polisi Sri Suhartono, data korban tewas itu belum dapat dipastikan, karena proses evakuasi juga masih sedang dilakukan.

Mengenai distribusi bantuan, Bupati Morowali mengatakan, sehubungan sudah mulai membaiknya cuaca dalam dua hari terakhir ini, akhirnya distribusi bantuan itu sudah mulai lancar. Sejumlah desa yang sebelumnya masih terisolir, kini sudah dapat dijangkau.

Meski begitu, menurut Bupati Datlin Tamalagi bahwa pihaknya masih sangat membutuhkan obat-obatan. Karena saat ini sudah banyak pengungsi yang terjangkit penyakit penyakit, dan juga banyak yang patah tulang. "Kita sangat membutuhkan bantuan obat-obatan saat ini," tuturnya.

Tim relawan kedokteran dari Universitas Hasanuddin, Makassar, kata Bupati Tamalgi, saat ini sejak Sabtu kemarin sudah tiba di lokasi dan sudah mulai bekerja. Mereka saat ini membuka posko kesehatan di Baturube dan terus ikut memberikan pelayanan kesehatan di sejumlah desa.

Untuk membuka isolasi, Pemerintah Kabupaten Mororwali telah memobilisasi sedikitnya enam unit kendaraan alat berat untuk merehabilitasi jalan dari Desa Kolo Atas ke Desa Kolo Bawah di Kecamatan Bungku Utara.

Bahkan, pemerintah setempat telah meminjam Landing Shift Tank (LST) dari PT Medco di Tiaka, Kabupaten Banggai, untuk mengangkut alat berat menuju Ueruru, lokasi yang paling parah diterjang longsor. "Saat ini, LST itu sudah bergerak menuju Desa Ueruru," katanya Bupati.***

Friday, July 27, 2007

Askes Sulteng Berhutang Lebih Rp 4 Miliar


Ruslan Sangadji

PT Askes Cabang Palu dalam tiga bulan terakhir ini (sejak Mei-Juli), telah berhutang kepada pihak rumah sakit di lima kabupaten se Sulawesi Tegah sebesar lebih Rp 4,3 miliar. Hutang tersebut adalah klaim asuransi bagi masyarakat miskin (Askeskin).

"Kami terpaksa belum bisa membayar berhutang kepada pihak rumah sakit, karena dana untuk membayar klaim itu belum dicairkan dari Departemen Kesehatan Pusat," kata Muhammad Ilham, kepala Cabang PT Asuransi Kesehatan kepada The Jakarta Post, Selasa (23/7) malam.

Hutang tersebut, katanya, merupakan sisa dari total tagihan sejak Januari hingga Juli sebesar lebih Rp 9,7 miliar. Yang sudah dibayarkan hanya sampai pada bulan April saja, yakni sebesar lebih Rp 5,3 miliar. Jadi, sisanya setelah dana dari Departemen Kesehatan pusat telah dicairkan.

Hutang sebanyak itu, untuk membayar klaim bagi masyarakat miskin yang berobat di sejumlah ruamh sakit di lima kota/kabupaten dari 10 kota.kabupaten di Sulteng yang berada dalam wilayah operasional PT Askes Cabang Palu, yakni Kota Palu, Kabupaten Donggala, Parigi Moutong, Tolitoli, dan Kabupaten Buol.

Sedangkan untuk realisasi pembayaran klaim bagi masyarakat miskin di Sulteng tahun 2006, yakni lebih dari Rp 27,2 miliar. Tidak ada ada masalah pada tahun 2006 lalu, sebab dana dari Departemen Kesehatan Pusat cair tepat waktu. "Saya sendiri tidak paham, kenapa tahun ini begitu lambat, padahal pihak rumah sakit sudah mendesak kami agar segera membayar sisa tagihan itu," kata Ilham Lamangkona.

Ilham Lamangkona juga mengaku kebingungan juga dengan data masyarakat miskin yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), sebab data dari lembaga itu justru berbeda dengan data yang dikelurkan pemerintah kabupaten/kota setempat.

Tahun 2007 ini misalnya, data orang miskin di Kota Palu yang dikeluarkan BPS, tercatat sebanyak 56.406 jiwa, sementara yang dirilis Pemerintah Kota Palu berdasarkan SK Walikota, orang miskinnya sebanyak 56.438. Pun halnya di Kabupaten Parigi Moutong Data BPS (112.474 jiwa), data Pemda (102.972 jiwa).

Di Kabupaten Tolitoli data BPS mencatat orang miskin sebanyak 75.037 jiwa, sementara data berdasarkan SK BUpati Tolitoli orang miskin hanya 58.598 jiwa, di Kabupaten Buol data BPS (51.698 jiwa) sedangkan data Pemda (46.098 jiwa), dan di Kabupaten Donggala data antara BPS dan pemdanya sama yakni 205.882 jiwa.

"Kami bingun, akibat data masyarakat miskin yang berbeda itu, akhirnya kami kesulitan juga membayar klaim bagi orang miskin. Akhirnya semuanya sepakat bahwa data yang digunakan adalah data di SK-kan Bupati atau Walikota," kata Ilham Lamangkona.

Menurut Ilham Lamangkona, pihaknya tidak menggunakan data orang miskin dari BPS, karena data yang dikeluarkan lembaga itu bertentangan dengan kenyataan di lapangan. Sedangkan data pemda setempat dikeluarkan setelah melewati beberapa kali penelitian dan cek di lapangan. "Data BPS hanya berdasarkan sampel aja, itulah yang jadi masalah," ujarnya.

Pejabat di BPS Sulteng, M Syaiful yang dikonfirmasi terpisah mengatakan, data yang dikeluarkan BPS itu sudah melewati beberapa proses, mulai dari pendataan di lapangan oleh sejumlah orang direkrut untuk tugas itu, sampai akhirnya dirilis ke publik. "Jadi itu bukan asal-asalan," tandas Syaiful ***

Bantuan Korban Banjir Morowali Telah Tersalurkan


Ruslan Sangadji

Bantuan untuk korban banjir dan tanah longsor di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, sudah mulai tersalurkan sejak Kamis (26/1) kemarin. Bantuan tesebut dibawa langsung oleh Kapolda Sulteng, Brigadir Jenderal Polisi Badrodin Haiti dengan menggunakan Kapal B.KP 513 Parikesit.

Bantuan dari Bakornas yang sebelumnya masih tertahan di Bandara Udara Mutiara Palu, pun sudah dapat diterbangan ke lokasi pada Jumat (27/1) pagi dengan menggunakan helikopter Puma milik TNI Angkatan Udara.

Helikopter Puma dari Makassar itu seharusnya sudah berangkat pada Kamis (26/7) sore dari Bandara Mutiara Palu, tapi menurut pilotnya, Kapten Abram , penerbangan ditunda karena ada gumpalan awan colimunimbus di sekitar lokasi kejadian.

"Terpasa kami tunda berangkat sampai cuaca membaik. Dan hari ini (Jumat) kami siap terbang," kata Kapten Abram yang membawa bantuan dan enam awal dari TNI angkatan Udara itu.

Bantuan yang dibawa ke lokasi itu antara lain berupa beras, biskuit, obat-obatan dan mie instant. Bantuan tersebut, selain dari pemerintah juga berasal dari sumbangan masyarakat Sulteng.

Kepala Bidang Humas Polda Sulteng, Komisaris Polisi Heddy Tri Paronoto kepada The Jakarta Post mengatakan, untuk sementara semua konsentrasi diarahkan pada distribusi bantuan kepada korban yang selamat, sembari terus berupaya mengevakuas korban yang tertimbun lumpur longsor.

"Syukurlah, bantuan sudah dapat disalurkan kepada para korban, Sekarang yang sedang kita pikirkan adalah bagaimana mengevakuasi korban yang masih tertimbun lumpur," kata Bupati Morowali, Datlin Tamalagi kepada The Jakarta Post, via telepon satelit Jumat (27/7) pagi.

Frets Abbas, pejabat dari Satuan Korodinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana Sulawesi Tengah yang dikonfirmasi via telepon mengatakan, diperkirakan saat ini masih seitar 46 enazah yang masih tertimbun dan berhasil dievakuasi. Pasalnya, evakuasi itu hanya dapat dilakukan dengan peralatan seadanya.

"Jenazah yang belum bisa dievakuasi itu terdapat di Desa Ueruru dan Desa Boba, Kecamatan Bungku Utara," kata Frets Abbas.

Sementara korban luka-luka sudah berhasil dibawa dari lokasi longsor ke Kolonodale (bekas ibukota Kabupaten Morowali) untuk mendapatkan perawatan maksimal dari petugas kesehatan yang sudah disiapkan di kota itu.

Rombongan korban luka yang pertama dibawa ke Kolonodale berjumlah 16 orang dan sudah tiba di Kolonodale pada Kamis malam. Sementara rombongan korban kedua berjumlah enam orang sedang dalam perjalanan dengan menggunakan kapal motor KMP Nurul Huda.

SULTENG DIKEPUNG BANJIR

Banjir tidak hanya terjadi di Kabupaten Morowali. Empat kabupaten lainnya pun dilanda banjir. Empat kabupaten itu adalah Parigi Moutong, Tojo Una-Una, Banggai dan Kabupaten Tolitoli. Padahal, alternatif perjalanan untuk menuju lokasi selain melalui Poso, juga paling dekat melalui Kabupaten Banggai, di wilayah Timur Sulawesi Tengah.

Menurut Frets Abbas, banjir di empat kabupaten ini, telah merendam ribuan rumah warga dan juga ribuan hektar lahan persawahan dan kebun warga. Jalur yang menghubungan antara Dataran Toili di Kabupaten Banggai ke Kota Luwuk, akhirnya terputus.

Wakil Gubernur Sulawesi Tengah, Achmad Yahya, dilaporkan tidak dapat melanjutkan perjalanan ke Morowali karena tertahan banir di Toili ini.
Padahal, yang bersangkutan bersama rombongan Satkorlak Penanggulangan Bencana Sulteng, berencana menuju lokasi longsor di Morowali dengan mengambil jalur Toili di Kabupaten Banggai menuju Baturube.

Sedangkan perjalanan rombongan Gubernur Sulawesi Tengah, Bandjela Paliudju, terpaksa tertahan di Ampana, ibukota Kabupaten Tojo Una-Una. Rombongan ini pun berencana mengambil jalur Toili di Kabupaten Banggai menuju Baturube dan ke lokasi banjir dan tanah longsor di Morowali. ***

Korban Banjir Morowali Capai 80 Orang


Ruslan Sangadji

Korban banjir dan tanah longsor di Kabupaten Morowali, SUlawesi Tengah, membutuhkan makanan dan tenaga medis. Bantuan yang didistribusi kepada para korban, belum mencukupi kebutuhan mereka, terutama untuk anak-anak, perempuan dan lansia.

Untuk membicarakan soal distribusi bantuan itu, Rabu (25/7) malam, telah diadakan rapat terbatas di Gubernuran Siranindi Palu. Rapat yang dihadiri Bupati Morowali, Datlin Tamalagi, Gubernur Sulawesi Tengah, Bandjela Paliudju dan Ketua Pelaksana Harian Bakornas Penanggulangan Bencana, Syamsul Ma'arif.

Usai berlangsungnya pertemuan itu, Bupati Morowali, Datlin Tamalgi mengatakan, bantuan makanan saat ini belum cukup memenuhi kebutuhan para korban. Untuk sementara, katanya, bantuan makanan difokuskan dulu bagi warga di dua desa yang paling parah, yakni Desa Ueruru dan Boba, Kecamatan Bungku Utara.

Menurut Bupati, sekarang dua desa itu sudah rata dengan tanah. Tidak ada lagi yang tersisa di desa itu. Warga yang selamat, untuk sementara ditampung di baruga (aula) Kantor Kecamatan Bungku Utara.

Selain kekurangan makanan, pihaknya juga membutuhkan tenaga medis. Saat ini, baru ada dua dokter bedah tulang, lima dokter umum dan enam orang paramedis lainnya. Saat ini, tenaga medis itu masih ada di Kolonodale, Kecamatan Petasia. Mereka menunggu korban luka yang dievakuasi ke kota itu. Rabu kemarin, tim SAR berhasil mengevakuasi 20 korban yang selamat dan baru tiba di Kolonodale pada Kamis pagi tadi.

"Kami juga butuh tenaga medis. Banyak korban patah tulang yang mesti segera ditangani, tapi saat ini baru ada dua dokter yang siap di Baturube, ibukota Kecamatan Bungku Utara," kata Bupati.

Sementara bantuan makanan, obat-obatan, kantong mayat dan bantuan lainnya dari Bakornas Penanggulangan yang tiba di Palu, Rabu (25/7) sore kemarin, sejak Kamis (26/7) siang sudah mulai dibawa ke Morowali. Syamsul Ma'arif mengatakan, untuk memperlancar distribusi bantuan itu, pemerintah pusat juga telah mengarahkan sarana transportasi laut dan udara untuk menjangkau daerah yang terisolasi.

Komandan Angkatan Laut Palu, Letnan Kolonel Laut (P) Ganif Deswantoro mengatakan, TNI Angkatan Laut juga telah memberangkatkan dua kapal (KRI) ke Morowali, yakni KRI Teluk Jakarta 541 dan KRI Lambung Mangkurat 847.

Tidak hanya itu, bantuan dari Bakornas itu dibawa dengan pesawat CN-235 menuju Soroako, Sulawesi Selatan, selanjutnya diangkut dengan helikopter Super Pumamilik TNI Angkatan Udara menuju lokasi bencana.

"Kapal ini, selain bertugas mengangkut bantuan makanan, juga ikut mengangkut korban yang selamat ke daerah yang lebih aman," kata Letkol Ganif Deswantoro.

KORBAN TEWAS capai 80 ORANG

Sementara itu, dari Morowali dilaporkan, korban tewas diperkirakan mencapai 80 orang. Sedangkan yang baru berhasil dievakuasi dari timbunan lumpur akibat longsor baru 25 orang. "Kemungkinan jumlah korban itu masih akan bertambah," kata Kapolres Morowali, Ajun Komisaris Besar Polisi Sri Suhartono.

Korban yang berhasil dievakuasi itu, antara lain 20 orang dari Desa Ueruru, Empat orang di Desa Boba. Sedangkan sisanya yang juga diduga tewas tertimbun longsor itu masih terus dicari. Yang sudah dievakuasi itu telah dimakamkan pada Rabu (25/7) kemarin.

Menurut Kapolres, pihaknya menduga masih banyak korban yang masih tertimbun lumpur, karena ada warga yang selamat telah melaporkan bahwa anggota keluarga belum kembali hingga kini. "Kami akan terus berusaha mencari dan mengevakuasi warga yang dilaporkan hilang itu," ujar Kapolres.

Kapolres Sri Suhartono mengatakan, evakuasi yang dilakukan oleh anggota Brimob, TNI dan warga itu hanya dilakukan secara manual, sehingga menyebabkan terlambatnya evakuasi. "Alat berat belum mencapai lokasi karena putusnya jalur darat, sehingga terpaksa kami hanya menggunakan peralatan seadanya untuk mengevakuasi korban yang tertimbun longsor," kata Kapolres.

Selain peralatan yang minim, Kapolres juga mengakui bahwa langkanya bahan bakar minyak, ikut menjadi penghambat lancarnya proses evakuasi dan angkutan bantuan makanan melalui jalur darat.

Hingga kini, bantuan dari berbagai pihak termasuk masyarakat Sulawesi Tengah mulai berdatang. Bahkan, untuk memudahkan bantuan dari pihak luar, Pemerintah Kabupaten Morowali telah membuka rekening di Bank Mandiri Nomor: 02.01.00293.9.

Menurut Bupati Morowali, jika ada yang mau membantu para korban bencana di Morowali, melalui Bankd Mandiri, cukup menekan angka 005 kemudian nomor rekening tersebut. "Dengan menekan angka-angka itu, maka akan muncul nomor rekening atas nama Posko Bantuan Bencana Alam Morowali," terang Bupati.***

16 Ribu Warga Terisolir, Bantuan Bakornas Tertahan di Palu

Ruslan Sangadji

Hingga Rabu (25/7), tercatat masih sekitar 16 ribu jiwa korban banjir dan Tanah Longsor di 11 desa se Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, masih terisolir. Bahkan upaya pengiriman bantuan ke lokasi pun belum berhasil sama sekali. Jalan darat yang rusak berat, cuaca buruk dan gelombang tinggi, menjadi penyebab terputusnya akses ke lokasi.

Bupati Morowali, Datlin Tamalagi yang dihubungi via telepon satelitnya, membenarkan kalau masih ada sekitar 16 ribu jiwa warganya belum dapat dievakuasi. Pihaknya bersama rombongan yang hendak menuju lokasi melalui jalur laut, pun terpaksa harus berbalik haluan kembali ke Kota Kolonodale, karena gelombang tinggi disertai hujan deras.

Sebuah kapal tongkang yang membawa 14 ton beras, ratusan dus mie instan, perlengkapan tidur, pakaian dan obat-obatan, baik dari pemerintah daerah setempat dan bantuan warga, hanya bisa dibawa sampai ke Baturube, ibukota Kecamatan Bungku Utara. "Tapi semua bantuan itu belum bisa sampai ke lokasi bencana," kata Bupati Morowali Datlin Tamalagi,

Sedangkan untuk distribusi bantuan melalui jalur darat sangat sulit, karena ada tujuh jembatan utama putus sama sekali. Tidak hanya itu siswa sekolah dasar terpaksa tidak bisa melaksanakan proses belajar mengajar, karena empat sekolah di wilayah itu pun rata dengan tanah disapu banjir bandang.

Sementara itu, bantuan yang dikirim dari Badan Koordinasi Nasional (Bakornas) Penanggulan Bencana yang dikirim dengan menggunakan pesawat hercules, telah tiba di Palu sekitar pukul 16.00 Wita.

Pesawat yang membawa sedikitnya 12 ton bantuan baik berupa pakaian, perlengkapan bayi dan anak-anak, makanan, minuman obat-obatan, perahu karet dan kantung mayat, terpaksa harus bermalam di Bandara Mutiara Palu.

Menurut rencana, Kamis (26/7) pagi semua bantuan itu akan dijemput dengan pesawat jenis Foker ke Soroako, Sulawesi Selatan. Lalu dari Soroako diangkut lagi dengan helikopter menuju lokasi bencana di Morowali. Tapi rencana itu belum bisa dilaksanakan, karena cuaca masih sangat buruk.

Badan Koordinasi Penanggulangan Bencana Sulawesi Tengah, Gumyadi, kepada wartawan Rabu sore di Bandara Mutiara Palu, mengatakan bahwa seharusnya pesawat hercules itu langsung mendarat di Bandara Hasanuddin Makassar, lalau dibawa ke soroako dan diterbangkan ke Morowali. "Tapi karena cuaca yang belum menentu sehingga terpaksa harus mendarat di Palu," kata Gumyadi.

Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Morowali belum berhasil menerima informasi terakhir soal jumlah korban yan meninggal dunia. Data sementara masih 56 orang yang tewas, yang sudah berhasil dievakuasi dari timbunan lumpur akibat longsor baru tujuh orang dan ratusan rumah lainnya rata dengan tanah.

Menurut Bupati Datlin Tamalagi, dari 56 korban yang tewas itu, baru sekitar 40 orang yang berhasil diidentifikasi. Tujuh di antaranya yang baru dievakuasi masing-masing bernama Muhammad Hamdan (25 tahun), Ny. Hamsiar (40), Ny, Maimunah (26), Viktor (17), Abdul Malik (15), dan dua orang balita berusia tiga dan empat tahun bernama Tatik dan Dian.

Setelah dievakuasi jenazah ketujuh orang itu langsung dibawa ke aula kantor Kecamatan Bungku Utara untuk disemayamkan. Selanjutnya akan dimakamkan di pekuburan massal setempat.

Bupati menambahkan, bantuan yang akan disalurkan kepada korban bencana, sesungguhnya mencukupi untuk kebutuhan tanggap darurat. Hanya saja, sampai saat ini bantuan itu belum lolos hingga ke lokasi.

"Untuk saat ini kami terus berusaha sembari terus berdoa agar kondisi alam bisa sedikit bersahabat supaya kami bisa bawa bantuan itu kepada korban. Jalan satu-satunya adalah mungkin dengan menggunakan helikopter, itu pun kalau cuaca sedikit membaik," tandas Bupati Morowali.

Bupati berharap, pihak Bakornas di Jakarta bisa membantu mendatangkan helikopter dari TNI Angkatan Udara untuk membantu mendistribusi bantuan tersebut ke lokasi. Tidak hanya itu, Badan SAR NAsional juga diharapkan dapat secepatnya ikut membantu para korban di lokasi bencana.

TIM SAR yang dikirimkan pihak Polda Sulteng, sebagian sudah berada di lokasi, sedangkan lainnya terpaksa masih berada di Kantor Polsek Bungku Utara, karena sulitnya medan tersebut.

Gubernur SUlawesi Tengah, Bandjela Paliudju dan Kapolda Sulteng Brigadir Jenderal Polisi Badrodin Haiti saat ini sudah berada di Baturube, Ibukota Kecamatan Bungku Utara. Kehadiran kedua pejabat di tempat itu, untuk ikut membantu mengkoordinir pengiriman pengiriman bantuan dan relawan ke lokasi.

Rencananya Gubernur dan Kapolda Sulteng akan berangkat ke lokasi dengan menggunakan jalur laut. "Ya saya akan menuju lokasi dengan menggunakan kapal dari Polri," kata Gubernur Sulteng via telepon satelit dengan suara yang terputus-putus. ***

Banjir dan Longsor di Morowali Telah Tewaskan 56 Orang Tewas

Ruslan Sangadji

Banjir dan longsor yang Kabupaten Morowali--sekitar 640 kilometer dari Kota Palu, Ibukota Provinsi Sulawesi Tengah pada Minggu (22/7) sekitar pukul 19.00 Wita lalu, telah menyebabkan 56 orang warga Desa Uweruru, Kecamatan Bungku Utara meninggal dunia.

Hanya saja, pihak kecamatan setempat belum dapat melaporkan secara detail identitas korban yang meninggal akibat tertimbun lumpur itu. Pihak kecamatan hanya menyatakan bahwa sebagian besar korban yang meninggal dunia itu, telah dievakuasi dan telah dikuburkan secara massal di Desa Kolo Bawah di kecamatan itu. Sedangkan sebagian lainnya dilaporkan masih tertimbun lumpur.

Bupati Morowali, Datlin Tamalagi yang dikonfirmasi via telepon satelit menjelaskan, dari 22 Desa di Kecamatan itu, ada 10 desa yang paling parah dilanda banjir, yakni Desa Kalombang, Toranggo, Matube, Tambarone, Uweruru, Saliti, Toklal Tasa, Lesong, Pangkal dan Desa Tirongan. "Tapi hanya desa Uweruru yang dilanda longsor dan menyebabkan lebih 50 orang meninggal dunia, dan sebagian besarnya masih dalam upaya evakuasi," kata Bupati Datlin Tamalagi.

Kapolda SUlawesi Tengah, Brigadir Jenderal Polisi Badordin Haiti mengatakan kondisi lokasi sangat menyulitkan pihak evakuator, baik anggota kepolisian dan TNI serta masyarakat. Pasalnya, selain jarak antara lokasi kejadian dengan Desa Baturube, ibukota Kecamatan Bungku Utara jauh, yakni sekitar 32 kilometer, juga karena kondisi jalan yang susah dilewati karena rusak akibat dilanda banjir itu.

"Karena itulah yang menyebabkan kami kesulitan mengevakuasi dan melakukan penanganan cepat terhadap korban," kata Kapolda Sulteng kepada The Jakarta Post, Selasa (23/7) siang.

Menurut Kapolda Sulteng, salah satu penyebab banyaknya korban tewas itu, karena sebelumnya tersiar kabar bahwa akan terjadi tsunami. Akhirnya warga lari menyelematkan diri ke bukit-bukit sekitar, dan membangun tenda di tempat itu. Tak dinyana, ternyata bukit tempat mereka mengungsi itu longsor dan menimbun mereka. "Akhirnya banyak korban yang tewas," terang Kapolda.

Bupati Morowali menambahkan, saat ini para sebagian besar korban banjir dan longsor telah dievakuasi ke Desa Baturube, ibu Kota Kecamatan Bungku Utara, sementara sebagian lainnya memilih masih terus bertahan di pegunungan. Menurutnya, sejak peristiwa itu, ia langsung memimpin tim dari pemerintah kabupaten telah berangkat menuju lokasi untuk membawa sejumlah bantuan sembako bagi pengungsi, tapi sampai tadi malam mereka belum berhasil mencapai lokasi.

Penyebab tidak berhasil sampai lokasi, katanya, karena faktor alam dan kondisi jalan yang sangat berat (banyam yang rusaak) juga karena beberapa jembatan telah hanyut dibawa banjir.

"Kami berusaha membawa bantuan sembako dan obat-obatan melalui jalur laut, tapi itu juga sangat sulit karena gelombang masih sangat tinggi," urai Bupati Datlin Tamalagi.

Akhirnya, kata Bupati saat ini selain berpasrah dsiri pda Tuhan, pihaknya akan terus berusaha dengan cara apa pun demi menyelematkan para korban musibah banjir dan tanah longsor itu.

"Kami sudah menyiapkan satu kapal, tapi kami juga berharap ada yang bisa membantu angkutan laut yang baik, agar kami bisa segera membawa bantuan ini. Kasihan warga di sana," kata Bupati dengan suara terbata-bata.

Akibat terlambatnya bantuan itu, dilaporkan bahwa saat ini para pengungsi di Bungku Utara mulai kelaparan, didera penyakit gatal-gatal dan gangguan kesehatan lainnya. Mereka tak bisa berharap banyak, karena memang bantuan belum sampai ke lokasi.

Warga di Kolonodale dan Bungku di Morowali, bergotong royong mengumpulkan sejumlah bantuan bahan makanan, Senin (22/7) malam, telah berhasil terkumpul 500 doz mie instan, pakaian bekas layak pakai dan jutaan uang tunai untuk diberikan kepada para korban.

"Rencananya bantuan ini akan kami bawa dengan kapal yang sudah disiapkan pemerintah daerah," kata Yulmartin Tauwa, salah seorang warga Kolonodale.

Banjir tidak hanya terjadi di Kabupaten Morowali. Di Parigi Moutong pun juga terjadi banjir yang menyebabkan ratusan rumah terendam air. Pun halnya dengan ratusan hektar kebun dan sawah milik warga.

Bupati Parigi Moutong, Longky Djanggola melaporkan, di desa Ogotumubu, Kecamatan Tomini, tercatat ada 200 rumah yang terendam banjir, arus lalu lintas yang melewati jalan Trans Sulawesi juga terganggu. Kondisi itu juga terjadi di Desa Ongka Malino, Kecamatan Bolano Lambunu dan Desa Sidoan di Kecamatan Tinombo.

Sedangkan di Desa Laemanta, Kecamatan Kasimbar, hujan deras disertai angin kencang menyebabkan terjadinya longsor, ada dua tiang listrik dilaporkan tumbang. Namun tidak ada korban jiwa dalam musibah itu.

Lagi-lagi Bupati Parigi Moutong mengingatkan warganya untuk terus menjaga kelestarian alam dan tidak menebang hutan. Sebab, salah satu penyebab terjadinya banjir ini karena makin seringnya terjadi pembabatan hutan di sekitar pegunungan.

"Kalau kita tidak hentikan pembabatan hutan, musibah yang lebih besar lagi akan menimpa kita. Ini pelajaran bagi kita untuk menyudaho praktik pembatatan hutan itu," kata Longky Djanggola mengingatkan. ***

16 Ribu Warga Terisolir, Bantuan Bakornas Tertahan di Palu

Ruslan Sangadji

Hingga Rabu (25/7), tercatat masih sekitar 16 ribu jiwa korban banjir dan Tanah Longsor di 11 desa se Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, masih terisolir. Bahkan upaya pengiriman bantuan ke lokasi pun belum berhasil sama sekali. Jalan darat yang rusak berat, cuaca buruk dan gelombang tinggi, menjadi penyebab terputusnya akses ke lokasi.

Bupati Morowali, Datlin Tamalagi yang dihubungi via telepon satelitnya, membenarkan kalau masih ada sekitar 16 ribu jiwa warganya belum dapat dievakuasi. Pihaknya bersama rombongan yang hendak menuju lokasi melalui jalur laut, pun terpaksa harus berbalik haluan kembali ke Kota Kolonodale, karena gelombang tinggi disertai hujan deras.

Sebuah kapal tongkang yang membawa 14 ton beras, ratusan dus mie instan, perlengkapan tidur, pakaian dan obat-obatan, baik dari pemerintah daerah setempat dan bantuan warga, hanya bisa dibawa sampai ke Baturube, ibukota Kecamatan Bungku Utara. "Tapi semua bantuan itu belum bisa sampai ke lokasi bencana," kata Bupati Morowali Datlin Tamalagi,

Sedangkan untuk distribusi bantuan melalui jalur darat sangat sulit, karena ada tujuh jembatan utama putus sama sekali. Tidak hanya itu siswa sekolah dasar terpaksa tidak bisa melaksanakan proses belajar mengajar, karena empat sekolah di wilayah itu pun rata dengan tanah disapu banjir bandang.

Sementara itu, bantuan yang dikirim dari Badan Koordinasi Nasional (Bakornas) Penanggulan Bencana yang dikirim dengan menggunakan pesawat hercules, telah tiba di Palu sekitar pukul 16.00 Wita.

Pesawat yang membawa sedikitnya 12 ton bantuan baik berupa pakaian, perlengkapan bayi dan anak-anak, makanan, minuman obat-obatan, perahu karet dan kantung mayat, terpaksa harus bermalam di Bandara Mutiara Palu.

Menurut rencana, Kamis (26/7) pagi semua bantuan itu akan dijemput dengan pesawat jenis Foker ke Soroako, Sulawesi Selatan. Lalu dari Soroako diangkut lagi dengan helikopter menuju lokasi bencana di Morowali. Tapi rencana itu belum bisa dilaksanakan, karena cuaca masih sangat buruk.

Badan Koordinasi Penanggulangan Bencana Sulawesi Tengah, Gumyadi, kepada wartawan Rabu sore di Bandara Mutiara Palu, mengatakan bahwa seharusnya pesawat hercules itu langsung mendarat di Bandara Hasanuddin Makassar, lalau dibawa ke soroako dan diterbangkan ke Morowali. "Tapi karena cuaca yang belum menentu sehingga terpaksa harus mendarat di Palu," kata Gumyadi.

Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Morowali belum berhasil menerima informasi terakhir soal jumlah korban yan meninggal dunia. Data sementara masih 56 orang yang tewas, yang sudah berhasil dievakuasi dari timbunan lumpur akibat longsor baru tujuh orang dan ratusan rumah lainnya rata dengan tanah.

Menurut Bupati Datlin Tamalagi, dari 56 korban yang tewas itu, baru sekitar 40 orang yang berhasil diidentifikasi. Tujuh di antaranya yang baru dievakuasi masing-masing bernama Muhammad Hamdan (25 tahun), Ny. Hamsiar (40), Ny, Maimunah (26), Viktor (17), Abdul Malik (15), dan dua orang balita berusia tiga dan empat tahun bernama Tatik dan Dian.

Setelah dievakuasi jenazah ketujuh orang itu langsung dibawa ke aula kantor Kecamatan Bungku Utara untuk disemayamkan. Selanjutnya akan dimakamkan di pekuburan massal setempat.

Bupati menambahkan, bantuan yang akan disalurkan kepada korban bencana, sesungguhnya mencukupi untuk kebutuhan tanggap darurat. Hanya saja, sampai saat ini bantuan itu belum lolos hingga ke lokasi.

"Untuk saat ini kami terus berusaha sembari terus berdoa agar kondisi alam bisa sedikit bersahabat supaya kami bisa bawa bantuan itu kepada korban. Jalan satu-satunya adalah mungkin dengan menggunakan helikopter, itu pun kalau cuaca sedikit membaik," tandas Bupati Morowali.

Bupati berharap, pihak Bakornas di Jakarta bisa membantu mendatangkan helikopter dari TNI Angkatan Udara untuk membantu mendistribusi bantuan tersebut ke lokasi. Tidak hanya itu, Badan SAR NAsional juga diharapkan dapat secepatnya ikut membantu para korban di lokasi bencana.

TIM SAR yang dikirimkan pihak Polda Sulteng, sebagian sudah berada di lokasi, sedangkan lainnya terpaksa masih berada di Kantor Polsek Bungku Utara, karena sulitnya medan tersebut.

Gubernur SUlawesi Tengah, Bandjela Paliudju dan Kapolda Sulteng Brigadir Jenderal Polisi Badrodin Haiti saat ini sudah berada di Baturube, Ibukota Kecamatan Bungku Utara. Kehadiran kedua pejabat di tempat itu, untuk ikut membantu mengkoordinir pengiriman pengiriman bantuan dan relawan ke lokasi.

Rencananya Gubernur dan Kapolda Sulteng akan berangkat ke lokasi dengan menggunakan jalur laut. "Ya saya akan menuju lokasi dengan menggunakan kapal dari Polri," kata Gubernur Sulteng via telepon satelit dengan suara yang terputus-putus. ***

Banjir dan Longsor 32 Warga Dilaporkan Hilang

Ruslan Sangadji

Banjir dan longsor kembali melanda tujuh desa di Kabupaten Morowali--sekitar 640 kilometer dari Kota Palu, Ibukota Provinsi Sulawesi Tengah. Peristiwa yang terjadi pada Minggu (22/7) sekitar pukul 19.00 Wita itu, mengakibatkan 32 warga dilaporkan hilang sementara tujuh warga lainnya tertimbun longsor.

Kepala Bagian Operasional (Kabag Ops) Polres Morowali, Ajun Komisaris Polisi (AKP) Nurul Hidayat yang dikonfirmasi via telepon, membenarkan terjadinya banjir itu. "Betul, banjir melanda dua kecamatan di Morowali, yakni Kecamatan Bungku Utara dan Kecamatan Baturube," katanya kepada The Jakarta Post, Senin (23/7) pagi.

Menurut Kabag Ops Polres Morowali, desa yang paling parah dari peristiwa itu, adalah Desa Uweruru, Kecamatan Baturube yang berjarak sekitar delapan jam perjalanan dengan menggunakan speed boat melalui laut. Saat berita ini ditulis, tim SAR sedang menuju lokasi untuk mengupayakan evakuasi para korban.

AKP Nurul Hidayat mengatakan, akibat banjir itu dilaporkan ada tujuh jembatan yang putus karena digenangi banjir. Sampai saat ini, ketinggian air mencapai tiga meter.

Di tempat terpisah, Kapolda Sulawesi Tengah, Brigadir Jenderal Polisi Badroddin Haiti mengatakan, pihaknya telah mengirimkan tim SAR dari Brimob Polres Morowali sebanyak satu kompi atau sekitar 100 orang, dan satu peleton atau sekitar 33 orang dari Polres Banggai. "Kami juga sudah mengirimkan tiga unit perahu karet dari Polres Poso," kata Kapolda Sulteng.

Menurut Kapolda, pihaknya mengalami kesulitan untuk evakuasi korban. Pasalnya, selain cuaca yang terus berubah-ubah, juga faktor medan yang sulit dijangkau serta minimnya fasilitas yang dimiliki polres terdekat seperti Morowali, Poso dan Banggai.

"Anda bayangkan aja, dari Polres Morowali ke lokasi kejadian saja, harus ditempuh sampai delapan jam perjalanan. Itu pun harus dengan menggunakan speed boat. Itulah yang menyulitkan anggota kami bertindak cepat mengevakuasi korban," kata Kapolda Badrodin Haiti.

Tiga bulan lali, ada delapan desa di Kabupaten Morowali, yakni Desa Bunta, Tompira, Togo Trans, Sampalowo, Bone Pute, Tiu, Moleono dan Desa Koro Matantu juga pernah dilanda banjir. Saat itu, lebih 1000 rumah penduduk terendam air, ratusan hektar lahan persawahan siap panen dan kebun jagung, kebun sayuran dan kebun kakao milik warga juga terendam. Bahkan, jalur transportasi pun terputus. Untuk dapat menjangkau delapan desa tersebut, orang terpaksa menggunakan rakit bambu yang dibuat warga.

Di sekitar kawasan itu, memang terdapat banyak perusahaan pemegang Izin Pengolahan Kayu (IPK) yang melakukan penebangan hutan. Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulteng, saat ini terdapat sedikitnya 15 pemilik IPK, salah satunya adalah CV Karya Utama yang beroperasi di wilayah Desa Tiu, Sampalowo dan Desa Mulyono di Kecamatan Petasia. Izin itu diberikan oleh Bupati dengan nomor 522.21/SK.0313/Dishut/2005.***

Tuesday, July 24, 2007

Langgar Kesepakatan, Warga Dongi-Dongi Harus Direlokasi




Ruslan Sangadji

Pihak DPRD Sulawesi Tengah menyatakan, warga Dongi-Dongi atau Ngata Katuwua (Kampung Kemerdekaan) di kawasan Taman Nasional Lore Lindu telah melanggar kesepakatan dengan lembaga yang telah mengadvokasi mereka dan pemerintah, sehingga mereka harus direlokasi ke wilayah yang lebih baik.

Kesepakatan yang sudah dilanggar itu antara lain, tidak boleh menambah luasan kawasan yang dirambah, tidak boleh merambah wilayah daerah aliran sungai (DAS), tidak boleh menebang kayu berdiameter di bawah dari 40 CM dan tidak boleh memindahtangankan areal kebun kepada orang lain.

"Bahwa luas areal yang dirambah hanya boleh sampai 4000 hektar, tapi yang terjadi sekarang, warga Dongi-Dongi telah menambah luasan areal, bahkan menjual sebagian lokasi kepada pihak luar. Itu sangat berbahaya bagi kelestarian Taman Nasional Lore Lindu," kata Muharram Nurdin, ketua Komisi Pembangunan DPRD Sulteng kepada The Jakarta Post, Jumat (20/7) malam.

Hanya saja, menurut Muharram Nurdin, sampai kini wacana Gubernur Sulawesi Tengah, Bandjela Paliudju belum merealisasikan rencana relokasi itu, padahal, pertemuan demi pertemuan untuk membicarakan soal itu telah beberapa kali dilakukan.

Ketidaktegasan Gubernur Paliudju, kata Muharram Nurdin, justru membuat warga berada dalam ketidakpastian. Mereka dibayang-bayangi ketakutan, tidak diberikan kepastian akan hak mereka, juga kepastian untuk hidup tenang dan banyak ketidakpastian lainnya

"Sikap Gubernur Sulteng itu, justru telah melanggar HAM. Makanya sekarang kita sedang menjajaki untuk memberikan interpelasi kepada Gubernur Sulteng," kata Muharram Nurdin.

Memang, kata politisi muda Sulteng ini, untuk merelokasi warga Dongi-Dongi, tidaklah semudah membalik telapak tangan, tapi persoalannya adalah karena Gubernur Bandjela Paliudju selalu menggantung masalah dan mengganggap mudah semua urusan, akibatnya banyak kebijakannya yang tidak bisa berjalan maksimal.

Tidak hanya itu, kata Muharram Nurdin, untuk merelokasi warga di Ngata Katuwua, membutuhkan anggaran sedikitnya Rp 75 miliar. Anggaran sebesar itu, digunakan untuk pembangunan fasilitas rumah sederhana, kesehatan, sekolah dasar satu atap, pasar tradisional, fasilitas ibadah.

"Itu belum termasuk pembangunan jalan dan biaya hidup warga selama setahun sebelum mereka berproduksi. Jika semua fasilitas dibangun ditambah biaya hidup, diperkirakan anggaran yang dibutuhkan sebesar Rp 100 miliar," tegasnya.

Gubernur Sulawesi Tengah yang dikonfirmasi terpisah mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan penelitian di beberapa lokasi yang dianggap layak untuk merelokasi warga Dongi-Dongi itu. Antara lain lokasi yang sudah dianggap layak adalah di Banawa Selatan, Kabupaten Donggala.

"Tapi kita masih harus mengkaji lagi soal kelayakan dan banyak hal lainnya. Tapi yang pasti bahwa warga Dongi-Dongi harus dipindahkan," kata Gubernur Sulteng yang dikonfirmasi, Sabtu (21/7) siang.

Agussalim Faisal Said, aktivis lingkungan yang juga mengadvokasi warga Dongi-Dongi mengatakan, tidak ada alasan lain bagi pemerintah daerah untuk merelokasi warga setempat. Pasalnya, semua warga berhak atas setiap lahan untuk mempertahankan hidup mereka.

Menurut Agussalim Faisal Said, alasan masuknya warga luar ke Dongi-Dongi dan membangun pemukiman di situ, karena ada kebijakan pemerintah sebelumnya yang telah merugikan mereka. "Mereka telah dibohongi oleh pemerintah, sehingga jangan salahkan mereka kalau akhirnya mereka masuk ke kawasan itu dan membangun pemukiman baru, " tegas Agussalim Faisal Said.

Untuk diketahui, warga yang merambah dan membangun pemukiman baru di kawasan Taman Nasional itu, karena sebelumnya mereka adalah korban kesalahan kebijakan pemerintah soal transmigrasi lokal tahun 1980-an di Kecamatan Palolo, Kabupaten Donggala.

Ketika itu, pemerintah menjanjikan selain mendapatkan rumah, juga akan mendapatkan lahan usaha seluas satu hektar. Tapi ternyata lahan usaha yang diberikan hanya seluas 0,5 hektar. Akhirnya, seiring bertambahnya populasi penduduk dan desakan hidup makin bertambah, maka pada tahun 1993, sedikitnya 1.030 jiwa warga pun kemudian merambah kawasan Taman Nasional Lore Lindu dan membangun pemukiman baru yang mereka beri nama Ngata Katuwua.

Akhirnya, sepanjang jalan utama dari menuju Taman Nasional Lore Lindu, yang dulunya hutan belantara kini berubah menjadi kawasan pemukiman. Pepohonan yang dulunya rindang, telah berubah menjadi kebun warga. Bahkan, karena telah terjadi penetrasi dari pihak luar, warga setempat sudah berani menebang kayu untuk dijual kepada para cukong kayu asal Palu.

Padahal, kawasan itu menjadi daerah penyangga Kota Palu dan sekitarnya. Tahun 2000 lalu, banjir bandang pun menghantam kawasan di bawah Taman Nasional Lore itu. Beberapa jembatan pun putus karena dibawa banjir, dan kerugian saat itu mencapai Rp 50 miliar. Akankah kita biarkan kerusakan hutan Taman Nasional Lore Lindu itu makin meluas...??? ***

Banjir dan Longsor di Morowali Telah Tewaskan 56 Orang Tewas

Ruslan Sangadji

Banjir dan longsor yang Kabupaten Morowali--sekitar 640 kilometer dari Kota Palu, Ibukota Provinsi Sulawesi Tengah pada Minggu (22/7) sekitar pukul 19.00 Wita lalu, telah menyebabkan 56 orang warga Desa Uweruru, Kecamatan Bungku Utara meninggal dunia.

Hanya saja, pihak kecamatan setempat belum dapat melaporkan secara detail identitas korban yang meninggal akibat tertimbun lumpur itu. Pihak kecamatan hanya menyatakan bahwa sebagian besar korban yang meninggal dunia itu, telah dievakuasi dan telah dikuburkan secara massal di Desa Kolo Bawah di kecamatan itu. Sedangkan sebagian lainnya dilaporkan masih tertimbun lumpur.

Bupati Morowali, Datlin Tamalagi yang dikonfirmasi via telepon satelit menjelaskan, dari 22 Desa di Kecamatan itu, ada 10 desa yang paling parah dilanda banjir, yakni Desa Kalombang, Toranggo, Matube, Tambarone, Uweruru, Saliti, Toklal Tasa, Lesong, Pangkal dan Desa Tirongan. "Tapi hanya desa Uweruru yang dilanda longsor dan menyebabkan lebih 50 orang meninggal dunia, dan sebagian besarnya masih dalam upaya evakuasi," kata Bupati Datlin Tamalagi.

Kapolda SUlawesi Tengah, Brigadir Jenderal Polisi Badordin Haiti mengatakan kondisi lokasi sangat menyulitkan pihak evakuator, baik anggota kepolisian dan TNI serta masyarakat. Pasalnya, selain jarak antara lokasi kejadian dengan Desa Baturube, ibukota Kecamatan Bungku Utara jauh, yakni sekitar 32 kilometer, juga karena kondisi jalan yang susah dilewati karena rusak akibat dilanda banjir itu.

"Karena itulah yang menyebabkan kami kesulitan mengevakuasi dan melakukan penanganan cepat terhadap korban," kata Kapolda Sulteng kepada The Jakarta Post, Selasa (23/7) siang.

Menurut Kapolda Sulteng, salah satu penyebab banyaknya korban tewas itu, karena sebelumnya tersiar kabar bahwa akan terjadi tsunami. Akhirnya warga lari menyelematkan diri ke bukit-bukit sekitar, dan membangun tenda di tempat itu. Tak dinyana, ternyata bukit tempat mereka mengungsi itu longsor dan menimbun mereka. "Akhirnya banyak korban yang tewas," terang Kapolda.

Bupati Morowali menambahkan, saat ini para sebagian besar korban banjir dan longsor telah dievakuasi ke Desa Baturube, ibu Kota Kecamatan Bungku Utara, sementara sebagian lainnya memilih masih terus bertahan di pegunungan.

Menurutnya, sejak peristiwa itu, ia langsung memimpin tim dari pemerintah kabupaten telah berangkat menuju lokasi untuk membawa sejumlah bantuan sembako bagi pengungsi, tapi sampai tadi malam mereka belum berhasil mencapai lokasi.

Penyebab tidak berhasil sampai lokasi, katanya, karena faktor alam dan kondisi jalan yang sangat berat (banyam yang rusaak) juga karena beberapa jembatan telah hanyut dibawa banjir.

"Kami berusaha membawa bantuan sembako dan obat-obatan melalui jalur laut, tapi itu juga sangat sulit karena gelombang masih sangat tinggi," urai Bupati Datlin Tamalagi.

Akhirnya, kata Bupati saat ini selain berpasrah dsiri pda Tuhan, pihaknya akan terus berusaha dengan cara apa pun demi menyelematkan para korban musibah banjir dan tanah longsor itu.

"Kami sudah menyiapkan satu kapal, tapi kami juga berharap ada yang bisa membantu angkutan laut yang baik, agar kami bisa segera membawa bantuan ini. Kasihan warga di sana," kata Bupati dengan suara terbata-bata.

Akibat terlambatnya bantuan itu, dilaporkan bahwa saat ini para pengungsi di Bungku Utara mulai kelaparan, didera penyakit gatal-gatal dan gangguan kesehatan lainnya. Mereka tak bisa berharap banyak, karena memang bantuan belum sampai ke lokasi.

Warga di Kolonodale dan Bungku di Morowali, bergotong royong mengumpulkan sejumlah bantuan bahan makanan, Senin (22/7) malam, telah berhasil terkumpul 500 doz mie instan, pakaian bekas layak pakai dan jutaan uang tunai untuk diberikan kepada para korban.

"Rencananya bantuan ini akan kami bawa dengan kapal yang sudah disiapkan pemerintah daerah," kata Yulmartin Tauwa, salah seorang warga Kolonodale.

Banjir tidak hanya terjadi di Kabupaten Morowali. Di Parigi Moutong pun juga terjadi banjir yang menyebabkan ratusan rumah terendam air. Pun halnya dengan ratusan hektar kebun dan sawah milik warga.

Bupati Parigi Moutong, Longky Djanggola melaporkan, di desa Ogotumubu, Kecamatan Tomini, tercatat ada 200 rumah yang terendam banjir, arus lalu lintas yang melewati jalan Trans Sulawesi juga terganggu. Kondisi itu juga terjadi di Desa Ongka Malino, Kecamatan Bolano Lambunu dan Desa Sidoan di Kecamatan Tinombo.

Sedangkan di Desa Laemanta, Kecamatan Kasimbar, hujan deras disertai angin kencang menyebabkan terjadinya longsor, ada dua tiang listrik dilaporkan tumbang. Namun tidak ada korban jiwa dalam musibah itu.

Lagi-lagi Bupati Parigi Moutong mengingatkan warganya untuk terus menjaga kelestarian alam dan tidak menebang hutan. Sebab, salah satu penyebab terjadinya banjir ini karena makin seringnya terjadi pembabatan hutan di sekitar pegunungan.

"Kalau kita tidak hentikan pembabatan hutan, musibah yang lebih besar lagi akan menimpa kita. Ini pelajaran bagi kita untuk menyudaho praktik pembatatan hutan itu," kata Longky Djanggola mengingatkan. ***

Monday, July 16, 2007

Seorang Buron Kasus Poso Menyerahkan Diri

Ruslan Sangaji

PALU - Salah seorang buronan kasus kekerasan di Poso dan Palu, Sulawesi Tengah, Haikal alias Bandang (28 tahun), Senin (16/7) pagi, dilaporkan telah menyerahkan diri kepada pihak kepolisian di Poso.

Haikal alias Bandang ini adalah salah seorang yang diduga ikut dalam kasus penembakan Jaksa Ferry Silalahi pada 27 Juni 2004. Haikal itu pernah bersangkutan pernah ditangkap sebelumnya, tapi karena tidak cukup bukti untuk menjeratnya, akhirnya polisi melepasnya kembali.

Haikal, juga pernah ditangkap di Gorontalo. Dia ditangkap waktu itu, karena diduga terkait sejumlah aksi bom di Palu dan Poso.

Sumber di Polres Poso membenarkan penyerahan diri itu, tapi menolak memberikan keterangan lebih lanjut. Salah seorang wartawan di Poso juga mengaku sudah mengetahui adanya penyerahan diri itu, tapi diminta oleh petugas untuk tidak dulu memberitakan soal penyerahan diri itu.

Namun yang pasti, setelah dimintai keterangan di Mapolres Poso, Haikal alias Bandang itu akan segera dibawa ke Mapolda Sulteng untuk diperiksa lebih lanjut.

Kepala Bidang Humas Polda Sulawesi Tengah, Ajun Komisaris Besar Polisi Heddy yang dikonfirmasi wartawan, Senin (16/7) siang, mengaku baru mengetahui penyerahan diri Haikal itu setelah dikonfirmasi wartawan koran ini.

"Saya belum dilapori soal penyerahan diri itu. Nanti saya cek dulu ya....???," katanya.

Sampai berita ini ditulis, juru bicara Polda Sulteng itu mengaku sudah mengontak pihak Detasemen Khusus 88 Anti Teror di Poso. Tapi belum ada jawaban pasti. "Yah kita tunggu saja kalau tersangkanya sudah dibawa ke Polda Sulteng," tandas AKBP Heddy. ***




Dituduh Merambah TNLL, Dua Warga Donggala Ditangkap

Ruslan Sangadji

PALU - Dua warga Desa Sibalaya Utara, Kecamatan Tanambulava, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, Muhammad Saleh (58 tahun) dan Muhammad Idris (36), pekan lalu (10/7) ditangkap petugas gabungan dari Polisi Kehutanan, Polri dan petugas Balai Taman Nasional Lore Lindu. Mereka ditangkap karena dituduh merambah kawasan taman nasional itu. Petugas juga menyita dua bilah golok milik kedua warga tersebut.

Hanya saja, kedua warga tersebut tidak sampai ditahan. Keduanya hanya diperiksa dikantor Balai Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL) di Jalan Muhammad Yamin, Palu, dan dilepas kembali setelah menandatangani berita acara pemeriksaan.

Terungkapnya penangkapan terhadap kedua warga tersebut, setelah pihak keluarga yang didampingi Kepala Desa Sibalaya Utara, Andi Muhammad Kasim (29), melaporkan kesewenang-wenangan petugas yang menangkap kedua warganya itu, di kantor Perwakilan Komnas HAM di Palu, Senin (16/7) pagi.

Menurut Kepala Desa Andi Muhammad Kasim, mereka terpaksa melapor ke Komnas HAM, karena penangkapan itu tidak sesuai prosedur dan dianggap telah melanggar hak hidup warganya, serta korban yang ditangkap tidak dibenarkan memberitahukan kepada pihak keluarga.

"Pihak keluarga harus diberitahukan soal penangkapan itu. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Dibawa begitu saja dan baru kembali ke rumah nanti pukul 11 malam. Kami tahu kalau mereka ditangkap, nanti setelah kembali ke rumah," kata Kepala Desa Andi Muhammad Kasim.

Lantaran itu, pihak Pemerintah Desa Sibalaya Utara dan keluarga merasa keberatan dan menganggap penangkapan itu telah melanggar hak azasi warganya. "Makanya kami datang ke kantor Komnas HAM ini untuk melaporkan kasus itu," kata Kepala Desa Sibalaya Utara itu.

Ny. SUlastri Yaturiah (47)--isti Muhammad Saleh--- kepada wartawan mengatakan, penangkapan terhadap suaminya itu salah alamat. Pasalnya, penangkapan itu justru terjadi saat suaminya hendak menggarap kebunnya.

"Suami saya itu bukan perambah hutan di Taman Nasional Lore Lindu. Suami saya bekerja di kebun yang sudah ada sejak dahulu kala sebelum adanya taman nasional itu. Jadi sebenarnya petugas yang salah, bukan suami saya yang salah," kata Ny Sulastri dengan wajah yang sedih.

Menanggapi kasus itu, Dedy Askari, kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM Sulawesi Tengah mengatakan, pihaknya tidak memiliki kewenangan untuk bertindak atas tindakan yang diduga kesewenang-nangan itu. Namun yang pasti, tambahnya, pihaknya hanya bisa menerima laporan tersebut, kemudian dikaji sisi pelanggaran HAM, kemudian dilaporkan ke Komnas HAM Pusat untuk selanjutnya diplenokan.

"Jadi, kami hanya bisa memberikan rekomendasi saja kepada pihak terkait. Tapi yang pasti, kasus ini akan menjadi salah satu kasus yang akan diperhatikan oleh Komnas HAM," kata Dedy Askari.

KEMBALIKAN HAK ADAT KAMI

Sementara itu, tokoh masyarakat Sibalaya Utara, Bahrun Tandesura (67) mengatakan, lahan yang digarap masyarakat saat ini, bukan milik Balai Taman Nasional Lore Lindu, tapi itu adalah tanah adat. Tanah itu, katanya, merupakan warisan nenek moyang mereka yang sudah digarap sejak lama dan terus menerus secara turun temurun. Mereka sudah berusaha di tanah itu sebelum ditetapkannya kawasan itu sebagai bagian dari Taman Nasional Lore Lindu.


Oleh karena itu, Bahrun Tandesura meminta agar hak-hak adat masyarakat yang diklaim sebagai kawasan taman nasional itu agar segera dikembalikan kepada masyarakat. "Komiu (Anda) bayangkan saja, pal batas taman nasional itu hanya berjarak satu kilometer dari kampung kami. Dengan jarak begitu, bagaimana kami mau berusaha. Padahal jarak kebun kami dari perkampungan hingga lima kilometer," sesal Bahrun Tandesura.

Menurut Bahrun Tandesura, penetapan tapal batas Taman Nasional Lore Lindu dilakukan sejak tahun 1993 silam. Tapi, penetapan itu dilakukan secara sepihak dan tanpa melibatkan masyarakat setempat untuk untuk membicarakannya. Di khawatir, ke depan perkampungan di SIbalaya Utara itu pun akan ditetapkan menjadi salah satu bagian taman nasional, yang pada gilirannya mereka pun akan terusir dari kampungnya sendiri.

"Saya khawatir akan seperti itu. Dan kalau ini yang dilakukan, maka kami tak segan-segan untuk melawan," katanya.

Kepala Desa Sibalaya Utara, Andi Muhammad Kasim mengatakan, jumlah penduduk di desanya itu saat ini mencapai 4 ribu jiwa. Dari jumlah sebanyak itu, 75 persen di antaranya adalah warga miskin yang menggantungkan hidup dengan bertanam jagung dan sayur-sayuran di lahan yang sudah diklaim sebagai taman nasional itu. Padahal, warganya menggarap lahan itu jauh sebelum adanya taman nasional tersebut.

"Jadi, kalau sudah diklaim sebagai taman nasional, ke mana lagi kami harus mencari makan. Dengan begitu maka masyarakat miskin di desa saya itu akan terus miskin. Di mana kepedulian pemerintah yang katanya akan memberdayakan masyarakat miskin," katanya.

Selama ini, kata kepala desa, warganya selalu dituduh sebagai pelaku penebang liar di kawasan taman nasional. Tuduhan itu makin menjadi-jadi, setelah terjadinya banjir tahun 2005 lalu. Padahal, banjir itu terjadi bukan karena warganya yang menebang sembarang, tapi karena penebangan liar yang dilakukan oleh pihak luar yang justru dilindungi oleh petugas.

Kepala Desa Andi Muhammad Kasim mengatakan, karena warganya dituduh sebagai pelaku penebang liar, akhirnya mereka pun melakukan testimoni di kantor desa, bahwa ada empat orang petugas Balai Taman Nasional Lore Lindu yang selama ini selalu menyuruh beberapa pemuda desa untuk mengambil kayu di hutan Sibalaya Utara, selanjutnya dijual kepada cukong-cukong kayu dari Palu.

Keempat petugas Balai Taman Nasional Lore Lindu yang diduga melindungi aksi penebang liar itu adalah Haruna, Sirajuddin dan Fury Kutialu. "Nama-nama ini terungkap pada testimoni warga kepada saya di kantor desa. Warga saya terpaksa mengaku, karena mereka terus-terusan dituduh sebagai perambah dan pelaku ilegal loging," tegas Kepala Desa Sibalaya Utara.

Oleh karena itu, ia meminta agar pihak pemerintah jangan terus mengkambinghitamkan warga Sibalaya Utara, tapi harus mengoreksi para petugasna yang bekerja di lapangan.

Pihak Balai Taman Nasional Lore Lindu yang dikonfirmasi menampik semua tuduhan itu. "Kalau penangkapan warga itu benar, karena memang mereka merambah kawasan hutan taman nasional. Tapi soal membekengi illegal loging itu, semua hanyalah tuduhan tanpa bukti dan alasan," kata Kepala Balai Taman Nasional Lore Lindu, Agus Pryambudhi.

Muhammad Ridha Saleh, deputi Direktur Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) yang juga anggota Komnas HAM terpilih, kepada wartawan (16/7) di Palu mengatakan, Walhi secara nasional akan menyurat khusus kepada pihak berwenang soal kasus tersebut. "Saya akan membawa kasus ini ke Jakarta untuk dibahas secara khusus di Walhi. Petugas tidak boleh sewenang-wenang begitu terhadap warga," katanya.

Selain itu, dia juga meminta kepada warga agar ikut melawan para pelaku ilegal loging. Sebab, dalam praktik yang terjadi selama ini, ada kecenderungan telah terjadi main mata antara para pejabat, petugas di lapangan, pemerintah desa dan warga ikut mendorong terjadinya ilegal loging. "Nah saya minta agar warga punya kesadaran itu sehingga praktik pembalakan liar itu bisa dicegah.

PENDEKATAN ZONASI

Diakui atau tidak telah terjadi tumpang tindik soal tapal batas Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) itu. Pihak Balai TNLL sendiri mengakui bahwa sampai sekarang mereka belum memiliki rumusan yang tegas dan rinci soal pengelolaan taman nasional yang berbasis masyarakat. Yang dimiliki adalah konsep pengembangan berdasarkan sistem zonasi atau mintakat (daerah lingkungan) dengan mempertimbangkan keadaan potensi dan kepentingan konservasi nasional dan internasional.

Konsep zonasi itu terdiri atas zona inti (55.625 ha) di dalam kawasan TNLL yang mutlak dilindungi untuk pelestarian flora, fauna dan ekosistemnya dan hanya bisa dimasuki untuk tujuan pengelolaan dan penelitian. Zona rimba (137.160 ha), diperuntukkan bagi kepentingan pembinaan habitat dan populasi satwa serta kepentingan hidrologi.

Zona ini merupakan kawasan tanpa adanya bangunan/gedung, dapat dimasuki pengunjung secara terbatas dengan berjalan kaki atau berkuda. Lalu ada zona pemanfaatan intensif (7.100 ha) diperuntukkan sebagai lokasi pembangunan sarana/prasarana pengelolaan dan fasilitas penunjang kegiatan wisata alam. Zona pemanfaatan tradisional (18.490 ha) berfungsi menyediakan kebutuhan subsistem bagi penduduk desa sekitar kawasan taman nasional yang tidak dapat menabrak zona penyangga. Zona ini juga berfungsi sebagai daerah penyangga terletak di dalam kawasan taman nasional.

Zona Danau Lindu dan Besoa (10.625 ha) merupakan daerah budi daya dan permukiman penduduk. Kawasan ini diusulkan untuk ditetapkan sebagai daerah enclave (kantong permukiman) dan dikeluarkan dari TNLL. Dan zona penyangga (35.000 ha), zona terakhir yang berada di luar/sekitar kawasan taman nasional berfungsi menyediakan kebutuhan penduduk desa sekitar kawasan dalam jangka panjang.

Taman Nasional Lore Lindu merupakan salah satu lokasi perlindungan hayati Sulawesi. Taman Nasional Lore Lindu terletak sekitar 60 kilometer selatan kota Palu dan terletak antara 119°90’ - 120°16’ di sebelah timur dan 1°8’ - 1°3’ di sebelah selatan.

Kalau dibandingkan dengan taman nasional lain di Indonesia, ukurannya sedang saja, Taman Nasional ini secara resmi meliputi kawasan 217.991.18 ha (sekitar 1.2% wilayah Sulawesi yang luasnya 189.000 km² atau 2.4% dari sisa hutan Sulawesi yakni 90.000 km²)dengan ketinggian bervariasi antara 200 sampai dengan 2.610 meter diatas permukaan laut. Taman Nasional ini sebagian besar terdiri atas hutan pegunungan dan sub-pegunungan (±90%) dan sebagian kecil hutan dataran rendah (±10%).

Taman Nasional Lore Lindu memiliki fauna dan flora endemik Sulawesi serta panorama alam yang menarik karena terletak di garis Wallacea yang merupakan wilayah peralihan antara zona Asia dan Australia. ***



Tuesday, July 03, 2007

Edang, Fokus Pada Kebenaran dan Penegakan Hukum

Ruslan Sangadji

Ia meraih 35 suara dari 42 suara anggota DPR-RI yang diperebutkan dalam seleksi calon anggota Komnas HAM. Saat itulah, hand phonenya tak berhenti berdering, menerima ucapan selamat dari kawan-kawannya.

"Selamat tuaka (kakanda), semoga perjuangan untuk rakyat miskin tak akan berhenti sampai di sini" begitulah salah satu isi short message service yang diterimanya.

Adalah M. Ridha Saleh. Sebelum terpilih sebagai anggota Komnas HAM 2007-2011, pria kelahiran Palu 31 Maret 1970 itu menjabat sebagai Deputi Direktur Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi).

"Menjadi anggota Komnas HAM itu adalah pilihan yang sangat tepat baginya. Apalagi selama ini memang ia selalu berjuang untuk masyarakat yang lemah," kata Dedy Askari, rekan M. Ridha Saleh.

Memang, selama masih tinggal di Palu, Edang--begitu biasanya ia disapa-- memilih mengabdikan dirinya untuk masyarakat kecil nan miskin. Ia harus rela meninggalkan rumahnya berminggu-minggu untuk melayani kaum yang termarginal itu. Edang pun tidur, makan dan beraktivitas bersama mereka.

Alumni Pondok Pesantren Alkhairaat Palu dan Pesantren Darut Tauhid Malang itu bercerita, selama di Palu ia telah melakukan berbagai aktivitas untuk "memerdekakan" kaum tertindas, baik buruh, petani maupun warga korban kebijakan pembangunan.

Memang, di kalangan pemerintah di Sulawesi Tengah, Edang dikenal sangat garang. Ia tak pernah kompromi dengan sebuah kebijakan yang tidak memihak pada rakyat. Kegarangan itu sudah ditunjukkannya sejak ia menjadi mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tadulako Palu yang diselesaikannya tahun 1999.

Aktivitas itulah yang menginspirasi alumni high school di Mesir ini mengabdikan dirinya di sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Palu. Tahun 1982-1994 ketika masih mahasiswa, pria ini justru aktif menjadi volunteer di Yayasan Tanah Merdeka. Di lembaga ini, ia ikut mengadvokasi masyarakat korban rencana pembangunan DAM PLTA Lore Lindu.

Ternyata, Edang tidak hanya garang kalau mengadvokasi masyarakat korban kebijakan. Ia juga terkenal cerdas. Lantaran itulah, ia kemudian dipilih menjadi Kordinator Monitoring BIMP-EAGA, Wilayah Sulawesi Tengah tahun 1995 - 1997. Ia juga Menjadi Kordinator Pertemuan monitoring BIMP-EAGA atas pelanggaran HAM dan dan Dampak kebijakan ekonomi dan lingkungan di Sulawesi.

Tidak hanya itu, mantan Ketua Senat Universitas Tadulako ini juga aktif melakukan pendidikan dan penguatan masyarakat 40 Desa di Sulawesi Tengah dan mendorong terbentuknnya 6 Organisasi rakyat di Komunitas Masyarakat adat, buruh tani dan sektor nelayan Sulawesi Tengah. Semua prestasi itu menjadikan Edang makin dikenal oleh berbagai kalangan di Sulawesi Tengah.

Kemampuan Edang itu tidak hanya diwujudkan dalam pendampingan pada masyarakat, tapi juga diundang sebagai pembicara dalam berbagai seminar dan lokarya. Ia pernah menjadi pembicara dalam lokakarya Nasional Kemiskinan Struktural yang dilaksanakan di Jakarta tahun 2002 lalu. Menulis buka yang berjudul: Dari Insidental ke Perlawanan Terorganisir – Citra Suku-suku di Kamalisi Sulawesi Tengah. Buku lain yang ditulisnya juga adalah "Mereka yang terpinggirkan Studi Kasus Tambang Galian C Di sulawesi Tengah"

Banyak yang sudah dilakukan Edang untuk masyarakat terpinggirkan di Sulawesi Tengah. Kepada The Jakarta Post ia mengatakan, mendampingi masyarakat itu bukan perkara gampang. Selain harus megetahui teori advokasi, yang paling penting dilakukan adalah memahami psikologi masyarakat. "Yang paling penting juga adalah harus memiliki lembaga untuk pendampingan itu," ujarnya.

Karena itulah, M. Ridha Saleh bersama beberapa kawannya, pada 1998 lalu mendirikan Yayasan Pendidikan Rakyat (YPR) Palu dan ia pun dipilih sebagai direktur lembaga itu sampai tahun 2000.

Dari lembaganya itu, Edang pun memilih untuk mengabdikan perjuangannya pada pendampingan masyarakat yang terpinggirkan. Tahun 1999, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah mengeluarkan kebijakan tidak populis, yaitu hendak memindahkan masyarakat adat di Pegunungan Kamalisi.

Edang pun "marah". Ia kemudian mengadvokasi masyarakat yang terkena proyek pemindahan itu, akhirnya mereka pun batal dipindahkan. Tidak hanya itu, hak adat masyarakat setempat pun diakui oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah.

Tapi, semua yang dilakukannya itu bukan tanpa resiko. Menrutnya, hampir setiap saat itu menerima teror dari pihak-pihak yang merasa dirugikan atas batalnya proyek pemindahan itu. Teror itu tidak hanya melalui telepon, peneror juga datang ke rumahnya dan mengancam akan menghabisi nyawanya.

"Para peneror datang ke rumah saya dan mengancam mau membunuh saya. Saya hanya katakan pada mereka bahwa saya tidak takut mati. Kalau saya mati karena membela yang lemah, sama artinya saya mati syahid," kata M. Ridha Saleh.

Sikap berani, tak mengenal lelah dan cerdas itu, akhirnya mengantar ayah satu anak ini terpilih menjadi anggota Komnas HAM periode 2007-2011. Ia terpilih dengan suara terbanyak pada vooting anggota DPR-RI yang melakukan fit and propertest itu.

"Syukurlah, kalau dulu saya berjuang di jalur informal, sekarang saya dapat berjuang melalui jalur formal. Oleh Karena itu, menurut Ridha Saleh bahwa lagkah pertama yang akan dilakukannya setelah dilantik menjadi anggota Komnas HAM pada Agustus 2007 nanti, ia akan berusaha memperbaiki kinerja Komnas HAM.

"Saya juga akan memfokuskan diri pada pencarian kebenaran dan penegakan hukum yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Saya juga akan fokus pada perbaikan kinerja Komnas HAM," tandas M. Ridha Saleh.***

Situs Megalith, Lokasi Wisata yang Terbiar

Ruslan Sangadji

Taman Nasional Lore Lindu tidak hanya kaya akan flora dan fauna, tapi juga menyimpan sejumlah peninggalan zaman pra sejarah. Di kawasan ini, banyak sekali ditemukan patung megalith yang berdasarkan hasil penelitian, usianya diperkirakan 2000 tahun.

Patung-patung megalith ini, awalnya ditemukan oleh misionaris pertama di Sulteng asal Belanda bernama A.C Kruyt. Sayangnya, patung megalith yang telah menjadi salah satu tempat kunjungan wisata itu, terkesan terbiar begitu saja.

Padahal, sejauh mata memandang, terlihat begitu banyak patung-patung yang tertata rapi, seakan mau mengatakan bahwa nenek moyang bangsa kita memiliki kemampuan arsitek yang sulit ditemukan tandingannya di zaman sekarang.

Salah satu lokasi penyebaran patung-patung megalith itu terletak di Desa Doda, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Jaraknya sekitar 350 kilometer ke arah selatan Kota Palu. Daerahnya sangat dingin, suhunya berkisar antara 10 derajat celcius sampai 14 celcius.

Pihak Museum Sulawesi Tengah telah memberi nama sejumlah patung megalith di kampung ini. Salah satu patung megalith yang berdiri sendiri misalnya, dinamai Tadulako yang berarti pemimpin. Tingginya sekitar 170 centimeter. Patung itu berukiran orang. Mungkin saja pembuatnya hendak menggambarkan bahwa begitulah pemimpin di masa zaman pra sejarah itu.

Untuk menuju patung Tadulako itu, kita harus berjalan kaki dari jalan utama sekitar 2 kilometer dengan melewati persawahan. The Jakarta Post yang mengikuti rombongan The Nature Conservancy (TNC) pun harus bermandikan becek karena saat itu baru saja turun hujan.

Sekitar 30 meter dari patung Tadulako ditemukan lagi beberapa situs megalith lain yang diberi nama Kalamba atau perahu, batu yang tengahnya bolong. Tidak hanya di situ, sekitar 5 kilometer dari situ, masih banyak ditemukan situs-situs megalith serupa.

Situs ini disebut juga dengan menhir, yakni bangunan yang berupa tugu batu yang didirikan untuk upacara menghormati roh nenek moyang, sehingga bentuk menhir ada yang berdiri tunggal dan ada yang berkelompok serta ada pula yang dibuat bersama bangunan lain yaitu seperti punden berundak-undak.

Iskam Djorimi, petugas Museum Sulawesi Tengah, mengatakan patung Tadulako dan kalamba disebut sebagai situs pemujaan atai dolmen (kuburan). "Situs ini mengartikan bahwa status sosial masyarakat yang dikuburkan di sini sangat tinggi. Yah, kayak raja-raja pada masa itu," kata Iskam Djorimi.

Menurut Iskam Djorimi, untuk membuktikan kalau di situs ini adalah dolmen, pada Mei 2007 lalu, pihaknya melakukan penggalian dan ditemukan tulang belulang, kerangka manusia. Juga ditemukanperalatan rumah tangga, gelas perak, kalung perak dan pedang.

Tidak hanya itu, pernah waktu penggalian dengan kedalaman 200meter dekat situs itu, ditemukan serbuk sari. Menurut Iska, Djorimi, diduga pada 200o tahun lalu itu, kawasan itu sudah pernah diokupasi.

Penggalian pertama kali dilakukan tahun 1903. Saat itu banyak sekali ditemukan emas. "Semua emas hasil galian di sekitar situs itu, kini disimpan di Museum Leiden Belanda," kata Iskam Djorimi.

Menurutnya, di Museum Leiden Belanda itu, terdapat sekitar 60 ribu artefak Sulawesi, termasuk dari Sulawesi Tengah. Sedangkan di Museum Sulawesi Tengah sendiri hanya menyimpan sekitar 10 ribu artefak.

Bukan hanya di Doda, Kecamatan Lore Tengah, Poso saja yang ada situs-situs tersebut. Situs menhir itu tersebar di beberapa wilayah seperti di Desa Tulo, Kulawi, Pipikiro dan Bangga di Kabupaten Donggala. Juga di Bada, Pendolo, Lore Selatan dan Lore Utara di Kabupaten Poso.

Sayangnya, situs tua yang sarat akan makna sejarah itu, terkesan terbiar begitu saja. Tidak ada pemeliharaan yang baik. Akibat tidak terpelihara itu, dua bulan lalu sempat ada beberapa oknum yang mengatasnamakan keluarga pejabat di Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah hendak mencurinya dengan alasan akan dibawa ke Palu untuk dipelihara.

Untung saja, niat jelek itu berhasil dihalangi sejumlah pihak, sehingga yang bersangkutan tidak jadi mengambil patung-patung megalith itu. Tidak hanya itu, tahun 2005 lalu, pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulawesi Tengah, bahkan tidak punya dana untuk pemeliharaan situs-situs tersebut.

Niel Makinuddin, program Manager The Nature Conservancy, mengatakan jika situs-situs itu memberikan banyak pelajaran masa lalu. Situs itu hendak mengatakan soal dari mana kita berasal dan hendak ke mana ke depan.

"Jadi, sangat disayangkan kalau situs-situs sejarah seperti itu terkesan tak terurus," tandasnya. ***