Tuesday, July 31, 2007

Akibat Banjir, Lebih 10 Hektar Kebun Kakao Masyarakat Hancur


Ruslan Sangadji

PALU -Banjir yang melanda Kabupaten Morowali, Parigi Moutong, Tojo Una dan Banggai, mengakibatkan sedikitnya 10 ribu dari total luas kebun kakao Sulteng sebesar 92.571 hektar milik warga rusak.

Padahal, seharusnya saat ini para petani sedang melakukan panen dari kebun mereka. Akibatnya, kerugian mencapai hingga Rp 120 miliar dengan asumsi produksi 1 ton per hektar dengan nilai jual sebesar Rp 12 juta per ton.

Herman Agan, ketua Asosiasi Eksportir Kakao Indonesia (Askidno) Cabang Sulawesi Tengah kepada Jurnal Nasional, Selasa (31/7) mengatakan, akibat kerusakan kebun kakao itu, secara otomatis berdampak pada produksi kakao secara nasional, karena Sulawesi Tengah termasuk salah satu daerah terbesar sebagai pemasok kakao secara nasional.

Lantaran itu, pihak Askindo Sulteng telah meminta sedikitnya 500 ribu bibit pohon kakao melalui Menteri Pertanian. Bibit akan dibagikan kepada petani kakao secara cuma-cuma, agar mereka bisa mengganti kembali kakao mereka yang rusak akibat banjir itu.

"Kita berharap agar Menteri Pertanian dapat merealisasikan permintaan kami itu. Untuk distribusi kepada petani, itu akan dilakukan dengan dana swadaya dari Askindo Sulteng bekerjasama dengan Gabungan Petani Kakao Seluruh Indonesia (Gapkasi) Sulteng," kata Herman Agan.

Menurut Herman Agan, sebenarnya bibir pohon kakao sebanyak 500 ribu pohon itu tidaklah cukup, karena dalam setiap hektar, pohon kakao yang ditanam rata-rata 1000 pohon. Artinya petani Sulteng membutuhkan sebanyak 10 juta bibit pohon kakao. "Tapi utuk sementara ini, kita usahakan dulu 500 ribu pohon, selebihnya akan dilakukan pembibitan sendiri oleh petani," kata Agan.

Seperti diberitakan sebelumnya, Kakao Sulawesi (celebes cacao) termasuk yang sangat diperhitungkan di tingkat dunia. Bahkan, dalam kacamata pasar kakao dunia, Kakao Sulawesi (celebes cacao) telah memiliki brand image sebagai salah satu penyumbang biji kakao terbesar di dunia. Hanya saja, masih terbentur pada kualitas dan mutu kakao.

Dalam catatan Asosiasi Eksportir Kakao Indonesia (Askindo) Sulawesi Tengah, tahun 2005 lalu, ekspor kakao dari daerah ini mencapai sekitar 121 ribu ton, atau lebih Rp 1 triliun. Itu jika diasumsikan dengan nilai transaksi harga ekspor 1.650 dolar per ton. Sedangkan tahun tahun 2003 tercatat sebesar 83.780 ton, pada tahun 2004 meningkat lagi menjadi 109.0834,83 ton. Ini menunjukkan bahwa ekspor kakao Sulteng setiap tahun terus meningkat.

Dari total produksi itu, 8o persen di antaranya berasal dari kebun kakao masyarakat. "Kita di Sulteng belum memiliki perkebunan besar milik investor. Yang ada hanya milik petani. Jadi kalau ii dibiarkan, maka sama artinya dengan kita membiarkan adanya kemiskinan di masyarakat pasca banjir," kata Herman Agan.

Luas kebun kakao milik masyarakat terus bertambah setiap tahunnya. Data Askindo menyebutkan tahun 2001 , luas lahan kakao milik masyarakat tercatat seluas 83.731 hektar, meningkat lagi tahun menjadi 85.500 hektar pada tahun 2002, 87.267 hektar (2003), 90.803 hektar (2004-2--5) dan tahun 2006 mencapai 92.571 hektar. Areal perkebunan kakao banyak terdapat di Kabupaten Donggala, Parigi Moutong, Poso, Morowali, Tojo Unauna, Buol, Tolitoli, Banggai, dan Banggai Kepulauan.

EVAKUASI KORBAN BANJIR TERUS DILAKUKAN

Sementara itu, dari Morowali dilaporkan, upaya pencarian korban banjir dan longsor di Kabupaten Morowali terus dilakukan. Pencarian tidak hanya dilakukan di darat atau dengan menggali lumpur bekas longsor, tapi juga dari udara dengan menggunakan helikopter.

Sedangkan alat berat yang diharapkan dapat menggali sisa-sisa longsoran, baru bisa tiba di Desa Ueruru, Kecamatan Bungku Utara pada Selasa (31/7) pagi. Itu pun menurut Gubernur Sulteng, Bandjela Paliudju, baru satu unit yang bisa dibawa ke Ueruru, sementara empat kendaraan berat lainnya masih tetap berada di Baturube, ibukota Kecamatan Bungku Utara.

Sementara itu, dari Poso dilaporkan bahwa Selasa (31/7) pagi, Camat Soyo Jaya, Kabupaten Morowali, M. Gufran mendatangi Posko Peduli Banjir Morowali di kapmus Universitas Sintuwu Maroso di Poso untuk meminta bantuan bahan makanan bagi sekitar seribu orang warganya yang saat ini mengungsi di pegunungan. Seribu warga tersebut, berasal dari Desa Malino dan Desa Panca Makmur.

"Selama sepekan ini mereka belum tersenuth bantuan makanan sedikit pun dari pemerintah," kata Camat M. Gufran kepada Jurnal Nasional, Kamis siang melalui telepon.

Menurut Camat Soyo Jaya ini, ia tidak melaporkan masalah ini ke Posko Induk Satkorlak di Kolonodale, Kecamatan Petasia, karena akses jalan ke wilayah itu tidak dapat dijangkau. Pasalnya, sepanjang 9 kilometer jalan dari daerahnya menuju Kolonodale putus total.

Mengenai jumlah korban, hingga kini masih tercatat 72 orang, sedangkan jumlah pengungsi menurut data Satkorlak Penanggulan Bencana Sulteng, saat ini mencapai 378 orang di Baturube, 48 orang dirawat di Rumah Sakit Umum Kolonodale karena luka parah.

Kemudian, masih terdapat sekitar 755 orang di Kecamatan Bungku Utara masih terisolir. Mereka ini hanya dapat dievakuasi melalui udara, karena tidak adanya akses jalan menuju lokasi. Para pengungsi itu terdapat di Desa Salubiro (330 jiwa), Makota (330), Uempanapa (100) dan Desa Wata 75 orang. Rumah penduduk yg rusak berat dan ringan yang baru terdata sebanyak 198 unit. Dan kerugian saat ini mencapai Rp 600 miliar. Jalan yang rusak akibat banjir diperkirakan sekitar 150 kilometer dan tiga jembatan konstruksi beton dan baja juga rusak total.***

Yahoo! oneSearch:

No comments: