Tuesday, July 03, 2007

Edang, Fokus Pada Kebenaran dan Penegakan Hukum

Ruslan Sangadji

Ia meraih 35 suara dari 42 suara anggota DPR-RI yang diperebutkan dalam seleksi calon anggota Komnas HAM. Saat itulah, hand phonenya tak berhenti berdering, menerima ucapan selamat dari kawan-kawannya.

"Selamat tuaka (kakanda), semoga perjuangan untuk rakyat miskin tak akan berhenti sampai di sini" begitulah salah satu isi short message service yang diterimanya.

Adalah M. Ridha Saleh. Sebelum terpilih sebagai anggota Komnas HAM 2007-2011, pria kelahiran Palu 31 Maret 1970 itu menjabat sebagai Deputi Direktur Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi).

"Menjadi anggota Komnas HAM itu adalah pilihan yang sangat tepat baginya. Apalagi selama ini memang ia selalu berjuang untuk masyarakat yang lemah," kata Dedy Askari, rekan M. Ridha Saleh.

Memang, selama masih tinggal di Palu, Edang--begitu biasanya ia disapa-- memilih mengabdikan dirinya untuk masyarakat kecil nan miskin. Ia harus rela meninggalkan rumahnya berminggu-minggu untuk melayani kaum yang termarginal itu. Edang pun tidur, makan dan beraktivitas bersama mereka.

Alumni Pondok Pesantren Alkhairaat Palu dan Pesantren Darut Tauhid Malang itu bercerita, selama di Palu ia telah melakukan berbagai aktivitas untuk "memerdekakan" kaum tertindas, baik buruh, petani maupun warga korban kebijakan pembangunan.

Memang, di kalangan pemerintah di Sulawesi Tengah, Edang dikenal sangat garang. Ia tak pernah kompromi dengan sebuah kebijakan yang tidak memihak pada rakyat. Kegarangan itu sudah ditunjukkannya sejak ia menjadi mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tadulako Palu yang diselesaikannya tahun 1999.

Aktivitas itulah yang menginspirasi alumni high school di Mesir ini mengabdikan dirinya di sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Palu. Tahun 1982-1994 ketika masih mahasiswa, pria ini justru aktif menjadi volunteer di Yayasan Tanah Merdeka. Di lembaga ini, ia ikut mengadvokasi masyarakat korban rencana pembangunan DAM PLTA Lore Lindu.

Ternyata, Edang tidak hanya garang kalau mengadvokasi masyarakat korban kebijakan. Ia juga terkenal cerdas. Lantaran itulah, ia kemudian dipilih menjadi Kordinator Monitoring BIMP-EAGA, Wilayah Sulawesi Tengah tahun 1995 - 1997. Ia juga Menjadi Kordinator Pertemuan monitoring BIMP-EAGA atas pelanggaran HAM dan dan Dampak kebijakan ekonomi dan lingkungan di Sulawesi.

Tidak hanya itu, mantan Ketua Senat Universitas Tadulako ini juga aktif melakukan pendidikan dan penguatan masyarakat 40 Desa di Sulawesi Tengah dan mendorong terbentuknnya 6 Organisasi rakyat di Komunitas Masyarakat adat, buruh tani dan sektor nelayan Sulawesi Tengah. Semua prestasi itu menjadikan Edang makin dikenal oleh berbagai kalangan di Sulawesi Tengah.

Kemampuan Edang itu tidak hanya diwujudkan dalam pendampingan pada masyarakat, tapi juga diundang sebagai pembicara dalam berbagai seminar dan lokarya. Ia pernah menjadi pembicara dalam lokakarya Nasional Kemiskinan Struktural yang dilaksanakan di Jakarta tahun 2002 lalu. Menulis buka yang berjudul: Dari Insidental ke Perlawanan Terorganisir – Citra Suku-suku di Kamalisi Sulawesi Tengah. Buku lain yang ditulisnya juga adalah "Mereka yang terpinggirkan Studi Kasus Tambang Galian C Di sulawesi Tengah"

Banyak yang sudah dilakukan Edang untuk masyarakat terpinggirkan di Sulawesi Tengah. Kepada The Jakarta Post ia mengatakan, mendampingi masyarakat itu bukan perkara gampang. Selain harus megetahui teori advokasi, yang paling penting dilakukan adalah memahami psikologi masyarakat. "Yang paling penting juga adalah harus memiliki lembaga untuk pendampingan itu," ujarnya.

Karena itulah, M. Ridha Saleh bersama beberapa kawannya, pada 1998 lalu mendirikan Yayasan Pendidikan Rakyat (YPR) Palu dan ia pun dipilih sebagai direktur lembaga itu sampai tahun 2000.

Dari lembaganya itu, Edang pun memilih untuk mengabdikan perjuangannya pada pendampingan masyarakat yang terpinggirkan. Tahun 1999, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah mengeluarkan kebijakan tidak populis, yaitu hendak memindahkan masyarakat adat di Pegunungan Kamalisi.

Edang pun "marah". Ia kemudian mengadvokasi masyarakat yang terkena proyek pemindahan itu, akhirnya mereka pun batal dipindahkan. Tidak hanya itu, hak adat masyarakat setempat pun diakui oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah.

Tapi, semua yang dilakukannya itu bukan tanpa resiko. Menrutnya, hampir setiap saat itu menerima teror dari pihak-pihak yang merasa dirugikan atas batalnya proyek pemindahan itu. Teror itu tidak hanya melalui telepon, peneror juga datang ke rumahnya dan mengancam akan menghabisi nyawanya.

"Para peneror datang ke rumah saya dan mengancam mau membunuh saya. Saya hanya katakan pada mereka bahwa saya tidak takut mati. Kalau saya mati karena membela yang lemah, sama artinya saya mati syahid," kata M. Ridha Saleh.

Sikap berani, tak mengenal lelah dan cerdas itu, akhirnya mengantar ayah satu anak ini terpilih menjadi anggota Komnas HAM periode 2007-2011. Ia terpilih dengan suara terbanyak pada vooting anggota DPR-RI yang melakukan fit and propertest itu.

"Syukurlah, kalau dulu saya berjuang di jalur informal, sekarang saya dapat berjuang melalui jalur formal. Oleh Karena itu, menurut Ridha Saleh bahwa lagkah pertama yang akan dilakukannya setelah dilantik menjadi anggota Komnas HAM pada Agustus 2007 nanti, ia akan berusaha memperbaiki kinerja Komnas HAM.

"Saya juga akan memfokuskan diri pada pencarian kebenaran dan penegakan hukum yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Saya juga akan fokus pada perbaikan kinerja Komnas HAM," tandas M. Ridha Saleh.***

No comments: