Monday, July 16, 2007

Dituduh Merambah TNLL, Dua Warga Donggala Ditangkap

Ruslan Sangadji

PALU - Dua warga Desa Sibalaya Utara, Kecamatan Tanambulava, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, Muhammad Saleh (58 tahun) dan Muhammad Idris (36), pekan lalu (10/7) ditangkap petugas gabungan dari Polisi Kehutanan, Polri dan petugas Balai Taman Nasional Lore Lindu. Mereka ditangkap karena dituduh merambah kawasan taman nasional itu. Petugas juga menyita dua bilah golok milik kedua warga tersebut.

Hanya saja, kedua warga tersebut tidak sampai ditahan. Keduanya hanya diperiksa dikantor Balai Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL) di Jalan Muhammad Yamin, Palu, dan dilepas kembali setelah menandatangani berita acara pemeriksaan.

Terungkapnya penangkapan terhadap kedua warga tersebut, setelah pihak keluarga yang didampingi Kepala Desa Sibalaya Utara, Andi Muhammad Kasim (29), melaporkan kesewenang-wenangan petugas yang menangkap kedua warganya itu, di kantor Perwakilan Komnas HAM di Palu, Senin (16/7) pagi.

Menurut Kepala Desa Andi Muhammad Kasim, mereka terpaksa melapor ke Komnas HAM, karena penangkapan itu tidak sesuai prosedur dan dianggap telah melanggar hak hidup warganya, serta korban yang ditangkap tidak dibenarkan memberitahukan kepada pihak keluarga.

"Pihak keluarga harus diberitahukan soal penangkapan itu. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Dibawa begitu saja dan baru kembali ke rumah nanti pukul 11 malam. Kami tahu kalau mereka ditangkap, nanti setelah kembali ke rumah," kata Kepala Desa Andi Muhammad Kasim.

Lantaran itu, pihak Pemerintah Desa Sibalaya Utara dan keluarga merasa keberatan dan menganggap penangkapan itu telah melanggar hak azasi warganya. "Makanya kami datang ke kantor Komnas HAM ini untuk melaporkan kasus itu," kata Kepala Desa Sibalaya Utara itu.

Ny. SUlastri Yaturiah (47)--isti Muhammad Saleh--- kepada wartawan mengatakan, penangkapan terhadap suaminya itu salah alamat. Pasalnya, penangkapan itu justru terjadi saat suaminya hendak menggarap kebunnya.

"Suami saya itu bukan perambah hutan di Taman Nasional Lore Lindu. Suami saya bekerja di kebun yang sudah ada sejak dahulu kala sebelum adanya taman nasional itu. Jadi sebenarnya petugas yang salah, bukan suami saya yang salah," kata Ny Sulastri dengan wajah yang sedih.

Menanggapi kasus itu, Dedy Askari, kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM Sulawesi Tengah mengatakan, pihaknya tidak memiliki kewenangan untuk bertindak atas tindakan yang diduga kesewenang-nangan itu. Namun yang pasti, tambahnya, pihaknya hanya bisa menerima laporan tersebut, kemudian dikaji sisi pelanggaran HAM, kemudian dilaporkan ke Komnas HAM Pusat untuk selanjutnya diplenokan.

"Jadi, kami hanya bisa memberikan rekomendasi saja kepada pihak terkait. Tapi yang pasti, kasus ini akan menjadi salah satu kasus yang akan diperhatikan oleh Komnas HAM," kata Dedy Askari.

KEMBALIKAN HAK ADAT KAMI

Sementara itu, tokoh masyarakat Sibalaya Utara, Bahrun Tandesura (67) mengatakan, lahan yang digarap masyarakat saat ini, bukan milik Balai Taman Nasional Lore Lindu, tapi itu adalah tanah adat. Tanah itu, katanya, merupakan warisan nenek moyang mereka yang sudah digarap sejak lama dan terus menerus secara turun temurun. Mereka sudah berusaha di tanah itu sebelum ditetapkannya kawasan itu sebagai bagian dari Taman Nasional Lore Lindu.


Oleh karena itu, Bahrun Tandesura meminta agar hak-hak adat masyarakat yang diklaim sebagai kawasan taman nasional itu agar segera dikembalikan kepada masyarakat. "Komiu (Anda) bayangkan saja, pal batas taman nasional itu hanya berjarak satu kilometer dari kampung kami. Dengan jarak begitu, bagaimana kami mau berusaha. Padahal jarak kebun kami dari perkampungan hingga lima kilometer," sesal Bahrun Tandesura.

Menurut Bahrun Tandesura, penetapan tapal batas Taman Nasional Lore Lindu dilakukan sejak tahun 1993 silam. Tapi, penetapan itu dilakukan secara sepihak dan tanpa melibatkan masyarakat setempat untuk untuk membicarakannya. Di khawatir, ke depan perkampungan di SIbalaya Utara itu pun akan ditetapkan menjadi salah satu bagian taman nasional, yang pada gilirannya mereka pun akan terusir dari kampungnya sendiri.

"Saya khawatir akan seperti itu. Dan kalau ini yang dilakukan, maka kami tak segan-segan untuk melawan," katanya.

Kepala Desa Sibalaya Utara, Andi Muhammad Kasim mengatakan, jumlah penduduk di desanya itu saat ini mencapai 4 ribu jiwa. Dari jumlah sebanyak itu, 75 persen di antaranya adalah warga miskin yang menggantungkan hidup dengan bertanam jagung dan sayur-sayuran di lahan yang sudah diklaim sebagai taman nasional itu. Padahal, warganya menggarap lahan itu jauh sebelum adanya taman nasional tersebut.

"Jadi, kalau sudah diklaim sebagai taman nasional, ke mana lagi kami harus mencari makan. Dengan begitu maka masyarakat miskin di desa saya itu akan terus miskin. Di mana kepedulian pemerintah yang katanya akan memberdayakan masyarakat miskin," katanya.

Selama ini, kata kepala desa, warganya selalu dituduh sebagai pelaku penebang liar di kawasan taman nasional. Tuduhan itu makin menjadi-jadi, setelah terjadinya banjir tahun 2005 lalu. Padahal, banjir itu terjadi bukan karena warganya yang menebang sembarang, tapi karena penebangan liar yang dilakukan oleh pihak luar yang justru dilindungi oleh petugas.

Kepala Desa Andi Muhammad Kasim mengatakan, karena warganya dituduh sebagai pelaku penebang liar, akhirnya mereka pun melakukan testimoni di kantor desa, bahwa ada empat orang petugas Balai Taman Nasional Lore Lindu yang selama ini selalu menyuruh beberapa pemuda desa untuk mengambil kayu di hutan Sibalaya Utara, selanjutnya dijual kepada cukong-cukong kayu dari Palu.

Keempat petugas Balai Taman Nasional Lore Lindu yang diduga melindungi aksi penebang liar itu adalah Haruna, Sirajuddin dan Fury Kutialu. "Nama-nama ini terungkap pada testimoni warga kepada saya di kantor desa. Warga saya terpaksa mengaku, karena mereka terus-terusan dituduh sebagai perambah dan pelaku ilegal loging," tegas Kepala Desa Sibalaya Utara.

Oleh karena itu, ia meminta agar pihak pemerintah jangan terus mengkambinghitamkan warga Sibalaya Utara, tapi harus mengoreksi para petugasna yang bekerja di lapangan.

Pihak Balai Taman Nasional Lore Lindu yang dikonfirmasi menampik semua tuduhan itu. "Kalau penangkapan warga itu benar, karena memang mereka merambah kawasan hutan taman nasional. Tapi soal membekengi illegal loging itu, semua hanyalah tuduhan tanpa bukti dan alasan," kata Kepala Balai Taman Nasional Lore Lindu, Agus Pryambudhi.

Muhammad Ridha Saleh, deputi Direktur Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) yang juga anggota Komnas HAM terpilih, kepada wartawan (16/7) di Palu mengatakan, Walhi secara nasional akan menyurat khusus kepada pihak berwenang soal kasus tersebut. "Saya akan membawa kasus ini ke Jakarta untuk dibahas secara khusus di Walhi. Petugas tidak boleh sewenang-wenang begitu terhadap warga," katanya.

Selain itu, dia juga meminta kepada warga agar ikut melawan para pelaku ilegal loging. Sebab, dalam praktik yang terjadi selama ini, ada kecenderungan telah terjadi main mata antara para pejabat, petugas di lapangan, pemerintah desa dan warga ikut mendorong terjadinya ilegal loging. "Nah saya minta agar warga punya kesadaran itu sehingga praktik pembalakan liar itu bisa dicegah.

PENDEKATAN ZONASI

Diakui atau tidak telah terjadi tumpang tindik soal tapal batas Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) itu. Pihak Balai TNLL sendiri mengakui bahwa sampai sekarang mereka belum memiliki rumusan yang tegas dan rinci soal pengelolaan taman nasional yang berbasis masyarakat. Yang dimiliki adalah konsep pengembangan berdasarkan sistem zonasi atau mintakat (daerah lingkungan) dengan mempertimbangkan keadaan potensi dan kepentingan konservasi nasional dan internasional.

Konsep zonasi itu terdiri atas zona inti (55.625 ha) di dalam kawasan TNLL yang mutlak dilindungi untuk pelestarian flora, fauna dan ekosistemnya dan hanya bisa dimasuki untuk tujuan pengelolaan dan penelitian. Zona rimba (137.160 ha), diperuntukkan bagi kepentingan pembinaan habitat dan populasi satwa serta kepentingan hidrologi.

Zona ini merupakan kawasan tanpa adanya bangunan/gedung, dapat dimasuki pengunjung secara terbatas dengan berjalan kaki atau berkuda. Lalu ada zona pemanfaatan intensif (7.100 ha) diperuntukkan sebagai lokasi pembangunan sarana/prasarana pengelolaan dan fasilitas penunjang kegiatan wisata alam. Zona pemanfaatan tradisional (18.490 ha) berfungsi menyediakan kebutuhan subsistem bagi penduduk desa sekitar kawasan taman nasional yang tidak dapat menabrak zona penyangga. Zona ini juga berfungsi sebagai daerah penyangga terletak di dalam kawasan taman nasional.

Zona Danau Lindu dan Besoa (10.625 ha) merupakan daerah budi daya dan permukiman penduduk. Kawasan ini diusulkan untuk ditetapkan sebagai daerah enclave (kantong permukiman) dan dikeluarkan dari TNLL. Dan zona penyangga (35.000 ha), zona terakhir yang berada di luar/sekitar kawasan taman nasional berfungsi menyediakan kebutuhan penduduk desa sekitar kawasan dalam jangka panjang.

Taman Nasional Lore Lindu merupakan salah satu lokasi perlindungan hayati Sulawesi. Taman Nasional Lore Lindu terletak sekitar 60 kilometer selatan kota Palu dan terletak antara 119°90’ - 120°16’ di sebelah timur dan 1°8’ - 1°3’ di sebelah selatan.

Kalau dibandingkan dengan taman nasional lain di Indonesia, ukurannya sedang saja, Taman Nasional ini secara resmi meliputi kawasan 217.991.18 ha (sekitar 1.2% wilayah Sulawesi yang luasnya 189.000 km² atau 2.4% dari sisa hutan Sulawesi yakni 90.000 km²)dengan ketinggian bervariasi antara 200 sampai dengan 2.610 meter diatas permukaan laut. Taman Nasional ini sebagian besar terdiri atas hutan pegunungan dan sub-pegunungan (±90%) dan sebagian kecil hutan dataran rendah (±10%).

Taman Nasional Lore Lindu memiliki fauna dan flora endemik Sulawesi serta panorama alam yang menarik karena terletak di garis Wallacea yang merupakan wilayah peralihan antara zona Asia dan Australia. ***



No comments: