Friday, January 27, 2006

Korban Kecelakaan Kapal Terus Bertambah

Ruslan Sangadji

Korban kecelakaan kapal laut di Selat Makassar masih terus bertambah. Dari 17 korban yang dilaporkan sebelumnya, bertambah empat orang lagi sehingga jumlah korban kecelakaan kapal dari biduk-biduk menuju Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah tersebut menjadi 21 orang.

Hingga Jumat (27/1) siang, tim search and Rescue belum berhasil menemukan korba. Namun dari 21 korban, satu balita yang belum diidentifikasi Jumat siang ditemukan nelayan di Tanjung Manimbaya Kabupaten Donggala.

Dengan demikian, baru dua korban yang ditemukan tewas, sementara 15 di antaranya hingga kini masih terus dicari.

Sementara kondisi lima korban lainnya yang masih dirawat di Rumah Sakit Umum Mokopido Tolitoli, semakin membaik. Mereka terapung di laut selama empat hari setelah kapal yang mereka tumpangi hari Minggu (22/1) pukul 02.00 Wita dini hari, terbalik akibat badai dan cuaca buruk.

Lama korban yang selamat ini salah satunya adalah nahkoda kapal atas nama empit dan juru mesin ashari. Mereka terdampar di Pulau Pasoso, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, kemudian dievakuasi kapal Adi Rahmat menuju Tolitoli.

Tim SAR gabungan TNI Angkatan Laut, kepolisian, tenaga medis, kesatuan penjagaan laut dan pantai (KPLP), masih terus melakukan pencarian dengan mengerahkan empat unit patroli laut dibantu kapal nelayan. Mereka menyusuri laut Sulawesi hingga ke Selat Makassar, namun korban belum juga ditemukan.

Berikut adalah nama-nama korban yang belum ditemukan:

1. Agustina (21) desa kapas
2. Fitriani (2 bulan) desa kapas
3. Rusniah (25) desa dongingis
4. Rusmia (30) desa dongingis
5. Ekeng (60) desa dongingis
6. Koher (70) desa dongingis
7. Kamarudin (65) desa dongingis
8. Yasin (75) desa dongingis
9. Vira (27) desa dongingis
10. Wawan (7) desa dongingis
11. Wani (5) desa dongingis
12. Sumang (23) desa dongingis
13. Safaruddin (5) desa dongingis
14. Jaman (7) desa dongingis
15. belum diketahui identitasnya

Sementara korban tewas yang sudah ditemukan adalah :
1. Jasrian (2)
2. balita yang belum diidentifikasi

Korban yang dirawat di rumah sakit :
1. Ashari (23) desa kapas
2. Arsyad
3. Empit
4. Intamang
5. Hardi

One dead, 15 missing in boat accident

Ruslan Sangadji

One person has been confirmed dead and 15 others are still missing at sea after a boat with 21 people aboard capsized on its way from East Kalimantan to Tolitoli regency in Central Sulawesi in the early hours of Thursday, a police officer said.

Tolitoli Police chief Adj. Comr. Immanuel Larosa said six passengers were rescued by a fishing boat that happened to be nearby. On the way to Tolitoli, however, one of the six died, he said.

Larosa said the incident was "inevitable" after large waves hit the vessel amid bad weather. As of Thursday night, information was not available as to the exact location of the capsized boat.

The lack of a manifest prevented police from identifying the victims, Larosa said, expressing his belief the 15 missing passengers were very likely dead due to the rough seas.

Despite the pessimism, he said police officers and local residents were continuing the search for the missing passengers.

He said the 21 people aboard the boat were originally from Dongingis village in Tolitoli, but had migrated to Kalimantan where they had lived for years. "They were returning to visit family, but unfortunately they chose the wrong boat," the officer said.

Poso executions to go ahead despite pleas for a stay

Ruslan Sangadji

The Central Sulawesi Prosecutor's Office and local police will go ahead with the execution of three Christian death row inmates, found guilty of involvement in a series of murders in Poso several years ago, heedless of mounting demands for a stay of execution.

Despite the intensive preparations, however, the prosecutors and police declined to say when the execution of the three would be held.

"Just wait ... when the time comes you will know when they will be executed. For the sake of maintaining security, we are not allowed to give details about the timing (of the execution)," Central Sulawesi Police spokesman Adj. Comr. Rais D. Adam told The Jakarta Post.

The prosecutor's office recently ordered three caskets.

Fabianus Tibo, Dominggus da Silva and Marinus Riwu are now on death row after President Susilo Bambang Yudhoyono in December refused to grant them clemency, which was their last resort in the legal process.

Meanwhile, a group rights activists and religious leaders, including former president Abdurrahman "Gus Dur" Wahid, have demanded a stay of execution, saying they believed the three were not the masterminds of the violence.

Gus Dur, also a former chairman of the nation's largest Islamic organization, demanded the establishment of an independent fact-finding team to uncover the truth behind the mass killings in Poso, including the masterminds.

Tibo, one of the convicts, said Thursday he was ready to be executed, even though he expressed concern as to why his life had to end in front of a firing squad. "I'm ready to accept the verdict, but why do I have to die this way?" he asked.

Tibo had previously given to the police the names of 16 other key people involved in the killings; all of whom are still living as free men in society.

Dominggus demanded that as soon as he was executed his body be sent to the President as "proof" that he and his two comrades were the victims of manipulation by other people in Poso.

"Me, Om (Uncle) Tibo and Marinus were not the masterminds of the violence. We were just provoked, so our roles were merely as victims. If justice is to be properly upheld, the intellectual actors behind the incidents have to be punished as well," he asserted.

The three transmigrants, originally from East Nusa Tenggara, were given death sentences by the Palu District Court in 2001. They were proven guilty for having been involved in the Muslim-Christian bloodletting between 2000 and 2001 in which more than 1,000 people were killed.

A peace deal was signed in December 2001, following talks facilitated by then welfare minister Jusuf Kalla.

Thursday, January 26, 2006

Kapal Tenggelam, 16 Penumpang Tewas

Ruslan Sangadji

Sebuah kapal motor yang berangkat dari Kalimantan Timur Dongingis, Kabupaten Tolitoli, dilaporkan tenggelam. Akibatnya, 16 orang penumpangnya diduga tewas, sedangkan lima orang lainnya berhasil diselamatkan.

Para penumpang yang diduga tewas tenggelam itu belum dapat diidentifikasi, karena kapal tersebut bukan kapal penumpang umum, tapi kapal nelayan berkapasitas tiga gross ton.

Kapolres Tolitoli, Ajun Komisaris Besar Polisi Immanuel Larosa yang dihubungi The Jakarta Post melalui telepon dari Palu membenarkan tenggelamnya kapal tak bernama itu.

Menurut Kapolres, kapal tersebut berangkat hari Rabu (25/1) pukul 21.00 Wita dari Kalimantan menuju kampung Dongingis, Tolitoli dengan membawa 21 orang penumpang yang juga warga Dongingis.

Kapolres Immanuel Larosa mengatakan, para penumpang yang selamat itu menjelaskan bahwa sekitar pukul 02.00 Wita dinihari kapal mereka dihantam ombak besar sehingga membuat kapal oleng dan akhirnya tenggelam.

Saat tenggelam itu, tiba-tiba ada kapal nelayan lain yang melintas dan menyelematkan enam orang yang terlihat terapung-apung di laut meminta tolong. Akhirnya yang berhasil diselamatkan hanya enam orang, namun dalam perjalanan ke Tolitoli, satu dari enam orang itu meninggal dunia.

Saat ini polisi dan warga setempat sedang berusaha mencari para korban.

Ke-21 orang penumpang itu adalah warga Dongingis, Tolitoli yang sudah bertahun-tahun merantau ke Kalimantan, dan berencana pulang kampung untuk menengok keluarga mereka. Naas bagi mereka, karena dalam perjalanan, kapal yang ditumpangi itu tenggelam.***

Poso Police chief nearly assassinated

Ruslan Sangadji

Police officers in Poso have identified two gunmen who opened fire on a senior police office Wednesday morning, narrowly missing his head, in the latest violence in conflict-torn Central Sulawesi, a spokesperson said.

Two men on a motorcycle shot at Poso Police chief Adj. Sr. Comr. Rudy Sufahriyadi at 4:30 a.m. as he was on his way to a mosque in the town. They missed their target and initially escaped on the motorcycle.

"It (the bullet) passed only about 30 centimeters away from my head," Rudy told The Jakarta Post by phone. "(But) we have identified the gunmen and are now searching for them."

As yet unidentified gunmen also shot and killed First Brig. Agus Sulaeman in Gebangrejo subdistrict in Poso city three months ago at his boardinghouse.

Wednesday's shooting was the latest violent incident, following a bomb blast that rocked a Christian market on New Year's Eve in the provincial capital Palu, killing seven and injuring dozens more.

Wednesday, January 25, 2006

Kapolres Poso Ditembak Orang Tak Dikenal

Ruslan Sangadji

Penembakan misterius di Poso, Sulawesi Tengah tak hanya diarahkan kepada masyarakat sipil saja. Kepala Kepolisian Resort (Kapolres), Ajun Komisaris Besar Polisi, Rudy Sufahriyadi pun juga menjadi sasaran tembak orang yang tak dikenal.

Peristiwa itu terjadi pada Rabu (25/1) sekitar pukul 04.30 Wita, saat yang bersangkutan sedang dalam perjalanan menuju masjid untuk menunaikan salat Subuh.

Saat itu Kapolres Rudy Sufahriyadi menuju ke Masjid Raya di Jalan Natuna, Poso Kota, dengan menggunakan sepeda motor. Tiba-tiba dari depan ada seseorang yang menggunakan pakaian ala ninja mengarahkan senjata ke arahnya dan langsung menembak.

Kapolres Rudy Sufahriyadi berhasil menghindar dan tembakan itu meleset. "Hanya sekitar 30 centimeter dari bagian kiri kepala saya," kata Kapolres Poso melalui telepon cellularnya kepada The Jakarta Post, Rabu (25/1) pagi.

Setelah menembak, pelaku langsung melarikan diri dengan menggunakan sepeda motor sehingga tak berhasil ditangkap. Saat ini polisi di Poso sedang menyelidiki dan mengejar pelakunya.

Aksi penembakan terhadap anggota polisi di Poso terakhir kali terjadi pukul 17.55 Wita tanggal 12 Oktober 2005 lalu. Korban yang bernama Brigadir Polisi Satu Agus Sulaeman itu tewas di tempat kejadian, yakni di Lorong Jayani, Kelurahan Gebangrejo Poso Kota .

Briptu Agus ditembak di bagian depan kepala, nyaris tembus ke belakang. Saat itu, ia bersama Fr, calon istrinya, tengah menunggu waktu berbuka puasa di rumah kostnya. Lalu seseorang mengucapkan salam, dan tiba-tiba menembak. Agus pun tersungkur dan tewas seketika.

Sedang kepada masyarakat sipil terakhir kali terjadi pada bulan November lalu. Korbannya dua orang siswi SMEA NEgeri Poso, yakni Ivon Natali (17 tahun) dan Siti Nuraini (17).

Para wartawan pun diteror setelah memberitakan penembakan di Poso itu. Iwan Ahmad, wartawan Radar Sulteng yang tinggal di Poso, menerima SMS untuk berhati-hati karena berita mengenai penembakan itui telah menyakiti hati mereka. Tak jelas siapa pengirim SMS tersebut.

Rata-rata para penembak misterius di Poso menggunakan sepeda motor dan bercadar. Namun, hingga kini polisi masih kesulitan mengungkap para penembak misterius tersebut.

Tuesday, January 24, 2006

Polisi Didesak Tangkap Perusak Kantor DPRD Touna

Ruslan Sangadji

Situasi keamanan di Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah pasca peristiwa pengrusakan dan pembakaran kantor serta fasilitas di DPRD setempat mulai membaik.


Meski begitu, aparat keamanan tetap berjaga-jaga di kantor para wakil rakyat itu, termasuk menjaga ketat kediaman Ketua DPRD Tojo Una-Una Masri Latinapa di Ampana Kota.

Dalam surat yang dikirim melalui faximile kepada Gubernur Sulawesi Tengah, Masri Latinapa menjelaskan bahwa peristiwa itu tidak akan terjadi jika tidak ada oknum-oknum yang menjadi provokator.

Masri mengatakan, mendesak polisi agar oknum-oknum yang diduga sebagai provokator itu agar segera ditangkap dan diproses sesuai hukum yang berlaku. Di antara oknum tersebut adalah Saiful Bahri Tandjumbulu, Saiful Hulungo, Burhan Lahai, Erwin Husain dan Arly Kaengke.

"Mereka inilah yang memprovokasi massa sehingga menjadi beringas,makanya polisi harus secepatnya mengamankan mereka itu. Mereka telah menghina lembaga negara," kata Masri Latinapa dalam surat tersebut.

Namun, Masri sendiri mengakui bahwa dia memang menyatakan tidak akan membayar tagihan rekening listrik untuk masjid yang dibangun oleh almarhum KH Muhammad Amin Lasawedi. Tapi pernyataan itu telah salahartikan oleh sekelompok orang sebagai bentuk penghinaan terhadap ulama kharismatik yang sudah meninggal tiga tahun silam itu.

Erwin Husain yang dikonfirmasi melalui telepon selular, Selasa (24/1) siang, membantah telah memprovokasi massa sehingga menjadi beringas. "Keberingasan massa itu karena spontanitas mereka. Masri jangan hanya main tuding tanpa didasari fakta," tegas Erwin Husain.

Menurut Erwin Husain, almarhum KH Muhammad Lasawedi dalah ulama kharismatik tidak hanya di Tojo Una-Una, api juga di Sulawesi Tengah. Almarhum adalah murid tersayang Habib Idrus bin Salim Aljufrie, pendiri Perguruan Islam Alkhairaat--perguruan Islam terbesar di kawasan timur Indonesia yang berpusat di Palu.

Aslamuddin Lasawedi, kerabat dekat KH Muhammad Amin Lasawedi menyatakan penyesalannya atas terjadinya peristiwa tersebut. Namun dia juga tidak membenarkan sikap Ketua DPRD Tojo Una-Una, Masri Latinapa yang telah menghina ulama.

Oleh karena itu, Aslamuddin Lasawedi mengatakan bahwa Masri Latinapa telah bersalah dan tidak cukup hanya minta maaf, tapi juga harus mundur dari jabatannya sebagai Ketua DPRD Tojo Una-Una.

"Sebagai seorang tokoh, Masri tidak menunjukkan teladan yang baik kepada rakyatnya, jadi Masri harus mundur dari jabatannya," desak Aslamuddin yang juga Sekretaris Jenderal DPP Gerakan Pemuda Islam Indonesia ini.

Muhammad Anto Dai, salah seorang warga di Tojo Una-Una yang Selasa (24/1) pagi tiba di Palu, kepada The Jakarta Post menjelaskan, peristiwa itu sangat erat kaitannya dengan masalah politik, khususnya pada Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Tengah 16 Januari lalu.

Anto Dai mengatakan, Masri Latinapa menolak membayar tagihan rekening listrik sesuai janji sebelumnya, karena pada pilkada lalu, keluarga almarhum KH Muhammad Amin Lasawedi menjadi tim sukses Bandjela Paliudju, kandidat Gubernur Sulteng yang menang pada Pilkada lalu.

"Masri Latinapa tersinggung, karena setiap bulan ia yang melunasi tagihan rekening listrik untuk masjid milik H Amin Lasawedi, tapi mereka justru mendukung calon lain dan bukan calon Partai Golkar," kata Anto Dai.***

Monday, January 23, 2006

H. Amin Dilecehkan, Warga Bakar Kantor DPRD Touna

Ruslan Sangadji

Kantor DPRD Tojo Una-Una (sekitar 350 kilometer arah timur Kota Palu) dihancurkan massa, gara-gara Ketua DPRD setempat Masri Latinapa dituding telah menghina KH Muhammad Amin Lasawedi, salah seorang ulama kharismatik yang sudah wafat tiga tahun silam.

Tidak hanya itu, warga juga mengeluarkan seluruh meja, kursi dan lemari serta perabot di kantor legislatif itu ke lapangan yang terletak di samping kantor itu, lalu kemudian dibakar.

Massa juga memasuki kantor DPRD Tojo Una-Una, untuk mencari Masri Latinapa, ketua DPRD setempat. Mereka mengancam akan menghabisi yang bersangkutan karena telah menghina almarhum KH. M. Amin Lasawedi.

Nudin Lasahido, tokoh masyarakat setempat melalui telepon kepada The Jakarta Post menjelaskan, puncak kemarahan warga itu terjadi, ketika ada seorang keluarga KH M. Amin Lasawedi datang menemui Masri Latinapa pada Senin (23/1) pagi untuk menagih janjinya melunasi tagihan rekening listrik untuk Pondok Pesantren milik almarhum.

Namun, Ketua DPRD Masri Latinapa tidak menggubrisnya dan mengatakan bahwa dia tidak akan membayar tagihan rekening listrik. "Biar Uwa (panggilan akrab kepada KH M. Amin Lasawedi) mati melintang pun, saya tidak akan bayar," kata Nudin Lasahido, mengutip pernyataan Masri Latinapa.

Pernyataan tersebut lalu diteruskan oleh keluarga almarhum KH Amin Lasawedi. Siang harinya, warga kemudian mendatangi kantor DPRD setempat untuk mencari Masri Latinapa. Yang dicari tak ditemukan, warga menjadi beringas dan mengeluarkan seluruh isi kantor dan membakarnya.

Bupati Tojo Una-Una Damsik Ladjalani yang dikonfirmasi via telepon membenarkan adanya peristiwa itu. Namun dia belum bersedia memberikan komentar panjang lebar soal duduk persoalan yang sebenarnya.

"Nanti saja ditelepon kembali, saya masih memimpin rapat untuk membicarakan masalah ini," katanya kepada The Jakarta Post pukul 14.30 Wita.

Sementara Masri Latinapa, ketua DPRD Tojo Una-Una tak bisa dikonfirmasi. Hingga berita ini dibuat, telepon celluarnya tak bisa dihubungi sama sekali. ***

Ditentang, Koopskam Bekerja

Ruslan Sangadji

Sulawesi Tengah seakan tak pernah sepi dari teror. Mulai dari penembakan hingga peledakan bom, tidak lagi menjadi berita baru bagi masyarakat di daerah ini. Entah karena keseringan atau apalah namanya, sebagian masyarakat pun menanggapinya biasa-biasa saja.

Tapi, tidak bagi pemerintah dan sebagian masyarakat lainnya, teror itu menjadi momok yang sangat menakutkan, sehingga harus ditangani secara serius. Presiden kemudian menginstruksikan pembentukan Satuan Tugas Khusus (Satgas) Penanganan Poso.

Baru saja sekitar dua bulan lembaga itu bekerja, tiba-tiba di saat umat kristiani sedang bersiap-siap merayakan Tahun Baru, ledakan bom pun terjadi di tempat penjualan daging Babi di Kampung Maesa, Jalan Sulawesi, Palu Selatan.

Korban tewas dan luka-luka pun berjatuhan di sana. Lagi-lagi, ini ancaman serius yang harus segera dan tuntas ditangani. Pemerintah membentuk lagi Komando Operasi Pemulihan Keamanan (Koopskam) yang dipimpin jenderal polisi bintang dua atau Inspektur Jenderal. Maka, Paulus Purwoko pun terpilih menjadi komandannya.

Kelompok-kelompok kritis di Sulawesi Tengah ramai-ramai menolak kehadiran Koopskam itu. Mereka khawatir, institusi itu akan sama dengan Komkamtib di masa lalu, yang dengan mudah menangkap orang, kemudian memenjarakan tanpa pengadilan. Atau pun menculik orang-orang yang belum tentu bersalah.

Sedikitnya 31 organisasi non pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Poso Center, yang paling gencar melakukan penolakan itu. Mereka khawatir, kehadiran Koopskam sebagai pintu masuk untuk pemberlakuan darurat militer di daerah ini.

”Pokoknya kami menolak pembentukan Koopskam di Sulteng. Yang harus segera direalisasikan pemerintah adalah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta,” kata dedengkot Poso Center, Ariyanto Sangadji.

Poso Center menilai, pembentukan Koopskam merupakan perpindahan operasi militer dari Aceh yang sudah damai ke Sulawesi Tengah.

Tapi, pemerintah tetap ngotot. Koopskam harus dibentuk dan mendapat mandat menyelesaikan beberapa bengkalai sebagai ikutan dari konflik Poso. Komandan Koopskam Sulteng, Irjen Paulus Purwoko mengatakan, pihaknya diberi tugas sebagai lembaga yang mengkoordinasikan atau mensinergikan kerja-kerja yang sudah ditangani Satgas Poso, aparat keamanan, pemerintah dan masyarakat di daerah.

Selain itu, menurut Paulus Purwoko, pihaknya juga diberi tugas untuk penegakan hukum, penyelesaian kasus korupsi dan menyelidiki kemungkinan ada aparat yang terlibat dalam kasus kekerasan.

Upaya meyakinkan masyarakat dan lembaga-lembaga di Sulteng yang menolak kehadiran Koopskam terus dilakukan. Maka, sebagai tahap awal Irjen Paulus Purwoko pun gencar berkunjung dan bertemu dengan berbagai pihak untuk menjelaskan duduk soal dari pembentukan Koopskam tersebut.

Maka, selesailah sudah tugas tahap awal. Masyarakat dan Poso Center pun bisa mafhum, bahwa Koopskam tidak akan menjalakan fungsi-fungsi seperti Komkamtib ketika pada masa Orde Baru.

”Jujur saja, kami (Poso Center) lah lembaga pertama yang ngotot menolak pembentukan Koopskam. Kami milihat bahwa ini merupakan pengembalian militerisasi di Sulteng. Itu karena kami trauma dengan masa lalu. Tapi setelah bapak menjelaskannya, barulah kami paham,” kata Jusuf Lakaseng, koordinator Poso Center suatu ketika pada pertemuan dengan Komandan Koopskam di kantor Yayasan Tanah Merdeka Palu.

Aksi Lapangan Koopskam

Sembari memberikan keyakinan kepada warga, Koopskam pun dengan pelan tapi pasti terus berupaya menyelesaikan berbagai bengkalai di Poso. Kepala Penerangan Koopskam Sulteng, Komisaris Besar Polisi Didi Rochyadi kepada The Jakarta Post menegaskan, pihaknya segera melakukan rehabilitasi lima unit masjid, lima unit gereja, dan rehabilitasi rumah sakit di Tentena.

Program rehabilitasi itu bekerjasama dengan pihak Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan World Food Programme. ”Ini dimaksudkan untuk menciptakan dinamisasi kehidupan masyarakat di Poso,” kata Kombes Didi Rochyadi, Jumat (20/1).

Menurut Didi Rochyadi, rehabilitasi rumah ibadah itu diperkirakan menelan anggaran lebih dari Rp 6 miliar. Sedangkan untuk rehabilitasi rumah sakit, akan dialokasikan anggaran sebanyak Rp 1,5 miliar.

Selain itu, menurut Rochyadi pihaknya juga akan segera mencairkan dana Jaminan Hidup dan Bekal Hidup (Jadup-Bedup) kepada 2.807 kepala keluarga, dengan rincian untuk pegawai negeri sipil 339 kepala keluarga dan bagi masyarakat umum sebanyak 2.468 kepala keluarga.

Dana Jadup-Bedup ini pun bervariasi. Bagi masyarakat umum non PNS akan diberikan Rp 2,5 juta per kepala keluarga, sedangkan untuk PNS akan diberikan Rp 1,25 juta per kepala keluarga. Koopskam tak lagi mendistribusinya dengan cara door to door seperti dulu, tapi bagi penerima akan mencairkannya sendiri di bank terdekat.

Menurut Komandan Koopskam, Irjen Paulus Purwoko, cara dengan mencairkan langsung di bank itu, untuk menghindari terjadi penyelewengan seperti sebelumnya.

”Dulunya, karena pembagian dengan cara door to door, akhirnya terjadi pemotongan dan penyelewengan dana Jadup-Bedup itu. Harusnya warga menerima Rp 2,5 juta, tapi ternyata sudah dikebiri oleh petugas pembagi,” katanya.

Kinerja lain di bidang penegakan hukum, menurut Kombes Didi Rochyadi, pihaknya tengah konsentrasi menyelesaikan sedikit 47 kasus yang hingga kini belum jelas penanganannya. Antara lain kasus-kasus tersebut adalah pembunuhan kepala desa Pinedapa 2004 silam, kasus pemenggalan tiga siswi Kristen Poso (2005), penembakan dua siswi SMK di Poso Kota (akhir 2005).

Selain itu, juga sedang serius menangani kasus korupsi dana bantuan Bahan Bangunan Rumah, korupsi dana Jaminan Hidup dan Bekal Hidup, penyelidikan keterlibatan aparat keamanan dalam kasus kekerasan di Poso, termasuk juga penuntasan kasus 16 nama yang disebut-sebut oleh terpidana mati Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu, sebagai aktor intelektual di balik kasus kerusuhan Poso.

”Hanya saja, kasus 16 ini belum termasuk kategori sebagai kasus hukum, karena masih sebatas pengakuan. Makanya kita sedang menyelidikinya,” kata Didi Rochyadi.

Irjen Paulus Purwoko menambahkan, pihaknya harus bekerja ekstra, karena waktu yang diberikan pemerintah pusat hanya tiga bulan. Oleh karena itu, ada beberapa kasus yang dianggap sangat prioritas untuk secepatnya diselesaikan. Hanya saja, Purwoko enggan menyebut secara detail, kasus apa saja yang mejadi prioritas itu.

Namun, informasi yang dihimpun The Jakarta Post di lapangan, antara lain kasus yang menjadi skala prioritas itu adalah penyelesaian kasus korupsi dana Jadup-Bedup, kasus korupsi dana Bahan Bangunan Rumah, pemenggalan kepala tiga siswi SMU Kristen dan kasus peledakan bom di tempat penjualan daging Babi di Palu.

Simbiosis Mutualisme Kekerasan di Poso

Jumlah aparat keamanan TNI dan Polri yang bertugas di Poso tercatat ribuan orang. Pemerintah Kabupaten Poso mencatat, pasukan non organik tahun 2003 mencapai 5 ribu personil. Lalu dikurangi lagi menjadi 3.900 orang tahun 2004, bahkan setahun terakhir resmi berdiri Batalyon 714 Sintuwu Maroso Poso.

Tapi, kasus kekerasan dan teror di Poso tak kunjung usai. Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Sulawesi mencatat, pasca Deklarasi Malino 2001 hingga November 2005, terdapat 153 kasus kekerasan dan pelanggaran Hak Azasi Manusia.

Kasus penembakan menempati urutan pertama, yakni 42 kasus, disusul 34 kasus peledakan bom, 27 kasus penyerangan, 25 kasus penganiayaan dan 11 kasus pembunuhan. Belum lagi penemuan bom, penculikan dan kasus salah tangkap.
Yusuf Lakaseng, koordinator Poso Center mengatakan, penyebab berlarut-larutnya konflik Poso, karena proses penegakan hukum yang lemah. ”Aparat yang seharusnya menjadi bagian pemulihan keamanan, justru menjadi pelaku kekerasan,” kata Yusuf Lakaseng

Kekerasan di Poso itu tumpang tindih antara faktor ekonomi dan keinginan untuk melindungi pelaku korupsi, kepentingan politik lokal, kemudian perilaku aparat keamanan di lapangan, sehingga simbiosis mutulisme ini kemudian menjadi rantai kekerasan pasca Deklarasi Malino.

Meski kehadiran Koopskam sudah bisa diterima di Sulawesi Tengah, namun disamping membawa harapan untuk bisa menuntaskan berbagai masalah di Poso dan Sulteng pasca konflik, juga tak luput diselimuti pesimistis sejumlah kalangan.

Di bidang penuntasan kasus korupsi dana kemanusiaan Poso, dinilai mulai menunjukkan kemajuan. Namun, diharapkan tidak hanya sebatas Andi Azikin Suyuti, Ivan Sidjaya, Arif Mubin Rajadewa dan Agus saja, tapi beberapa nama pejabat penting lain di lingkungan TNI dan Polri juga harus tersentuh. Mereka juga diduga ikut menyalahgunakan dana kemanusiaan Poso ratusan miliaran rupiah itu.

Terlepas dari itu semua, akankah kehadiran Koopskam bisa mengobati kerinduan warga Sulteng akan rasa aman, ataukah justru di akhir tugasnya, teror kembali terjadi di daerah ini? Sebab pengalaman selama ini, setiap kali berakhir masa tugas operasi, selalu saja ada teror, selalu saja ada penembakan, pembunuhan dan ledakan bom. Kita tunggu saja, toh Koopskam masih punya waktu beberapa bulan lagi. ***

Man arrested for bomb threats on church

Ruslan Sangadji

PALU, Central Sulawesi: A man has been arrested for threatening to bomb a Toraja church in Tolitoli, Central Sulawesi, police say.

Central Sulawesi Police spokesman Adj. Sr. Comr. Rais D. Adam said the arrest of Ligri Ludia Dandan, 20, came after police traced telephone calls to his house through information provided by PT Telkom.

"The police apprehended the perpetrator at his house ... in Tolitoli," Rais said.

Ligri was being detained at the Tolitoli Police precinct for further questioning, he said.

Rais said Ligri allegedly phoned the church on Jan. 17 and Jan. 18, saying a bomb had been planted there and was about to explode. The calls sparked panic among parishioners.

A preliminary investigation found that Ligri was a Christian and was from the area.

"The police will question him about the motive behind the threats," Rais said. -- JP

Friday, January 20, 2006

Pelaku Teror Gereja Toraja Ditangkap

Ruslan Sangadji

Polisi akhirnya menangkap pelaku teror bom di Gereja Toraja, Jalan Beo Tolitoli, Sulawesi Tengah. Pelaku yang bernama lengkap Ligri Ludia Dandan (20 tahun) itu ditangkap pada Kamis (19/1) sekitar pukul 21.00 waktu setempat.

Kepala Bidang Humas Polda Sulawesi Tengah, Ajun Komisaris Besar Polisi Rais D. Adam menjelaskan, setelah polisi menyelidiki teror melalui telepon itu, akhirnya ditemukan bukti melalui print out di Telkom.

"Tak berapa lama kemudian, polisi kemudian menjemput pelaku di rumahnya Jalan Anoa Nomor 3 Tolitoli," kata Rais Adam.

Saat ini, Ligri Ludia Dandan sedang ditahan di Mapolres Tolitoli untuk dimintai keterangannya mengenai motif di balik aksi terornya itu.***

Menurut Rais Adam, sebelumnya selama dua hari berturut-turut, yakni tanggal 17 dan 18 Januari, yang bersangkutan menelepon ke Gereja Toraja bahwa gereja itu akan telah dipasangi bom dan siap meledak. Otomatis, jemaat pun panik dan meninggalkan gereja.

Setelah diselidiki, ternyata pelakunya bernama Ligri Ludia Dandan yang juga bergama Kristen Protestan dan asal Toraja juga. "Oleh karena itu, saat ini polisi sedang memeriksanya, apa motif di balik teror tersebut," kata Rais D. Adam.

Sementara itu, di beberapa tempat keramaian di Palu seperti di Pusat Pertokoan Jalan Hasanuddin Palu akan dipasangi CCTV untuk menjaga kemungkinan adanya aksi-aksi terorisme. Alata tersebut nantinya akan bisa mereka pelaku yang kemungkinan mau melakukan aksi terornya.

Gempa Guncang Donggala, Warga Mulai Mengungsi

Ruslan Sangadji

Gempa bumi kembali mengguncang wilayah Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah pada Jumat (20/1) siang, atau tepatnya di bagian Pantai Barat Kabupaten itu. Badan Meteorologi dan Geofisika Palu melaporkan, kekuatan gempa tersebut hanya sekitar 3 skala richter dengan kedalaman 20 kilometer di bawah laut.

Meski demikian, warga di beberapa desa di wilayah Pantai Barat Donggala itu, antara lain Desa sirenja dan Balaesang, mulai mengungsi ke bukit-bukti sekitar, karena ada isu akan terjadi tsunami.

Ahyar Mahmud, warga Sirenja kepada The Jakarta Post, Jumat (20/1) mengatakan, gempa bumi di wailayahnya itu tidak hanya terjadi hari Jumat ini, tapi sejak sepekan setelah hari Idul Fitri lalu, gempa sudah sering terjadi. "Hanya saja, getarannya tidak terlalu keras sehingga warga tidak panik," katanya.

Warga setempat mulai mengungsi ke bukit-bukti sejak 10 hari yang lalu, karena mereka menerima kabar bahwa pusat gempa itu berada di bawah laut dan berpotensi menimbulkan tsunami.

Apalagi, berdasarkan sejarahnya pada tahun 1968, wilayah tersebut pernah dilanda tsunami dan mengakibatkan ratusan orang meninggalkan dunia.

"Masyarakat di sana tidak mau ambil resiko, jadi kalau sudah malam mereka pasti mengungsi ke perbukitan, nanti di siang hari baru mereka kembali beraktivitas seperti biasa," kata Ahyar.

Gempa bumi terakhir dengan kekuatan 6,2 skala richter di wilayah Donggala terjadi tanggal 24 Januari 2005. Pusat gempa ketika itu berada di darat dan menimbulkan kerusakan bangunan milik warga.

Pasca terjadinya gempa itu, pihak BMG Palu mulai memasang alat deteksi gempa di empat tempat, yakni di Desa Paneki Kecamatan Sigi Biromaru, desa Sadaunta, Kecamatan Kulawi, Desa Baluase, Kecamatan Dolo dan Desa Labuantoposo di Kecamatan Sindue. Semuanya berada di Kabupaten Donggala.

Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika Palu, Suko Prayitno Adi mengatakan, pihaknya sengaja memasang alat tersebut untuk memantau pergerakan patahan Palu-Koro yang belakangan ini cukup aktif.

Patahan Palu-Koro merupakan patahan gempa yang cukup aktif, membentang di perairan Selat Makassar sepanjang pesisir pantai barat wilayah Sulteng hingga daratan di Lembah Palu. Gempa yang menguncang wilayah Pantai Barat Jumat (20/1) dan gempa 6,2 skala richter setahun silam, bersumber dari patahan Palu Koro ini.

Thursday, January 19, 2006

Koopskam Janji Tindak Aparat di Poso

Ruslan Sangadji

Komandan Komando Operasi Pemulihan Keamanan (Koopskam) Sulawesi Tengah, Inspektur Jenderal Polisi Paulus Purwoko, menegaskan pihaknya akan menindak sejumlah aparat yang terlibat dalam sejumlah kasus kekerasan di Poso dan Palu.

”Kita janji akan menindak tegas aparat yang terlibat di Poso dan Palu, jika dalam penyelidikan mereka terbukti terlibat dalam kasus kekerasan,” tegas Irjen Paulus Purwoko dalam pertemuannya dengan Poso Center di kantor Yayasan Tanah Merdeka Palu, Kamis (19/1) siang.

Pernyataan itu disampaikan, setelah pengurus Poso Center menyampaikan bahwa dalam kasus penembakan terhadap Ivon (17 tahun) dan Siti Nuraini (17 tahun), dua siswi SMU di Poso yang terjadi (8/11) lalu di Poso Kota, justru melibatkan aparat polisi.

”Ada saksi yang mengakui itu kepad kami. Bahkan ada testimoninya yang kami rekam. Tapi sampai sekarang belum ada tindakan yang diambil polisi,” kata Yusuf Lakaseng, koordinator Poso Center dalam pertemuan tersebut.

Ada empat anggota polisi yang diduga terlibat dalam kasus penembakan tersebut. Mereka itu berinsial AAS, Jam, Fam dan Ar.

Mendengarkan laporan Poso Center itu, Irjen Paulus Purwoko mengaku kaget dan berjanji aka menyelidikinya.

Selain menindak tegas aparat yan terlibat, pihaknya juga memiliki dua tugas lain yang penting, yakni mengendalikan tugas penanganan terorisme, kasus korupsi dana kemanusiaan Poso dan penegakan hukum.

Purwoko mengakui penangan kasus kekerasan khususnya di Poso, di Sulawesi Tengah terkesan sangat lamban, karena masyarakat takut akan menjadi sasaran teror dari para pelaku. ”Sangat berbeda dengan kasus bom Bali, di sana masyarakat sangat terbuka sehingga memudahkan kita untuk bekerja,” kata Purwoko.

Oleh karena itu, menurutnya bahwa saat ini Koopskam terus bekerja mengumpulkan sejumlah bukti dan data serta mengajak masyarakat di Sulawesi Tengah untuk bisa memberikan keterangan yang bisa memudahkan Koopskam untuk bekerja mengungkap berbagai kasus kekerasan, korupsi dan memutus jaringan terorisme di Sulawesi Tengah.

Mengenai wacana adanya Tim Pencari Fakta Independen yang diusulkan Poso Center dan sejumlah NGO’s di Sulteng, Purwoko mengatakan bahwa tim tersebut sangat dibutuhkan jika polisi kesulitan melakukan penyelidikan terhadap berbagai kasus. “Saat ini kita masih mampu bekerja sehingga belum dibutuhkan kehadiran tim pencari fakta itu,” kata Purwoko.

Sementara itu, Koordinator Poso Center Yusuf Lakaseng mengatakan, tiga anatomi kekerasan di Poso yang akhir-akhir ini bermain di Poso, yakni orang lama yang masih ada rasa dendam dan karena ideologis, kemudian para pelaku korupsi yang bertujuan menutup-nutupi kasusnya dan aparat keamanan.

“Koopskam harus bekerja sungguh-sungguh untuk membongkar semua ini,” pinta Yusuf Lakaseng.

Aryanto Sangadji, presidium Poso Center juga menyarankan agar Koopskam menyelidiki sumber-sumber pembiayaan dalam pembelian senjata api dan pembuatan bom di Poso. Poso Center menduga pembiayaan tersebut berasal dari dana kemanusiaan Poso yang berjumlah miliaran rupiah.

Golkar loses ground in C. Sulawesi

Ruslan Sangadji

The Golkar Party, which sailed through the 2004 general election with 47 percent of the vote in Central Sulawesi, was surprised by the defeat of its candidate for the province's governor.

The leader of the party's Central Sulawesi branch and its candidate in the election, Aminuddin Ponulele, was touted as the front-runner in the election.

With 1,083,013 of an estimated 1.4 million votes counted, the provisional tally Wednesday showed retired major general Bandjela Paliudju -- who was nominated by a coalition of parties, including the National Mandate Party (PAN), Crescent Star Party (PBB) and the National Awakening Party (PKB) -- maintaining his lead over his three rivals with 385,284 votes.

Bandjela was closely followed by Rully Lamadjido with 357,284 votes and Aminuddin with 273,728. The other candidate, Jusuf Paddong, stands on 56,698 votes.

Several factors were blamed for Aminuddin's loss, including the emergence of a disgruntled group within Golkar that allegedly felt slighted by the selection process for Aminuddin's running mate and worked against him in the campaign.

"I agree, they (the group) were not really supportive of Aminuddin Ponulele in the campaign," said political observer Tahmidy Lasahido of Tadulako University.

Other factors have been noted for Golkar's loss, including the inability of Golkar's political machine to counter issues surrounding Aminuddin's leadership as the incumbent governor, such as the alleged misuse billions of rupiah of assistance for Poso, which might have prompted voters to support candidates they perceived as "cleaner".

His campaign slogans, which promoted civil society, were thought to be weaker than Bandjela's, who played up his military background to attract voters seeking security after years of conflict in Palu.

Earlier, Bandjela's campaign focus on security issues was believed to be among the reasons the Democratic Party pulled its support for him, nominating Rully Lamadjido instead.

Certainly, Golkar seems to be struggling to maintain its domination over the province, which should serve as a warning to the party regarding its 2009 general election bid.***

Wednesday, January 18, 2006

Bom Meledak di Palu, Delapan Tewas

Ruslan Sangadji

Sebuah bom rakitan berdaya ledak rendah meledak tepat di warung penjualan daging babi, Maesa, Kelurahan Lolu Selatan, Palu, Sulawesi Tengah. Bom di akhir tahun itu meledak sekitar pukul 07.11 Wita. Warung tersebut hanya terbuat dari kayu dan tenda terpal berwarna biru dan merah.

Akibat ledakan itu, delapan orang tewas dan 45 lainnya luka-luka ringan dan serius. Dari Ketujuh korban yang tewas itu masing-masing pasangan suami istri penjual daging, Yopie--laki-laki (45) dan Ny Meiso alias Meymey--perempuan (38), Yackolina Tima--perempuan (45), Agustin--perempuan (38), Bambang Wiyono Saputra--laki-laki (49).

Selain itu, dua korban tewas lainnya adalah seorang anggota intel Korem 132/Tadulako, Sulawesi Tengah, Sersan Kepala (TNI) Tasman (38) dan istrinya Ny. Poste Binamanis (30) dan Ricky (13).

Selain korban tewas, ada 45 orang lainnya yang mengalami luka parah dan ringan. Sembilan orang korban luka yang dirawat di Rumah Sakit Umum Provinsi Undata Palu, Delapan orang di Rumah Sakit Bhayangkara Polda Sulteng, Delapan orang di Rumah Sakit Budi Agung Palu,18 orang di Rumah Sakit Bala Keselamatan Palu dan dua orang di Rumah Sakit Wirabuana Palu.

Diduga, bom tersebut diletakkan orang tak dikenal di bawah meja dan menggunakan timer. Namun, polisi belum dapat memberikan penjelasan pasti soal itu, termasuk motif di balik aksi biadab tersebut. Namun yang pasti, lokasi tersebut mayoritas dihuni oleh kaum Kristiani yang merupakan pendatang dari Sulawesi Utara, Tanah Toraja dan Poso.

Suasana di Kota Palu sejak kejadian hingga pukul 12.00 Wita tampak panik. Mobil ambilence yang membawa korban tewas dan luka-luka meraung-raung di jalan. Sebuah helikopter milik Polda Sulteng terus terbang untuk memantau situasi dari udara.

Sejumlah jalan masuk dan keluar di Kota Palu dijaga ketat oleh polisi. Mereka juga memeriksa semua kendaraan baik roda dua maupun roda empat.

Sejauh ini, polisi belum bisa mengidentifikasi pelaku peledakan bom tersebut. Polisi juga belum bisa menduga-duga soal siapa atau kelompok mana yang melakukan tindakan biadab tersebut.

Efendy Lumban Tobing (42), warga setempat yang selamat dari ledakan bom tersebut kepada The Jakarta Post mengatakan, dia tidak bisa membayangkan jika bom tersebut meledak tepat pukul 08.00 Wita. Jika itu terjadi maka korban meninggal akan leb

Polres Poso Dijadikan Polres Khusus

Ruslan Sangadji

Status Kepolisian Resort (Polres) Poso akan ditingkatkan menjadi Polres khusus, karena wilayah itu dianggap rawan dan perlu penanganan keamanan yang lebih maksimal.

Wakil Kepala Kepolisian Daerah (Wakapolda) Sulawesi Tengah, Komisaris Besar Polisi Sukirno kepada wartawan Jumat (6/1) mengatakan, untuk peningkatan status itu maka jumlah anggota polisi yang organik akan ditambah hingga menjadi 2000 personel. Saat ini jumlah anggota polisi yang organik di Polres Poso sekitar 600 personel dan yang BKO juga sekitar 600 orang.

Menurut Wakapolda, dengan peningkatan status menjadi Polres Khusus itu, maka seluruh pasukan BKO akan ditarik, dan yang menggantikannya adalah pasukan organik yang didatangkan antara lain dari Polda Nusa Tenggara Timur, Polda Nusa Tenggara Barat, Polda Bali, dan Polda Kalimantan Timur. "Jumlah seluruhnya nanti sekitar 2000 orang," jelas Kombes Sukirno.

Dari 2000 personel itu, terdiri dari Pasukan Brimob sebanyak 400 personel dan selebihnya dalah polisi biasa, Perintis, Polwan, serta intelkam.

Kedatangan pasukan tambahan untuk bertugas di Polres Khusus di Poso itu akan dimulai Sabtu (7/1) dan seterusnya hingga jumlah yang ditetapkan dapat terpenuhi. Namun demikian, Wakapolda Sukirno mengatakan bahwa penambahan jumlah pasukan ke Poso itu, tidak ada kaitannya dengan pembentukan Komando Operasi Pemulihan Keamanan (Koopskam) sebagai respon atas kasus kekerasan yang terjadi selama ini.

Ditanya mengenai seberapa penting dan perlunya keberadaan Koopskam di Sulteng, Wakapolda Sukirno mengatakan bahwa pembentukan Koopskam itu adalah proyek pemerintah pusat melalui kementrian Polhukkam, sehingga pihaknya tidak punya wewenang untuk menjelaskannya.

Wakapolda hanya mengatakan bahwa keberadaan Koopskam itu dimaksudkan untuk membantu pengungkapan pelaku kasus-kasus kekerasan yang terjadi selama ini di Palu dan Poso.

"Dukungan penyelesaian kasus kekerasan itu kan macam-macam, yah salah satunya adalah melalui kehadiran Koopskam itu. Dan kami pun siap berkoordinasi dan bekerjasama dalam tugas-tugas tersebut," tegas Wakapolda.

Sementara itu, sejumlah warga dan NGO's di Palu mengatakan, pembentukan Koopskam di Palu itu merupakan perwujudan dari kepanikan pemerintah pusat dalam menyikapi kasus ledakan bom di Palu.

Ariyanto Sangadji, dari Poso Center menyatakan menolak kehadiran Koopskam di Sulteng karena sangat berbahaya. "Langkah tersebut merupakan transisi menuju keadaan darurat," kata Ariyanto Sangadji yang juga direktur Yayasan Tanah Merdeka Palu ini.

Koopskam, kata dia, adalah contoh konkret pemindahan Aceh ke Sulawesi Tengah, atau strategi remiliterisasi. Seharusnya, kata Ariyanto Sangadji, pemerintah cukup memperkuat Satgas Poso yang sudah ada, dengan meningkatkan profesionalisme aparat keamanan dan membersihkan aparat keamanan dari unsur-unsur yang kotor. "Itu yang harus dilakukan pemerintah, bukan justru membentuk lagi yang baru," tandasnya.***

Abdee Negara, a star with a guitar

Ruslan Sangadji

Making it as a star is not too hard as long as one has the will and talent for it.

Among those with such experience is Abdee Negara, now a guitarist with Slank, one of the leading rock bands in Indonesia.

His route to success took a winding path, though. Despite all the sweat, deprivation and almost desperation now and again, he managed to go through the trials with full confidence.

In 1997, Slank lost its guitarist, Pay. Abdee, born in Palu, Central Sulawesi, in 1968, ventured to replace him.

Slank got a boost in spirit with the entry of Abdee, the son of Andi Raden Lamarauna and Andi Cella. He was readily accepted as he was an exceptionally gifted guitar player.

With the passing years, Abdi -- as he is also called -- further demonstrated his quality and created a typical rock color for Slank. Besides, Abdee is known by his Slank peers as a pious artist.

"We have to shift our practice schedule while waiting for Abdee to finish his afternoon prayers," Budi Ace, chief editor of Koran Slank, told The Jakarta Post in Palu on December 23.

Owing to his piety, the management of television station TPI once asked Abdee to appear on a religious talk show during the fasting month. But he refused the offer in order not to benefit from his popularity for material gain.

"Materially, the program was promising because I would earn Rp 3 million per show. But I couldn't take it as I was not an ulema. Just provide an opportunity for young ulema to show up," said Abdee.

His refusal triggered a debate over whether religious values conveyed by public figures get easier public acceptance. Abdee again maintained that was where the problem lay. "Never say and convey anything that you yourself are not capable of doing properly," he humbly added.

"I don't like utilizing my popularity or my musical group's fame for nonmusical purposes," he went on.

"A strong, good life means being associated with quality, which is better than being inferior," he noted.

One of his attempts to achieve such an existence was the holding of a national program, the Jakarta Music Festival, which produced an album.
He also produced the second album, Seuriues, and finally earned the Best Roc

Gubernatorial candidates in final swing in C. Sulawesi

Ruslan Sangadji

A heated war of words among candidates and a campaign ad blitz in local media have marked the countdown to Monday's direct gubernatorial election in strife-torn Central Sulawesi.

Posters and banners bearing the likeness of the four pairs of candidates -- M. Jusuf Paddong-Abdul Muis Thahir; Bandjela Paliudju-Achmad Yahya; Rully Lamadjido-Sudarto; and Aminuddin Ponulele-Sahabuddin Mustapa -- are found at every corner along the streets of the provincial capital Palu.

The candidates have resorted to mud-slinging and placing glossy ads supporting their bids. Local newspapers bear headlines proclaiming the respective candidates' confident statements of victory.

A member of the Central Sulawesi Election Commission, priest Dharma Sallat Putra, told The Jakarta Post the final voter registration listed 1,498,870 eligible voters among the province's two million residents.

The commission has also set up 4,240 voting booths across the province's 10 regencies and cities. Donggala regency has the most voters (284,697), followed by Parigi Moutong regency (230,092) and Palu city (188,752), with the rest distributed in Poso, Morowali, Tojo Una-Una, Buol, Toli Toli, Banggai and Banggai Islands regencies.

Dharma said all ballot papers had been distributed to the regencies and cities.

"The preparations are final for the Jan. 16 election," he said.

The country kicked off the landmark direct election of local leaders last June in Kutai Kartanegara.

The Palu contest is especially tight, with strong support for three influential figures. The frontrunners are retired major general and former Central Sulawesi governor Bandjela; former Palu mayor Rully, who is currently the province's deputy governor; and Aminuddin, the incumbent governor and chairman of the province's Golkar Party chapter.

In their campaigns, the candidates have rolled out enticing promises -- on security, political stability, free education and healthcare, as well as improved welfare.

They also offer their followers a host of freebies at campaign stops, from shirts to soccer uniforms, to hear their message.

But the content of political platforms is far from the minds of many of those who show up at rallies.

"The important thing is that we get free shirts, transport money and so

Bandjela out in front in C. Sulawesi polls

Ruslan Sangadji

Only hours after voting was completed in Central Sulawesi's inaugural direct gubernatorial elections Monday, retired major general and former governor Bandjela Paliudju held a commanding lead in provisional vote counting.

Bandjela and running mate Achmad Yahya appeared to have struck a chord with local voters in the conflict-stricken province, running on slogans such as "Vote for me if you want security" and "Conscience never dies".

Bandjela, nominated by United People's Coalition, comprising several parties including the National Mandate Party (PAN) and Crescent Star Party (PBB), was in the lead in provisional results in Palu city, the third biggest city in the province, with 188,752 voters.

In North Lolu in South Palu, he won 193 votes, while rivals Jusuf Paddong only gained 11 votes, Rully Lamadjido 102 votes and Aminuddin Ponulele -- the incumbent governor and Golkar Party chairman in the province -- 62 votes.

In Donggala subdistrict, West Palu, Bandjela won 226 votes while Rully won 188 votes, Aminuddin 77 votes and Jusuf 17 votes.

Many residents in Poso also preferred the Bandjela ticket, which won 70 percent in Tegal Rejo subdistrict and another 90 percent in Lawangga subdistrict.

Michael The, an ethnic Chinese resident of Palu, said he voted for Bandjela since he showed no hatred toward other groups in his campaign and accommodated newcomers to the area.

"I also voted for him because of his promise of security," he said.

No quick count was conducted in the election and none of the Central Sulawesi Election Commission members were willing to give comment on the provisional results. Official vote counting results -- from 4,240 voting booths across the province's 10 regencies and cities -- are expected to be completed in several days.

On Monday, the commission's office was heavily guarded by dozens of police officers following a protest Sunday by hundreds of residents. The protesters demanded the election should be postponed by at least two weeks while awaiting the completion of the registration process. They said many eligible voters did not receive their voter registration cards.

Final voter registration listed 1,498,870 eligible voters among the province's two million residents.

A small protest also marked Mond

Ekspor Kakao Sulteng Meningkat

Ruslan Sangadji

Ekspor kakao Sulawesi Tengah dari tahun ke tahun terus meningkat. Peningkatan jumlah ekspor itu seiring dengan upaya peningkatan kualitas produksi yang terus dilakukan oleh petani atas bantuan Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo).

Organisasi itu melaporkan, nilai ekspor kakao Sulawesi Tengah pada tahun 2003 tercatat sebesar 83.780 ton, pada tahun 2004 meningkat lagi menjadi 109.0834,83 ton dan pada tahun 2005 lebih meningkat lagi menjadi 120.367,72 ton.

Ketua Askindo Sulawesi Tengah, Herman Agan, kepada The Jakarta Post, Kamis (12/1) mengatakan, ekspor komoditas kakao Sulteng untuk kurun waktu Januari-Februari 2004, meraup nilai ekspor sebesar 30,22 juta dollar Ameriksa Serikat (AS), atau meningkat 20 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

Menurutnya, sebagian besar ekspor kakao itu, untuk memenuhi permintaan pasar di Amerika. "Selain Amerika, eksportir Sulteng juga memenuhi permintaan pasar di Malaysia, Singapura, China, Belanda, dan Belgia," kata Herman Agan.

Meski demikian, pihaknya khwatir nilai ekspor kakao Sulteng itu akan menurun, seiring makin dahsyatnya serangan hama pengerek buah kakao (PBK) yang menghantam kako petani di daerah ini.

Hama PBK ini, katanya, mulai menyerang kakao petani sejak tahun 1995. Namun, hama ini mulai masuk ke Sulteng sejak tahun 1993, diduga berasal dari Sabah, Malaysia, melalui Kalimantan Timur. "Makanya, sekarang kita lagi gencar-gencar melakukan upaya pencegahannya," ujarnya.

Selain itu, untuk meningkatkan kualitas produksi kakao Sulteng, Askindo Sulteng juga terus mengajak petani untuk melakukan sistem fermentasi terhadap biji kakao. Kendala, kata Agan, para petani kakao di Sulteng sangat malas untuk melakukan sistem itu.

"Kita sudah jelaskan kepada petani bahwa fermentasi itu untuk meningkatkan mutu biji kakao, namun mereka tetap saja malas," katanya.

Tapi, menurut Herman Agan setelah dijelaskan bahwa jika biji kakao melalui sistem fermentasi maka harga kakao di tingkat dunia juga akan meningkat dan petani akan untung besar.

"Amerika akan memotong harga kakao sampai 250 dolar Amerika per ton kakao Indonesia. Jadi, fermentasi menjadi jalan keluar untuk meraih keuntungan besar bagi petani," jelasnya. ***

Kenapa Aminuddin Kalah di Pilkada

Ruslan Sangadji

Partai Golongan Karya Sulawesi Tengah, menjadi partai pemenang Pemilu 2004 lalu. Partai ini berhasil meraih 47 persen suara dari 1,2 juta pemilih dan mampu mendudukan 17 kadernya di DPRD setempat. Urutan kedua adalah PPP, kemudian PDIP dan Partai Demokrat.

Mencermati angka yang signifikan ini, seharusnya pada Pilkada Provinsi Sulawesi Tengah, Partai Golkar juga menjadi pemenang dan kembali memimpin daerah itu. Tapi, ternyata analisis itu keliru, dan pasangan Aminuddin Ponulele-Sahabuddin Mustapa yang dicalonkan melalui partai berlambang pohon beringin itu kalah bertarung.

Pasangan dari partai gurem yang tak diandalkan sama sekali, yakni Bandjela Paliudju-Achmad Yahya yang justru jadi pemenang.

Lantas, apa penyebab kekalahan Aminuddin Ponulele yang juga Ketua DPD Partai Golkar Sulawesi Tengah itu yang berpasangan dengan Sahabuddin Mustapa yang juga Rektor Universitas Tadulako Palu, perguruan tinggi negeri nomor wahid di daerah ini.

Ada empat faktor penyebab kekalahan kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur Sulteng dari partai pemenang Pemilu 2004 ini. Pertama; munculnya deretan panjang barisan sakit hati di internal Partai Golkar, karena tidak diperhitungkan mendampingi Aminuddin Ponulele.

Barisan sakit hati ini lebih didominasi oleh kelompok muda partai. Mereka kemudian membuat manuver perlawanan yang sangat kuat dan sistematis. Tujuannya adalah untuk menciderai kepemimpinan Aminuddin Ponulele sebagai Ketua DPD PartaiGolkar Sulteng.

"Saya setuju itu, dan mereka inilah justru yang tidak sungguh-sungguh memperjuangkan dan memenangkan Aminuddin Ponulele," kata Tahmidy Lasahido, pengamat politik dari Universitas Tadulako Palu.

Kelompok sakit hati ini, pada mulanya berjuang keras agar bisa diakomodir menjadi pendamping Aminuddin Ponulele. Kelompok muda ini hanya dinilai sebagai politisi bocah yang tidak akan mampu menjadi pemimpin. Mereka tidak diperhitungkan sama sekali dalam Pilkada Sulteng, Senin (16/1) lalu.

Faktor kedua adalah soal konstituen dari kelompok Kristiani, Budha dan Hindu, yang selama ini selalu didekati oleh Partai Golkar, ternyata merasa bahwa mereka hanya dijadikan pupuk bagi kesuburan lembaga politik.

Pada akhirnya, kelompok ini kemudian mencari ruang lain untuk menyatakan eksistensinya dalam Pilkada. Sebagai kelompok minoritas di Sulteng, mereka juga sangat membutuhkan rasa aman dan pemerintahan sipil tidak mampu memberikan jaminan i

Kakula, Musik Etnik Sulteng

Ruslan Sangadji

Mozaik budaya di Nusantara terbilang begitu banyak dan beragam. Salah satunya adalah Kakula di Sulawesi Tengah. Kakula, dikenal juga dengan sebutan Kolintang.

Irama yang dimainkan hanyalah instrumen-instrumen tradisional yang kerap dijumpai dalam pesta-pesta pernikahan dan pesta-pesta adat.

Kakula, adalah bagian dari budaya gong yang menyebar di Asia Tenggara mulai dari Filipina bagian selatan hingga Sumatra bagian selatan.

Instrumen ini dimainkan oleh orang Kaili—suku asli di Sulawesi Tengah. Selain di Sulawesi Tengah, instrument ini dapat pula ditemukan di Sulawesi Utara (Bolaang Mongondow), Kalimantan, Sumatra, Maluku, Sabah dan Serawak Malaysia dan Brunai Darussalam.

Mohammad Amin Abdullah, salah seorang pekerja seni di Palu yang menamatkan pendidikan magisternya Asian Studies, University of Hawaii di Manoa ini, kemudian mengembangkan Kakula ini menjadi sangat menarik.

Ia berhasil mengajak beberapa pekerja seni yang kuliah di kampus itu seperti mahasiswa asal Amerika, Argentina, Jepang, Vietnam dan juga Indonesia. Saat itu (Agustus-Desember 2005), untuk memainkan Kakula yang mereka beri nama The Hawai’i Kakula Ensemble dan pemuda kelahiran Palu ini menjadi Musik Directornya.

Bahkan, The Hawai’i Kakula Ensemble ini pernah bermain di University of Hawai’i Gamelan Ensemble Concert, Honolulu, Hawaii (November 2005) Musik Pembuka pemutaran Film “The Last Bissu” karya Rhoda Grauer, East West Center, Honolulu (October 2005), Honolulu Zoo Society untuk pencaharian dana orang utan Rusty (October 2005). Bahkan mereka melakukan pentas untuk mencari dana bagi korban tsunami di Aceh.

Tidak hanya itu, Kakula pun dipentaskan di The East West Festival, East West Center, Honolulu, Hawaii (April 2005), Indonesia Cultural Day, Indonesia Students Organization (Persatuan Mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat), Honolulu, Hawaii (April 2004), Asia Pacific Performance Night, Asian Studies Department, University of Hawaii (March 2004).

Musik yang dimainkan oleh ensembel ini disebut “Kakula Kreasi Baru” yang mengembangkan namun tidak menggantikan kakula tradisi. Istilah “kreasi baru" digunakan untuk mengidentifikasi karya-karya baru yang diciptakan oleh komposer Indonesia.

Karya ini mempertahankan apa yang telah ada dan pada saat yang sama memasukkan hal yang baru. Menurut Amin Abdullah, dengan menggunakan musik tradisi sebagai ide dasar, kreasi baru menyimbolkan tradisi dan sekaligus modernitas. “Kreasi baru adalah sebuah proses mentransformasi musik yang dimainkan dalam kehidupan sehari-hari ke atas pentas,” katanya.

Sejak 1997, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah mensponsori perkembangan gaya musik Kakula Kreasi Baru. Musik ini kemudian menjadi identitas orang Kaili.

Perubahan dari Kakula tradisi menjadi kreasi baru, dapat diketahui melalui tangga nadanya berubah dari locational tunning (tangga nada tidak tetap) menjadi absolute tuning (tangga nada yang tetap) dengan meniru tangga nada barat (well tempered) namun ide dari pentatonic masih dipertahankan.

Beberapa Instrumen lainnya juga ditambahkan seperti tambourine, cymbal, lalove (seruling tradisional masyarakat Kaili di Sulteng), gendang besar, rebana, kudode dan lain-lain.

Terkadang memainkannya dengan duduk di lantai (secara tradisi dimainkan dengan duduk di kursi. Laki-laki menggantikan posisi wanita sebagai pemain kakula dan wanita menjadi penyanyi (seperti pesinden dalam gamelan Jawa) dan menggunakan paduan suara pemusik pria (seperti gerongan pada gamelan Jawa).

Repertoar Hawaii Kakula Ensemble

Ndua-ndua, musik tradisi yang dimainkan oleh orang Kaili untuk mengiringi pengantin laki-laki, ke rumah pengantin perempuan, mengumumkan adanya hajatan seperti sunatan, perkawinan dan upacara akil balik.

Kakula-Kakula karya Mohammad Amin, (1997), sebuah eksperimentasi yang menggabungkan Kakula dengan Lalove, rebana dan tambourine dalam sebuah musik yang bertempo cepat dan struktur yang kontroversial.

Peulu Cinde, Karya Hassan Bahasywan, untuk mengiringi tari. Medley dua nyanyian rakyat Inolu dari Kulawi dan Doni Dole dari Poso. Lagu pertama mengekspresikan nyanyian ritual untuk roh nenek moyang sedangkan menggambarkan bagaimana anak muda bergaul.

Pompaura karya Mohammad Amin (1998), sebuah eksperimentasi menggunakan birama ganjil 5/8 pada ensemble Kakula untuk mengiringi Lalove. Lalove-Love (1998), eksperimentasi menggunakan perubahan meter 7/8 dan 4/4 untuk mengiringi Lalove dan vokal dan Randa Ntovea, sebuah lagu yang diciptakan oleh Hassan Bahasywan.

Para pemain dalam Hawaii Kakula Ensemble ini, terdiri dari William Connor, Mayco Santaella, David Langfelder, Herman Kellen, Joan Scanlan, Nicole Tessier, Nicholas Tillinghast-Lewin, Yoko Ruichi, Thomas Wasson dan Mohammad Amin Abdullah sendiri.


Konsep Sintuwu

Bagi putra kelahiran Palu 40 tahun lalu yang sangat menyintai jenis musik tradisional Poso ini, memasukkan konsep Sintuwu dalam jenis musiknya, termasuk The Hawai’i Kakula Ensemble.

Dalam bahasa Kaili dan Poso, Sintuwu berarti menghidupkan secara bersama-sama. Sebuah kata yang lama, Sintuwu mengindikasikan bagaimana aktivitas dalam sebuah tradisi oral berorientasi kelompok, tidak berbasis individual. Sintuwu bersinonim dengan Gotong Royong, yang berarti bekerja sama secara kolektif.

Menurut Amin Abdullah, konsep kolaborasi ini adalah kunci untuk memahami bagaimana komunitas dan orang Indonesia saling bekergantungan sesamanya. Untuk beberapa komposer di Indonesia, proses kreatif untuk membuat komposisi musik merefleksikan hal tersebut.

“Mereka tidak membuat musik sendiri, namun pemain dalam sebuah kelompok mempunyai kontribusi dalam karya,” katanya.

Sintuwu menjadi ideologi dan metode dalam setiap karya Amin Abdullah. Menurut Amin Abdullah yang juga bekerja di Dinas Pendidikan Pengajaran Sulawesi Tengah ini, ada tiga tahap dalam metode Sintuwu, pemain akan menemukan tema, penggarapan karya dalam kolaborasi bersama kelompok dan proses evolusi sebuah karya setelah pementasan pertama.

Bagi Amin Abdullah, ketika ia memulai sebuah komposisi, ia akan datang pada latihan pertama hanya dengan sebuah tema atau konsep musical. Konsep itu didapat berupa bentuk musik, motif, melodi, rhythm pattern, texture, tempo atau ide instrument apa yang
akan digunakan.

“Apa yang penting bagi saya adalah apa yang ingin disampaikan melalui karya. Proses pembuatan musik kemudian terjadi pada saat yang sama dengan proses latihan,” ujarnya.

Metode Sintuwu membiarkan musisi untuk bermain sesuai dengan kemampuan mereka, dan memberikan mereka kesempatan untuk berimprovisasi sehingga ia kemudian memberi stimulus.

Metode ini juga memberi penekanan pada interaksi yang intim antar musisi. Untuk itu, dengan metode Sintuwu, musisi adalah juga interpreter dan kolaborator, bukan hanya sekedar pemain dan kolaborator.

Komposisi terhitung selesai ketika latihan selesai dan akan terus berkembang setelah pementasan pertama.***

Former military man takes lead in Palu

Ruslan Sangadji

Retired major general Bandjela Paliudju has maintained his lead over the three other candidates in the Central Sulawesi gubernatorial election, according to the provisional vote count, confirming the public's preference for a leader from a military rather than a civilian background in the conflict-torn province.

In the latest results released Tuesday by the Central Sulawesi Election Commission, Bandjela, who is also a former Central Sulawesi governor, had garnered 266,263 votes out of a total of 1.4 million registered voters. Final results are expected within a week.

He was closely followed by Rully Lamadjido with 241,399 votes and Aminuddin Ponulele, the current governor and Golkar Party chairman in the province, who was earlier touted as the front-runner in the election, on 175,188 votes. Another candidate, Jusuf Paddong, had only received 34,778 votes.

In Monday's election, Bandjela -- the former leader of President Susilo Bambang Yudhoyono's presidential election campaign committee in the province -- did not stand for the Democratic Party. Instead, he was nominated by a coalition of parties, including the National Mandate Party (PAN), Crescent Star Party (PBB) and the National Awakening Party (PKB).

The provisional results surprised many considering the low turnouts for Bandjela's campaign stops, compared to the thousands who attended the campaign events of the other candidates, who regularly brought in popular national and local celebrities and politicians, including legislators Adjie Massaid and Angelina Sondakh.

Bandjela, who served as the province's governor from 1995 to 2000, opted for market visits and door-to-door campaigning instead of holding large rallies.

His campaign slogans, like "Vote for me if you want security", and his military background, according to political observer Christian Tindjabate of Tadulako University, proved attractive to voters tired of living in constant fear of violence.

"The people tend to no longer believe in civilian leaders," Christian said.

Similar distrust, he said, had emerged after president Soeharto stepped down and the country suddenly found itself plagued by violence and disasters, leading many people to think "the reform era is no better than the New Order. Back then, we were not free to talk but we could still go everywhere freely".

The province has been regularly rocked by bombings and killings, with the latest incident occurring on New Year's Eve when a bomb exploded in a Christian market killing seven people and injuring 56 others.

Although the vote count is continuing, with more votes still to come in from the villages, Bandjela and his running mate Achmad Yahya, head of the local branch of telecommunications firm PT Telkom, feel that victory is virtually certain, especially as the election commission has thus far found no evidence of significant vote-rigging.

On Monday night, the houses of the two contestants were flooded with visitors offering congratulations. Bandjela has also organized prayers to celebrate victory.

But the other candidates are not ready to concede defeat just yet, with Rully Lamadjido expressing regret over what he claimed was the election commission's "poor performance". He also said he would mount a court challenge if he found electoral violations.

Governor Aminuddin Ponulele, however, accepted likely defeat in good cheer. "I can't say anything yet. But one thing for sure, this is a democratic process that we must accept."