Wednesday, September 19, 2007

Tanjung Karang, Tempat Terbaik untuk Snorkeling

Mobil yang ku tumpangi melaju menyusuri pesisir pantai Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah. Sambil ngobrol dengan kawan sopir, tiba-tiba mobil yang ku tumpangi tiba di tujuan. Ku lirik jam di mobil phone ku, angka menunjukkan pukul 09.00 Wita. Saya hanya perlu waktu 35 menit untuk sampai ke tujuanku.

Hari itu, Selasa (18/9) bersama beberapa kawan aku menuju pantai Tanjung Karang. Orang Palu dan Donggala lebih mengenalnya dengan nama pantai pasir putih. Lokasinya di Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala. Jaraknya hanya sekitar 40 kilometer dari Kota Palu, ibukota Provinsi Sulawesi Tengah.

Sekitar 20 tahun silam, Pantai Tanjung Karang ini hanya dikenal sebagai tempat istirahat sementara para setelah lelah melaut.

Waktu itu, belum ada jalan masuk ke Pantai Tanjung Karang, padahal hamparan pasir putih di pantai itu sungguh indah. Perkebunan kelapa milik masyarakat juga tumbuh subur di sekitar pantai ini.

Tapi sekarang, Pantai Tanjung Karang sudah berubah menjadi objek wisata favorit bagi warga Palu dan sekitarnya. Apalagi, kalau setiap musim libur, pantai ini dipadati wisatawan lokal, bahkan turis mancanegara. Rata-rata berasal dari Eropa.

Wisatawan kini, sudi bertandang ke pantai itu, selain karena jalan menuju ke Tanjung Karang sudah bagus, kita hanya perlu sekitar 30-45 menit dari Palu, juga airnya yang begitu jernih, pasir putih yang bersih membentuk huruf "V" disertai panorama alamnya yang menakjubkan.

Dari pantai yang dinamai Tanjung Karang itu terlihat pula Kota Donggala, yang berjarak sekitar 3 km, dan sebagian wilayah Kota Palu serta desa-desa di pesisir pantai barat Kabupaten Donggala.

Bahkan kalau malam hari, suasana semakin indah karena lampu penerang aneka warna dari kejauhan berkelap-kelip, selain sinar Mercusuar yang dibangun oleh Departemen Perhubungan di sudut tanjung ini.

Juga, dari tempat ini orang bisa menyaksikan pemandangan terbuka Teluk Palu dan Selat Makassar nan luas. Kapal yang masuk-keluar Pelabuhan Pantoloan serta hilir-mudik perahu nelayan di Teluk Palu, menjadi daya tarik bagi wisatawan.

Muhammad Ikhsan, petugas di pintu masuk Tanjung Karang, mencatat setiap hari libur, sedikitnya 200 kendaraan roda empat dan dua masuk-keluar di objek wisata Tanjung Karang ini. Bahkan angka ini meningkat pesat setelah Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah mencanangkan lima hari kerja sejak pertengahan April 2007 lalu.

"Pengunjung pada Sabtu, Minggu, dan hari libur, paling banyak. Totalnya bisa mencapai seribu orang orang," katanya.

Untuk memberikan pelayanan bagi para wisatawan, yang umumnya wisatawan keluarga, penduduk setempat membangun dan menyewakan puluhan penginapan sederhana, yang terbuat dari kayu dan beratap rumbia.

Tarifnya relatif murah, antara Rp 100 ribu hingga Rp 300 ribu semalam untuk masing-masing cottage yang memiliki satu kamar tidur, satu ruang terbuka sebagai teras, dan satu kamar mandi. Tarif ini tidak termasuk makan dan minum.

Menu yang disajikan para pengelolanya beraneka ragam, namun umumnya berupa makanan laut, seperti ikan bakar, cumi-cumi goreng, dan lobster rebus.

Ada juga kopi panas, teh, dan sarabba (minuman khas Palu terbuat dari jahe dan gula aren yang direbus serta diberi susu kental), serta pisang goreng panas.

Pengunjung juga dapat menikmati makanan, minuman, dan penganan lainnya di cafe-cafe sederhana di area penginapan.

Di Tanjung Karang, ada pula sebuah cottage milik investor asal Jerman berpenduduk Palu. Namanya Prince John. Cottage yang di kelilingi pagar kayu dan tembok dengan luas halaman sekitar 60x50 meter tersebut dilengkapi berbagai fasilitas memadai, seperti cafe, lapangan voly pantai, serta beberapa bangunan tempat tinggal yang dilengkapi kamar mirip hotel.

Pemilik cottage ini juga melengkapinya dengan kapal pesiar dan peralatan selam, yang banyak diminati wisatawan mancanegara.

Tapi, hari itu saya tak mau menyelam. Saya tak perlu menyewa kapal untuk berkeliling Tanjung Karang. Saya hanya cukup menyewa sebuah ban dalam mobil seharga Rp 3 ribu, lalu menyewa kacamata di cottage Prince John seharga 10 ribu, untuk snorkeling.

Luar biasa, sangat indah. Hanya selangkah dari batas air, dan masih dari atas permukaan saya dapat menikmati indahnya terumbu karang dan ikan hias yang menari-nari di atas dan di sela-sela karang.

Ingin rasanya saya menjamah ikan itu, karena sangat dekat denganku. Bahkan sesekali ikan-ikan yang berwarna-warni itu menabrak tanganku yang ku masukan ke dalam air.

"Ah sangat indah," kata Muhammad Rizal salah seorang kawan yang bersamaku snorkeling di Pantai Tanjung Karang itu.

Bupati Donggala, Habir Ponulele yang dihubungi The Jakarta Post, Rabu (18/9) malam, mengatakan, Pantai Tanjung Karang telah ditetapkan sebagai salah tempat wisata terbaik di daerahnya.

Pasalnya, menurut Bupati Donggala, jarak Tanjung Karang sangat dekat dengan Kota Palu. "Jadi, kalau ada wisatawan asing, mereka tak perlu capek-capek kalau mau ke Tanjung Karang. Begitu datang, tak perlu istirahat lagi, tapi langsung snorkeling dan diving pun bisa," kata Bupati Habir Ponulele.

Rencananya, kata Bupati Habir Ponulele, tempat itu akan menjadi salah lokasi dilaksanakan World Culture Festival yang pelaksanaannya ditunda hingga 7 November mendatang.

Jika ada wisatawan yang mau datang, dari Jakarta naik pesawat Lion Air, Batavia atau Merpati selama dua jam. Transit di Makassar atau Balikpapan, 45 menit kemudian mereka tiba di Bandara Mutiara Palu. Kemudian, dengan menumpang mobil kijang dari Bandara Mutiara Palu dengan tarif Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu menuju Tanjung dengan lama perjalanan antara 30 menit hingga 45 menit.***

Warning scares Indian dancer away from Palu

Ruslan Sangadji, The Jakarta Post, Palu

Indian classical dancer Nandini Krishna, who was scheduled to perform at the International Peace Day event in Palu, Central Sulawesi, on Sept. 11, has canceled after receiving a travel warning from her country.

"We apologize to the public in Palu for Ms. Nandini Krishna's absence. This was not premeditated, however her country has issued her a travel warning regarding Palu."

Krishna's absence will be a disappointment as event organizers expected her to inspire her audience to "preserve arts and culture in order to promote peace," according to organizing committee head Syahriar Labelo.

Syahriar said that Palu and the surrounding areas were free of conflict and that any negative perception of the area was undeserved.

"As proof, the event wrapped up at 3:00 a.m. with the traditional Dero performance and nothing untoward happening," said Syahriar.

Syahriar said Krishna had taken part in similar events in numerous countries and had performed for television stations and documentary films. She won an award for performing in a Japanese film titled Fukai Kawa.

Besides Indonesia, Krishna has performed in Singapore and Germany, and was granted a national scholarship by the Indian Cultural Department in 1990 to learn the Bharata Natyam dance. She was chosen by the Indian government, through the Indian Cultural Commission, to teach this dance at the newly-established Indian Cultural Center in Bali.

She has also staged shows in Lombok, West Nusa Tenggara, Batam and Bali and performances combining elements of Balinese and Indian dance.

For the past three years the classical dancer has been invited to the annual Bali Cultural Week. Krishna's art has also been seen by viewers of Bali Vision, a program broadcast by state-run TVRI.

She has taught traditional Indian dance to many students in Indonesia.

Participants in the Palu peace event enjoyed dance performances, films and photo exhibitions and a peace seminar at Tadulako University.

One highlight was the Torompio dance, performed by dancers from Poso. The performance was intended to depict cultural diversity and Indonesia's "unity in diversity".

Blackouts disrupt evening prayers


Ruslan Sangadji, The Jakarta Post, Palu

The voice of the imam leading the tarawih prayers at Lolu Grand Mosque in East Palu, Central Sulawesi, was sharp and clear on Sunday evening, when the mosque suddenly went black.
The loudspeakers went dead and the lights shut off, but the prayers continued. Power resumed around 30 minutes later, just as the prayers were finishing up. A number of worshipers wondered why the electricity went down during tarawih.

"They say that we already have an additional steam-powered power station, so why do blackouts still occur?" asked one worshiper, Abdul Aziz, 34.
Some criticized state power company PLN, accusing it of lacking respect for the Muslim community. "They should have notified us earlier, so the mosque workers could prepare the power generator to anticipate the blackout," said Lolu head caretaker Ivan Sidjaya. Some threatened a protest at the Palu PLN office if another blackout happened during tarawih.


Contacted Monday, the manager of the Palu PLN office, Yustono, said the Palu power station was experiencing a power deficit of 5 megawatts (MW) from its normal capacity of 13.5 MW.
He said this was the cause of the blackouts. "It is due to the sub-standard quality of the coal," said Yustono.

A second 13.5 MW capacity power station is expected to come online by the end of this year to meet the power demands of Palu city and surrounding areas. In addition, Palu has a 15 MW diesel-powered generating unit. The power station is jointly owned by the Palu municipality and Chinese investor PT Shandong, through its subsidiaries PT Pusaka Jaya International (Jakarta) and PT Pusaka Jaya (Palu), now called PT Pusaka Jaya Palu Power (PJPP).

The Palu municipality has a 5 percent stake in the joint venture, while PT Shandong has a 95 percent share. The project cost Rp 200 billion (US$22.2 million) and is built on 5 hectares of land in Mpanau subdistrict, North Palu district. The steam-powered generating station was launched by President Susilo Bambang Yudhoyono in March. "The power station is expected to resolve the power crisis in the city," said Palu Mayor Rusdy Mastura.***

Tuesday, September 11, 2007

Isu Kekerasan di Poso Bergeser

Ruslan Sangadji

Isu kekerasan di Poso, Sulawesi Tengah, kini telah bergeser dari isu agama dan perebutan kekuasaan politik lokal, menjadi isu korupsi dan stigma terorisme. Bahkan, konflik Poso itu seolah-olah ibarat virus yang telah mewabah hingga ke Kabupaten Morowali, Banggai Kepulauan dan Tolitoli.

"Konflik kekerasan massal yang terbuka antara komunitas Islam dan Kristen di Poso sudah tidak terjadi lagi pasca Deklarasi Malino tahun 2002 lalu, namun kekerasan itu tetap berlangsung dengan isu yang berbeda," tegas Ichsan Malik, pimpinan Institut Titian Perdamaian Jakarta di auditorium Universitas Tadulako (Untad) Palu, Selasa (11/9).

Ichsan Malik yang berbicara pada Seminar Nasional Membangun Budaya Perdamaian Berbasis Budaya Lokal sebagai rangkaian dari acara International Peace Day itu mengatakan pada dasarnya penyelesaian konflik Poso itu tidak pernah tuntas oleh pemerintah dan masyarakat, dan hal itu yang menyebabkan masih potensialnya konflik kekerasan di daerah penghasil kayu ebony itu.

Menurut Ichsan Malik yang juga penggagas Baku Bae Maluku ini, pemerintah pusat tidak sensitif ketika bekerjsama dengan pemerintah lokal, sehingga menimbulkan masalah baru pasca konflik, yakni tumbuhnya budaya korupsi pada bantuan dana kemanusiaan untuk pengungsi dan dana rekosntruksi Poso.

"Sebetulnya pemerintah lokal sedang 'sakit' karena konflik. Tapi, pemerintah pusat justru tidak melakukan kerjasama yang efektif. Akibatnya, terjadi mega korupsi pada sejumlah bantuan kemanusiaan," kata Ichsan Malik.

Dalam catatan Yayasan Tanah Merdeka Palu, menyebutkan bahwa sejak tahun 2001, pemerintah pusat telah menyalurkan dana bantuan untuk Poso lebih dari Rp 100 miliar. Bantuan tersebut meliputi jaminan hidup (jadup) dan bekal hidup (bedup), bahan bangunan rumah (BBR), dana
pemulangan pengungsi, santunan korban, dan dana lauk pauk. Yang total bantuan itu ditaksir mencapai Rp 168 milyar.

Misalnya, tahun 2002 pemerintah pusat telah mendistribusi bantuan berupa dana jaminan hidup (jadup) dan bekal hidup (bedup) bagi 13.326 kepala keluarga (kk) pengungsi sebesar lebih Rp 33 miliar, dan masing-masing kk menerima Rp 2,5 juta. Tahun yang sama, dikucurkan lagi dana sebesar lebih Rp 29 miliar bantuan untuk bahan bangunan rumah (BBR) yang diperuntukkan bagi 5.813 kk pengungsi, yang masing-masing kk menerima Rp 5 juta dalam bentuk bahan bangunan rumah.

Tahun 2002 juga mengucurkan dana bagi pemulangan 11 ribu pengungsi sebesar lebih Rp 13 miliar. Dengan catatan, masing-masing kk pengungsi menerima Rp 1.250 ribu. Sedangkan tahun 2003-2004, kembali dikucurkan dana jadup dan bedup sebesar lebih Rp 59 miliar. Dana tersebut diperuntukan bagi 17.653 kk pengungsi dengan nilai bantuan per kk Rp 2,5 juta. Dan tahun 2003 juga, bantuan BBR kembali digulirkan sebesar lebih Rp 6 miliar yang harus dibagikan kepada 1.298 kk pengungsi. Total bantuan kemanusiaan Poso dari tahun ke tahun itu totalnya Rp 141.985.500.000

Nah, dari jumlah dana sebesar itu, kemudian terjadi praktik korupsi bagi sejumlah pejabat lokal. Dalam kasus ini, Ichsan Malik mengatakan akibat dari tidak sensitifnya pemerintah pisat dalam melakukan kerjasama dengan pemerintah lokal itu.

Soal stigma terorisme di Poso pasca perdamaian Malino, menurut Ichsan Malik, terjadi karena adanya radikalisme agama pada sekelompok anak muda Poso setelah konflik. Radikalisme itu terdorong oleh ide-ide solidaritas agama yang dibawa pihak luar Poso. Tidak hanya itu, juga karena adanya distorsi tentang "pembantaian umat beragama" ketika meletusnya konflik dahsyat tahun 2000 silam.

"Nah distorsi seperti itu ternyata sangat signifikan mampu memelihara rasa dendam para korban dan pelaku konflik Poso yang sebagian besar adalah anak muda yang kini tidak memiliki pekerjaan sebagai sandaran hidup lagi. Lalu jadilah mereka yang oleh aparat mendapat stigma sebagai teroris itu," kata Ichsan Malik.

Oleh karena itu, Ichsan Malik mengharapkan agar perlu dibangun perdamaian di Poso secara komprehensif. Poso membutuhkan suatu "happy ending" yang total untuk menghentikan kekerasan secara tuntas. "Yah, kalau di Maluku kita istilahkan dengan Baku Bae," ujarnya.

MO TAMBU TANA

Untuk membangun perdamaian yang menyeluruh itu, Ichsan Malik menawarkan perlu adanya media alternatif, yang berdasarkan laporan hasil assesment dari peneliti Pusat Penelitian Perdamaian dan Pengelolaan Konflik (P4K) Untad disebut dengan Mo Tambu Tana yang berarti tradisi mengubur dendam.

Berdasarkan maknanya, Mo Tambu Tana adalah sebuah upacara ritual yang dilaksanakan berdasarkan pranata adat berkenan dengan upaya rekonsiliasi dan perdamaian yang melibatkan pihak-pihak yang bertikai, baik secara individual maupun komunal melalui fasilitasi dan mediasi pemangku adat, dan orang-orang yang berada di lingkup para pihak yang bertikai namun tidak terlibat dalam pertikaian atau pihak luar (pihak ketiga).

Mo Tambu Tana yang merupakan suatu mekanisme lokal untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di masyarakat itu, kata Ichsan Malik, prosesnya, dimulai dengan tahap molibu (musyawarah) kemudian berlanjut dengan proses saling bertukar argumen lewat pantun yang disebut dengan istilah kayori.

"Nah, rangkaian dari semua itu sampai akhirnya berpuncak pada Mo Tambu Tana, yaitu dengan menyembelih seekor kerbau lalu kepalanya ditanam dan dagingnya dibagi bersama," kata Ichsan Malik. ***