Tuesday, September 11, 2007

Isu Kekerasan di Poso Bergeser

Ruslan Sangadji

Isu kekerasan di Poso, Sulawesi Tengah, kini telah bergeser dari isu agama dan perebutan kekuasaan politik lokal, menjadi isu korupsi dan stigma terorisme. Bahkan, konflik Poso itu seolah-olah ibarat virus yang telah mewabah hingga ke Kabupaten Morowali, Banggai Kepulauan dan Tolitoli.

"Konflik kekerasan massal yang terbuka antara komunitas Islam dan Kristen di Poso sudah tidak terjadi lagi pasca Deklarasi Malino tahun 2002 lalu, namun kekerasan itu tetap berlangsung dengan isu yang berbeda," tegas Ichsan Malik, pimpinan Institut Titian Perdamaian Jakarta di auditorium Universitas Tadulako (Untad) Palu, Selasa (11/9).

Ichsan Malik yang berbicara pada Seminar Nasional Membangun Budaya Perdamaian Berbasis Budaya Lokal sebagai rangkaian dari acara International Peace Day itu mengatakan pada dasarnya penyelesaian konflik Poso itu tidak pernah tuntas oleh pemerintah dan masyarakat, dan hal itu yang menyebabkan masih potensialnya konflik kekerasan di daerah penghasil kayu ebony itu.

Menurut Ichsan Malik yang juga penggagas Baku Bae Maluku ini, pemerintah pusat tidak sensitif ketika bekerjsama dengan pemerintah lokal, sehingga menimbulkan masalah baru pasca konflik, yakni tumbuhnya budaya korupsi pada bantuan dana kemanusiaan untuk pengungsi dan dana rekosntruksi Poso.

"Sebetulnya pemerintah lokal sedang 'sakit' karena konflik. Tapi, pemerintah pusat justru tidak melakukan kerjasama yang efektif. Akibatnya, terjadi mega korupsi pada sejumlah bantuan kemanusiaan," kata Ichsan Malik.

Dalam catatan Yayasan Tanah Merdeka Palu, menyebutkan bahwa sejak tahun 2001, pemerintah pusat telah menyalurkan dana bantuan untuk Poso lebih dari Rp 100 miliar. Bantuan tersebut meliputi jaminan hidup (jadup) dan bekal hidup (bedup), bahan bangunan rumah (BBR), dana
pemulangan pengungsi, santunan korban, dan dana lauk pauk. Yang total bantuan itu ditaksir mencapai Rp 168 milyar.

Misalnya, tahun 2002 pemerintah pusat telah mendistribusi bantuan berupa dana jaminan hidup (jadup) dan bekal hidup (bedup) bagi 13.326 kepala keluarga (kk) pengungsi sebesar lebih Rp 33 miliar, dan masing-masing kk menerima Rp 2,5 juta. Tahun yang sama, dikucurkan lagi dana sebesar lebih Rp 29 miliar bantuan untuk bahan bangunan rumah (BBR) yang diperuntukkan bagi 5.813 kk pengungsi, yang masing-masing kk menerima Rp 5 juta dalam bentuk bahan bangunan rumah.

Tahun 2002 juga mengucurkan dana bagi pemulangan 11 ribu pengungsi sebesar lebih Rp 13 miliar. Dengan catatan, masing-masing kk pengungsi menerima Rp 1.250 ribu. Sedangkan tahun 2003-2004, kembali dikucurkan dana jadup dan bedup sebesar lebih Rp 59 miliar. Dana tersebut diperuntukan bagi 17.653 kk pengungsi dengan nilai bantuan per kk Rp 2,5 juta. Dan tahun 2003 juga, bantuan BBR kembali digulirkan sebesar lebih Rp 6 miliar yang harus dibagikan kepada 1.298 kk pengungsi. Total bantuan kemanusiaan Poso dari tahun ke tahun itu totalnya Rp 141.985.500.000

Nah, dari jumlah dana sebesar itu, kemudian terjadi praktik korupsi bagi sejumlah pejabat lokal. Dalam kasus ini, Ichsan Malik mengatakan akibat dari tidak sensitifnya pemerintah pisat dalam melakukan kerjasama dengan pemerintah lokal itu.

Soal stigma terorisme di Poso pasca perdamaian Malino, menurut Ichsan Malik, terjadi karena adanya radikalisme agama pada sekelompok anak muda Poso setelah konflik. Radikalisme itu terdorong oleh ide-ide solidaritas agama yang dibawa pihak luar Poso. Tidak hanya itu, juga karena adanya distorsi tentang "pembantaian umat beragama" ketika meletusnya konflik dahsyat tahun 2000 silam.

"Nah distorsi seperti itu ternyata sangat signifikan mampu memelihara rasa dendam para korban dan pelaku konflik Poso yang sebagian besar adalah anak muda yang kini tidak memiliki pekerjaan sebagai sandaran hidup lagi. Lalu jadilah mereka yang oleh aparat mendapat stigma sebagai teroris itu," kata Ichsan Malik.

Oleh karena itu, Ichsan Malik mengharapkan agar perlu dibangun perdamaian di Poso secara komprehensif. Poso membutuhkan suatu "happy ending" yang total untuk menghentikan kekerasan secara tuntas. "Yah, kalau di Maluku kita istilahkan dengan Baku Bae," ujarnya.

MO TAMBU TANA

Untuk membangun perdamaian yang menyeluruh itu, Ichsan Malik menawarkan perlu adanya media alternatif, yang berdasarkan laporan hasil assesment dari peneliti Pusat Penelitian Perdamaian dan Pengelolaan Konflik (P4K) Untad disebut dengan Mo Tambu Tana yang berarti tradisi mengubur dendam.

Berdasarkan maknanya, Mo Tambu Tana adalah sebuah upacara ritual yang dilaksanakan berdasarkan pranata adat berkenan dengan upaya rekonsiliasi dan perdamaian yang melibatkan pihak-pihak yang bertikai, baik secara individual maupun komunal melalui fasilitasi dan mediasi pemangku adat, dan orang-orang yang berada di lingkup para pihak yang bertikai namun tidak terlibat dalam pertikaian atau pihak luar (pihak ketiga).

Mo Tambu Tana yang merupakan suatu mekanisme lokal untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di masyarakat itu, kata Ichsan Malik, prosesnya, dimulai dengan tahap molibu (musyawarah) kemudian berlanjut dengan proses saling bertukar argumen lewat pantun yang disebut dengan istilah kayori.

"Nah, rangkaian dari semua itu sampai akhirnya berpuncak pada Mo Tambu Tana, yaitu dengan menyembelih seekor kerbau lalu kepalanya ditanam dan dagingnya dibagi bersama," kata Ichsan Malik. ***

No comments: