Monday, August 20, 2007

Mengenal Berbagai Tradisi di Sulawesi Tengah


Ruslan Sangadji

Sulawesi Tengah, didiami berbagai macam suku bangsa, antara lain suku Kaili, Kulawi, Lore, Pamona, Mori, Bungku, Saluan, Banggai, Balantak, Buol, Toli-toli dan masih banyak yang lain. Di setiap etnis itu, masih ada lagi sub-etnis yang lain. Sebut saja misalnya etnis Kaili, ada ratusan sub-etnisnya seperti Kaili Ledo, Kaili Tara, Kaili Rai, Kaili Doi, Kaili Unde, Kaili Da'a dan banyak lagi yang lain.

Dengan demikian, setiap sub etnis itu memiliki bahasa sendiri-sendiri dan ada kemiripan satu sama lainnya. Pun halnya dengan adat istiadatnya, termasuk upacara-upacara adat yang cukup beragam dan sangat banyak.


Proses untuk membuka ladang baru hingga panen saja, suku-suku ini memiliki upacara adat sendiri yang disebut upacara Adan Tane. Upacara ini berisikan perbuatan suci dan kepercayaan leluhur atau nenek moyang kepada yang dianggap pengusaha tanah, yaitu To Manuru, yang memberikan kesuburan, kebersihan atau kegagalan.

Dalam kontak dan komunikasi dengan penguasa itu, diadakanlah upacara-upacara adat. Hapri Ika Poigi, salah seorang budayawan di Palu mengatakan, bag masyarakat suku Kaili upacara tersebut meliputi upacara pembukaan ladang baru yang disebut Balia Tampilangi, upacara menebang hutan atau Nantahu upacara mengelilingi benih padi disebut Nalili bane, upacara Nabalia, upacara menanam benih atau Notuda.

Tidak hanya itu, Hapri Ika Poigi juga menambahkan, saat padi yang ditanam itu sudah mulai berisi, mereka pun mengadakan upacaranya yang disebut No Unju Bosu, upacara mengadakan sesajian yang disebut Nomparaya, upacara Modindi, Upacara No Ktot memetik padi, upacara Nopinji yaitu memberi sesajian, upacara Nanjalo yaitu pesta selamatan panen dan upacara Nowunja pesta panen secara massal yang mengambil lokasi di sekitar baruga atau rumah adat masyarakat Kaili.

Belum lagi soal siklus kehidupan manusia. Bagi masyarakat Sulawesi Tengah secara keseluruhan, selalu ada upacaranya. Misalnya dimulai sejak sebelum kelahiran bayi, yakni upacara masa hamil, kemudian adat dan upacara kelahiran, adat dan upacara sebelum dewasa, adat dan upacara perkawinan dan upacara kematian. Dari sekian banyak upacara tersebut, maka upacara peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa dilakukan sangat unik.

Dalam catatan sejarah upacara adat masyarakat Sulawesi Tegah, ketika seorang anak meningkat dewasa, yakni sekitar umur 12 tahun ke atas, diadakan upacara Nakeso dan Naloso. Upacara ini merupakan yang sangat besar dan dibesarkan karena saat ini putra putri telah mengakhiri masa kanak-kanaknya, sehingga kepadanya diharuskan mengikuti upacara ini, dan mereka diberi nama Toniasa. Artinya, Tona nipaka asa atau orang dibuat tenang atau didewasakan.

Selama satu bulan sebelum upacara ini, Toniasa ini dikurung dalam suatu tempat tertutup dan tidak boleh keluar serta menginjak tanah. Dalam kurungan ini mereka harus melaksanakan peraturan dan disiplin yang diajarkan menurut adat, sedangkan untuk keperluan mereka seperti makan, minum dan lainnya, harus didahului dengan memukul tambur atau membunyikan seruling dari bambu.

Arifin Sunusi, pengurus Dewan Kesenian Palu mengatakan, dahulu yang digunakan untuk mengurung putra-putri tersebut adalah bangunan bertangga bambu yang disebut Songi, dan ditutup dengan mbesa sejenis kain kulit kayu yang khusus dipakai untuk upacara adat. Puncak upacara adalah setelah Toniasa mengakhiri latihan Songi, pada malam hari kuku-kuku tangan dan kaki diberi pacar, sementara selama pemberian pacar berlangsung diperdengarkan lagu Rano yang dinyanyikan secara bersahut-sahutan oleh orang-orang tua dengan iringan bunyi-bunyian.

Pagi harinya, toniasa digendong ke sungai untuk dimandikan dan selanjutnya diberi pakaian adat seperti halnya orang dewasa. Selanjutnya dilakukan upacara Nakeso, yakni menggosok gigi atau pemotongan gigi dengan menggunakan bebatuan khusus dan disaksikan banyak orang. "Biasanya, nakeso itu dilakukan di bantaya atau Baruga (balai pertemuan adat) yang dilakukan oleh kepala adat," katanya.

Selanjudnya toniasa diturunkan dan diarak mengelilingi balai adat atau bantaya yang sudah dihiasi daun kelapa dan bambu kuning. Upacara ini diebut Naloso. Terakhir kepala Toniasa yang tertua diharuskan menombak kerbau yang diikuti oleh mereka yang menjalani upacara ini sampai kerbau tersebut mati. Kemudian kepala kerbau diambil dan diletakkan di depan balai adat, dan Toniasa duduk di atas kepala kerbau didampingi Toniasa yang lain, putra maupun putri.

"Saat itulah, putra-putra itu pun dilantik dan dinyatakan sudah menjadi orang dewasa. Apabila mereka melanggar adat, maka kepalanya sebagai pengganti kepala kerbau ini," ujarnya.

Semua tradisi masyarakat Sulawesi Tengah, masih tetap dipertahankan hingga kini. Bahlan, untuk mempopulerkannya kepada publik, semua jenis upacara ini selalu diadakan di berbagai media, tidak hanya di kampung-kampung, tapi sudah ke panggung-panggung hiburan dan festival.

"Kita khawatir, seiring berkembangnya zaman, generasi sekarang malah melupakan semua tradisi itu. Makanya, kita berupaya mempertahankannya, dengan menampilkannya di ruang-ruang publik," tandas Arifin Sunusi. ***

Sunday, August 19, 2007

World Culture Festival Dilaksanakan di Donggala


Ruslan Sangadji

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, akan menggelar World Culture Festival. Acara yang bertema Riak Donggala itu, akan dilaksanakan tanggal 7 September 2007 nanti.

Kepalada Dinas Budpar Donggala, Syuaib Djafar, kepada The jakarta Post, Minggu (19/8) pagi, mengatakan, acara tersebut selain sebagai salah satu perwujudan dari Visit Indonesia Year 2008, juga akan menjadi forum musisi indigenous Indonesia, menjadi agenda sirkuit festival kebudayaan dunia, sekaligus meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap warisan budaya leluhur.

Lantaran itu, menurut Syuaib Djafar, pihaknya tidak hanya akan menampilkan kesenian budaya Sulawesi Tengah, khususnya Donggala, tapi juga dari Jawa dan Bali. Antara lain seperti Tari Rego (tari pesta panen), tari Dero (tarian pergaulan masyarakat Poso), Vunja (tari menanam padi) dan ada juga tari kecak, dugig dan hudog.

Tidak hanya itu, Kadis Budpar Donggala ini mengatakan, pihaknya juga akan menampilkan indigenous performance seperti Lalove (alat musik tiup khas Sulawesi Tengah), kecai ensemble, sampeq, sasando, keroncong, japin dan tawana.

Menurut Syuaib Djafar, agar acara itu menjadi menarik, pihaknya akan mendatangkan sejumlah artis ternama seperti Tamara Blezinsky (sebagai story teller), Peggy Melati Sukma, Sahnaz Haque dan Sarah Sechan (sebagai Master of Ceremony).

Karena fasilitas hote di Kabupaten Donggala yang sangat terbatas, Syuaib Djafar mengatakan, sebagian besar para tamu akan menginap di sejumlah hotel di Kota Palu, lalu mereka akan diantar dengan menggunakan boat menyeberangi Teluk Palu menuju Kota Donggala.

Sepanjang perjalanan akan memakan waktu sekitar 20 menit itu nantinya, para peserta akan dihibur dengan Dade Ndate yang akan dibawakan seorang budayawan Palu, Tjatjo Tuan Sjaichu yang didampingi Tamara Blezinsky.

Dadendate adalah nyanyian panjang yang menceritakan soal aktivitas kehidupan keseharian, mengisahkan soal kondisi alam, tradisi, kebiasaan sehari-hari, atau lazim disebut dengan bercerita dengan lagu yang diiringi dengan musik tradisional seperti gendang dn suling.

Dade Ndate juga bisa dartikan dengan lagu yang mengisahkan suatu dari bawah ke atas. Apa yang diuraikan dalam syair lagu Dade Ndate, sifatnya menanjak dan menuju ke puncak. Bila dia menceritakan sesuatu, selalu dari awal sampai akhir cerita tersebut.

Menurut Syuaib Djafar, selama ini pemerintah pusat lebih banyak memberikan perhatian pada budaya dan pariwisata di Bali. Maka sekarang adalah saatnya perhatian pemerintah diarahkan lagi ke kawasan timur Indonesia, khususnya di Sulawesi Tengah.

"Ini adalah sebuah kesenian yang paling komunikatif di komunitas To Sindue atau daerah sekitar Desa Taripa di Palu. Dadendate bisa menceritakan apa saja, mulai dari sejarah, romantisme muda-mudi, silsilah, perjuangan, dan lain-lain," kata Syuaib Djafar.

Contoh yang paling sederhana adalah proses seseorang dalam menempuh pendidikan mulai dari Taman Kanak-kanak hingga perguruan tinggi bahkan hingga menemukan pasangan hidup. Karena itulah sehingga disebut nyanyian panjang. Dan pada literatur sejarah musik seperti nyanyian Troubadour di Perancis beberapa abad silam.

Setibanya di Pelabuhan Donggala, para tamu akan dijemput dengan Tradisi Rato (menghamburkan segenggam beras kuning ke kepala tamu) serta Vaino (tradisi bertutur masyarakat Sulteng yang mendoakan keselamatan dan kesejahteraan tamu).

"Perhatian itu menjadi penting sebagai wujud dari kebhinekaan Indonesia. Negeri ini bukan hanya milik Bali, tapi juga kawasan timur, termasuk kami di Sulawesi Tengah," tandas Syuaib Djafar. ***

Tari Dero, Media Pemersatu Masyarakat Sulteng


Ruslan Sangadji

Malam itu, Sabtu (18/8) cuaca begitu bersahabat. Sedikitnya10 ribu orang bersatu dalam beberapa lingkaran. Mereka berpegangan tangan antara laki-laki dan perempuan tanpa memandang kelas sosial, tua dan muda. Langkah kaki mereka seirama mengikuti alunan musik bergenre chacha.

Ya, Mereka berkumpul memenuhi undangan civitas akademika Universitas Tadulako Palu untuk melakukan Tari Dero Massal. Acara yang dilaksanakan dalam rangkaian Dies Natalis dan Memperingati HUT Kemerdekaan RI yang ke-62 itu, sedianya untuk dicatatkan dalam rekor Muri sebagai tarian rakyat yang melibatkan ribuan orang.

Sayangnya, di tengah-tengah kegembiraan itu, para peserta Tari Dero terpaksa bubar, karena tumpahnya air dari langit. Akhirnya, Tari Dero yang seharusnya dilaksanakan hingga dini hari itu, terpaksa bubar pada sekitar pukul 23.30 Wita.

Tari Dero ini juga disebut dengan Tari Pontanu, jenis tari pergaulan di mana para penonton diajak ikut menari dengan saling bergandengan tangan membentuk lingkaran.

Tarian asal Poso, Sulawesi Tengah itu selalu dilakukan pada setiap acara-acara kawinan, pesta panen dan syukuran lainnya di Poso. Tari Dero itu masih tetap dipertahankan di beberapa kampung di Poso hingga kini.

Tapi sejak tahun 2000 sampai sekarang, Tari Dero itu tidak bisa lagi dilaksanakan di Poso Kota dan di beberapa kampung basis Muslim. Para tokoh agama Islam melarangnya, karena dinilai melanggar syariat Islam dan hanya akan mengingatkan masa lalu umat Islam saat terjadinya konflik.

Namun, Tari Dero tetap dilaksanakan di hampir semua tempat di Sulawesi Tengah. Di Palu misalnya, tarian asal Poso ini selalu dilakukan di hampir semua tempat.

Bahkan, hampir setiap malam Minggu, kita akan mudah menjumpai Tarian Dero di beberapa sudut kota. Bahkan, selalu dilombakan dalam bentuk Tari Dero Kreasi.

Rektor Universitas Tadulako (Untad) Palu, Sahabuddin Mustapa, mengatakan, Tari Dero sebagai sebuah tradisi lokal, harus tetap dipertahankan. Tari Dero tidak bisa dilarang, hanya karena alasan trauma dengan masa lalu. Masa lalu itu telah pergi, dan sekarang semuanya sudah berakhir. Jadi, Tari Dero tak bisa lagi dilarang.

"Tari Dero tak bisa dilarang. Jangan melihat dero dari sisi negatif, tapi nilailah Tari Dero sebagai salah satu media pemersatu, media perdamaian dan media silaturahmi bagi sesama anak bangsa," kata Rektor Untad Palu, Sahabuddin Mustapa, kepada The Jakarta Post. ***

Tuesday, August 14, 2007

Melestarikan Maleo, Yali Kamisi Diupah Rp 200 Ribu


Ruslan Sangadji

Melestarikan Maleo, Yali Kamisi Diupah Rp 200 Ribu

Hari masih pagi. Embun di rerumputan pun belum kering. Setelah memarkir kendaraan yang ku bawa, aku berjalan mengiringi seorang kakek yang ku taksir usianya sekitar 65 tahun. Keriput di tulang wajah si kakek terlihat begitu jelas. Maklum, ternyata belakang dia memberi tahu bahwa usianya sudah memasuki 72 tahun.

Tapi, semangat si kakek tak pernah luntur karena hujan dan tak lekang karena panas. Ia tetap semangat, gesit dan cekatan, gaya bicaranya juga masih tegas, namun senyumnya tetap ramah ketika bersama The Jakarta Post di pondok kebunnya, akhir pekan lalu.

Kami berjalan kaki sejauh sekitar 5 kilometer ke pondok di kebun si kakek. Untuk sampai ke pondok kebunnya, aku terpaksa melepas celana panjang yang ku kekanakan. Dengan bercelana pendek aku bersama si kakek menyusuri sungai yang airnya lumayan deras. Akhirnya kami sampai juga di pondok kebunnya yang lumayan luas.

Sambil beristirahat sejenak, aku menyerahkan dua bungkus rokok yang ku bawa kepada si kakek, lalu kami pun bercerita banyak hal soal aktivitas keseharian di kakek. Pria tua itu bernama Yali Kamisi. Sehari-harinya, berprofesi sebagai petani di Desa Pakuli, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Donggala---sekitar 62 kilometer arah selatan Kota Palu, ibukota Provinsi Sulawesi Tengah.

Selain sebagai petani, Yali Kamisi bekerja sebagai penangkar Burung Maleo (Macrocephalon Maleo) di hutan sekitar yang masih termasuk dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Agar Burung Maleo yang sudah diambang kepunahan itu tetap lestari, si kakek kemudian keliling di seluruh hutan untuk mencari lobang-lobang tempat bertelurnya burung cantik itu.

Yali Kamisi memiliki penciuman yang kuat. Sebab. Tidak semua lobang yang ditemukannya digali. Menurutnya, tidak semua lobang ada telur Burung Maleo. Lantaran itu, sehari ia hanya bisa mendapat antara 3---4 butir telur Burung Maleo.

Untuk apa semua telur itu, ternyata Yali Kamisi memindahkannya ke sebuah kandang untuk ditetaskan. Cara itu dilakukan, agar telur Maleo itu bisa aman dari binatang predator seperti biawak. Dalam beberapa minggu kemudian, telur-telur itu menghasilkan anak maleo yang sehat. “Setelah menetas, saya pindahkan lagi ke kandang lainnya, sambil menunggu saatnya untuk dilepas kembali ke hutan,” kata kakek empat belas cucu ini.

Aktivitasnya itu, ternyata tidak hanya sekadar melindungi burung endemik Sulawesi itu, tapi juga dapat melindungi kawasan hutan itu dari ancaman para penebang liar. Yali Kamisi mengaku, beberapa kali menghalangi orang luar yang datang menebang kayu di kawasan hutan Taman Nasional Lore Lindu itu.

Usahanya melindungi Maleo ternyata mendapat pujian dari beberapa pihak. Selain dibantu Yayasan Jambata Palu, Yali Kamisi juga telah menerima penghargaan pada Hari Lingkungan Hidup Tahun 2003 dari Gubernur Sulawesi Tengah, ketika itu Aminuddin Ponulele. Tidak hanya itu, Menteri Lingkungan Hidup pun telah berkunjung ke lokasi penangkaran Maleo yang dikelola oleh si Yali Kamisi itu.

Sayangnya, pemerintah hanya sekadar berkunjung saja, tapi cenderung melupakan Yali Kamisi. Buktinya, selama menjaga kelestarian Burung Maleo itu, si kakek hanya menerima upah sebesar Rp 200 ribu dari Yayasan Jambata Palu.

Upah itu pun hanya karena adanya program pelestarian Maleo yang dilakukan oleh yayasan tersebut yang didanai oleh United Nations Development Programme (UNDP). Sedangkan pemerintah Sulawesi Tengah tidak memberikan apa-apa, kecuali penghargaan tahun 2003 silam itu.

Kini, nasib burung Maleo di Kawasan Taman Nasional Lore Lindu boleh dibilang berada di tangan Yali Kamisi. Kelak kalau si kakek ini telah tiada, entah siapa lagi yang akan melanjutkan usaha dan kerja kerasnya melestarikan burung yang memiliki banyak keistimewaan itu.

Keistimewaan burung Maleo itu antara lain, besarnya mirip ayam, memiliki tonjolan di epala, yang di duga digunakan untuk mendeteksi panas bumi yang sesuai untuk menetaskan telurnya Pada saat masih anak dan remaja, tonjolan di kepala Maleo ini belum muncul, namun pada saat menginjak dewasa tonjolan inipun mulai tampak.

Maleo memproduksi telur sebagai bakal calon anak. Namun uniknya ukuran telur maleo tidak seperti layaknya ukuran telur ayam. Maleo memiliki ukuran telur yang besar, mencapai 5 kali lebih besar dari telur ayam. Beratnya pun mencapai 17% dari berat tubuh sang betina (rata-rata 232 gr).

Masih soal telur, dari ukuran telur sebesar itu dihasilkan kuning telur yang mencapai 67% dari total isi telur. Yang lebih unik lagi, telur-telur tersebut tidak dierami oleh induknya hingga menetas. Pengeraman telur dibantu oleh panas bumi atau oleh panas sinar matahari. ***

Friday, August 10, 2007

Palu, Sepotong Surga di Katulistiwa


Ruslan Sangadji

"Palu is a piece of paradise" (Palu sepotong surga di katulistiwa, mungkin kalimat yang tepat untuk menggambarkan sebuah kota dengan space town terunik dan terlengkap di dunia.

Disebut sepotong surga di katulistiwa, karena di kota berjulukan Kota Kaledo (makanan khas masyarakat asli Palu) ini, ada lembah, ada teluk yang elok, ada gunung yang membentang di timur dan barat, serta ada sungai yang membelah wilayah Palu Barat dan Palu Timur.

"Semuanya ada di sini. Di kota ini. Dan sesungguhnya suasana itu kemudian mengharuskan orang berdecak kagum jika datang ke kota ini," kata Andi Mulhanan Tombolotutu, ketua DPRD Kota Palu memuji keadaan topografi kotanya.

Di beberapa daerah di Indonesia, memiliki lembah dan gunung, tapi tidak memiliki gunung. Begitu juga, memiliki laut dan gunung, tapi tidak memiliki lembah dan sungai yang membelah.

Keindahan itu makin menjadi nyata, jika kita duduk di pantai penghibur yang terletak di jantung Kota Palu. Sambil menikmati sunset di bagian barat, sembari menikmati keindahan konstruksi Jembatan Teluk Palu, yang hanya ada tiga di dunia, yaitu Jepang dan Perancis.

Jembatan yang dibangun dengan anggaran Rp 57 Miliar itu, diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 2 Mei 2007 silam, ketika berkesempatan melakukan kunjungan kerja di daerah ini.

Pujian itu tidak hanya datang dari Ketua DPRD Kota Palu. Tapi juga mengalir dari mulut Humas Asian Development Bank (ADB), Ayun Sundari. Kepada Jurnal Nasional saat berada di Palu beberapa hari lalu, Ayun Sundari mengakui kalau ia menemukan kesejukan ketika berada di Kota Palu.

"Benar-benar berbeda dengan image yang berkembang di luar. Ternyata saya menemukan ada kesejukan di sini. Hati saya begitu damai. Luar biasa sangat indah," kata Ayun Sundari.

Padahal, menurut Ayun Sundari, sebelum ia datang ke Palu, ia harus bersedia menandatangani persetujuan dari Konsulat Jenderal (Konjen) Amerika di Surabaya. Persetujuan bahwa ia akan aman selama di Palu. Itu terjadi karena imaage yang berkembang di luar bahwa Kota Palu adalah bagian dari daerah konflik.

"Jujur saja, saya benar-benar menyesal ketika harus menandatangani persetujuan itu. Ternyata kota ini begitu indah. Jika saja dari awal saya tahu, pasti saya tidak akan menandatangani persetujuan dari Konjen Amerika itu," ujarnya.

Tono Supranoto, asisten Deputi Bidang Penanggulangan Kemiskinan Menko Kesra, pun mengakui keindahan itu. Untuk mengekspresikan rasa sukanya terhadap keindahan kota itu, ia memilih duduk santai di tepi pantai sambil terus menjempret suasana itu. "Kalau saya menunjukan foto ini ke kawan-kawan, pasti mereka tidak ada tahu kalau pemandangan ini ada di Palu," katanya.

Lantaran itu, Walikota Palu, Rusdy Mastura pun terinspirasi untuk mencanangkan kotanya sebagai "Pusat Kebangkitan Ras Melayu, dan sebagai Northern Gate Indonesia (Pintu Utara Indonesia). "Kota ini akan menjadi jendela peradaban bagian timur Indonesia dengan saudaranya dari ras kuning China," kata Walikota Palu.

Kini, untuk mendorong agar Kota Palu terus maju sejajar dengan daerah lainnya di Indonesia, Pemerintah Kota Palu telah membentuk Tim Percepatan Pembangunan Kota Palu. Tim yang dipimpin Dharma Gunawan, ketua Bappeda Kota Palu itu, telah menyepakati tujuh program prioritas, yakni percepatan pembangunan Kota Palu dalam kerangka Inpres Percepatan Pembangunan Sulawesi Tengah.

Kemudian Membangun Unit Pelaksana Teknis dan Mendirikan Sekolah Rotan, membangun laboratorium pengembangan teknologi dan budidaya kakao, revitalisasi Teluk Palu, mendorong kemajuan Informasi Teknologi, membangun kawasan industri, dan melakukan revolusi teknologi melalui Lembaga Pengembangan Teknologi Tepat Guna.

"Prioritas program ini, sebagai implementasi dari menjadikan Kota Palu sebagai northern gate Indonesia menuju kebangkutan peradaban ras melayu," kata Ketua Tim Percepatan Pembangunan Kota Palu, Dharma Gunawan.

Mengenai pentingnya sekolah rotan, karena pemerintah mengharapkan outputnya dapat melahirkan tenag kerja terampil yang dapat memenuhi pasar kerja. Menurut Andi Mulhanan Tombolotutu, saat ini tidak terjadi keseimbangan. Di satu sisi, luaran dari sekolah umum membludak, tapi di sisi lain pasar kerja mencari tenaga kerja terampil dan mereka tidak menemukannya dari lulusan sekolah umum. "Maka sekolah rotan ini menjadi sangat penting. Ini sekolah kejuruan," katanya.

Mimpi itu sangat rasional, pasalnya berdasarkan data yang diperoleh Jurnal Nasional dari Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Penanaman Modal (Disperindagkop-PM) Kota Palu, nilai ekspor rotan polish setiap tahun mengalami penurunan. Makanya, diharapkan ke depan rotan yang diekspor itu harus barang jadi.

Data menyebutkan, tahun 2000 misalnya, nilai ekspor rotan polish mencapai 9.501.085,83 ton, tahun 2001 mencapai 9.245.559,50 ton. Tahun 2003 menurun mnjadi 8.659.554,68 ton, dan tahun 2006 menurun lagi menjadi 267.511,00 ton. (selengkapnya lihat tabel).

meski begitu, menurut Ketua DPRD Kota Palu, Andi Mulhanan Tombolotutu, program yang segera direalisasikan adalah setiap kelurahan memiliki sistem mitigasi dan tanggap darurat bencana yang aktif.

Seluruh sentra produksi, industri dan kawasan pemukiman memiliki listrik, telekomunikasi, air bersih, sanitasi, irigasi, drainase, serta transportasi sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang Kota. Bebas pencemaran lingkungan dan seluruh limbah diolah menjadi produk bernilai tambah.

Pelabuhan udara,Laut, dan terminal petikemas memenuhi standar nasional serta terintegrasi dengan kawasan industri terpadu. Seluruh wilayah Kota Palu bebas banjir yang diakibatkan oleh meluapmya air sungai.

"Kita tidak mau menetapkan program yang muluk-muluk. Saya pikir, program seperti ini sangat rasional dan bisa dilaksanakan dalam beberapa tahun ke depan," tandasnya. ***