Sunday, August 19, 2007

Tari Dero, Media Pemersatu Masyarakat Sulteng


Ruslan Sangadji

Malam itu, Sabtu (18/8) cuaca begitu bersahabat. Sedikitnya10 ribu orang bersatu dalam beberapa lingkaran. Mereka berpegangan tangan antara laki-laki dan perempuan tanpa memandang kelas sosial, tua dan muda. Langkah kaki mereka seirama mengikuti alunan musik bergenre chacha.

Ya, Mereka berkumpul memenuhi undangan civitas akademika Universitas Tadulako Palu untuk melakukan Tari Dero Massal. Acara yang dilaksanakan dalam rangkaian Dies Natalis dan Memperingati HUT Kemerdekaan RI yang ke-62 itu, sedianya untuk dicatatkan dalam rekor Muri sebagai tarian rakyat yang melibatkan ribuan orang.

Sayangnya, di tengah-tengah kegembiraan itu, para peserta Tari Dero terpaksa bubar, karena tumpahnya air dari langit. Akhirnya, Tari Dero yang seharusnya dilaksanakan hingga dini hari itu, terpaksa bubar pada sekitar pukul 23.30 Wita.

Tari Dero ini juga disebut dengan Tari Pontanu, jenis tari pergaulan di mana para penonton diajak ikut menari dengan saling bergandengan tangan membentuk lingkaran.

Tarian asal Poso, Sulawesi Tengah itu selalu dilakukan pada setiap acara-acara kawinan, pesta panen dan syukuran lainnya di Poso. Tari Dero itu masih tetap dipertahankan di beberapa kampung di Poso hingga kini.

Tapi sejak tahun 2000 sampai sekarang, Tari Dero itu tidak bisa lagi dilaksanakan di Poso Kota dan di beberapa kampung basis Muslim. Para tokoh agama Islam melarangnya, karena dinilai melanggar syariat Islam dan hanya akan mengingatkan masa lalu umat Islam saat terjadinya konflik.

Namun, Tari Dero tetap dilaksanakan di hampir semua tempat di Sulawesi Tengah. Di Palu misalnya, tarian asal Poso ini selalu dilakukan di hampir semua tempat.

Bahkan, hampir setiap malam Minggu, kita akan mudah menjumpai Tarian Dero di beberapa sudut kota. Bahkan, selalu dilombakan dalam bentuk Tari Dero Kreasi.

Rektor Universitas Tadulako (Untad) Palu, Sahabuddin Mustapa, mengatakan, Tari Dero sebagai sebuah tradisi lokal, harus tetap dipertahankan. Tari Dero tidak bisa dilarang, hanya karena alasan trauma dengan masa lalu. Masa lalu itu telah pergi, dan sekarang semuanya sudah berakhir. Jadi, Tari Dero tak bisa lagi dilarang.

"Tari Dero tak bisa dilarang. Jangan melihat dero dari sisi negatif, tapi nilailah Tari Dero sebagai salah satu media pemersatu, media perdamaian dan media silaturahmi bagi sesama anak bangsa," kata Rektor Untad Palu, Sahabuddin Mustapa, kepada The Jakarta Post. ***

No comments: