Tuesday, May 29, 2007

Said Tolao: Saving the forest 'is my calling'

Features - May 28, 2007

Ruslan Sangadji, The Jakarta Post, Donggala

It was around 6:00 a.m. and most residents of Ngata Toro in Donggala regency, Central Sulawesi, were sitting outside their houses in sarongs. The air was actually a little cold that morning, with thick fog blanketing the village.

Said Tolao, 53, however, was already set to leave his house. In worn boots, a hat and long-sleeved T-shirt emblazoned with the words Kader Lingkungan (Environment Cadre), he was headed for the forest. Two sheathed knives adorned his waist.

Asked about forest destruction in the Lore Lindu National Park, Said got a little hot under the collar.

"The central government has to empower local people by raising their environmental awareness," the forest ranger said passionately.

"Once local people realize the importance of protecting the forests, they will not destroy it and will join hands in guarding the forest," added Said, who was born in Ngata Toro.

Perhaps it was this awareness that prompted Said to take on the traditional post of tondo ngata, or village policeman in charge of protecting some 22,950 hectares of forest in the Lore Lindu National Park (TNLL).

"For me, this is not merely a task, but also a calling," said Said, who was elected village policeman during an assembly of community leaders in 1998.

Since then, Said, who also commands an eight-person team, patrols the protected forests from one end to the other nearly every day.

"By patrolling the forest I know if any local people or outsiders cut trees in protected forest," he said, adding that in one day he and his team traverse more than a quarter of the 22,950-hectare protected forest.

He said when he goes into the forest, he brings no food. "If I get hungry, I just suck my thumbs. That knowledge has been handed down to me from my ancestors."

Local people divide the forest into four different types. The first is called wanangkiki or moss forest, where no human activity is allowed. The second is wana or virgin forest, which serves as a water catchment area. Local people may collect resin, rattan, and fragrant or medicinal plants from virgin forest, and they may hunt animals or fish in forest rivers, but they may not cultivate the land.

The third is pangale or restored forest. This refers to forests that were once cleared for cultivation, either for dry farming or rice fields, but have since been restored to their original state. The fourth is oma, which are forests that are often cleared to plant coffee, cocoa or other plants.

As a ranger, Said said, he has to ensure that nobody violates the forest or land policies.

One day in 2001, he said, trees were cut in an area customarily declared as a no-logging forest.

"I heard their chain saws roaring from one corner of the forest and so I rushed over to them. Along the way, I fell into a ravine, but I got up quickly and continued running. When I arrived, I saw four people sawing trees.

"They told me they were from South Sulawesi. They came to Toro village just to get logs," Said said.

Said briskly told the illegal loggers not to harvest trees in protected forests, but the four paid him no heed. After a long debate, they agreed to meet with local leaders at Ngata Toro, where they underwent a 'trial'. The community leaders found the four guilty of illegal logging, but freed them on the grounds that they were proxies acting on orders from timber companies. They were warned not to harvest in Lore Lindo National Park again.

Thanks to Said and his team, forests in Ngata Toro's customary areas in the Lore Lindu National Park are relatively untouched by logging activities. This is a stark contrast to what has happened in Dongi-Dongi, Palolo district, where a large swath of forest has been converted into residential areas.

"I'm sure that will not happen in Ngata Toro," said Said confidently.

For all his hard work, the Lore Lindu National Park gives Said a monthly allowance of Rp 350,000 (US$38).

In 2006, Said received an environmental award from the Ministry of Forestry and a Kalpataru award from President Susilo Bambang Yudhoyono.

He was not impressed, however.

"I don't need an award. All I need is for the forest to remain undamaged," he said.

Hutanku Rumahku

Ruslan Sangadji

Udara masih sangat dingin. Kabut masih menyelimuti Ngata Toro. Hanya satu dua warga kampung itu yang tampak di jalanan. Sedangkan yang lainnya masih bermalas-malasan dengan berbalut kain sarung dan menyerumput kopi di teras rumah masing-masing.

Tapi, di sudut yang lain. Seorang pria berusia 53 tahun, telah siaga dengan sepatu bot, topi, kaos lengan panjang bertuliskan "kader lingkungan" dan dihiasi golok di pinggang. Wajahnya tampak ceria dan penuh semangat.
Pagi itu, sekitar pukul 06.00 Wita, pria tua itu bersiap-siap menuju hutan sebagai tugas yang diembannya. The Jakarta Post dibuat kagum saat mengajaknya bicara. Gaya bicaranya meledak-ledak, suaranya lepas dan tak ada sedikit pun terkesan kaku. Apalagi, ketika diajak bicara mengenai pelestarian alam.

Adalah Said Tolao. Lelaki kelahiran Toro, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah 53 tahun lalu itu, adalah seorang Tondo Ngata atau polisi kampung. Dalam musyawarah adat di kampungnya tahun 1998, Said Tolao dipercayakan oleh Kapala Ngata (kepala kampung), Totua Ngata (Lembaga Adat Kampung), Tina Ngata (perempuan adat kampung) dan masyarakat setempat sebagai Tondo Ngata. Meski tak ada pimpinan Tondo Ngata, tapi ia sangat berperan memimpin delapan orang anggotanya.

Jabatan itu diberikan kepadanya, karena berdasarkan garis keturunan ayahnya yang memang sebelumnya sebagai Tondo Ngata. otomatis, dengan jabatannya itu, ia kemudian diberi tugas untuk menjaga sedikitnya 22.950 hektar lahan di kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Lahan itu, merupakan bagian dari wilayah Ngata Toro.

Bagi Said Tolao, menjaga hutan yang luas itu dijalaninya dengan penuh tanggungjawab. Selain karena memang tugas, pekerjaannya itu sudah menjadi hobi. "Ini bukan hanya tugas, tapi juga karena sudah hobi saya berada lama-lama dihutan," kata Said Tolao.

Said Tolao begitu fasih. Ia menjelaskan panjang lebar soal pengetahuan atau kearifan lokal masyarakat Ngata Toro mengenai hutan. Ia begitu cerdas menyebut klasifikasi hutan yang masih perawan sampai pada hutan yang dapat diolah. Dia menyebut soal wanangkiki, wana, pangale dan oma.

KLASIFIKASI HUTAN MENURUT ADAT

Hasil pemetaan Yayasan Tanah Merdeka menyebutkan wanangkiki adalah untuk jenis hutan lumut dan merupakan habitat beberapa jenis burung. Dalam kategori hutan ini, tidak ada aktivitas manusia sama sekali. Dalam penelitian Yayasan Tanah Merdeka Palu, luas wanangkiki sekitar 2.300 hektar.

Kedua, mereka menyebut wana untuk kawasan hutan primer di mana belum pernah ada kegiatan pengolahannya menjadi kebun. Wana merupakan hutan penyedia sumber air. Wana dimanfaatkan khusus untuk pengambilan damar, rotan, wewangian, obat-obatan dan sewaktu-waktu tempat untuk berburu binatang dan mencari ikan di sungai. Di aliran sungai yang mengandung emas dilakukan kegiatan mendulang emas. Luas wana sesuai hasil pemetaan 11.290 ha.

Ketiga, mereka manamakan pangale, untuk hutan yang berada di pegunungan dan dataran. Pangale termasuk kategori hutan sekunder karena sudah pernah diolah, tetapi telah kembali menjadi hutan seperti semula. Bagi orang Toro pangale disiapkan untuk kebun dan datarannya untuk sawah. Pangale juga dimanfaatkan untuk mengambil kayu, rotan, pandan hutan, obat-obatan dan wewangian. Luas pangale sesuai hasil pemetaan 2.950 ha.

Keempat, masyarakat adat Ngata Toro menyebut oma, yakni hutan bekas kebun yang sering diolah, utamanya untuk tanaman kopi, kakao dan tanaman tahunan lainnya. Menurut usia pemanfaatannya oma terdiri dari tiga jenis yaitu oma ntua (bekas kebun yang ditinggalkan antara belasan hingga 20-an tahun), oma ngura (bekas kebun yang ditinggalkan antara 3 hingga belasan tahun, yang merupakan jenis hutan yang lebih muda dibanding oma ntua).

Di hutan ini, pohon-pohon belum tumbuh besar dan masih dapat ditebas dengan menggunakan parang. Rerumputan dan belukarmerupakan ciri khasnya. Juga ada yang disebut oma ngkuku, yakni bekas kebun yang berusia antara 1 sampai dengan 2 tahun. Vegetasi dominan adalah rerumputan.

Klasifikasi hutan yang Kelima, menurut orang Toro adalah Balingkea, yakni bekas kebun yang usianya 6 bulan - 1 tahun. Sering dimanfaatkan untuk palawija.
Sudah menjadi tugas Said Tolao untuk menjaga semua jenis hutan itu. Ia tak pernah mengeluh meski harus menjaga kawasan itu. Bahkan, setiap kali berangkat bertugas ke hutan ia tak pernah membawa bekal makanan. "Kalau lapar, saya hanya mengisap kedua ibu jari saya saja. Itu ilmu turun temurun dari nenek moyang saya," katanya.
Atas pengabdiannya itu, Balai Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL) memberikan upah untuk Said Tolao sebesar Rp 350 ribu per bulannya. Sungguh, sebuah penghargaan atas jasa seseorang yang sangat kecil. Padahal atas usahanya itu, ia berhasil memproteksi pihak luar atau penebang liar yang datang mengambil kayu di hutan itu.

Tapi, tahun 2006 lalu, Said Tolao menerima penghargaan dari pemerintah. Ia menerima penghargaan dari Menteri Kehutanan RI dan Kalpataru dari Presiden. "Sebenarnya bukan penghargaan yang saya butuhkan. Saya cuma berharap agar hutan ini tidak rusak," tegasnya.

Bagi Said Tolao, hutan adalah rumahnya. Maka sudah menjadi tanggungjawabnya untuk menjaganya dari kerusakan. Ia berpesan, bahwa pemerintah harus memberdayakan masyarakat untuk ikut bersama-sama menjaga hutan dari kerusakan. Jika masyarakat sudah sadar, maka tak mungkin ada kerusakan.

"Masyarakat yang akan menjadi petugas untuk menghalangi pihak luar yang datang menebang kayu di hutan. Jadi, yang paling penting adalah kesadaran kita semua," tandas Said Tolao, ***

Pantai Talise Palu, Wisata di Tengah Kota

Ruslan Sangadji

Pantai Talise di Kota Palu, Sulawesi Tengah, sejak tahun 1990-an hingga 2000, identik dengan tempat transaksi seks kelas rendahan. Seiring terbenamnya matahari di bagian barat Kota Palu, di saat itu pula mulai berdiri warung remang-remang yang menambah keyakinan pengunjung, bahwa pemilik warungnya juga menyediakan wanita-wanita penghibur.

Maka tak heran, hampir setiap malam, antrian kendaraan roda dua maupun empat selalu memenuhi Pantai Talise itu. Mereka datang, tak hanya sekadar menikmati minuman tradisional seperti sarabba (air jahe dicampur sedikit santan dan susu), pisang goreng, pisang gepe (pisang bakar dibumbui keju atau gula merah) dan jagung bakar, mereka juga datang untuk memangsa wanita penghibur di tempat itu.

Pemerintah Kota Palu menilai, situasi itu tak bisa dibiarkan terus menerus. Apalagi, letak Pantai Talise itu di tengah kota, sehingga akan membuat kesan negatif bagi tamu yang datang ke Kota Palu.

Maka, Pemerintah Kota Palu membuat kebijakan baru dengan melarang para wanita penghibur kelas rendahan itu beroperasi di Pantai Talise. Razia pun dilakukan. Satu-persatu para PSk itu diamankan dan dibina di Panti Sosial Kalukubula. Akhirnya, Pantai Talise pun kini telah berubah. Tak ada lagi warung remang-remang. Yang ada, hanyalah warung khusu disediakan untuk menjual aneka macam minuman dan makanan khas Kaili. Kaili adalah etnis asli Palu.

Kini, Pantai Talise telah menjadi salah satu tempat wisata malam, dimana warga dapat menikmati keindahan Teluk Palu yang berbatasan dengan Selat Makassar itu. Keindahan lampu-lampu dari perahu nelayan yang bergerak-gerak di tengah teluk karena dihempas gelombang dan juga menikmati makanan dan minuman khas, tanpa diganggu oleh wanita penghibur lagi. Suasana itu menjadi semakin lengkap, setelah dibangunnya Jembatan Palu IV yang diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono awal Mei lalu.

Tak jauh dari Pantai Talise itu, hanya sekitar 3 kilometer ke arah barat, atau tepatnya di Taman Ria, warga dan tamu yang datang ke Palu, dapat menikmati keindahan yang sama dengan di Pantai Talise. Tapi, di pantai ini lebih lengkap lagi, karena pemilik warung juga menjual makanan khas seperti Kaledo (sop tulang sapi) yang dimakan dengan singkong atau nasi, uvempoi (kuah asam dari tulang sapi) yang dimakan dengan burasa (nasi santan yang dibungkus daun pisang), dan uta dada (semacam opor ayam).

Di Pantai Taman Ria ini juga berdiri sebuah restoran yang meyediakan menu-menu nusantara yang lengkap. Tapi, menu favoritnya adalah ikan bakar. Di sini disediakan segala jenis ikan seperti Bubara, kakap merah, baronang, sunu dan berbagai macam ikan kualitas ekspor lainnya.

Walikota Palu, Rusdy Mastura mengatakan, Kota Palu ini sangat indah. Kota ini dikenal dengan "Kota Tiga Dimensi", karena ada teluk Palu yang indah, dikelilingi pegunungan dan juga dilengkapi dengan sebuah suangai panjang membelah kota. Sungai ini adalah muara dari Danau Lindu di Taman Nasional Lore Lindu.

"Inilah yang membuat Kota Palu menjadi indah. Hanya saja, kita tidak punya dana yang besar untuk bisa mengembangkan kawasan ini menjadi tempat wisata moderen," kata Walikota Palu.

Meski demikian, Rusdy Mastura mengatakan bahwa pelan tapi pasti, pihaknya akan berusaha mengembangkan kawasan pantai di Kota Palu, sebagai tempat wisata di malam hari. "Saya yakin, pantai ini akan menjadi tempat yang sangat romantis untuk bersantai bersama keluarga di malam hari," katanya.

PILIHAN TEPAT UNTUK SNORKELING

Begitu matahari terbit, suasana romantis di malam hari pun berganti dengan ramainya warga yang memilih santai dan menikmati hangatnya air laut di pagi hari. Tidak hanya itu, bagi mereka yang hobi diving atau snorkeling, akan dapat menikmati keindahan terumbu karang warna-warni yang berbentuk bunga dan pohon.

"Jika kita snorkeling, baru tiga meter dari bibir pantai saja, kita sudah dijemput oleh ikan-ikan hias yang bermain-main di antara karang. Kita juga akan menikmati keindahan terumbu karang di Pantai Talise ini," kata Ferry Taula, salah seorang pengelola restoran di tempat itu yang mengaku telah mendokumentasikan terumbu karang yang berwarna-warni di tempat itu.

Selain mendokumentasikan terumbu karang, Ferry Taula juga menjaga kawasan itu dari ancaman illegal fishing. Caranya, ia menyewa warga setempat untuk menangkap para nelayan tradisional yang sengaja menangkap ikan dengan cara ilegal seperti menggunakan bom dan racun.

Tapi, dia juga memberdayakan nelayan tradisional setempat dengan memberikan perahu dan membeli ikan hasil tangkapan mereka dengan cara yang legal. "Ini semua saya lakukan agar mereka tidak menangkap ikan dengan cara illegal," katanya.

Menurut Fery Taula, setiap hari Minggu, tercatat sedikitnya 100 orang yang datang ke Pantai Talise untuk menikmati hangatnya air laut, menikmati terumbu karang dan ikan hias yang berwarna-warni.

Pantai Talise ini juga menjadi kawasan wisata yang paling mudah dijangkau. Jarak dari hotel terbesar di Kota Palu hanya sekitar 1 kilometer. Jarak dari air port hanya sekitar 4 kilometer, dan jarak ke lapangan golf hanya sekitar 500 meter. Pokoknya akses ke mana-mana sangat mudah dijangkau, karena tidak ada kemacetan lalulintas laiknya Jakarta yang penuh kemacetan.

Sayangnya, saat ini kawasan itu masih dikunjungi oleh pengunjung lokal. Wisatawan manca negara masih memilih Pantai Tanjung Karang di Kabupaten Donggala---sekitar 45 kilometer arah barat Palu, dan di Kepulauan Togean, Kabupaten Tojo Una-Una.

Itu disebabkan karena kawasan ini sudah lama dikembangkan, promosinya sudah ke mana-mana dan lengkap dengan cottage. Rata-rata, wisatawan manca negara yang datang ke dua tempat itu adalah dari Eropa.

Data Dinas Pariwisata Sulawesi Tengah menyebutkan, dalam setiap tahun tercatat wisatawan manca negara yang datang ke Pantai Tanjung Karang tercatat sedikitnya 150 orang. Sedangkan di Kepulauan Togean, sampai mencapai 300 orang. Kebanyakan mereka berasal dari Eropa.

Pantai Talise juga akan bisa berkembang seperti Pantai Tanjung Karang dan Kepulauan Togean, jika Pemerintah Kota Palu juga memprioritaskan pengembangan wisata dalan kebijakan pembangunan di kota ini.

Saat ini, Pemerintah Kota Palu cenderung lebih memprioritaskan pembangunan infrastruktur dan ekonomi. Sedangkan pengembangan wisata cenderung diabaikan. Padahal, jika wisatanya maju, maka dengan sendirinya kota ini akan ramai dikunjungi wisatawan asing dan investasi pun akan maju.

Pengembangan wisata itu pun, harus pula seiring dengan menciptakan citra Kota Palu sebagai kota yang aman dan bukan sebagai sarang teroris seperti yang berkembang selama ini. "Kota Palu ini aman. Hanya media saja yang membesar-besarkan kalau kota ini penuh dengan teror," tegas Ketua DPRD Kota Palu, Andi Mulhanan Tombolotutu. ***

Monday, May 28, 2007

Perempuan Kampung yang Tak Kampungan

Sore itu, di pinggir sebuah kolam ikan mas, seorang perempuan muda terlihat begitu gembira bersama putra bungsunya yang berusia tujuh tahun. Sesekali terdengar suara teriakan ketika putranya melompat ke kolam. Memang, kolamnya hanya sebatas betis orang dewasa, tapi perempuan itu khawatir kalau-kalau kaki anaknya tertusuk duri.

Perempuan muda itu adalah Rukmini Paata Toheke. Perempuan tamatan Sekolah Pendidikan Pertanian Menengah Atas (setingkat SMA) di Donggala itu, terkenal sebagai tokoh perempuan yang sangat kreatif dan agresif.

Berkat usaha-usahanyalah, perempuan di kampungnya diberi peran yang cukup penting. Bahkan, setiap keputusan yang harus diambil oleh lembaga adat di kampungnya, dianggap tidak sah jika tidak dihadiri oleh perempuan adat. Pentingnya peran itu, maka tahun 2001, perempuan kelahiran berusia 36 tahun ini membentuk Organisasi Perempuan Adat Ngata Toro. Maka pada saat itu pula, Rukmini Paata Toheke pun diangkat menjadi Tina Ngata (ibu kampung).

Maka, pada saat yang sama, keberadaan organisasi yang dipimpinnya, pun mengemban suatu mandat khusus yang diberikan oleh Libu Ngata (lembaga adat) setempat untuk mengorganisasikan kepentingan perempuan adat Ngata Toro dalam berbagai bidang kehidupan.

Toro, sebuah desa yang secara administratif menjadi bagian dari Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Sejak diberlakukannya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, memungkinkan penggunaan kata ‘Desa’ dapat di ganti sesuai istilah lokal. Dan orang Toro (Toi Toro) menggunakan istilah Ngata dalam menyebut kata desa, sehingga tempat tinggal orang Toro di sebut Ngata Toro.

Ngata Toro yang berjarak 86 kilometer dari Kota Palu, dapat di tempuh dalam waktu tiga jam. Kampung ini memiliki luas wilayah adat ± 22.950 hektar. Berada di ketinggian 700 meter dari permukaan laut, menjadikan kawasan ini tempat yang sejuk, dengan suhu terendah sekitar 18ÂșC. Kondisi iklim ikut dipengaruhi topografinya yang didominasi oleh pegunungan. Jalan menuju ke kampung ini, berlobang-lobang dan berkelok-kelok.

Kembali ke Sejarah

Awal bulan April ini, The Jakarta Post sempat menemui Rukmini Paata Toheke di kampungnya, Ngata Toro. Ini tiga orang anak ini menjelaskan, sebelum berdirinya organisasi itu, perempuan adat Ngata Toro yang terdiri dari tiga kelompok etnis besar yaitu etnis Kulawi, Rampi dan Winatu, sejak tahun 1970 telah bergabung dalam satu wadah kelompok bernama PKK.

Pada saat itu, semua keputusan dan kebijakan kampung, harus berdasarkan keinginan pemerintah secara sepihak, tanpa mempertimbangkan substansi kebutuhan masyarakat dan perempuan di Ngata Toro. “Jika kondisi itu dibiarkan, maka peran perempuan pun tak akan berari apa-apa,” kata Rukmini Toheke.

Maka, Rukmini Toheke bersama beberapa perempuan lainnya mulai berjuang, untuk mengembalikan posisi dan peran perempuan seperti sejarah masa lalu. Bahwa posisi dan peran perempuan pada masa yang lampau di wilayahnya, memiliki tiga peran yang cukup penting, yaitu sebagai Tina Ngata (Ibu kampung), Pobolia Ada (Penyimpan adat) dan Pangalai Baha (Pengambil kebijakan).

Menurut Rukmini Toheke, ketika organisasi perempuan di kampung itu beranama PKK, justru perannya hanya pada soal-soal domestik saja. Padahal, berdasarkan sejarahnya, perempuan di kampung itu juga dipercayakan mengurusi soal hubungan manusia dengan Tuhan (Pekahovia), hubungan manusia dengan alam (Katuvua), dan hubungan manusia dengan manusia (Hintuvu).

Rukmini Toheke memang perempuan kampung, tapi ia tak kampungan. Atas peran-perannya itu, perempuan itu pun terkenal di mana-mana. Terbukti ia diundang dalam berbagai acara, baik di Palu bahkan sampai ke luar negeri.

Misalnya saja, ia diundang dalam acara lokakarya persiapan program partisipasi politik oleh The Asia Fondation di Jakarta, juga diundang sebagai peserta Eguator prize Finalist 2004 yang fasilitasi TNC, CARE,CONVENTION ON BIOLOGICAL DIVERSITY 7th MEETING OF THE CONFERENCE OF PARTIES di Kuala Lumpur Malaysia, dan peserta Konferensi Perempuan Tingkat Asia di Baguio City Philipina.

Tidak hanya itu, Rukmini Toheke juga diundang sebagai peserta Workshop on Traditional Knowledge di Serawak Malaysia dan peserta Convention on Biological Diversity Asia Regional Consultation on tradicional Knowledge AIM Training center, Camp Jhon Hay, di Baguio City, Philipina. Bahkan, dipercayakan mengikuti pertemuan perempuan di India.

Bukan hanya itu, Rukmini Toheke pun diundang sebagai pembicara dalam berbagai sarasehan, seminar, workshop dan berbagai pertemuan lainnya di tingkat regional maupun internasional.

Tapi, menurutnya bahwa meski dengan segudang prestasinya itu, tidak membuatnya melupakan keluarga. “Bagi saya, keluarga adalah yang utama. Saya sangat membutuhkan keluarga sebagai pemberi motivasi dan inspirasi bagi saya,” katanya.

Lantaran itu, ia berharap agar para aktivis perempuan di mana pun, tidak melupakan posisinya sebagai perempuan yang juga memiliki tanggungjawab di tengah-tengah keluarganya. Meski sangat mencintai keluarga, ia terus berjuang soal pengakuan negara terhadap kedaulatan adat. “Prinsip saya, jika negara tidak mengakui Masyarakat Adat kami pun tidak mengakui negara,” tandas Rukmini Toheke.***

Bom Meledak Lagi di Poso

Ketenangan warga Kota Poso, Sulawesi Tengah kembali terusik. Sebuah bom rakitan kembali mengguncang daerah bekas konflik itu, tepatnya di Kelurahan Kasiguncu, Kecamatan Poso Pesisir, Selasa (22/5) lalu.

Ledakan yang hanya sekali itu terjadi sekitar pukul 23.30 wita malam di saat warga setempat sedang asyik beristirahat. Meski berdaya ledak rendah (low explosive), namun ledakan ini sempat mengagetkan warga yang bermukim di sekitar lokasi hingga mencapai radius 1 kilometer.

Ledakan ini merupakan yang kedua kalinya terjadi setelah tertangkapnya DPO Poso, Basri Cs. Sebelumnya pada Februari 2007 di lokasi yang sama, dua bom berdaya ledak rendah juga meledak.

Pelaksana tugas Kepala Bidang Humas Polda Sulteng, Komisaris Besar Polisi Heddy, yang ditemui di ruang kerjanya, Rabu (23/5) siang membenarkan adanya ledakan bom tersebut.

Menurut Juru Bicara Polda Sulteng itu, Tim Jihandak Polda Sulteng yang mendengar adanya kejadian ini langsung mendatangi TKP dan memasang police line. Setelah melakukan olah TKP, aparat akhirnya menemukan sejumlah barang bukti berupa serpihan pipa paralon, potongan besi, dan lakban warna Hitam. "Tapi ledakan bom itu tidak sampai menelan korban jiwa," katanya.

Kombes Heddy mengatakan, bom yang berdaya ledak rendah itu meledak tepat 15 meter di belakang rumah milik warga setempat bernama Soni Tumoka (60), Purnawirawan TNI-AD itu.

“Motif kejadian belum diketahui, begitupun dengan identitas pelaku pun belum teridentifikasi. Hingga kini masih dalam proses penyidikan dan penyelidikan,” kata Heddy.

Sementara itu, pekan lalu aparat Bea dan Cukai Pantoloan Palu menyita ratusan karung bahan peledak jenis Ammonium Nitrat. Bahan peledak yang mencapau 20 ton itu berasal dari Tawau, Malaysia.

Menurut Kabid Humas Polda Sulteng, aparat Bea dan Cukai Pantoloan menangkap dari sebuah kapal di sekitar perairan Mangkaliat, Sulawesi Tengah. Rencananya bahan peledak itu akan dibawa menuju Takabonerate, Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan.

Penangkapan ratusan karung bahan peledak ini bermula ketika Satuan Tugas Bea dan Cukai yang melakukan patroli di Kawasan Perairan Laut Tolitoli melihat sebuah kapal motor berbendera Indonesia bernama KLM Surya Indah, Jumat (13/5) dini hari lalu. Karena curiga, aparat Bea dan Cukai kemudian mencegat kapal ini.

Saat diperiksa, ternyata kapal ini mengangkut 820 karung pupuk Ammonium Nitrat buatan Perancis, yang kerap digunakan sebagai bahan baku pembuatan bom.

Saat diperiksa kelengkapan dokumen, ternyata juragan kapal, Atikurahman tidak mampu menunjukkan dokumen resmi, dan hanya dilengkapi dokumen Kasta dari Malaysia. Petugas Bea dan Cukai pun membawa kapal yang pengangkut ratusan karung Ammonium Nitrat ini ke Pantoloan.

Saat ini, juragan kapal motor surya indah diamankan dan dititip di Rumah Tahanan Maesa Palu. Sedangkan ratusan karung bahan peledak serta kapalnya diamankan di Pangkalan Bea dan Cukai Pantoloan.***

Penanggulangan Kemiskinan Berbasis MDG di Parigi Moutong

Usianya genap lima tahun. Tepatnya 10 April 2007 lalu, kabupaten ini merayakan hari jadinya yang ke lima. Sebelumnya, wilayah ini masih bagian dari Kabupaten DOnggala, Sulawesi Tengah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10/2002, resmilah wilayah ini menjadi kabupaten yang otonom dengan nama Kabupaten Parigi Moutong.

Melihat kondisi wilayahnya, seharusnya tidak ada masyarakat miskin di daerah ini. Tapi kenyataannya, dari total jumlah penduduk sekitar 371.204 jiwa, tercatat sekitar 27 ribu kepala keluarga yang miskin tahun 2006. Padahal, 80 persen wilayah ini dikitari oleh Teluk Tomini yang kaya akan potensi perikanan kelautan dan perkebunan.

Dinas Perikanan dan Keluatan Kabupaten Parigi Moutong mencatat, bibir pantai di wilayah ini sepanjang 472 kilometer membentang dari ujung Kecamatan Sausu di bagian selatan hingga Kecamatan Moutong yang berbatasan dengan Provinsi Gorontalo di sisi utara.

Sedangkan luas areal tangkapan ikan 28,208 Kilometer persegi, dengan potensi lestari 587.250 Ton per tahun, yang terdiri dari ikan Palagis besar atau tuna sebanyak 106.000 Ton, ikan Palagis Kecil 379.440 ton, ikan Demersal 83.840 Ton dan ikan lainnya 17.970 Ton. Termasuk pula budi daya rumput laut 1.521 hektar, budi daya teripang 1.250 hektar dan pengembangan Keramba Apung 521 hektar.

Belum lagi perikanan darat. Luas tambak insentif 150 hektar, tambak semi Insentif 280 Hektar, tambak tradisional 3.200 hektar, kolam air 458 hektar. Potensi lainnya, adalah perkebunan kelapa dengan luas areal 24,499,28 hektar dengan jumlah produksi per tahunnya mencapai 40.757,833 ton. Kemudian potensi andalan lainnya adalah kakao dengan luas areal 45,120 hektar dan jumlah produksi per tahun mencapai 54.345,741 ton. Belum lagi cengkeh dengan luas areal 2,166,81 hektar dan jumlah produksinya setiap tahun 421,751 ton.

Berdasarkan data ini, seharusnya tidak ada penduduk miskin di Kabupaten Parigi Moutong, karena semua itu tidak dikelola oleh investor, melainkan oleh masyarakat sendiri. Bupati Parigi Moutong, Longky Djanggola mengatakan, untuk potensi perikanan dikelola oleh warga setempat asal Bugis dan China, sedangkan untuk perkebunan dimiliki oleh penduduk dari Bali dan Jawa.

"Orang Bali dan Jawa itu dulunya adalah transmigran di sini. Sekarang mereka yang paling maju di Parigi Moutong," kata Bupati Longky Djanggola.

Dengan demikian menurut Bupati Longky Djanggola, penduduk miskin itu adalah penduduk asli, yang cenderung terlena termanjakan dengan kondisi alam sehingga "malas" bekerja. Tapi, bukan berarti mereka tidak dimotivasi untuk untuk bisa maju sejajar dengan warga setempat yang berasal dari Jawa dan Bali.

Persoalan ini, katanya, tidak bisa dibiarkan begitu saja, karena bisa berdampak pada kecemburuan sosial dan akan menimbulkan masalah baru. Apalagi, tambah Bupati Djanggola, Kabupaten Parigi Moutong adalah wilayah yang berbatasan langsung dengan Poso. “Kita juga menjadi tempat pengungsi bagi korban konflik Poso. Ini berbahaya sehingga penduduk asli yang miskin, harus cepat diberdayakan,” paparnya.

MDG's DI PARIGI MOUTONG

Melihat fenomena itu, tahun 2005 Pemerintah Kabupaten Parigi Moutong bekerjasama dengan Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kesra) dan United Nations Development Programme (UNDP) menerapkan program Millenium Development Goals (MDG's), dengan menyusun strategi penanggulangan kemiskinan secara paritisipatif dengan melibatkan masyarakat miskin tersebut.

MDGs itu sendiri dideklarasikan oleh 189 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2000 sebagai komitmen global untuk mengurangi jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan atau hidup dengan biaya di bawah 2 dollar AS per hari. Dengan MDGs diharapkan penduduk miskin dunia yang jumlahnya mencapai 1,3 miliar dapat dikurangi menjadi setengahnya pada tahun 2015. Caranya bisa macam-macam, mulai dari bantuan langsung, pengurangan utang, atau memberikan akses perdagangan yang adil bagi negara miskin.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada suatu kesempatan mengatakan, proyek MDGs itu jauh lebih ambisius dibandingkan dengan proyek kemanusiaan besar terakhir, seperti gerakan untuk memperoleh kemerdekaan, emansipasi, kesetaraan, dan kebebasan yang menyebar di seluruh planet pada abad lalu, termasuk di di Asia Pasifik.

Presiden berpendapat, kondisi saat ini benar-benar telah berubah. Martabat manusia tidak lagi hanya cukup dipenuhi dengan kemerdekaan dan kebebasan. "Martabat manusia seutuhnya hanya dapat dipenuhi jika manusia bebas dari kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, serangan penyakit, sikap tidak toleran, dan konflik," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Setiap tahunnya dibutuhkan dana sekitar 100 miliar dollar AS, antara lain untuk mengatasi program pengurangan kelaparan, penyakit, buta aksara, dan kerusakan lingkungan. Jika dana itu tersedia, diperkirakan tahun 2015 kemiskinan global dapat dikurangi hingga setengahnya. Sayangnya, dana yang tersedia saat ini hanya 50 miliar dolar AS. Sebab itu, sejumlah pihak mulai pesimistis target MDGs tercapai pada tahun 2015.

Bupati Longky Djanggola mengatakan untuk keluar dari belenggu kemiskinan itu, masyarakat miskin harus dilibatkan agar kita bisa tahu apa sebenarnya masalah mereka. "Dan ternyata masyarakat miskin begitu aktif bersama-sama kami untuk menentukan program-program prioritas bagi mereka," kata Bupati Longky Djanggola.

Dari hasil diskusi dan berbagai pertemuan dengan masyarakat miskin itu, didapatkan salah satu masalah penting bahwa ternyata masyarakat miskin kekurangan modal untuk bisa mengembangkan potensi yang tersedia di sekitar mereka.

Dari situlah, tahun 2006 lalu, Pemerintah Kabupaten Parigi Moutong kemudian mengagunkan dana di bank sebesar Rp 2,5 miliar yang diperuntukan bagi masyarakat miskin. "Dana itu sebagai agunan agar masyarakat miskin dapat mengambil kredit tanpa bunga," katanya.

kepada The Jakarta Post, Jumat (23/2) Bupati Longky Djanggola mengatakan, sejak ada agunan dana itu, tercatat sebanyak 1180 orang yang mengajukan permohonan kredit di bank, dengan jumlah dana yang dipinjam antara Rp 2,5 juta hingga Rp 3,5 juta.

Pimpinan Bank Sulteng Cabang Parigi Moutong, Wahidudin, mengatakan, proses pengambilan kredit itu memang berdasarkan proposal yang diajukan, dan pengembalian setiap bulannya sangat lancar. Rata-rata pengambalian dana oleh masyarakat berkisar antara Rp Rp 250 ribu sampai Rp 500 ribu per bulannya.

Berdasarkan laporan perbankan itu, Bupati Longky Djanggola mengatakan bahwa DPRD Parigi Moutong telah menyetujui untuk menambah lagi dana agunan itu sebesar Rp Rp 2,5 miliar pada tahun 2007 ini. "DPRD sudah setuju, dan pada pembahasan APBD mendatang anggaran itu akan dimasukan," katanya.

Tidak hanya itu, masih beberapa lagi program penanggulangan kemiskinan berbasis MDG's ini telah direalisasikan oleh Pemerintah Kabupaten Parigi Moutong. Antara lain memberikan pengobatan gratis bagi masyarakat miskin, pengadaan Kartu Tanda Penduduk (KTP) gratis bagi penduduk miskin dan beberapa program lainnya.

Deputi Menko Kesra Bidang Penanggulangan Kemiskinan, Sujana Royat mengakui, dari lima provinsi di Indonesia yang menjadi percontohan untuk penerapan program MDG's itu, Parigi Moutong yang dianggap paling berhasil. Kelia provinsi itu adalah Nanggroe Aceh Darussalam, Papua, Maluku, Maluku Utara dan Parigi Moutong.

"Memang, kita dan UNDP mengakui bahwa Parigi Moutong yang sudah merealisasikan program MDG's itu dan dianggap berhasil," kata Sujana Royat pada pertemuan sharing pendapat upaya penanggulangan kemiskinan di Jakarta awal bulan Pebruari lalu.

Apa yang dilakukan oleh Kabupaten Parigi Moutong itu, kata Sujana Royat, adalah model insiatif daerah untuk melaksanakan program penanggulangan kemiskinan. Tinggal bagaimana pemerintah pusat ikut mendorongnya dengan melakukan imigrasi anggaran program penanggulangan kemiskinan di daerah ke kabupaten itu.

TERDEPAN DI 2020

Pemerintah Kabupaten Parigi Moutong, telah mencanangkan visinya "menjadikan Kabupupaten Parigi Moutong Tahun 2020 terdepan di Provinsi Sulawesi Tengah".

Dengan begitu, pemerintah setenpat telah menetapkan misinya, antara lain mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, menggali dan mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan daerah, meningkatkan peran serta dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat, meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi berbasis komoditi unggulan dan pemberdayaan ekonomi kerakyatan serta meningkatkan kualitas Lingkungan sebagai wujud komitmen terhadap konsepsi pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) dan berwawasan lingkungan.

Pada 15 Januari 2004, Kompas menulis bahwa dengan modal letak dan infrastruktur yang memadai, daerah yang dilintasi garis khatulistiwa ini punya peluang berkembang lebih cepat. Jalan Trans Sulawesi yang melintasi keenam kecamatan menjadi tulang punggung prasarana transportasi darat sekaligus mengurangi beban pemerintah kabupaten.

Itu karena hampir 40 persen jalan di kabupaten itu merupakan tanggung jawab negara. Hanya tinggal melanjutkan penyediaan jalan ke lokasi-lokasi yang sukar dijangkau. Pengadaan prasarana akan mengurangi isolasi suku-suku asing di pedalaman sekaligus meningkatkan akses ke kantong-kantong produksi perkebunan.

Jika suplai dari kantong produksi lancar, rencana pembangunan dua kutub pertumbuhan akan lebih cepat terlaksana. Pusat pertumbuhan di bagian selatan di Kecamatan Sausu dan bagian utara di Kecamatan Tomini dengan basis pertanian dan hasil pertanian memang sedang dikejar oleh pemkab.

Dengan dua kutub ini, industri pengolahan hasil pertanian, termasuk perkebunan dan hutan, mungkin akan jauh berkembang. Namun, industri pengolahan hasil laut masih jauh dari agenda pembangunan. (Kompas 15/1/2004).

Menurut Bupati Longky Djanggola, untuk merealisasikan itu, pihaknya telah melaksanakan program "Bedah Rumah". Tahun anggaran 2006, telah dibangun sebanyak 300 rumah layak huni bagi masyarakat asli di pegunungan (suku terasing) di pegunungan.

"APBD 2007 nanti, kita akan usulkan lagi untuk program bedah rumah ini bagi masyarakat miskin di perkotaan. Termasuk di dalamnya adalah membangun jalan ke kantong-kantong produksi," tandas Bupati Djanggola.***

Menhut Setujui Pembukaan Jalan Poboya Parigi

Menteri Kehutanan MS Kaban menyatakan secara prinsip menyetujui rencana pembukaan jalan Poboya Palu-Parigi. Hanya saja, sebelumnya pihaknya masih harus membentuk tim dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Departemen Kehutanan untuk meneliti terlebih dahulu kemungkinan boleh atau tidak membuka jalan di poros tersebut.

“Jadi izinnya tergantung report dari tim dari LIPI dan Departemen Kehutanan yang akan saya bentuk itu. Tapi, secara pronsip saya setuju pembukaan jalan itu,” tegas Menteri Kehutanan MS Kaban kepada The Jakarta Post, Rabu (23/5) siang, sesaat sebelum terbang kembali ke Jakarta .

Menteri Kehutanan berada di Palu, dalam rangka menghadiri wisuda sarjana Universitas Muhammadiyah Palu, sekaligus mencanangkan penanaman pohon untuk hutan akademis.

Pembentukan tim itu, menurut MS Kaban, menjadi sangat penting karena poros jalan tersebut harus melewati kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Poboya, Palu Timur. Meski begitu, katanya, hanya sedikit sekali wilayah Tahura yang akan dilewati. “Jadi saya pikir tidak terlalu bermasalah. Tapi kita tunggu saja bagaimana report tim LIPI dan Dehut nanti,” ujarnya.

Menurut Menteri Kehutanan, pembukaan jalan baru dari Poboya Palu ke Parigi Moutong itu, merupakan implementasi dari program percepatan pembangunan di kawasan Timur Indonesia . “Saya kira tidak ada masalah. Saya yakin, pasti ada aturan yang bisa mengatur masalah itu. Apalagi, ini kan untuk percepatan pembangunan di Indonesia timur,” jelas MS Kaban.

Menurut Menteri Kehutanan, salah satu program percepatan pembangunan kawasan timur yang sudah diisyaratkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu, adalah mendorong pembangunan infrastruktur. “Dan pembangunan jalan merupakan salah pembangunan di bidang infrastruktur,” tegas MS Kaban.

Pemerintah Kota Palu dan Pemerintah Kabupaten Parigi Moutong telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) untuk membangun jalan poros Poboya Palu-Parigi Moutong. Jalan baru yang rencananya akan dibuka itu, hanya berjarak sekitar 33 kilometer dari rencana sebelumnya 39 kilometer.

“MoU itu sudah kita tandatangani sejak dua tahun lalu. Hanya saja pembangunan jalannya belum terealisasi karena masih harus menunggu izin dari Menteri Kehutanan terlebih dahulu,” kata Walikota Palu di Bandara Mutiara Palu.

Menurut Walikot Palu, Rusdy Mastura, jalan itu sangat penting dibuka, karena selama ini hanya ada satu jalan yang menghubungkan Kota Palu dengan wilayah lain di wilayah timur Sulawesi Tengah, seperti Parigi Moutong, Poso, Banggai dan Morowali dan juga menuju ke Gorontalo dan Sulawesi Utara.

Di tempat yang sama, Gubernur Sulawesi Tengah, Bandjela Paliudju, menambahkan bahwa satu-satunya jalan yang digunakan selama ini untuk menjangkau wilayah timur Sulawesi Tengah, hanya melalui kebun kopi. Jalan itu dianggap sudah tidak layak dipertahankan.

“Yah…selain karena jaraknya yang sejauh 65 kilometer, juga berkelok-kelok dan selalu terjadi longsor. Jadi saya pikir sudah angat tepat kalau kita buat jalan baru yang berjarak hanya sekitar 39 kilometer,” kata Gubernur.

Apalagi, jelas Gubernur Paliudju, setiap tahun pemerintah daerah mengeluarkan dana hampir Rp 60 miliar untuk pemeliharaan jalan di kebun kopi itu. “Nah, kalau jalan Poboya Palu – Parigi itu dibangun, kita akan mengirit anggaran pemeliharaan jalan kebun kopi itu sampai 70 persen dari Rp 60 miliar tadi,” papar Gubernur.

Untuk membangun jalan baru itu, kata Gubernur, pemerintah daerah akan membutuhkan anggaran sekitar Rp 600 miliar. Anggaran itu, selain berasal dari APBN, juga berasal dari sharing APBD Kota Palu, Kabupaten Parigi Moutong dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah.

Sebelumnya, Kepala Dinas Kehutanan Sulawesi Tengah, Anwar Manan menentang pembukaan jalan Poboya Palu-Parigi itu. Menurut Anwar Manan, pembukaan jalan Poboya Palu-Parigi itu bertentangan dengan undang-undang tentang Taman Hutan Raya.

Agus Salim Faisal, salah seorang aktivis LSM Lingkungan di Palu, menyatakan setuju dibukanya jalannya poros Poboya Palu-Parigi itu. Ia tidak mempersoalkan soal jalan itu nantinya akan melewati kawasan konservasi, yakni Taman Hutan Raya (Tahura) Poboya.

“Saya pikir, pembukaan jalan itu sudah sangat tepat. Selain karena memperpendek jarak tempuh dari Palu ke kabupaten lain, juga untuk membuka akses yang besar bagi rakyat untuk mendapat pelayanan yang baik dari pemerintah,” tegas Agus Salim Faisal. ***