Monday, May 28, 2007

Perempuan Kampung yang Tak Kampungan

Sore itu, di pinggir sebuah kolam ikan mas, seorang perempuan muda terlihat begitu gembira bersama putra bungsunya yang berusia tujuh tahun. Sesekali terdengar suara teriakan ketika putranya melompat ke kolam. Memang, kolamnya hanya sebatas betis orang dewasa, tapi perempuan itu khawatir kalau-kalau kaki anaknya tertusuk duri.

Perempuan muda itu adalah Rukmini Paata Toheke. Perempuan tamatan Sekolah Pendidikan Pertanian Menengah Atas (setingkat SMA) di Donggala itu, terkenal sebagai tokoh perempuan yang sangat kreatif dan agresif.

Berkat usaha-usahanyalah, perempuan di kampungnya diberi peran yang cukup penting. Bahkan, setiap keputusan yang harus diambil oleh lembaga adat di kampungnya, dianggap tidak sah jika tidak dihadiri oleh perempuan adat. Pentingnya peran itu, maka tahun 2001, perempuan kelahiran berusia 36 tahun ini membentuk Organisasi Perempuan Adat Ngata Toro. Maka pada saat itu pula, Rukmini Paata Toheke pun diangkat menjadi Tina Ngata (ibu kampung).

Maka, pada saat yang sama, keberadaan organisasi yang dipimpinnya, pun mengemban suatu mandat khusus yang diberikan oleh Libu Ngata (lembaga adat) setempat untuk mengorganisasikan kepentingan perempuan adat Ngata Toro dalam berbagai bidang kehidupan.

Toro, sebuah desa yang secara administratif menjadi bagian dari Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Sejak diberlakukannya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, memungkinkan penggunaan kata ‘Desa’ dapat di ganti sesuai istilah lokal. Dan orang Toro (Toi Toro) menggunakan istilah Ngata dalam menyebut kata desa, sehingga tempat tinggal orang Toro di sebut Ngata Toro.

Ngata Toro yang berjarak 86 kilometer dari Kota Palu, dapat di tempuh dalam waktu tiga jam. Kampung ini memiliki luas wilayah adat ± 22.950 hektar. Berada di ketinggian 700 meter dari permukaan laut, menjadikan kawasan ini tempat yang sejuk, dengan suhu terendah sekitar 18ÂșC. Kondisi iklim ikut dipengaruhi topografinya yang didominasi oleh pegunungan. Jalan menuju ke kampung ini, berlobang-lobang dan berkelok-kelok.

Kembali ke Sejarah

Awal bulan April ini, The Jakarta Post sempat menemui Rukmini Paata Toheke di kampungnya, Ngata Toro. Ini tiga orang anak ini menjelaskan, sebelum berdirinya organisasi itu, perempuan adat Ngata Toro yang terdiri dari tiga kelompok etnis besar yaitu etnis Kulawi, Rampi dan Winatu, sejak tahun 1970 telah bergabung dalam satu wadah kelompok bernama PKK.

Pada saat itu, semua keputusan dan kebijakan kampung, harus berdasarkan keinginan pemerintah secara sepihak, tanpa mempertimbangkan substansi kebutuhan masyarakat dan perempuan di Ngata Toro. “Jika kondisi itu dibiarkan, maka peran perempuan pun tak akan berari apa-apa,” kata Rukmini Toheke.

Maka, Rukmini Toheke bersama beberapa perempuan lainnya mulai berjuang, untuk mengembalikan posisi dan peran perempuan seperti sejarah masa lalu. Bahwa posisi dan peran perempuan pada masa yang lampau di wilayahnya, memiliki tiga peran yang cukup penting, yaitu sebagai Tina Ngata (Ibu kampung), Pobolia Ada (Penyimpan adat) dan Pangalai Baha (Pengambil kebijakan).

Menurut Rukmini Toheke, ketika organisasi perempuan di kampung itu beranama PKK, justru perannya hanya pada soal-soal domestik saja. Padahal, berdasarkan sejarahnya, perempuan di kampung itu juga dipercayakan mengurusi soal hubungan manusia dengan Tuhan (Pekahovia), hubungan manusia dengan alam (Katuvua), dan hubungan manusia dengan manusia (Hintuvu).

Rukmini Toheke memang perempuan kampung, tapi ia tak kampungan. Atas peran-perannya itu, perempuan itu pun terkenal di mana-mana. Terbukti ia diundang dalam berbagai acara, baik di Palu bahkan sampai ke luar negeri.

Misalnya saja, ia diundang dalam acara lokakarya persiapan program partisipasi politik oleh The Asia Fondation di Jakarta, juga diundang sebagai peserta Eguator prize Finalist 2004 yang fasilitasi TNC, CARE,CONVENTION ON BIOLOGICAL DIVERSITY 7th MEETING OF THE CONFERENCE OF PARTIES di Kuala Lumpur Malaysia, dan peserta Konferensi Perempuan Tingkat Asia di Baguio City Philipina.

Tidak hanya itu, Rukmini Toheke juga diundang sebagai peserta Workshop on Traditional Knowledge di Serawak Malaysia dan peserta Convention on Biological Diversity Asia Regional Consultation on tradicional Knowledge AIM Training center, Camp Jhon Hay, di Baguio City, Philipina. Bahkan, dipercayakan mengikuti pertemuan perempuan di India.

Bukan hanya itu, Rukmini Toheke pun diundang sebagai pembicara dalam berbagai sarasehan, seminar, workshop dan berbagai pertemuan lainnya di tingkat regional maupun internasional.

Tapi, menurutnya bahwa meski dengan segudang prestasinya itu, tidak membuatnya melupakan keluarga. “Bagi saya, keluarga adalah yang utama. Saya sangat membutuhkan keluarga sebagai pemberi motivasi dan inspirasi bagi saya,” katanya.

Lantaran itu, ia berharap agar para aktivis perempuan di mana pun, tidak melupakan posisinya sebagai perempuan yang juga memiliki tanggungjawab di tengah-tengah keluarganya. Meski sangat mencintai keluarga, ia terus berjuang soal pengakuan negara terhadap kedaulatan adat. “Prinsip saya, jika negara tidak mengakui Masyarakat Adat kami pun tidak mengakui negara,” tandas Rukmini Toheke.***

No comments: