Wednesday, September 13, 2006

Puasa, Seremoni Ritual Keagamaan yang Ironi

Ruslan Sangadji

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan bagi kamu untuk berpuasa, sebagaiman yang diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa—(Q.s al-Baqarah: 183).

Setiap tahun, umat Islam yang telah memproklamirkan dirinya beriman kepada Sang Pencipta, akan dengan taat menjalankan ibadah puasa, dengan segala ritual keagamaan di dalamnya. Semua itu dilaksanakan, dengan keyakinan akan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Sang Pencipta.

Tradisi umat Islam di setiap negara pun berbeda-beda dalam memperlakukan datangnya bulan Ramadhan, maupun mengisi hari-hari selama bulan suci itu. Pun di di Indonesia, setiap daerah juga memiliki kebiasaan yang beragam.

Ada yang memuliakan datangnya Ramadhan dengan membeli peralatan ibadah yang baru untuk digunakan selama Ramadahan. Bahkan, ada yang melaksanakan beberapa kebiasaan seperti berziarah ke makam (kuburan) keluarganya, dan ada yang membaca ayat-ayat suci Alquran.

Stasiun-stasiun televisi swasta nasional, pun telah mempersiapkan berbagai acara bernuansa Ramadhan. Semua itu dilakukan, sebagai pengejawantahan dari kegembiraan umat, atas datangnya bulan Ramadhan yang hanya setahun sekali itu.

Tidak hanya itu, para selebriti yang tadinya berlenggak-lenggok dengan mempertonkan keseksian tubuahnya di layar-layar kaca, tiba-tiba berubah dengan busana yang sangat islami. Perubahan yang terjadi, hanya sebagai tuntutan peran yang harus dimainkan di layar kaca.

Belum lagi para elite bangsa, tiba-tiba berubah terlihat sangat beriman. Tak pernah absen selama tarwih. Selalu hadir dalam buka puasa bersama, tarwih bersama dan berbagai ritual keagamaan lainnya yang dilakukan secara bersama-sama. Bahkan, tiba-tiba menjadi sangat dermawan. Para penjahat pun, tiba-tiba harus berubah menjadi orang yang sangat baik.

Impelementasi Puasa

Secara substansi, Ramadhan seharusnya memiliki tujuan besar dan mulia, yaitu memperbaiki perilaku, memperbaiki moralitas dan kebiasaan-kebiasaan destruktif lainnya. Tapi saat ini, kita memahami puasa, hanya sekadar sebagai sebuah ritual keagamaan biasa yang dijalankan setiap tahun. Puasa tidak diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Puasa tidak dimaknai sebagai sebuah media perubahan bagi anak bangsa.

Jika puasa sebagai sebuah media untuk memperbaiki diri, maka harus diimplementasikan pula dengan perbaikan moralitas bangsa. Bangsa ini harus menjadi bangsa yang lebih bermoral dan beradab. Jika puasa dimaknai sebagai sebuah ibadah dan perintah Tuhan, maka seharusnya tidak ada lagi ledakan bom, tidak ada lagi korupsi, tidak ada lagi pembalakan liar, tidak ada lagi penghisapan manusia dan tidak ada lagi penindasan terhadap mustadh’afin (kaum yang lemah).

Orang menjadi baik hanya sebulan selama Ramadhan. Seiring berakhirnya puasa yang ditandai dengan kumandang Takbir, Tahmid dan Tahlil di Hari Raya Idul Fitri, perilaku yang baik pun sirna. Para koruptor kembali lagi melakukan penyelewengan, penyakit masyarakat kembali lagi menjadi marak. Pertanyaannya: Lantas untuk apakah kita berpuasa....???

Maraknya praktik korupsi dan terjadinya degradasi moral di negeri ini, karena kita memahmi puasa hanya sebatas menahan lapar dan haus saja. “Berapa banyak orang yang berpuasa, tapi dia hanya sekadar pahala mendapatkan lapar dan dahaganya saja (hadits Nabi Muhammad SAW)”

Menurut Hujjatul Islam, Doktor Mirdamadi, seorang dosen di Universitas Teheran, puasa adalah sebuah amal ibadah yang menimbulkan kekuatan, peningkatan keikhlasan, keselamatan badan, menyembuhkan penyakit, dan menurunkan tingkat kejahatan, serta meningkatkan hubungan yang harmonis di antara anggota masyarakat.

Dengan begitu, maka seharusnya puasa dapat diimplementasikan dalam perbaikan moralitas bangsa yang komprehensif dari semua aspek kehidupan. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, puasa yang kita jalankan setiap tahun, belum berdampak pada kehidupan sosial dan kenegaraan yang positif. Celakanya, puasa hanya sekadar sebagai tuntutan menjalankan kewajiban. Bahkan, lebih ironi lagi, hanya sebatas sebuah seremoni dari ritual keagamaan.

Asep Purnama Bactiar dan Endro Dwi Hatmanto (Suara Merdeka, 29 Oktober 2004) menuliskan bahwa kualitas ideal puasa, pada gilirannya akan membangun moralitas bangsa dalam berbagai dimensi kehidupan, seperti moralitas politik, sosial, ekonomi, pendidikan, dan hukum. Pencapaian moralitas bangsa melalui ibadah puasa ini menjadi urgen, karena masih banyak masalah yang kompleks dalam pelbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia.

Pertama, gerak kehidupan politik nasional diakui memang cukup maju. Hal ini dapat dilihat dari proses demokratisasi yang puncaknya adalah pemilihan presiden secara langsung. Namun demikian, moralitas sebagian elite kita yang korup akan mencabik-cabik bangunan demokrasi yang telah berproses ini.

Syahwat kekuasaan, berupa rebutan jabatan di kabinet dan lembaga legislatif adalah kenyataan yang terlihat jelas. Alih-alih untuk melayani rakyat, jabatan itu hanya digunakan untuk memperkaya diri dan kelompoknya.

Tujuan hakiki puasa, jika benar-benar dihayati oleh para elite, akan membantu mereka untuk sadar bahwa mereka seharunya dapat menahan kerakusan kekuasaan dan self interest terhadap harta benda dan kedudukan. Sebaliknya, mereka harus sadar untuk melayani rakyat dengan sebaik-baiknya.

Kedua, kasus ledakan bom yang menghilangkan nyawa orang-orang yang tak berdosa, pertentangan etnik, perkelahian pelajar yang memakan korban jiwa, penggunaan narkoba yang semakin marak, adalah sebagian bukti bahwa bangunan moralitas sosial kita sudah keropos. Ibadah puasa jika dihayati dengan benar memberikan ajaran untuk menahan nafsu membunuh, nafsu merugikan orang lain, dan nafsu merusak kehidupan.
Ketiga, dalam Islam, harta dan kekayaan adalah titipan Tuhan. Oleh karena itu, sistem ekonomi yang eksploitatif, berpusat pada segelintir orang, dan menindas yang lemah, adalah ciri dari tidak adanya moralitas ekonomi. Nilai-nilai puasa akan mendorong masyarakat untuk mengembangkan sistem ekonomi yang berkarakter sosial-religius.

Korupsi dan praktik KKN lainnya, dengan demikian, sangat dikutuk dari sudut pandang moralitas puasa. Keserakahan dan kerakusan dalam tindakan korupsi jelas akan memporak-porandakan bangunan ekonomi.

Bahkan oleh Islam, korupsi dianggap sebagai fasad (perbuatan yang merusak dan sangat keji). Tidak salah kalau Muhammad As'ad mengartikan ayat la tufsidu fil ardl dengan do not spread corruption on the earth (jangan menyebarkan korupsi di bumi).
Dapatkah, Puasa Ramadhan tahun 2006 ini, kita dapat lepas dari berbagai persoalan yang multidimensional, mulai dari korupsi, pembunuhan, penembakan, pemboman, kerusuhan sosial.

Dapatkah puasa tahun ini dapat menyadarkan para elite kita dan masyarakat kita, untuk menjadi umat yang benar-benar dapat menjadi Rahmatan lil ‘Alamin (penebar kasih sayang bagi semua alam)? Semua itu kembali pada kesadaran individu, bahwa puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus, tapi harus diimplementasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. ***

No comments: