Monday, July 31, 2006

Singers, psychologists entertain conflict victims

Ruslan Sangadji
The Jakarta Post
Poso, Central Sulawesi

Singers and psychologists held a meeting Saturday with about 380 victims of ethnic and religious conflict in the South Sulawesi regency of Poso with the aim of helping bring solace to the victims.

The meeting, sponsored by the Central Sulawesi Police, was touching, but also full of joy. The participants were mainly the families of people who had died in the Tentena bombing, Central Poso market blast and random shootings.

The singers from Jakarta included Jihan Amir and Kristina, Dewi Rahmah, Agustina and Silva, while the psychologists from Yogyakarta-based Gajah Mada University were Hendro Prabowo, Diana Setyanti, Wida and Hasanah.

Central Sulawesi Police chief Brig. Gen. Oegroseno said that the idea of holding the meeting was aired by representatives of both the Muslim and Christian communities. "We just supported their wish to hold the get-together," he said.

Meanwhile, the psychologists hoped the meeting would be therapeutic for the conflict victims. "We hoped they would express what they have felt. Expressing their feelings constitutes a kind of therapy or trauma healing," said Hendro.

Agustina Poimbong, a widow whose son was killed in a clash in Poso in 2000, said she cried upon hearing the news of her son's death.

"But I cannot do anything. I'm vengeful, yes, but I also think that vengeance will never solve the problem," said the Christian woman from Tentena. She just continued crying and said it was already time to forget vengeance and enmity.

Shofia, on the other hand, said she still harbored feelings of revenge toward those who killed members of her family. But she said all she could do was to submit her fate to God.

"I believe God will punish those who killed members of my family," said Shofia.

Saturday, July 29, 2006

Pasca Konflik, Pemprov Sulteng Minta Investor Datang

Ruslan Sangadji

Sulawesi Tengah memiliki potensi sumber daya alam yang begitu besar. Hanya saja, sampai sekarang tidak tergarap dengan baik, karena kurangnya investor yang berminat untuk menanamkan modalnya di daerah ini.

Gubernur Sulawesi Tengah, Bandjela Paliudju kepada The Jakarta Post, Sabtu (29/7) siang, mengatakan salah satu penyebab rendahnya investasi di Sulawesi Tengah, karena daerah ini pernah dilanda konflik berkepanjang.

”Tapi sekarang konflik sudah selesai. Sekarang kita sedang menuju pada rehabilitasi dan rekosntruksi Poso. Jadi, kamu undang investor yang bersedia untuk menanamkan modal di Sulawesi Tengah. Kami akan memberikan kemudahan berinvestasi di daerah kami,” kata Gubernur Paliudju.

Purnawirawan TNI itu merinci sejumlah potensi yang ada di Sulteng untuk bisa digarap. Antara lain Batubara, Nikel, Emas, Migas, Galena, Granit, Tembaga dan masih banyak potensi lainnya. Sedangkan yang baru tergarap dengan serius saat ini adalah minyak dan gas bumi di Lapangan Tiaka, yang terletak di Blok Senoro-Toili, Kabupaten Banggai.

Mengutip laporan dari Pertamina, Gubernur Bandjela Paliudju kepada The Jakarta Post menjelaskan, eksploitasi Migas di Tiaka ini, sudah sampai pada tingkat pengapalan minyak mentah sebanyak 75 ribu barel ke kilang UP III Plaju, yang secara perdana dilakukan pada bulan Januari 2006 lalu.

Lapangan Tiaka yang terletak di Blok Senoro-Toili dioperasikan bersama oleh Pertamina dan Medco E&Tomori Sulawesi, yang mulai berproduksi pada tanggal 31 Juli 2005. Dari produksi yang terkumpul sampai dengan bulan Desember 2005 sebanyak 155.377 barrel, dikapalkan minyak mentah sebanyak 75.000 barrel ke Kilang Unit Pengolahan III Plaju.

Lapangan minyak Tiaka yang berada di Area Toili diperkirakan dapat memproduksi minyak mentah 10 juta barrel. Di Area Senoro terdapat lapangan Senoro yang berpotensi menghasilkan gas 3,7 triliun kaki kubik.

Produksi awal minyak mentah lapangan tersebut hanya sekitar 1.200 barrel per hari, tetapi saat ini sudah mencapai + 2.000 bph, yang dapat ditingkatkan mencapai 5.000 bph.

Sementara mengenai potensi Batubara, Gubernur Paliudju mengatakan, potensi ini terletak di Desa Ensa, Tomata, Kecamatan Mori Atas, Kabupaten Morowali dengan tebal lapisan 0,3 – 1,0 meter, jenis gambut (peat), lignit dan brown coal.

Juga terletak di Desa sekitar Toaya dan Tamarenja, Kecamatan Sindue, Kabupaten Donggala dengan lokasi penyebaran sekitar 15 Hektar terdapat pada formasi Malosa, berselang seling dengan lempung sn batu pasir halus sampai kasar dengan ketebalan 0,15 – 3, 0 m. Dari hasil analisa ”grab sampling” menunjukkan kadar air 20,79persen, abu 9,68persen, fix carbon 29,55persen, belerang 1,26persen dengan nilai kalori 4130 Kkal.

”Sekali lagi, kita punya potensi sumber daya alam yang sangat berlimpah. Hanya memang, semua ini belum tersentuh, karena kita dikenal dengan daerah konflik, sehingga memicu keengganan masuk investasi ke Sulawesi Tengah. Tapi saya mau tegaskan, itu masa lalu, sekarang sangat aman,” tegas Gubernur Paliudju.

Biro Informasi dan Komunikasi Provinsi Sulawesi Tengahj mencatat, tahun 2000, jumlah Persetujuan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tercatat sebanyak 86 proyek dengan nilai Investasi Rp. 7.409.485.000, sedangkan Penanaman Modal Asing (PMA) tercatat 31 proyek dengan rincian PMA Investasi US$ 24 proyek dengan nilai Investasi US$. 124.568.250 dan PMA Investasi Rupiah tercatat 7 proyek dengan nilai investasi Rp.23.047.390.000.-

Pada tahun 2002 dilaksanakan kegiatan rasionalisasi untuk mendapatkan angka investasi Sulawesi Tengah yang akurat dengan hasil yang diperoleh bahwa PMDN tercatat 30 proyek dengan nilai investasi sebesar Rp.2.457.062.813.572, sedangkan PMA 14 proyek dengan nilai investasi US$. 169.065.250, dan PMA investasi Rupiah tercatat 6 proyek dengan nilai investasi sebesar Rp. 15.130.500.000,-

Perkembangan menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan minat investasi dari Investor Asing dan peningkatan kepercayaan atas kondisi / iklim investasi di Indonesia khususnya Propinsi Sulawesi Tengah setelah terjadinya krisis dan konfik Poso, mengingat di antara persetujuan investasi PMA tersebut, satu persetujuan baru di tahun 2001 dengan nilai rencana investasi US$. 150.000.

Tahun 2002 juga, dua persetujuan baru dan satu perluasan dengan nilai rencana investasi US$. 1.700.000, tahun 2003 dua persetujuan baru dengan nilai investasi sebesar US$. 131.874.000, sedangkan PMA investasi rupiah talum 2001 tiga persetujuan baru dengan nilai rencana investasi Rp.9.805.500.000, tahun 2002 dua persetujuan baru dengan nilai rencana investasi Rp. 3.225.000.000.

PMDN tahun 2001 satu persetujuan dengan nilai rencana investasi Rp. 500.000.000, tahun 2002 dua persetujuan baru dan satu perluasan dengan nilai rencana investasi Rp. 12.916.120.572, tahun 2003 satu persetujuan baru dengan nilai rencana investasi Rp. 217.700.000.000. Penurunan PMDN kemungkinan penyebabnya adalah peran intermediasi Perbankan yang belum maksimal.

Sampai dengan tahun 2003 perkembangan investasi Sulawesi Tengah tercatat PMDN 34 perusahaan dengan nilai rencana investasi Rp. 2.397.512.930.000, dengan realisasi Rp. 854.214.970.000 atau 35,63 persen, sedangkan PMA tercatat 13 perusahaan dengan nilai rencana investasi US$. 166.105.200 dengan realisasi US$. 26.281.840 atau 15,82 persen, dan PMA Investasi Rupiah 4 perusahaan dengan nilai rencana investasi Rp. 13.133.500.000 dengan realisasi Rp. 13.130.500.000 atau 99,98 persen

Diperkirakan pada gilirannya dapat menyerap sekitar 47.837 orang lebih tenaga kerja Indonesia dan sekitar 130 orang lebih tenaga kerja asing.***

Monday, July 24, 2006

Groups rejects bill on state secrets

Ruslan Sangadji
The Jakarta Post
Palu, Central Sulawesi

Several groups declared Saturday their opposition to a bill on state secrets which is currently being discussed at the Justice and Human Rights Ministry.

The groups include the Palu People's Education Foundation, International NGO Forum on Indonesian Development (Infid) and the Alliance of Independent Journalists (AJI).

The groups announced their opposition in a joint statement, read out by Edmond Leonard, ad-hoc coordinator of Sulawesi Commission for Missing Persons and Victims of Violence, saying that the bill might lead to a regime that was not transparent and will not take into account people's right to information.

"This is a threat to the development of democracy in Indonesia, it resurrects a repressive regime and blocks people's access to information," Edmond said.

Deputy director of the Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial), Rusdi Marpaung, said the substance of the bill had already been covered by another bill on the freedom of access to information currently being discussed at the House of Representatives.

"The bill on state secrets contradicts this and is a step back in efforts to uphold democracy and instead, resurrects a repressive regime," he said.

If the bill is made into law, Rusdi fears it might block anticorruption groups from investigating officials' involvement in graft cases.

"Such things might happen since the law will legalize it as a state secret. It is another step backward to the New Order," he said.

Friday, July 21, 2006

Poso children advocate peace

POSO, Central Sulawesi: Some 350 elementary schoolchildren from 12 districts in conflict-torn Poso declared seven points for a peaceful Poso on Thursday.

The initiatives, which the children asked the government to implement, were made as part of the Poso Children's Expression Week 2006 from Thursday until this Saturday and organized by the Network of Observers for Children Protection in Poso.

They included calls to protect children's rights as stipulated in the 2002 Law on Children's Protection, for the elimination of violence against children, to provide free education, fight corruption and to hasten the development of the city.

Network coordinator Darwis Waru told The Jakarta Post the event before National Children's Day on July 23, served to increase communication between communities in Poso, the government, local councillors and parents.

"Through this event, Poso children asked the government not to only deal with Poso's problems by using a security approach ... Poso children suffer because of the conflict," Darwis said.***

Thursday, July 20, 2006

Hopes fade for Sabo village after resettlement plan fails

National News - July 19, 2006

Ruslan Sangadji, The Jakarta Post, Tojo Una Una, Central Sulawesi

Sabo village is located in a remote coastal area of Ampana Tete district in Tojo Una Una regency, some 400 kilometers east of Central Sulawesi's capital of Palu. It has a population of 965, 98.3 percent of whom are farmers.

Sabo village chief Yakob Rahman recently expressed concern about the welfare of his people, two-thirds of whom live in poverty. Some are evacuees from a natural disaster on Mount Colo, Una Una island, in 1983, and the others are new arrivals.

According to Yakob, who teaches the Koran, residents were looking forward to a transmigration program offered by the government due to high poverty rate in the village. They were hoping that the program would pave the way for a better future.

However, nearly three years after the plan was announced, hopes began to fade. Then PT Persada Bahari Aditama (PT PBA), the company appointed by the government to execute the program arrived in the area, reviving people's hopes.

A year passed, but PT PBA had not begun work on the allocated transmigration site. Residents began to suspect that the company was using the proposed transmigration program as a smokescreen to appropriate timber from Sabo.

Since it was evident that the company had been carrying out logging outside the transmigration site, residents reported the matter to the Tojo Una Una Forestry Office which then halted the logging activities and seized some timber.

"We have stopped the company from conducting logging beyond the transmigration area because we deem it illegal," office head Ramang Muslaini told The Jakarta Post recently.

It was later learned that the forestry ministry had not issued the company a forest conversion permit. However, the company continued to carry out logging outside the transmigration area.

When problems were to arise later, PT PBA would simply leave the area and take the logged timber with it.

However, Tojo Una Una Police soon caught on and have put an end to the illegal exploitation of the forest and seized the timber.

Sabo residents can forget about their hopes of working in a cacao plantation now.

Ecologically, the prospective transmigration site is deemed unsuitable as it borders Mount Lumut forest reserve and the upper reaches of the river which is a catchment area. It also lies between Balingara river to the south and Balanggala river to the north.

Campaign director of environmental group Merah Putih Foundation, Badri Djawara, said that five villages stretching along the coast of Tomini Bay could be submerged if the rivers suddenly burst their banks due to the impact of illegal logging, with Sabo and Padauloyo villages likely to bear the brunt of flooding.

The Sabo transmigration program is a development project using the cacao plantation cooperative scheme, which would utilize 2,463.5 hectares of the 5,000 hectares reserved for the transmigration site.

However, it has not yet been approved by the forestry ministry. A study in 2004 indicated that 1,300 ha of the 2,463.5 ha could hold as many as 600 transmigrant families, and a survey in 2005 indicated that the remaining 1,156.5 ha could accommodate another 400 families.

The Central Sulawesi Manpower and Transmigration Office expressed interest in the plan, which the company claimed would provide training for villagers to manage the cacao plantation, and appointed PT PBA as project executor.

A staffer of PT PBA told the Post that the company had submitted a proposal for the project to the Ministry of Manpower and Transmigration and had received positive response from the manpower minister.

In response, PT PBA later submitted a proposal for a timber exploitation permit for a 700 ha area of the 2,463.5 ha area, which had been issued by the Tojo Una Una regency administration.

It was based on this permit that the company had carried out logging and timber processing activities in the area and beyond the allocated area, drawing criticism from a number of circles and environmental groups in Tojo Una Una and Palu.

Based on observations, the company has built a road stretching 15 km long and 10 to 15 meters wide passing the transmigration site. At least six logging paths used to transport timber from outside the transmigration site with a width of three to six meters and 100 meters to 1 km long can be found, as well as hidden timber gathering points on each of them.

Residents and environmental activists in Palu and Tojo Una Una have reported the findings to the Central Sulawesi Police. Police are still investigating the case but have not yet named a suspect.***

Monday, July 17, 2006

'Krambangan', the rhythm of Poso

Ruslan Sangadji, The Jakarta Post, Palu

Krambangan is a traditional music genre from Poso played on traditional musical instruments. The music is usually played to accompany an event in which poems are recited reciprocally by the Pamona and Mori people, the indigenous ethnic groups of Poso, Central Sulawesi.

Krambangan is played on a guitar that one makes oneself. As the strings are made of an alloy of gold and copper, the music played on this guitar sounds more melodious than the music played on an ordinary guitar.

Unfortunately, following the sectarian conflict that ravaged the area in 2000, Krambangan music also disappeared along with the Dero dance. The main reason being that hard-liners in Poso city prohibited the Dero dance.

"For them, the Dero dance is forbidden by their religion. People of the opposite sex who are not relatives are not allowed to hold hands. The prohibition of the Dero dance has meant the disappearance of Krambangan music," said M. Amin Abdullah, 40, a choreographer and native of Palu.

In the past, Krambangan was very popular because it accompanied the Dero dance, in which participants form a circle symbolizing the brotherhood of Muslims and Christians in Poso.

Krambangan music is also a symbol of masculinity for Poso young men. It is also known as a means to find a partner. When a young man is looking for a life partner, he will play this music.

Mohammad Amin Abdullah earned his master's degree in Asian Studies from the University of Hawai in Manoa. In an effort to revive Krambangan music, he performed a new piece titled The Loss of Krambangan early in June this year.

His message was simple: Bring back Krambangan to Poso.

"Krambangan must return to its land of origin. Art cannot be blamed in a sectarian conflict.

"Don't pursue temporary interests that benefit only a certain group of people at the expense of our traditional art and culture, Abdullah told The Jakarta Post in a recent interview.

The Loss of Krambangan, according to Amin, maintains the tradition and also incorporates new ideas. With traditional music as the basic idea, he went on to develop a new creation combining symbols of tradition and modernity.

"A new creation is a process of transforming the music played in daily lives onto the stage," he said.

The 'sintuwu' concept

Out of Amin's great love for this traditional music of Poso, he has included the sintuwu concept in his music in The Hawai Kakula Ensemble.

In the Kaili and Poso languages, sintuwu means to bring life together. An old word, sintuwu implies how activities in an oral tradition are group-oriented and are not based on individualism. It is synonymous with the nation's expression of gotong-royong, or mutual assistance.

This concept of collaboration is the key to understanding how various communities in Indonesia are mutually dependent.

Sintuwu has become a creative method in the works of Amin, who was born in Poso and who also works at the Central Sulawesi Education Office.

There are three stages in the sintuwu method, he said.

The players will first find a theme, then, using this theme, they work on the music in collaboration and finally they perform the music, which undergoes a process of evolution after its first performance.

When he starts a composition, Amin will take with him a theme or a musical concept when he comes to a rehearsal for the first time. This concept may be in the form of a motif, a melody, a rhythm, texture, tempo or an idea about which instruments to use.

"What matters most to me is what is to be conveyed through the work. The music is made during rehearsals."

The sintuwu method allows musicians to play music according to their own ability and also to improvise. His job is only to provide a stimulus. This method, therefore, also emphasizes the intimate interaction among musicians.

A composition will be considered complete when a rehearsal is over and the composition will continue to develop after being performed.

Sintuwu, Amin says, is the symbol of brotherhood among the people of Poso. Everyone in Poso are brothers and sisters without any ethnic or religious differences.

"I just want one thing. Bring back Krambangan and Dero to their land of origin. Although a thousand people prohibit it, 10 times as many people will keep it and let it survive," Amin said with conviction.***

Sunday, July 16, 2006

Nomadic Ethnic Tribes: Palu, Central Sulawesi

February 24, 2006

In Indonesia there are still many areas where ethnic tribes live unaware of the outside world or the trappings of western influence. Ruslan Sangadji from Palu in Central Sulawesi has written a fabulous article about three such ethnic tribes in the Kamalisi area.


The Land is my Mother, the Sky my Father
Ruslan Sangadji, Palu, C. Sulawesi

There is a vast forest rich in a great variety of natural resources such as ebony (Dyosphiros celebica) and other types of wood, as well as various kinds of flora, including medicinal plants.

At the center of this forest area -- which is endowed with many species of fauna, including the indigenous dwarf buffalo locally called anoa and lies between 400 and 1,600 meters above sea level -- you can find stilt houses, locally called sau-sabua, in a naturally laid out row like that in an urban settlement area.

Naked children play freely, chasing one another at the foot of the stilts and in the yards of the houses, which lie at an inclination of 60 to 80 degrees.


They are free in nature, playing their wooden boat-shaped plucked zithers and their bamboo flutes, the melodious notes from their musical instruments merging with the sound of the breeze.

Unlike urban kids who are always restless about their future, these kids, who never bother going to school, are free from any concern about their future.

In the distance, on a mountain slope, farmers are busy taking care of their farming land. As inheritors of these traditionally bequeathed plots of lands, they take the land to be their own mother: Tana Indoku, Ummaku Langi (The Land is My Mother, the Sky My Father).

This is Kamalisi, a rural forest area where the Da'a, Inde and Unde people, three sub-ethnic groups of the Kaili, the indigenous people of Palu, Central Sulawesi, live. Wandering from one place to another as nomadic farmers, they live within the boundaries of well-organized traditional plots of land with their own ways of land management.

The plots of land they control are named after natural, social, political or cultural events to ensure that the later generation will always be reminded of these events. This method of naming of these plots of land also serves as evidence of these people's struggle to maintain the property of their traditional community.

These plots of land are passed on to the present generation communally and they are not meant to be controlled individually. Privilege is unknown in this community. Social relations, tradition and hierarchy regulate the prevailing communal rights to ensure that in their social lives everybody is equal.

A plot of land is associated with control and also with the culture that has shaped association regarding the symbols that demonstrate the strength of collective economic resilience.

Therefore the people living on Gawalise mountain range have long considered their land and its natural resources as not only economic assets and commodities but also as communal property for the well-being of their community members, on the basis of the principle that living creatures in a particular area enjoy the same right to live and that they need and protect one another.

"Our principle is that every living creature in a traditional area enjoys an equal right to live as natural resources, locally called katuvua, to ensure human survival. Likewise, human beings must also take good care of natural resources because man and nature are in fact complementary," said Yuji, a local customary elder.

"Unfortunately, their natural resources and plots of land can no longer be called their traditional land following the appearance of businessmen, who, with the blessing of the government, claim their land as state-owned property that must be exploited. As a result, the buzz of chainsaws in operation echoes in this mountainous area. "They have taken our wood and we can no longer hunt animals like boars, anoa, deer and birds," Yuji added.

Their age-old customary convention that a customary sanction, called givu, will be imposed on whomever arbitrarily takes wood in a way that will damage nature, is no longer effective in the face of power and money.

Their givu requires that the name of anybody violating this traditional convention be announced before the public and that the customary elders appointed by the community should decide in Bantaya, a place for customary gathering, what sanction should be imposed on the violator.

"A customary convention is like a clasp of the hand. This convention is not strict. However, once it is enforced, nobody is free from it," said Endi, an activist of Kamalisi Customary Community.

Harley, a non-government organization activist in Palu, said that the lives of the customary community living along the Kamalisi mountain range are not a romantic tale. Stories about their experiences, their environment and the sources of their livelihood are true stories. "They are a social picture illustrating how the oppressor class treats the oppressed," he noted.

For those who live in the Palu Valley, Kamalisi is known as Gawalise, a name originating from the Dutch colonial times. Nobody knows clearly the reason for this change in name, though.

Kamalisi is the highest mountain in Marawola district, Donggala regency, Central Sulawesi, to the west of the town of Palu. The people living along the Kamalisi mountain range and plains believe their ancestors used to live in Kamalisi.

The peak of Kamalisi is locally known as Ulu Jadi or Ulunggatoka Pinandu, and is believed to be the origin of the traditional community dwelling in Kamalisi area.

The traditional peoples of Da'a, Inde and Unde, and the tribes living along the Kamalisi mountain range, believe they came from a very old place at the peak of Kamalisi (Ulu Jadi or Ulungatoka Pinandu.) Their famous saying is "Pinandu tananilemo ngari tanah Pinandu" (created from earth, a lump of earth that gives life and gives livelihood to every creature living along the mountain range area.)

That's why groups living on the Kamalisi mountain range area believe that man and natural resources depend on each other and that equal position and right have been bestowed on each. Man and natural resources must take care of each other. Therefore, no living creatures must make other living creatures their objects.***

Saturday, July 15, 2006

Pergolakan Politik Pemda Sulteng 1964- 1981

Ruslan Sangadji

PERGOLAKAN POLITIK

Adalah mutlak, untuk dalam setiap masa transisi atau peralihan kekuasaan, selalu saja tak terlepas dari dari adanya “konflik politik” atau “pergolakan politik”, termasuk di kalangan birokrasi. Pun halnya di Sulawesi Tengah. Pada tahun-tahun awal kehadiran Sulawesi Tengah sebagai daerah yang otonom, pergolakan terlihat sangat jelas di kalangan birokrasi.

Ketua Yayasan Wakaf Paramadina, Nurcholis Madjid, mengatakan bahwa kebijakan politik pemerintahan masa lalu cenderung menghasilkan perpecahan bangsa. Akibat kebijakan-kebijakan yang sewenang-wenang itu, kini kita semua yang merasakannya.

Pembangunan fisik yang menunjang peningkatan Sumber Daya Manusia memang terjadi, baik di perkotaan maupun pedesaan. Hanya saja, suatu bangsa tidak akan menjadi besar jika sekadar mengandalkan pembangunan fisik. Bangsa ini dan juga daerah ini, harus juga membangun SDM secara arif dan bijaksana.

Di tengah situasi daerah yang serba tak menentu seperti saat itu, sangat diperlukan tampilnya tokoh-tokoh cerdik pandai yang bersedia menerapkan pola kerja tekun dan terus berjuang.

Pekerja tekun dan pejuang yang ia maksudkan bukan sekadar pola berkorban, seperti penggalangan solidaritas dan mobilisasi massa. Pekerja tekun itu, tentu diharapkan berasal dari kalangan orang yang berkarakter dan tidak menginginkan publisitas dan popularitas, tetapi selalu produktif memberikan sumbangan kemampuannya dengan menjadi anggota kemanusiaan universal. (Nurcholis Madjid dalam Kompas, Sabtu, 6 Oktober 2001).

Janganlah kita membayangkan. Bahwa pergoalakan politik di Sulawesi Tengah, sama seperti pergolakan politik di beberapa tempat seperti Aceh, Papua atau di Maluku. Pergolakan politik di sana, lebih didasari pada rasa kekecewaan yang terpendam begitu dalam dan luka psikologis sebagai kawasan yang sekin lama terpinggirkan. Akibatnya, telah menumpuk seperti bara api dalam sekam yang setiap saat siap terbakar menjadi ledakan konflik dan kekerasan berskala luas.

Mizan menulis bahwa inilah karya terkini, yang menguak akar-akar pergolakan politik di daerah-daerah yang bersumber pada akumulasi kekecewaan rakyat terhadap arah dan kecenderungan pembangunan yang memarjinalkan peran dan andil masyarakat lokal di satu pihak, dan yang mengabaikan rasa keadilan masyarakat lokal di dalamnya, di lain pihak.
Misalnya, pergolakan politik seperti yang terjadi di Aceh, Maluku dan Papua dipandang sebagai produk dan dampak kekeliruhan fatal negara yang menempatkan daerah sebagai subordinasi kekuasaan sentralistik pemerintah pusat.

Ridwan al-Makassary, Research Coordinator, the Interseksi Foundation, menulis:
Dalam kehidupan sosial sehari-hari, perlawanan dan penentangan (resistensi) sering timbul dan dengan cepat bersalin rupa menjadi perlawanan terbuka yang lazim disebut sebagai ‘gerakan sosial’ (social movement). Pada tahun 1950-an, istilah ini muncul sebagai kosa kata yang dikenal dalam studi sosiologi di Amerika Serikat.

Adalah Erich Hobsbawn yang pertama kali menggunakan istilah ‘social movement’ dalam bukunya Primitive Rebels ‘Gerakan sosial’, sejatinya, dapat dibedakan dalam dua jenis. Pertama, gerakan sosial yang memulai proses perubahan dan kedua, gerakan sosial yang lahir sebagai reaksi terhadap perubahan yang sedang terjadi. Gerakan sosial yang paling lazim adalah gerakan sosial yang bertipe “reaktif” dan “melawan”, terutama gerakan rakyat yang menuntut perubahan ekonomi atau sosial (termasuk kepercayaan/agama) yang mengancam cara hidup yang berlaku dan mereka yakini kebenarannya.

Kajian mengenai social movement, tak terhindarkan akan mengkaji bagaimana berbagai protes sosial itu menyeruak ke permukaan, dan juga meneropong secara khusus struktur sosial dan politiknya. Namun, suatu kajian social movement kurang memperhatikan idiom-idiom budaya di mana protes tersebut diekspresikan.

Pada dasanya, kajian ‘gerakan sosial atau social movement berasosiasi dengan karya Max Weber, sosiolog Jerman. Weber mendasarkan pada struktur dan tindakan satu kelompok yang diderivasi dari komitmennya pada satu sistem keyakinan tertentu, mengenai tujuan, standar prilaku, dan legitimasi.

Selanjutnya, sistem Weberian menantang kemapanan sistem politik yang digerakkan oleh pribadi-pribadi kharismatik yang kuasa membangun satu kelompok dengan bersandar pada ide-ide tertentu.

Menurut Edmund Burke, ada kajian khusus mengenai Islamic Movements, yang menekankan pada konsep dan retorika Islam yang digunakan oleh gerakan-gerakan kebangkitan Islam dalam setting politik dan ekonomi yang beragam di seluruh dunia Muslim. Namun, secara keseluruhan kajian ini kurang memperhatikan mengapa gerakan ini terjadi.

KONFLIK POLTIK DI BIROKRASI SULAWESI TENGAH

Di Sulawesi Tengah, pergolakan yang dimaksud bukanlah pergolakan fisik yang berdarah-darah, tapi lebih pada pergolakan politik untuk merebut kekuasaan di pemerintahan. Salah satu yang paling membekas dalam sejarah bertutur para pelaku sejarah kita, adalah ketika perebutan kekuasan di pemerintahan pada masa peralihan dari Gubernur Kolonel Mohammad Yasin ke Brigadir Jenderal AR Tambunan.
Kolonel Mohammad Yasin menjadi Gubernur Sulawesi Tengah yang kedua (1968-1973). Beliau menggantikan Anwar Gelar Datuk Madjo Basa Nan Kuning (1964-1968).

Pada saat peralihan itu, terjadi pergolakan dari sekelompok pemuda cerdas Sulawesi Tengah. Persoalannya, karena Kolonel Mohammad Yasin yang telah berjanji akan mengangkat para tokoh daerah Sulawesi Tengah, kemudian akan ditenggelamkan kembali oleh Brigadir Jenderal AR Tambunan.

Sampai-sampai ada istilah yang berkembang saat itu, bahwa putra-putra Sulawesi Tengah, tak lebih sebagai “Batang yang Terendam”. Artinya, Sulawesi Tengah memiliki sejumlah orang yang cerdas, tapi sengaja untuk tidak dimunculkan ke permukaan.

Maka genderang perang terhadap Brigadir Jenderal AR Tambunan pun ditabuh. Tokoh-tokoh seperti Lukman Makmur dan Rusdy Toana (almarhum) serta beberapa tokoh Alkhairaat seperti Saiyid Muhammad bin Idrus Aljufrie, terus berusaha mempertahankan Kolonel Mohammad Yasin dan menolak dicalonkannya Brigadir Jenderal AR Tambunan.

Para tokoh ini sangat percaya, bahwa Kolonel Mohammad Yasin mampu memberdayakan kelompok cerdik pandai asal Sulawesi Tengah. Atau dengan kata lain, Kolonel Mohammad Yasin diyakini bisa mengangkat “Batang yang Terendam” tadi.
Perlawanan semakin tampak lagi, karena selain isu soal “Batang Terendam” tapi juga isu mengenai BaToKer yang sangat kuat saat itu. BaToKer adalah kependekan dari Batak, Toraja, Kristen.

Istilah tersebut begitu kuat berhembus ke mana-mana, karena didasari bahwa pada periode 1968, ketika Gubernur Sulawesi Tengah masih dijabat oleh Kolonel Mohammad Yasin, dipara pejabat di pemerintahan saat itu didominasi oleh orang-orang dari suku Batak dan Toraja yang beragama Kristen.

Ketika brigadir Jenderal AR Tambunan menjadi Gubernur (1973-1978) pertarungan politik di kekuasaan semakin sengit lagi, karena semakin mapannya kedudukan BaToKer di jajaran Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah pada saat itu. Sampai-sampai, lahir lagi istilah 3-S, yakni Sallata, Simak dan Sarapang. Istilah ini muncul, karena ketika tokoh ini yang dinilai sangat “berkuasa” di kantor Gubernur Sulawesi Tengah, pada masa AR Tambunan. Mereka ini juga, dianggap sebagai kelompok yang menghalang-halangi putra Sulawesi Tengah untuk tampil ke permukaan.

Padahal, Sulawesi Tengah pada saat itu, sudah memiliki sejumlah tokoh penting yang masuk dalam kelompok cerdik pandai.

Mereka itu antara lain seperti Andi Cella Nurdin dari Parmusi, Zainuddin A. Rauf dari PSII dan Ir Malloto dari Golkar. Tapi, mereka-mereka ini seakan ditekan dan tidak dibiarkan untuk tampil ke permukaan.

Pergolakan politik itu, sesungguhnya tidak berdiri sendiri. Tapi itu bermula dari Jakarta. Dan pergolakan itu berlangsung lama, sekitar lima tahun perjalanan Gubernur AR Tambunan. Perlawanan terus dilakukan oleh kelompok cerdik pandai Sulawesi Tengah. Perlawanan itu dilakukan mulai dengan mengedarkan surat-surat resmi yang berisi penolakan terhadap Brigadir Jenderal AR Tambunan, sampai pada protes secara terbuka.

Perlawanan seperti itu dilakukan, karena para tokoh politik menilai bahwa gerakan politik melalui lembaga legislatif, tidak lagi berguna, karena keran kebebasan terbelenggu sama sekali. Legislatif, hanya dituntut untuk berpikir dan bekerja untuk pembangunan, tanpa harus mengurusi politik yang ujung-ujungnya untuk “perebutan kekuasaan” di pemerintahan. Akibatnya, “Batang Terendam” itu tetap saja terendam dan tidak bisa tampak ke permukaan.

PENANGKAPAN TANPA ALASAN

Pergoalakan atau kita sebut saha dengan kisruh politik pada masa AR Tambunan, tidak hanya karena dipengaruhi oleh konstelasi politik di tingkat lokal. Tapi lebih dari itu, sangat diperahui oleh situasi negara yang masih dalam masa transisi dari Orde Lama di bawah kepemimpinan Soekarno, ke Orde Lama di bawa kekuasaan Soeharto.

Saat itu, sangat banyak tokoh-tokoh politik, orang-orang kritis dan kelompok cerdik pandai selalu dicurigai sebagai dengan macam-macam alasan. Mulai dari kecurigaan soal keterlibatan dalam Partai Komunis Indonesia (PKI), kecurigaan akan mendirikan PKI Gaya Baru, kecurigaan sebagai kelompok Nasakom, sampai pada kecurigaan sebagai orang-orang yang dekat Soekarno.

Oleh Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto, orang-orang dan kelompok-kelompok ini harus diamankan. Diamankan berarti ditangkap dan dimasukan ke dalam penjara dalam kurun waktu tertentu. Situasi itu tidak hanya terjadi di Pulau Jawa dan sekitarnya, tapi juga berimbas ke Sulawesi Tengah.

Maka, satu per satu tokoh-tokoh politik dan birokrat di daerah ini pun ditangkap oleh Kopkamtib. Anehnya, penangkapan itu tanpa surat perintah penangkapan, tanpa penjelasan kenapa mereka ditangkap. Pokoknya harus ditangkap, urusan kemudian soal alasan, surat penangkapan atau pun apalah namanya.

Maka, nama-nama seperti Aminuddin Ponulele. Theo Tumaka, MT Abdullah, B. Marunduh, Ir. Malloto, Husen Binol dan F. Poddung, dipanggil ke kantor Korem 132 Tadulako. Begitu mereka datang ke Korem, lantas mereka digiring ke suatu tempat yang mereka sendiri tidak tahu.

Menurut Theo Tumakaka, mereka dibawa ke suatu tempat itu dengan mata ditutup. Ternyata, mereka dibawa ke Markas Kodim di jalan Hasanuddin (di depan rumah keluarga Baso Lamakarate). Di tempat itulah, pagi, siang dan malam mereka terus dinterogasi.

Mereka dipaksa mengaku sebagai orang yang akan mendirikan PKI Gaya Baru. Tapi, ke-7 tokoh penting Sulawesi Tengah ini tetap berkeras, bahwa mereka tidak pernah akan mendirikan PKI Gaya Baru di Sulawesi Tengah. Jangankan mendirikan, berniat pun tidak pada saat itu. Kalau kedekatan mereka dengan Soekarno, adalah benar adanya. Tapi kedekatan itu pun karena mereka adalah kader Partai Nasional Indonesia (PNI).

Selama dalam penangkapan atau penahanan itu, tokoh-tokoh ini diperlakukan tidak layak sebagai manusia. Mereka tidur di atas kasur robek yang kapuknya berhamburan ke mana-mana.
Mereka tidak diizikan bertemu dengan keluarga. Makanan yang diantar keluarga ke penjara pun hanya sampai di piket dan melalui pemeriksaan berkali-kali. “Saya hampir bunuh diri waktu itu. Saya malu, karena saya tidak pernah tahu apa alasan penahanan saya,” kata Theo Tumakaka di suatu kesempatan.
Tahun 1977, mereka dibebaskan berdasarkan surat keputusan Danrem 132/Tadulako selaku Wakashar Latsusda Sulutteng Khusus Sulteng. Anehnya, selama dalam penahanan, mereka tidak tahu menahu alasan kenapa mereka ditangkap dan ditahan. Nanti setelah dibebaskan itulah baru mereka tahu dari penjelasan surat pembebasan itu.
Dalam satu salinan foto copy surat keputusan Nomor: SKEP/8/711/1977, misalnya, disebutkan bahwa:

Membaca : 1. Instruksi PANGKOPKAMTIB Nomor: INS-02/KOPKAM/X/1977
tanggal 10 Oktober 1977 punt (1) tentang pembebasan para TAH
yang terlibat dalam kegiatan PKI Gaya Baru di Kabupaten Donggala.
2. Instruksi LAKSUSDA SULUTTENG Nomor: INS-10/KAMDA/XI/1977
tanggal 5 Nopember 1977 tentang pelepasan/pembebasan dalam
kegiatan PKI Gaya Baru kecuali Restin Kajarante dan yang tersebuty
Nomor 1e.

Menimbang : Perlu segera mengeluarkan surat keputusan untuk melaksanakan
instruksi tersebut.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : 1. Yang namanya tersebut dalam daftar lampiran Surat Keputusan
ini tidak terlibat dalam kegiatan PKI Gaya Baru dan terhitung
mulai tanggal 3 Desember 1977 dilepaskan/dibebaskan dari
tahanan/wajib lapor serta dikembalikan kehormatannya
(direhabilitasikan) dengan catatan bahwa sebelum menerima
pembebasan terlebih dahulu mengangkat sumpah/janji dan
menandatangani naskah sumpah janji tersebut.
2. Apabila di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam
Surat Keputusan ini, akan diadakan pembetulan sebagaimana
mestinya.

Dikeluarkan di : Palu
Pada tanggal : 2-12-1977

DANREM 132/TADULAKO
SELAKU
WAKASHAR LAKSUSDA SULUTTENG
KHUSUS SULTENG


S O E R A N T O
KOLONEL INF NRP 1322628


TEMBUSAN:
1. LAKSUSDA SULUTTENG
2. PANGDAM XIII/MERDEKA
3. GUBERNUR KDH TKT I SULTENG
4. DAN SATGAS INTELDA SULUTTENG
5. DAN DIM 1306/DONGGALA
6. DAN YONIF 711/RAKSATAMA
7. BUPATI KDH TKT II DONGGALA

Dari surat pelepasan atau pembebasan inilah, barulah para elite Sulawesi Tengah ini mengetahui, bahwa mereka ditangkap karena dituduh sebagai orang-orang yang akan mendirikan PKI Gaya Baru di Donggala. Yang paling menyakitkan juga bagi mereka, penahanan selama berbulan-bulan di dalam penjara itu, tidak pernah melewati proses persidangan di pengadilan.

Syukurlah bahwa ternyata mereka tidak terbukti, nama mereka dibersihkan dan dikembalikan lagi ke keluarga dan masyarakat untuk beraktivitas. Bagi yang aktivis politik, kembali berpolitik dan bagi yang birokrat kembali ke jabatan sebelumnya. Seperti Aminuddin Ponulele akhirnya menjadi Ketua Persatuan Wartawan Indonesia, Theo Tumakaka kembali menjadi Kabag Protokol dan Perjalanan pada masa Gubernur AR Tambunan dan demikian yang lainnya kembali ke aktivitas semula.

Berawal dari penangkapan para tokoh penting inilah, kemudian membuat keder atau takut bagi para elite lainnya di Sulawesi Tengah. Sehingga meski pun dalam perjalanan pemerintahan di masa AR Tambunan terjadi banyak sekali penyelewengan dan penyalahgunan, tak satu pun berani bersuara. Mereka takut bersuara, nanti akan ditangkap oleh Laksusda dianggap sebagai PKI Gaya Baru.

Paling-paling, isu yang beredar adalah bahwa Gubernur AR Tambunan hanya menempatkan orang-orang dekatnya di jabatan strategis. Mereka ditempatkan di posisi yang basah. Dan saat itulah mulanya ada istilah ada tempat basah dan tempat kering. Tapi sekali lagi bahwa semua itu hanya menjadi isu dan obrolan tanpa suara di tempat-tempat yang dianggap aman.

Padahal, pada masa Gubernur AR Tambunan itu, penempatan jabatan tidak berdasarkan pada jejang kepangkatan dan melalui baperjakat, tapi semuanya berorientasi pada asal-usul daerah si pejabat atau sukuisme dan kedekatan dengan gubernur.

Beberapa jabatan yang nasa dipegang oleh orang-orang dekatnya dan berdasarkan asal-usul daerah itu, misalnya Kepala Biro Keuangan dijabat oleh Drs BS Tambunan. Kepala Dinas Kehutanan dijabat oleh IR R.L. Tobing dan di beberapa jabatan penting lainnya yang disebut basah itu.

Pada masa itu juga, sebenarnya terjadi kemandegan pemerintahan yang luar biasa. Karena setiap ada gerakan yang mengkritik pemerintah, para pengkritik itu langsung ditangkap dengan tuduhan sebagai PKI. Sungguh, terjadi kengerian politik yang amat sangat pada saat itu. Tapi, dari sisi positifnya, tidak terjadi konflik terbuka akibat dari kebijakan yang tidak populis itu.

BANGKITNYA BATANG TERENDAM

Sebagian kalangan menganggap, bekerja untuk membangun daerahnya, tidak harus terus-terusan berada di luar wilayah kekuasan. Oleh karena itu, sedapat mungkin kekuasaan itu direbut, dan kemudian menjadikan kekuasaan itu sebagai alat perjuangan untuk maju.

Atas dasar itulah, sehingga perjuangan-perjuangan merebut kekuasaan pemerintahan Sulawesi Tengah terus dilakukan oleh kaum cerdik pandai daerah ini. Batang yang terendam pada masa Gubernur AR Tambunan, jangan biarkan membusuk, tapi harus diusahakan agar bisa bangkit, untuk kemudian bisa memberikan manfaat yang besar bagi daerah ini.

Di mana-mana, termasuk di Sulawesi Tengah, tak pernah ada kata lelah dalam perjuangan. Meski pun memang sangat melelahkan. Perjuangan boleh memakan waktu yang teramat panjang, pengorbanan pun harus diberikan demi mencapai tujuan-tujuan. Maka, apa pun alasannya, tokoh Sulawesi Tengah harus bangkit, agat mereka tidak hanya menjadi penonton di lapangan sendiri, da tidak menjadi tamu di negeri sendiri.

Perjuangan panjang dan melelahkan itu pun sedikit membuahkan hasil. Ketika Pemerintah Pusat menunjuk Brigadir Jenderal Moenafri SH (1978-1979). menjadi Gubernur Sulawesi Tengah menggantikan Brigadir Jenderal AR Tambunan.

Brigjen Moenafri datang dengan salah satu isu yang sangat mumpuni, yakni Membangkitkan Batang Terendam. Isu ini mendapat dukungan yang cukup luas dari berbagai kalangan di Sulawesi Tengah, termasuk para tokoh politik maupun para pejuang pengembalian kekuasaan ke daerah ini.

Isu membangkitkan Batang Terendam itu benar-benar dibuktikan oleh Brigjen Moenafri. Bayangkan saja, dari 17 jabatam Eselon II di kantor Gubernur Sulawesi Tengah, Brigjen Moenafri SH menempatkan 13 pejabat adalah orang putera daerah Sulawesi Tengah. Semua itu dilakukannya, semata-mata dengan tujuan untuk membangkitkan Batang Terendam tadi. Dari situlah kemudian, peran dan pengariuh 3-S itu mulai bergeser ke putra-putra asli Sulawesi Tengah.

Para tokoh Sulteng memberikan apresiasi yang cukup tinggi kepada Brigjen Moenafri SH. Ada kecenderungan, mereka menganggap bahwa Brigjen Moenafri adalah seorang tokoh yang telah membangunkan mereka dari mimpi panjang selama lima tahun. Tapi, sehebat apapun Moenafri, sekuat apa pun dukungan rakyat Sulawesi Tengah, tetap saja remot control tetap berada di Jakarta. Sewaktu-waktu Gubernur Moenafri bia dicopot.

Terbukti, tahun Brigjen Moenafri SH hanya menjabat selama satu tahun sebagai Gubernur Sulawesi Tengah. Boleh jadi, pencopotan terhadap Moenafri itu, karena jenderal satu bintang ini mmberikan peran yang terlalu besar bagi putra-putra terbaik Sulawesi Tengah. Kebijakan ini tak bisa dibiarkan berlangsung lama. Moenafri harus secepatnya dikembalikan ke Jakarta. Maka dicarilah alasan, agar Moenafri bisa diguling dan dipindahkan secepatnya dari Sulawesi Tengah.

Memang, intervensi dan intrik Jakarta khususnya dari Markas Besar ABRI saat itu begitu besar. Suatu hari, salah seorang anak dari pejabat penting di tubuh Markas Besar ABRI di Jakarta, datang ke Palu hendak berbisnis kayu hitam.

Kayu hitam, saat itu memang menjadi salah satu primadona Sulawesi Tengah. Harganya sangat mahal, sehingga para pengusaha kaya dari Jakarta selalu memburunya. Bahkan, para pengusaha Sulawesi Tengah pun harus menyelundupkannya ke negeri tetangga, Malaysia.

Karena harganya yang sangat mahal itu, sampai akhirnya mengajak anak pejabat ABRI itu mau berbisnis kayu hitam di Sulawesi Tengah, dan berharap Gubernur Moenafri yang juga seorang anggota ABRI itu, bisa memberikan kemudahan. Tapi ternyata bukan kemudahan yang diperoleh, malah kehadirannya di Sulawesi Tengah, ditolak oleh Gubernur Moenafri.

Tidak disadari oleh Gubernur Moenafri, bahwa penolakan itu terdengar sampai di Jakarta. Maka, penolakan terhadap anak pejabat ABRI inilah, yang kemudian menjadi pintu masuk untuk segera melengserkannya dari kursi Gubernur Sulawesi Tengah. Isu itulah yang santer beredar ke mana-mana, bahwa Gubernur Moenafri diganti oleh Kolonel R.H Eddy Djadjang Djadjatmadja (1979-1980). Perwira tiga melati ini ditunjuk untuk menjadi pejabat sementara Gubernur Sulawesi Tengah.

Tapi, tidak hanya itu yang menjadi penyebab tidak bertahan lamanya Moenafri sebagai Gubernur Sulawesi Tengah. Beberapa sumber pelaku sejarah mengatakan bahwa gubernur ini cenderung sangat arogan. Gubernur ini cenderung tidak serius dalam menjalankan tugas-tugasnya. Sikap dan gaya kepemimpinan itu terjadi, karena mereka menanggap bahwa keberadaanya hanya sebagai pajangan saja, karena ditunjuk drbsgsi penjabat sementara. Sikap seperti itu juga, dilakukan oleh Gubernur RH Eddy Djadjang Djadjatmadja.

EDY SABARA LAHIRKAN GUBERNUR

Kolonel Eddy Djadjang Djadjaatmadja resmi menjadi pejabat sementara Gubernur Sulawesi Tengah (1979-1980). Di akhir-akhir masa jabatannya itu, kisruh politik atau pergolakan politik kekuasaan kembali terjadi dan semakin tajam.

Penyebabnya hanya satu, Sang Kolonel ini “berambisi” untuk menjadi Gubernur Sulawesi Tengah yang definitif. Padahal, para kaum cerdik pandai Sulawesi Tengah, telah mengincar posisi itu, sebagai bentuk dari perjuangan untuk membangkitkan Batang Terendam tadi.

Meski keinginan Bangkitnya Batang Terendam itu sudah sedikit terjawab, dengan penempatan 13 pejabat eselon II di kantor Gubernur Sulawesi Tengah, tapi yang paling penting lagi adalah bagaimana dapat merebut pucuk kekuasaan di birokrasi, atau merebut kursi Gubernur Sulawesi Tengah.

Namun apa hendak dikata, tokoh-tokoh sipil cerdik pandai Sulawesi Tengah tak bisa berbuat apa-apa, karena kuatnya dominasi ABRI ketika itu. Buktinya, pemerintah pusat lagi-lagi mengangkat Mayor Jenderal Edy Sabara (1980-1981) sebagai Gubernur Sulawesi Tengah.

Awalnya, kehadiran Mayor Jenderal Edy Sabara ini, dinilai sebagai salah satu penghalang untuk membangkitkan Batang Terendam tadi. Tapi ternyata, kehadiran Mayor Jenderal Edy Sabara justru sebaliknya. Kehadiran Edy Sabara ternyata melahirkan Gubernur Sulawesi Tengah. Kehadiran Mayjen Edy Sabara, justru akan membangkitkan Batang Terendam yang nyaris lapuk dimakan air dalam rendamannya.

Oleh sebagian kelompok cerdik pandai Sulawesi Tengah, menilai bahwa Edy Sabara, adalah seorang jenderal yang memiliki kepedulian yang sangat besar terhadap kemampuan kader-kader daerah ini. Bagi Edy Sabara, setelah dirinya meninggalkan jabatan sebagai gubernur, maka penggantinya tidak boleh tokoh yang dikirim dari Jakarta, tapi harus putra Sulawesi Tengah sendiri.

Keresahan Edy Sabara itu tidak hanya dipendam sendiri di dalam hatinya. Tapi keresahan itu diungkapkan kepada beberapa orang yang dianggap paham tentang siapa, apa dan bagaimana kemampuan tokoh-tokoh daerah Sulawesi Tengah, yang kelak bisa dipersiapkan untuk menggantikannya sebagai gubernur, jika masa jabatannya selesai.

Dengan melihat konstelasi politik dan desas-desus soal perjuangan para tokoh cerdik pandai Sulawesi Tengah pada masa perjuangan berdirinya Sulawesi Tengah menjadi provinsi otonom lepas dari Sulawesi Utara, membuat keyakinan Edy Sabara begitu kuat, bahwa pasti ada orang daerah ini yang bisa menjadi pemimpin.

Keyakinan Edy Sabara begitu kuat, karena sepeninggalnya dia sebagai Gubernur Sulawesi Tenggara, dia berhasil menciptakan putera terbaik daerah itu untuk menggantikannya. Keberhasilan itu, akhirnya membuat ia sangat yakin, bahwa di Sulawesi Tengah pun, dia akan mampu melahirkan orang daerah untuk memimpin di negerinya sendiri.

Makanya, dalam setiap kesempatan publik Sulawesi Tengah selalu mengatakan bahwa Edy Sabara itu adalah gubernur yang sudah keliling Indonesia. Ia ditugaskan oleh Pemerintah Pusat untuk menjadi penjabat gubernur di mana-mana, selalu sukses di akhir. kepemimpinan.

Misalnya, tahun 1979 pernah menjadi Gubernur Jambi. Eddy Sabara juga pernah menjadi Gubernur Sulawesi Tenggara pada tahun 1967-1978. Pernah juga menjadi penjabat Gubernur Daerah Istimewa Aceh di tahun 1981. Kemudian pada tahun 1983-1984 Eddy Sabara menjadi penjabat Gubernur Kalimantan Tengah. Itulah antara lain jejak langkah seorang Eddy Sabara. Pria ini berkumis tipis, bermata besar dan tatapannya selalu tajam.

Akhirnya, pada suatu malam di rumah jabatan Gubernur Sulawesi Tengah (sekarang Siranindi di Jalan Mohammad Hatta Palu), keresahan Gubernur Edy Sabara itu pun diungkap secara terus terang kepada Kepala bagian Protokol dan Perjalanan saat itu, Theo Tumakaka. Maka terjadilah dialog panjang antara atasan dan bawahan itu. Berikut kutipan dialognya:

Gubernur Edy Sabara : Coba Pak Theo, apakah tidak ada anak daerah Sulawesi Tengah yang mampu untuk kita ajukan memegang jabatan gubernur...???

Theo Tumaka : Wah, sebenarnya Pak, kalau kader Sulawesi Tengah sangat banyak. Kita telah berjuang untuk mendirikan Sulawesi Tengah menjadi provinsi sendiri lepas dari Sulawesi Utara, itu berarti kita juga sudah menyiapkan segala sesuatunya, termasuk kader-kader dari daerah ini Pak....”

Gubernur Edy Sabara : Siapa saja kader-kader itu Pak Theo...???

Theo Tumakaka : mmm ada Pak Galib Lasahido (saat itu sebagai Sekretaris Daerah Pemda Sulawesi Tengah) dan Pak Azis Lamadjido (saat itu sebagai jaksa di Mahkamah Agung).

Gubernur Edy Sabara: Betul juga ya Pak Theo. Terima kasih Pak Theo...

Percakapan itu terjadi, karena saat itu Theo Tumaka dipanggil ke kediaman Gubernur Sulawesi Tengah, untuk memberitahukan mengenai permintaan Menteri Dalam Negeri, Amir Machmud ketika itu, agar Theo Tumakaka bersedia menjadi Kepala Bagian Protokol di Departemen Dalam Negeri. Tapi Theo Tumaka menolak permintaan Menteri Dalam Negeri itu. Alasannya, dia harus konsisten dengan hasil Musyawarah Besar Mahasiswa Sulawesi Tengah di Jakarta, agar semua putera Sulteng kembali ke daerah dan mengabdi untuk daerah.

Percakapan itu, akhirnya sedikit mengobati keresahan Gubernur Edy Sabara. Dia telah mengantongi dua nama yang dianggap tepat untuk menggantikannya kelak sebagai Gubernur Sulawesi Tengah. Dua nama itu pun kemudian dibawa ke hadapan Menteri Dalam Negeri Amir Machmud di Jakarta. Selain itu, memang ada dukungan perjuangan yang dilakukan oleh sejumlah tokoh cerdik pandai asal daerah ini.

Maka pada tahun 1981, Drs H. Galib Lasahido terpilih menjadi Gubernur Sulawesi Tengah yang devinitif dan berakhir pada tahun 1986. Galib Lasahido mengantikan Mayor Jenderal Edy Sabara.

Saat itulah, mantan Bupati Poso (1967-1973) itu, disebut-sebut sebagai batang terendam pertama yang muncul ke permukaan, karena berhasil memegang kekuasaan tertinggi di birokrasi Sulawesi Tengah. Dan pada saat itulah, putera Sulawesi Tengah, tak lagi menjadi penonton di lapangannya sendiri, dan tidak lagi menjadi tamu di negerinya sendiri.

Dari masa itulah, kemudian berturut-turut yang menjadi Gubernur Sulawesi Tengah adalah putra-putra terbaik bangsa asal daerah ini. Mereka tak lagi menjadi batang terendam, tapi mereka justru tampil sebagai pemimpin. Mereka mampu, karena memang memiliki kemampuan itu dan atas usaha yang luar biasa, dan sesungguhnya bukan karena pemberian.

Berikut daftar nama-nama Gubernur Sulawesi Tengah dari masa ke masa:

1. Anwar Gelar Datuk Madjo Basa Nan Kuning 1964 1968
2. Kol. Mohammad Yasin 1968 1973
3. Brigjen A. M. Tambunan 1973 1978
4. Brigjen Moenafri, SH 1978 1979
5. Kol. R. H. Eddy Djajang Djadjatmadja 1979 1980
6. Mayjen H. Eddy Sabara 1980 1981
7. Drs. H. Ghalib Lasahido 1981 1986
8. H. Abdul Aziz Lamadjido, SH 1986 1996
9. Mayjen TNI (Purn). H. Bandjela Paliudju 1996 2001
10. Prof. (Em) Drs. H. Aminuddin Ponulele, M.S. 21 Februari 2001-24 Maret 2006
11. Mayjen TNI (Purn). H. Bandjela Paliudju 24 Maret 2006 sekarang

Palu taxi drivers strike

Ruslan Sangadji

PALU, Central Sulawesi: At least 60 drivers of Utama Taxi, one of the major taxi companies in the Central Sulawesi capital of Palu, went on strike Thursday, demanding that the company cut rental fees.

They staged a rally in front of Utama Taxi depot, demanding that the management lower the taxi rental fees and cut other obligations imposed on the drivers.

The daily rental fee of Rp 200,000 (US$21.05) that drivers are required to pay to the company is too high because Palu residents still prefer to use public minivans, M. Junaidi, one of the drivers, said.

Junaidi explained that in order to pay the fee and another Rp 50,000 for fuel, the drivers were forced to work round-the-clock. Sometimes despite a 24-hour shift, the drivers were still short of the target amount and were forced to pay out of their own pockets, he said.

Besides asking for lower rental fees, the drivers also asked the management not to burden them with other obligations such as repair costs.***

Tuesday, July 04, 2006

Poso hydroelectric plant project remains on hold

Ruslan Sangadji, The Jakarta Post, Palu

A longstanding dispute over a hydroelectric power plant (PLTA) project in Poso, Central Sulawesi, appears no closer to being resolved.

Residents of seven villages in North Pamona district affected by the project have demanded that PT Hadji Kalla and PT Bukaka Hydropower Engineering and Consulting Co., which are building the plant, pay them more money for their land.

The coordinator of the Front for PLTA and High Voltage Transmission Lines in Poso, Marten Ombo, said the companies were willing to pay just Rp 1,750 (19 U.S. cents) per square meter for land affected by the project.

"Why are they willing to pay so little for land for a project of such significance?" he said.

Indonesian Forum for the Environment (Walhi) member Agussalim Faisal Said said the companies had not paid for the land they acquired for the Sulewana PLTA project.

"This is a serious problem, which PT Bukaka needs to resolve immediately. Just because its a big project, people are deprived of their rights. Don't let people think Bukaka has cheated the people," said Agussalim.

The power plant's construction started in April 2005. It is expected to generate a combined capacity of around 740 Megawatts (MW): PLTA Poso-1 (160 MW), Poso-2 (180 MW) and Poso-3 (300 - 400 MW). At present work is only being done on PLTA Poso-2 or PLTA Sulewana.

Agussalim quoted George Aditjondro as saying in the Suara Pembaruan daily that the Poso PLTA project had violated Law No. 23/1997 on environmental management, Government Regulation No. 27/1999 on the environmental impact analysis (Amdal) and State Minister of Environmental Affairs Decree No. 3/2000 on the type of business and/or activity that must be equipped with an Amdal.

Besides problems on land compensation, the project has not attained an Amdal approval. Head of the Central Sulawesi chapter Amdal, Said Awad, acknowledged that the PLTA project had never submitted documents on Amdal thus far, or even invited Amdal for discussion on the project.

"The project must pay attention to social, economic, cultural and environmental aspects, because there would definitely be changes after its completion," said Said.

Meanwhile, chairman of the Commission on Developmental Affairs of the Central Sulawesi legislature, Muharram Nurdin, emphasized that the project had violated regulations for failing to conduct Amdal analysis.

"Aren't high voltage power lines to be installed later? Have the management of the project considered about the matter?" queried Muharram.

Administrative chief of Sangira, one of the seven villages affected by the project, Edy Sutrisno, urged PT Hadji Kalla and PT Bukaka to immediately stop land marking activities in his village until they obtained the required permits and informed area residents.

"We have also asked them to immediately discuss and make arrangements with the village administration and residents on land compensation procedures," said Edy.

Manager of the PLTA Poso project, Heru Priyadi Husaini, said that based on Government Regulation No. 6/2005, parties who disapprove the project have absolutely no right to call for a moratorium.

Heru said that the project had gone through the Amdal analysis conducted by the Amdal team from the Poso regency administration and signed by the Poso regent on July 21, 2005. The team consisted of environmental experts from the Tadulako University in Palu, Makassar's Hasanuddin University and Haluuleo University in Kendari.***

Poso security command marks end of mandate

Ruslan Sangadji, The Jakarta Post, Poso

The task force that for the past six months has worked to maintain security in the conflict-torn city of Poso, Central Sulawesi, saw its mandate officially come to an end Monday.

Thousands of weapons and rounds of ammunition confiscated by the Security Restoration Operation Command during its term were put on display at Poso military headquarters to mark the event.

The task force, set up Jan. 5 this year, answers to the Coordinating Ministry for Political, Legal and Security Affairs. It was formed to investigate a series of violent attacks in Poso and Palu following the 2001 Malino peace agreement, which largely brought an end to clashes between Christians and Muslims that killed more than 1,000 people in 2000 and 2001.

Task force head Insp. Gen. Paulus Purwoko said most of the weapons and ammunition on display were seized during a series of operations in Poso over the past six months. He added that some of the items had been voluntarily turned in by residents.

The weapons on display include 1,698 bullets of various calibers, 278 rifles and 85 pistols. There are also two grenades manufactured by state armory PT Pindad, 18 homemade bombs, 133 detonators and 74 arrows.

"All of these weapons will be destroyed after the display," Purwoko said. He added that the presentation was intended to show the public there remained many illegal weapons in circulation.

In addition to seizing weapons and curbing violence in Poso and Palu, the security task force also captured several people suspected of involvement in the Poso conflict, as well as a number of suspects in the embezzlement of humanitarian aid meant for victims of the violence.

Central Sulawesi has been awash with illegal firearms since the conflict in the area began in 2000. Between 2000 and 2004, police in the province recorded 174 cases of violence involving firearms.

Commenting on a bomb blast at Eklesia Church in Poso on Saturday night, Purwoko said police had identified the perpetrators.

He said the explosion, which did not cause any casualties, was linked to groups opposing the renovation of the church, which was badly damaged during the conflict in 2001.

"We will continue to investigate the case and search for those responsible," he said.***

Monday, July 03, 2006

Bomb damages church in Poso

Ruslan Sangadji, The Jakarta Post, Poso

A bomb believed to be homemade exploded Saturday night at a church in the Central Sulawesi regency of Poso, but no casualties were reported.

The explosion the Eklesia Church on Jl. Pulau Seram at Gebang Rejo village was heard about three kilometers away, but caused no major physical damage to the building. The church was still under renovation after being burned during religious violence that hit the regency several years ago.

Local people who had been waiting for the start of the World Cup soccer match between England and Portugal flocked to the scene of the explosion.

Security officers immediately went to the site to erect police lines and begin the investigation. The growing crowd dispersed after being asked to leave.

Insp. Gen. Paulus Purwoko, chief of the Central Sulawesi Security Operation Command (Koopskam), said on Sunday that preliminary investigation results suggested a homemade bomb had been used.

"It was caused by an explosive which had no metal casing. It caused a loud explosion but would not hurt anybody due to the absence of metal particles," he said.

Police will continue investigating by collecting debris from the blast, he added.

Security forces in the city have been on high alert since 2005 following a spate of attacks targeting Christians. The renewed violence has included bombings at marketplaces and the beheadings of three schoolgirls.

Although the vast majority of Indonesia's 220 million residents are Muslim, a large percentage of central Sulawesi's population is Christian.

There were fierce battles between members of the two faiths in 2001 and 2002 that killed about 1,000 people. Poso was the center of the violence.

Darwis Waru, head of the Poso Conflict Resolution center, said it had become a kind of habit that whenever security officers were withdrawn from an area, bomb blasts, shootings, murders and kidnappings followed.

"We predicted there would be a new incident because Koopskam is ending its duties. So we're not shocked. It's become normal for us in Poso," Darwis said.

One day earlier a construction worker found 26 active bullets in the ceiling of a motorcycle dealership in Poso.