Monday, May 28, 2007

Penanggulangan Kemiskinan Berbasis MDG di Parigi Moutong

Usianya genap lima tahun. Tepatnya 10 April 2007 lalu, kabupaten ini merayakan hari jadinya yang ke lima. Sebelumnya, wilayah ini masih bagian dari Kabupaten DOnggala, Sulawesi Tengah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10/2002, resmilah wilayah ini menjadi kabupaten yang otonom dengan nama Kabupaten Parigi Moutong.

Melihat kondisi wilayahnya, seharusnya tidak ada masyarakat miskin di daerah ini. Tapi kenyataannya, dari total jumlah penduduk sekitar 371.204 jiwa, tercatat sekitar 27 ribu kepala keluarga yang miskin tahun 2006. Padahal, 80 persen wilayah ini dikitari oleh Teluk Tomini yang kaya akan potensi perikanan kelautan dan perkebunan.

Dinas Perikanan dan Keluatan Kabupaten Parigi Moutong mencatat, bibir pantai di wilayah ini sepanjang 472 kilometer membentang dari ujung Kecamatan Sausu di bagian selatan hingga Kecamatan Moutong yang berbatasan dengan Provinsi Gorontalo di sisi utara.

Sedangkan luas areal tangkapan ikan 28,208 Kilometer persegi, dengan potensi lestari 587.250 Ton per tahun, yang terdiri dari ikan Palagis besar atau tuna sebanyak 106.000 Ton, ikan Palagis Kecil 379.440 ton, ikan Demersal 83.840 Ton dan ikan lainnya 17.970 Ton. Termasuk pula budi daya rumput laut 1.521 hektar, budi daya teripang 1.250 hektar dan pengembangan Keramba Apung 521 hektar.

Belum lagi perikanan darat. Luas tambak insentif 150 hektar, tambak semi Insentif 280 Hektar, tambak tradisional 3.200 hektar, kolam air 458 hektar. Potensi lainnya, adalah perkebunan kelapa dengan luas areal 24,499,28 hektar dengan jumlah produksi per tahunnya mencapai 40.757,833 ton. Kemudian potensi andalan lainnya adalah kakao dengan luas areal 45,120 hektar dan jumlah produksi per tahun mencapai 54.345,741 ton. Belum lagi cengkeh dengan luas areal 2,166,81 hektar dan jumlah produksinya setiap tahun 421,751 ton.

Berdasarkan data ini, seharusnya tidak ada penduduk miskin di Kabupaten Parigi Moutong, karena semua itu tidak dikelola oleh investor, melainkan oleh masyarakat sendiri. Bupati Parigi Moutong, Longky Djanggola mengatakan, untuk potensi perikanan dikelola oleh warga setempat asal Bugis dan China, sedangkan untuk perkebunan dimiliki oleh penduduk dari Bali dan Jawa.

"Orang Bali dan Jawa itu dulunya adalah transmigran di sini. Sekarang mereka yang paling maju di Parigi Moutong," kata Bupati Longky Djanggola.

Dengan demikian menurut Bupati Longky Djanggola, penduduk miskin itu adalah penduduk asli, yang cenderung terlena termanjakan dengan kondisi alam sehingga "malas" bekerja. Tapi, bukan berarti mereka tidak dimotivasi untuk untuk bisa maju sejajar dengan warga setempat yang berasal dari Jawa dan Bali.

Persoalan ini, katanya, tidak bisa dibiarkan begitu saja, karena bisa berdampak pada kecemburuan sosial dan akan menimbulkan masalah baru. Apalagi, tambah Bupati Djanggola, Kabupaten Parigi Moutong adalah wilayah yang berbatasan langsung dengan Poso. “Kita juga menjadi tempat pengungsi bagi korban konflik Poso. Ini berbahaya sehingga penduduk asli yang miskin, harus cepat diberdayakan,” paparnya.

MDG's DI PARIGI MOUTONG

Melihat fenomena itu, tahun 2005 Pemerintah Kabupaten Parigi Moutong bekerjasama dengan Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kesra) dan United Nations Development Programme (UNDP) menerapkan program Millenium Development Goals (MDG's), dengan menyusun strategi penanggulangan kemiskinan secara paritisipatif dengan melibatkan masyarakat miskin tersebut.

MDGs itu sendiri dideklarasikan oleh 189 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2000 sebagai komitmen global untuk mengurangi jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan atau hidup dengan biaya di bawah 2 dollar AS per hari. Dengan MDGs diharapkan penduduk miskin dunia yang jumlahnya mencapai 1,3 miliar dapat dikurangi menjadi setengahnya pada tahun 2015. Caranya bisa macam-macam, mulai dari bantuan langsung, pengurangan utang, atau memberikan akses perdagangan yang adil bagi negara miskin.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada suatu kesempatan mengatakan, proyek MDGs itu jauh lebih ambisius dibandingkan dengan proyek kemanusiaan besar terakhir, seperti gerakan untuk memperoleh kemerdekaan, emansipasi, kesetaraan, dan kebebasan yang menyebar di seluruh planet pada abad lalu, termasuk di di Asia Pasifik.

Presiden berpendapat, kondisi saat ini benar-benar telah berubah. Martabat manusia tidak lagi hanya cukup dipenuhi dengan kemerdekaan dan kebebasan. "Martabat manusia seutuhnya hanya dapat dipenuhi jika manusia bebas dari kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, serangan penyakit, sikap tidak toleran, dan konflik," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Setiap tahunnya dibutuhkan dana sekitar 100 miliar dollar AS, antara lain untuk mengatasi program pengurangan kelaparan, penyakit, buta aksara, dan kerusakan lingkungan. Jika dana itu tersedia, diperkirakan tahun 2015 kemiskinan global dapat dikurangi hingga setengahnya. Sayangnya, dana yang tersedia saat ini hanya 50 miliar dolar AS. Sebab itu, sejumlah pihak mulai pesimistis target MDGs tercapai pada tahun 2015.

Bupati Longky Djanggola mengatakan untuk keluar dari belenggu kemiskinan itu, masyarakat miskin harus dilibatkan agar kita bisa tahu apa sebenarnya masalah mereka. "Dan ternyata masyarakat miskin begitu aktif bersama-sama kami untuk menentukan program-program prioritas bagi mereka," kata Bupati Longky Djanggola.

Dari hasil diskusi dan berbagai pertemuan dengan masyarakat miskin itu, didapatkan salah satu masalah penting bahwa ternyata masyarakat miskin kekurangan modal untuk bisa mengembangkan potensi yang tersedia di sekitar mereka.

Dari situlah, tahun 2006 lalu, Pemerintah Kabupaten Parigi Moutong kemudian mengagunkan dana di bank sebesar Rp 2,5 miliar yang diperuntukan bagi masyarakat miskin. "Dana itu sebagai agunan agar masyarakat miskin dapat mengambil kredit tanpa bunga," katanya.

kepada The Jakarta Post, Jumat (23/2) Bupati Longky Djanggola mengatakan, sejak ada agunan dana itu, tercatat sebanyak 1180 orang yang mengajukan permohonan kredit di bank, dengan jumlah dana yang dipinjam antara Rp 2,5 juta hingga Rp 3,5 juta.

Pimpinan Bank Sulteng Cabang Parigi Moutong, Wahidudin, mengatakan, proses pengambilan kredit itu memang berdasarkan proposal yang diajukan, dan pengembalian setiap bulannya sangat lancar. Rata-rata pengambalian dana oleh masyarakat berkisar antara Rp Rp 250 ribu sampai Rp 500 ribu per bulannya.

Berdasarkan laporan perbankan itu, Bupati Longky Djanggola mengatakan bahwa DPRD Parigi Moutong telah menyetujui untuk menambah lagi dana agunan itu sebesar Rp Rp 2,5 miliar pada tahun 2007 ini. "DPRD sudah setuju, dan pada pembahasan APBD mendatang anggaran itu akan dimasukan," katanya.

Tidak hanya itu, masih beberapa lagi program penanggulangan kemiskinan berbasis MDG's ini telah direalisasikan oleh Pemerintah Kabupaten Parigi Moutong. Antara lain memberikan pengobatan gratis bagi masyarakat miskin, pengadaan Kartu Tanda Penduduk (KTP) gratis bagi penduduk miskin dan beberapa program lainnya.

Deputi Menko Kesra Bidang Penanggulangan Kemiskinan, Sujana Royat mengakui, dari lima provinsi di Indonesia yang menjadi percontohan untuk penerapan program MDG's itu, Parigi Moutong yang dianggap paling berhasil. Kelia provinsi itu adalah Nanggroe Aceh Darussalam, Papua, Maluku, Maluku Utara dan Parigi Moutong.

"Memang, kita dan UNDP mengakui bahwa Parigi Moutong yang sudah merealisasikan program MDG's itu dan dianggap berhasil," kata Sujana Royat pada pertemuan sharing pendapat upaya penanggulangan kemiskinan di Jakarta awal bulan Pebruari lalu.

Apa yang dilakukan oleh Kabupaten Parigi Moutong itu, kata Sujana Royat, adalah model insiatif daerah untuk melaksanakan program penanggulangan kemiskinan. Tinggal bagaimana pemerintah pusat ikut mendorongnya dengan melakukan imigrasi anggaran program penanggulangan kemiskinan di daerah ke kabupaten itu.

TERDEPAN DI 2020

Pemerintah Kabupaten Parigi Moutong, telah mencanangkan visinya "menjadikan Kabupupaten Parigi Moutong Tahun 2020 terdepan di Provinsi Sulawesi Tengah".

Dengan begitu, pemerintah setenpat telah menetapkan misinya, antara lain mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, menggali dan mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan daerah, meningkatkan peran serta dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat, meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi berbasis komoditi unggulan dan pemberdayaan ekonomi kerakyatan serta meningkatkan kualitas Lingkungan sebagai wujud komitmen terhadap konsepsi pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) dan berwawasan lingkungan.

Pada 15 Januari 2004, Kompas menulis bahwa dengan modal letak dan infrastruktur yang memadai, daerah yang dilintasi garis khatulistiwa ini punya peluang berkembang lebih cepat. Jalan Trans Sulawesi yang melintasi keenam kecamatan menjadi tulang punggung prasarana transportasi darat sekaligus mengurangi beban pemerintah kabupaten.

Itu karena hampir 40 persen jalan di kabupaten itu merupakan tanggung jawab negara. Hanya tinggal melanjutkan penyediaan jalan ke lokasi-lokasi yang sukar dijangkau. Pengadaan prasarana akan mengurangi isolasi suku-suku asing di pedalaman sekaligus meningkatkan akses ke kantong-kantong produksi perkebunan.

Jika suplai dari kantong produksi lancar, rencana pembangunan dua kutub pertumbuhan akan lebih cepat terlaksana. Pusat pertumbuhan di bagian selatan di Kecamatan Sausu dan bagian utara di Kecamatan Tomini dengan basis pertanian dan hasil pertanian memang sedang dikejar oleh pemkab.

Dengan dua kutub ini, industri pengolahan hasil pertanian, termasuk perkebunan dan hutan, mungkin akan jauh berkembang. Namun, industri pengolahan hasil laut masih jauh dari agenda pembangunan. (Kompas 15/1/2004).

Menurut Bupati Longky Djanggola, untuk merealisasikan itu, pihaknya telah melaksanakan program "Bedah Rumah". Tahun anggaran 2006, telah dibangun sebanyak 300 rumah layak huni bagi masyarakat asli di pegunungan (suku terasing) di pegunungan.

"APBD 2007 nanti, kita akan usulkan lagi untuk program bedah rumah ini bagi masyarakat miskin di perkotaan. Termasuk di dalamnya adalah membangun jalan ke kantong-kantong produksi," tandas Bupati Djanggola.***

Menhut Setujui Pembukaan Jalan Poboya Parigi

Menteri Kehutanan MS Kaban menyatakan secara prinsip menyetujui rencana pembukaan jalan Poboya Palu-Parigi. Hanya saja, sebelumnya pihaknya masih harus membentuk tim dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Departemen Kehutanan untuk meneliti terlebih dahulu kemungkinan boleh atau tidak membuka jalan di poros tersebut.

“Jadi izinnya tergantung report dari tim dari LIPI dan Departemen Kehutanan yang akan saya bentuk itu. Tapi, secara pronsip saya setuju pembukaan jalan itu,” tegas Menteri Kehutanan MS Kaban kepada The Jakarta Post, Rabu (23/5) siang, sesaat sebelum terbang kembali ke Jakarta .

Menteri Kehutanan berada di Palu, dalam rangka menghadiri wisuda sarjana Universitas Muhammadiyah Palu, sekaligus mencanangkan penanaman pohon untuk hutan akademis.

Pembentukan tim itu, menurut MS Kaban, menjadi sangat penting karena poros jalan tersebut harus melewati kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Poboya, Palu Timur. Meski begitu, katanya, hanya sedikit sekali wilayah Tahura yang akan dilewati. “Jadi saya pikir tidak terlalu bermasalah. Tapi kita tunggu saja bagaimana report tim LIPI dan Dehut nanti,” ujarnya.

Menurut Menteri Kehutanan, pembukaan jalan baru dari Poboya Palu ke Parigi Moutong itu, merupakan implementasi dari program percepatan pembangunan di kawasan Timur Indonesia . “Saya kira tidak ada masalah. Saya yakin, pasti ada aturan yang bisa mengatur masalah itu. Apalagi, ini kan untuk percepatan pembangunan di Indonesia timur,” jelas MS Kaban.

Menurut Menteri Kehutanan, salah satu program percepatan pembangunan kawasan timur yang sudah diisyaratkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu, adalah mendorong pembangunan infrastruktur. “Dan pembangunan jalan merupakan salah pembangunan di bidang infrastruktur,” tegas MS Kaban.

Pemerintah Kota Palu dan Pemerintah Kabupaten Parigi Moutong telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) untuk membangun jalan poros Poboya Palu-Parigi Moutong. Jalan baru yang rencananya akan dibuka itu, hanya berjarak sekitar 33 kilometer dari rencana sebelumnya 39 kilometer.

“MoU itu sudah kita tandatangani sejak dua tahun lalu. Hanya saja pembangunan jalannya belum terealisasi karena masih harus menunggu izin dari Menteri Kehutanan terlebih dahulu,” kata Walikota Palu di Bandara Mutiara Palu.

Menurut Walikot Palu, Rusdy Mastura, jalan itu sangat penting dibuka, karena selama ini hanya ada satu jalan yang menghubungkan Kota Palu dengan wilayah lain di wilayah timur Sulawesi Tengah, seperti Parigi Moutong, Poso, Banggai dan Morowali dan juga menuju ke Gorontalo dan Sulawesi Utara.

Di tempat yang sama, Gubernur Sulawesi Tengah, Bandjela Paliudju, menambahkan bahwa satu-satunya jalan yang digunakan selama ini untuk menjangkau wilayah timur Sulawesi Tengah, hanya melalui kebun kopi. Jalan itu dianggap sudah tidak layak dipertahankan.

“Yah…selain karena jaraknya yang sejauh 65 kilometer, juga berkelok-kelok dan selalu terjadi longsor. Jadi saya pikir sudah angat tepat kalau kita buat jalan baru yang berjarak hanya sekitar 39 kilometer,” kata Gubernur.

Apalagi, jelas Gubernur Paliudju, setiap tahun pemerintah daerah mengeluarkan dana hampir Rp 60 miliar untuk pemeliharaan jalan di kebun kopi itu. “Nah, kalau jalan Poboya Palu – Parigi itu dibangun, kita akan mengirit anggaran pemeliharaan jalan kebun kopi itu sampai 70 persen dari Rp 60 miliar tadi,” papar Gubernur.

Untuk membangun jalan baru itu, kata Gubernur, pemerintah daerah akan membutuhkan anggaran sekitar Rp 600 miliar. Anggaran itu, selain berasal dari APBN, juga berasal dari sharing APBD Kota Palu, Kabupaten Parigi Moutong dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah.

Sebelumnya, Kepala Dinas Kehutanan Sulawesi Tengah, Anwar Manan menentang pembukaan jalan Poboya Palu-Parigi itu. Menurut Anwar Manan, pembukaan jalan Poboya Palu-Parigi itu bertentangan dengan undang-undang tentang Taman Hutan Raya.

Agus Salim Faisal, salah seorang aktivis LSM Lingkungan di Palu, menyatakan setuju dibukanya jalannya poros Poboya Palu-Parigi itu. Ia tidak mempersoalkan soal jalan itu nantinya akan melewati kawasan konservasi, yakni Taman Hutan Raya (Tahura) Poboya.

“Saya pikir, pembukaan jalan itu sudah sangat tepat. Selain karena memperpendek jarak tempuh dari Palu ke kabupaten lain, juga untuk membuka akses yang besar bagi rakyat untuk mendapat pelayanan yang baik dari pemerintah,” tegas Agus Salim Faisal. ***

Friday, January 26, 2007

Police say Poso victims involved in criminal acts

National News - January 25, 2007
Ruslan Sangadji, The Jakarta Post, Poso

Dead victims of a gunbattle between police and suspected militants in Poso, Central Sulawesi on Monday had been involved in a criminal activities in Poso and Palu, police said Wednesday.

The victims had not been included on police wanted-lists but had played large roles in several criminal acts in the province, Central Sulawesi Police chief Brig. Gen. Badrodin Haiti told The Jakarta Post.

One policeman and 13 civilians were killed during Monday's hostilities. A further seven civilians were wounded and dozens arrested.

Badrodin said several of the victims had allegedly been involved in the fatal shootings of Ivon Nathalia, Sitti Nuraini, Helmy Tombulung and an unidentified Christian citizen on a cacao plantation in Sayo village. These killings all occurred in 2005.

This information was based on a statement made by one of the captured fugitives, identified as Wiwin Kalahe, he said.

Wiwin said a two victims, identified as Umang and Kana, were allegedly involved in the 2005 killing of Puji Astuti. Puji was a lecturer at the Agriculture School of Tadulako University in Palu.

Another victim, Ebnal Tao, was also alleged to have been involved in the shooting of two police officers, First Brig. Agus Sulaiman and First Brig. Sugito.
"All of the criminal acts took place in 2005, so all of those killed in the clash were criminals," Badrodin said.

The victims had protected several civilians wanted by police as well as assemble weapons and explosive substances, he said. "They also terrorized the people of Poso by detonating their homemade bombs," Badrodin said.

"We're very optimistic that the capture of a number of people on our wanted list will help uncover the involvement of civilians in a series of criminal acts in Poso and Palu," he said.

Meanwhile, a group of Poso residents expressed their concern over the recent tough stance taken by police, which they said led to the outbreak of hostilities.
Yus Mangun, a member of the Central Sulawesi Legislative Council, said he supported strong law enforcement in Poso but that efforts must be conducted in a just way and not be repressive.

"I've received information from the people of Poso that a number of those who died were civilians who happened to pass by the site of the hostilities," he said.
Yus cited the police shooting of Ustadz (Muslim preacher) Ardian who at the time of hostilities was one kilometer away from the action.

Badrodin said, however, that Ardian was an alias used by the Javanese man, who he claimed had taken part in a war in Afghanistan. The man had later traveled to Poso and trained several locals in the assembling of weapons and bomb making, he said.
Badrodin declined to disclose Ardian's real name.

Indonesian Military Air Chief Marshal Djoko Suyanto said in Jakarta on Wednesday he would deploy 200 soldiers to assist police officers in Poso.

"We are ready to deploy our soldiers under the condition that we receive a formal letter asking for assistance," he said.

A comprehensive approach, which involved civilians, was needed to end the conflict, he said.***

Police say Poso victims involved in criminal acts

National News - January 25, 2007
Ruslan Sangadji, The Jakarta Post, Poso

Dead victims of a gunbattle between police and suspected militants in Poso, Central Sulawesi on Monday had been involved in a criminal activities in Poso and Palu, police said Wednesday.

The victims had not been included on police wanted-lists but had played large roles in several criminal acts in the province, Central Sulawesi Police chief Brig. Gen. Badrodin Haiti told The Jakarta Post.

One policeman and 13 civilians were killed during Monday's hostilities. A further seven civilians were wounded and dozens arrested.

Badrodin said several of the victims had allegedly been involved in the fatal shootings of Ivon Nathalia, Sitti Nuraini, Helmy Tombulung and an unidentified Christian citizen on a cacao plantation in Sayo village. These killings all occurred in 2005.

This information was based on a statement made by one of the captured fugitives, identified as Wiwin Kalahe, he said.

Wiwin said a two victims, identified as Umang and Kana, were allegedly involved in the 2005 killing of Puji Astuti. Puji was a lecturer at the Agriculture School of Tadulako University in Palu.

Another victim, Ebnal Tao, was also alleged to have been involved in the shooting of two police officers, First Brig. Agus Sulaiman and First Brig. Sugito.
"All of the criminal acts took place in 2005, so all of those killed in the clash were criminals," Badrodin said.

The victims had protected several civilians wanted by police as well as assemble weapons and explosive substances, he said. "They also terrorized the people of Poso by detonating their homemade bombs," Badrodin said.

"We're very optimistic that the capture of a number of people on our wanted list will help uncover the involvement of civilians in a series of criminal acts in Poso and Palu," he said.

Meanwhile, a group of Poso residents expressed their concern over the recent tough stance taken by police, which they said led to the outbreak of hostilities.
Yus Mangun, a member of the Central Sulawesi Legislative Council, said he supported strong law enforcement in Poso but that efforts must be conducted in a just way and not be repressive.

"I've received information from the people of Poso that a number of those who died were civilians who happened to pass by the site of the hostilities," he said.
Yus cited the police shooting of Ustadz (Muslim preacher) Ardian who at the time of hostilities was one kilometer away from the action.

Badrodin said, however, that Ardian was an alias used by the Javanese man, who he claimed had taken part in a war in Afghanistan. The man had later traveled to Poso and trained several locals in the assembling of weapons and bomb making, he said.
Badrodin declined to disclose Ardian's real name.

Indonesian Military Air Chief Marshal Djoko Suyanto said in Jakarta on Wednesday he would deploy 200 soldiers to assist police officers in Poso.

"We are ready to deploy our soldiers under the condition that we receive a formal letter asking for assistance," he said.

A comprehensive approach, which involved civilians, was needed to end the conflict, he said.***

Poso tense as hunt continues for militants

National News - January 24, 2007
Ruslan Sangadji, The Jakarta Post, Poso

Police continued their hunt for suspected militants in Poso on Tuesday, a day after 13 people and one policeman were killed in a bloody clash between police and suspects.

Central Sulawesi Police Brig. Gen. Badrodin Haiti blamed the armed civilians for triggering the clash by throwing handmade explosives at the officers.
He said his office had issued shoot-on-sight instructions for armed civilians. "So, I'm responsible for the incident because it was according to my instructions," Badrodin told The Jakarta Post Tuesday.

More than 50 other alleged militants are believed to have escaped the crackdown, fleeing to nearby hills and jungles.

Badrodin said some of the escapees were thought to have undergone combat training in Afghanistan and the insurgency-wracked Southern Philippines. "They are dangerous because they still have automatic weapons and ammunition," he told Associated Press. "We are searching for them."

National Police spokesman Insp. Gen. Sisno Adiwinoto said in Jakarta on Tuesday that the firearms used by the terror group came from a neighboring country. "We suspect they were brought from the Philippines," Sisno said.

Defense Ministry secretary-general Lt. Gen. Sjafrie Sjamsoeddin said the ministry supported the police's crackdown on armed civilians, because their weapons were not used to protect the country but to shoot officers.

"If these actions cause victims, it's because of that gunfire," he was quoted as saying by Detikcom.

Police said they seized a large haul of ammunition and bombs from the alleged militants' base in Tanah Runtuh district in Poso. Tensions in the area have been running high since three Christians were executed in September for their roles in sectarian violence in the province.

Authorities have arrested 24 other civilians, including two on the wanted list. They are Tugiran and Wiwin Kalahe al Tomo.

The two fugitives' families denied they were arrested, however, saying the two surrendered out of fear that they would be shot by the police.

Hundreds of residents in Poso turned out for the burial of the victims.
A day after the crackdown, Poso remained tense, with schools and many stores staying closed despite the arrival of 200 reinforcements from the National Police.
Police imposed tighter security checks on roads heading in and out of Poso, and traffic was much lighter than usual.

Muslim leaders criticized the crackdown, however, saying it would fail to put an end to the real problems in conflict-torn Poso. Nahdlatul Ulama chairman Hasyim Muzadi urged President Susilo Bambang Yudhoyono to take over the matter personally.

"But the problem is, our President never takes over a problem. He will just set up a team. He should oversee this matter," he said in Malang, East Java, on Tuesday.
He said the Poso conflict has reached an "emergency" level since it involves armed
civilians. Setting up a government team, he said, would not solve the problem.

Muhammadiyah chairman Din Syamsuddin expressed his concern and urged the government not to be heavy-handed in its efforts to combat terrorism.

"We support the fight against terrorism, but not repressive acts. Such acts will not solve the problem but could cause new wounds among the people. The most important thing is for the police to uncover those responsible for the Poso conflicts," he said in text message sent to the Post Tuesday.

Separately, Trimedya Panjaitan, chairman of the House of Representatives' Commission III on security affairs, said the House would send a team to investigate the crackdown. (06)

-- Wahyoe Boediwardhana contributed to the story from Malang, East Java.