Tuesday, June 12, 2007

Hilangnya Ritme-Ritme Krambangan di Tanah Poso

Ruslan Sangaji

Krambangan, salah satu jenis musik tradisional Poso. Irama yang dimainkan adalah instrumen-instrumen tradisional. Musik ini mengiring lagu berbalas pantun bagi etnis Pamona dan Mori---etnis asli Poso, Sulawesi Tengah.

Krambangan, dimainkan dengan gitar buatan sendiri. Talinya terbuat dari tali suasa, sehingga menimbulkan irama yang berbeda dengan gitar biasa. Iramanya lebih merdu. Maka tak heran, kalau kemudian musik krambangan dipercaya laksana magnet yang bisa menarik gadis Poso hingga melompat jendela di tengah malam, hanya karena ingin mencari asal irama krambangan itu.

Jenis musik ini hadir untuk melengkapi mozaik budaya di Nusantara. Krambangan, dulunya begitu terkenal, karena ritme-ritmenya juga menjadi pengiring untuk tarian Dero---tarian melingkar yang menggambarkan persaudaraan warga Poso, Muslim dan Kristen.

Yang lebih penting lagi, krambangan menjadi salah satu lambang kejantanan pemuda Poso. Karena, ketika seorang pria memainkan musik krambangan, itu berarti yang bersangkutan sedang mencari pasangan hidupnya. Maka tak heran, kalau kemudian musik krambangan menjadi salah satu alat untuk mencari jodoh.

Begitu terjadinya konflik dahsyat tahun 2000 silam, irama musik krambangan pun sirna seiring dengan sirnanya tarian Dero di Tanah Poso. Hilangnya ritme-ritme krambangan dan tarian dero itu, bukan karena warga tak mau lagi memainkannya. Tapi, karena adanya kelompok garis keras di Poso Kota ketika itu yang melarang adanya tarian dero itu.

"Mereka menganggap, tarian dero itu haram. Tak boleh ada orang berlainan jenis yang bukan muhrim (saudara) saling berpegangan tangan. Makanya dero itu pun dilarang. Begitu dero dilarang, musik krambangan pun kemudian hilang," kata M. Amin Abdullah (40) salah seorang pekerja seni di Palu.

Mohammad Amin Abdullah, lelaki yang menamatkan pendidikan magisternya di Asian Studies, University of Hawaii di Manoa ini, kemudian berusaha mengembangkan kembali krambangan ini. Bahkan, ia kemudian menciptakan irama krambangan kreasi baru yang diberi judul: The Lost of Krambangan.

Pesan yang ingin disampaikan oleh Amin Andullah, adalah kembalikan Krambangan ke Tanah Poso. Krambangan harus kembali ke habitatnya. Seni tidak bersalah dalam sebuah konflik komunal. "Jangan hanya karena kepentingan sesaat orang-orang tertentu, lantas seni tradisional dan budaya kita pun ikut dikorbankan," kata Amin Abdullah.

Menurut Amin Abdullah, karya The Lost of Krambangan ini, mempertahankan apa yang telah ada dan pada saat yang sama memasukkan hal yang baru. Menurut Amin Abdullah, dengan menggunakan musik tradisi sebagai ide dasar, kreasi baru menyimbolkan tradisi dan sekaligus modernitas. “Kreasi baru adalah sebuah proses mentransformasi musik yang dimainkan dalam kehidupan sehari-hari ke atas pentas,” katanya.

KONSEP SINTUWU DALAM IRAMA KRAMBANGAN

Bagi putra kelahiran Palu 40 tahun lalu yang sangat menyintai jenis musik tradisional Poso ini, memasukkan konsep Sintuwu dalam jenis musiknya, termasuk The Hawai’i Kakula Ensemble.

Dalam bahasa Kaili--bahasa lokal Palu dan Poso, Sintuwu berarti menghidupkan secara bersama-sama. Sebuah kata yang lama, Sintuwu mengindikasikan bagaimana aktivitas dalam sebuah tradisi oral berorientasi kelompok, tidak berbasis individual. Sintuwu bersinonim dengan Gotong Royong, yang berarti bekerja sama secara kolektif.

Menurut Amin Abdullah, konsep kolaborasi ini adalah kunci untuk memahami bagaimana komunitas dan orang Indonesia saling bekergantungan sesamanya. Untuk beberapa komposer di Indonesia, proses kreatif untuk membuat komposisi musik merefleksikan hal tersebut.

“Mereka tidak membuat musik sendiri, namun pemain dalam sebuah kelompok mempunyai kontribusi dalam karya,” katanya.

Sintuwu menjadi ideologi dan metode dalam setiap karya Amin Abdullah. Menurut Amin Abdullah yang juga bekerja di Dinas Pendidikan Pengajaran Sulawesi Tengah ini, ada tiga tahap dalam metode Sintuwu, pemain akan menemukan tema, penggarapan karya dalam kolaborasi bersama kelompok dan proses evolusi sebuah karya setelah pementasan pertama.

Bagi Amin Abdullah, ketika ia memulai sebuah komposisi, ia akan datang pada latihan pertama hanya dengan sebuah tema atau konsep musical. Konsep itu didapat berupa bentuk musik, motif, melodi, rhythm pattern, texture, tempo atau ide instrument apa yang akan digunakan.

“Apa yang penting bagi saya adalah apa yang ingin disampaikan melalui karya. Proses pembuatan musik kemudian terjadi pada saat yang sama dengan proses latihan,” ujarnya.

Metode Sintuwu membiarkan musisi untuk bermain sesuai dengan kemampuan mereka, dan memberikan mereka kesempatan untuk berimprovisasi sehingga ia kemudian memberi stimulus.

Metode ini juga memberi penekanan pada interaksi yang intim antar musisi. Untuk itu, dengan metode Sintuwu (bahasa Poso) yang berarti kebersamaan.

Sintuwu menjadi ideologi dan metode dalam setiap karyanya, termasuk The Lost of Krambangan. pegawai negeri sipil di Taman Budaya Palu ini menuturkan, ada tiga tahap dalam metode Sintuwu, pemain akan menemukan tema, penggarapan karya dalam kolaborasi bersama kelompok dan proses evolusi sebuah karya setelah pementasan pertama.

Bagi Amin Abdullah, ketika ia memulai sebuah komposisi, ia akan datang pada latihan pertama hanya dengan sebuah tema atau konsep musical. Konsep itu didapat berupa bentuk musik, motif, melodi, rhythm pattern, texture, tempo atau ide instrument apa yang akan digunakan.

“Apa yang penting bagi saya adalah apa yang ingin disampaikan melalui karya. Proses pembuatan musik kemudian terjadi pada saat yang sama dengan proses latihan,” ujarnya.

Metode Sintuwu membiarkan musisi untuk bermain sesuai dengan kemampuan mereka, dan memberikan mereka kesempatan untuk berimprovisasi sehingga ia kemudian memberi stimulus.

Metode ini juga memberi penekanan pada interaksi yang intim antar musisi. Untuk itu, dengan metode Sintuwu, musisi adalah juga interpreter dan kolaborator, bukan hanya sekedar pemain dan kolaborator.

Komposisi terhitung selesai ketika latihan selesai dan akan terus berkembang setelah pementasan pertama.

Menurut Amin Abdullah, Sintuwu merupakan ikon persaudaraan masyarakat Poso. Semua orang mengaku sebagai saudara, tak ada sekat dan tak ada perbedaan baik etnis maupun agama. Tapi, Sintuwu kini telah tercabik-cabik hanya karena nafsu sesaat kelompok-kelompok tertentu yang mengatasnamakan agama untuk mencapai satu tujuan yang mereka sendiri tak paham.

Konsep Sintuwu atau kebersamaan yang diajawantahkan dalam beberapa tradisi budaya Poso seperti Krambangan dan Dero, terbukti sangat mumpuni. Buktinya, meski kelompok garis keras begitu menentangnya, tapi krambangan dan dero tetap tumbuh subur, meski kemudian berhijrah dari Poso ke Palu.

"Saya hanya minta satu saja. Kembalikan Krambangan dan Dero ke negerinya. Sebab, walau ada seribu orang yang melarang di Poso, tapi 10.000 orang akan terus menghidupkannya," tandas Amin Abdullah.***

No comments: