Tuesday, March 04, 2008

Menikmati Kehidupan di Palu

Palu, dalam bahasa Indonesia berarti martil. Mungkin dengan begitu, orang bisa saja beranggapan bahwa masyarakat di kota ini identik dengan karakter yang keras. Tapi ternyata, begitu kita menginjakkan kaki di kota yang dikenal dengan sebutan Bumi Tadulako ini, maka kesan kasar itu tak terlihat sama sekali.

Masyarakatnya begitu ramah, sangat bersahabat dan terkenal menjunjung tinggi sikap setia kawan. Paling tidak, itulah yang diakui beberapa tamu yang berkunjung ke kota yang berpenduduk sekitar 300 ribu jiwa ini.

Entah dari mana nama itu terinspirasi menjadi nama kota. Belum ada penelitian ilmiah yang menjelaskan kenapa nama kota ini adalah Palu. Tapi, dari penuturan beberapa orang tua di Palu, mengatakan bahwa Palu itu adalah nama pohon yang tempo dulu banyak tumbuh di pesisir dan sekitar muara sungai yang membelah kota ini.

Konon, ketika itu, para pelaut dan pedagang asal Bugis, Makassar dan Mandar yang hendak berniaga ke daerah ini, selalu mengasoh di bawah rindangnya pohon palu itu. Bahkan, mereka mereka membuat pondok kayu untuk menginap di bawah pohon palu itu. Tapi, pohon palu itu kini telah musnah, tidak diketahui lagi jenis pohonnya seperti apa.

"Jadi, ketika para pelaut dan pedagang itu ditanya hendak ke mana, mereka akan menjawab ke Palu. Nah, dari situlah sehingga nama Palu pun menjadi nama kota ini," kata Rusdy Mastura, walikota Palu.

Dari situs http:///sulteng.go.id tertulis bahwa dulunya Palu adalah kota kecil sebagai pusat Kerajaan Palu. Daerah ini merupakan peninggalan penjajahan Belanda yang terbagi atas onder Afdeling (wilayah kekuasaan) dengan tiga landschap yakni, Landschap Palu terdiri dari Distrik Palu Timur, Distrik Palu Tengah dan Distrik Palu Barat. Landschap Kulawi dan Landschap Sigi Dolo.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 tahun 1950, Pemerintah Pusat kemudian menetapkan Wilayah Daerah Sulawesi Tengah dengan Ibukota Poso sedang Palu hanya tempat kedudukan Kepala Pemerintahan Negeri (KPN) setingkat Wedana.

Di tahun 1957 status Kota Palu menjadi Ibukota Keresidenan Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah terbentuk melalui UU Nomor 13 tahun 1964 dengan Kota Palu sebagai Ibukota Provinsi Dati I Sulawesi Tengah.

Tahun 1978 melalui PP Nomor 18, Kota Palu ditetapkan menjadi Kota Administratif dan selanjutnya melalui UU Nomor 4 tahun 1994 berubah status menjadi Kotamadya Dati II Palu dengan Wilayah Kota Administratif Palu. Kini, Kota Palu terdiri dari empat Kecamatan yaitu, Kecamatan Palu Utara, Palu Timur, Palu Barat dan Kecamatan Palu Selatan. Wilayah-wilayah ini, dipisahkan oleh sebuah sungai yang airnya mengalir deras dengan empat buah jembatan panjang berukuran sekitar 500 meter.

Dulunya, Kota Palu begitu sepi. Dapat dipastikan tamu tidak akan betah kalau berlama-lama menginap di Palu. Tapi kini, kota ini benar-benar sudah berubah. Kota ini sudah mulai berdandan. Cafe dan resto tumbuh di mana-mana. Hotel dan penginapan juga tumbuh di mana-mana. Pokoknya, dai waktu ke waktu kota ini terus berkembang. Ke mana-mana sangat mudah dijangkau dan hanya dalam hitungan menit, karena tanpa kemacetan seperti di kota-kota besar.

Kota ini juga sangat indah. Ada laut, teluk, gunung dan sungai yang membelah kota. Lantaran itu, Ketua DPRD Kota Palu, Mulhanan Tombolotutu menyebutnya dengan Kota Empat Dimensi. “Kota ini sangat lengkap. Makanya saya menyebutnya dengan Kota Empat Dimensi,” katanya.

ADA PEJABAT, UTA DADA DAN SARABA

Kalau sudah berada di Palu, di mana kita akan menghibur diri, bersantai dan bersantap malam. Pertanyaan itu selalu keluar dari mulut tamu yang datang ke Palu. Dulu, di akhir tahun 1990-an, memang terasa sulit menjawab semua pertanyaan itu. Tapi sekarang, pertanyaan itu akan sangat mudah dijawab.

Jika kita mau menghibur diri dengan dentuman musik keras, kita bisa jalan-jalan ke Space Bar and Resto. Lokasinya hanya sekitar 1 kilometer arah barat Bandara Mutiara Palu. Atau bisa juga ke Planet Palu yang oleh anak-anak muda Palu menyebutnya dengan P-2. Di sini, kita akan dihibur dengan grup band dari Jakarta atau Bandung. Bahkan, di setiap malam Kamis, kita akan menikmati tarian yang sedikit “panas” atau sedikit berani oleh para dancer dari luar Palu. Sudah dapat dipastikan, tempat yang baru mulai beroperasi di atas pukul 10 malam ini, banyak juga dikunjungi oleh perempuan malam yang muda-muda asal Manado dan Jawa.

“Kita tidak perempuan-perempuan untuk menemani tamu. Tapi mereka memang selalu datang ke sini. Jadi, kalau ada tamu yang mengajak kencan mereka, yah itu di luar kontrol kita,” kata Uci Tambing, humas Space Bar.

Sebelumnya, jika kita mau makan malam, di Kota Palu banyak menyediakan restoran kelas bawah hingga kelas atas. Rata-rata restoran-restoran itu menyediakan menu ikan bakar, cumi bakar dan goreng, kepiting, udang, lobster dan macam-macam sea food yang segar. Sebut saja misalnya Restoran Kampung Nelayan, Restoran Taman Ria, Restoran Silae Beach dan beberapa restoran lainnya.

Kalau kita mau menyantap hidangan ala Eropa, Restoran Maestro di kawsan Bumi Sagu Palu adalah jawabannya. Pemilik restoran ini adalah warga keturunan Jerman. Dan kalau kita mau makan malam sambil menikmati terangnya Kota Palu di waktu malam, Restoran Panorama yang berada di atas bukit Kawatuna menjadi tempat terbaik untuk itu.

Lantas, ke mana kalau kita mau menikmati menu tradisional. Dengan kendaraan dalam jarak yang hanya sekitar 20 menit ke arah barat, kita bisa mencoba makanan khas Kaili---suku asli di Palu---yang terletak di Dusun Padanjese, Kelurahan Donggala Kodi. Di sini semuanya serba tradisional.

Warga setempat menyediakan menu seperti Uta Dada (mirip opor ayam bagi orang Jawa) yang disantap dengan ketupat. Jangan dibayangkan kita akan duduk di kursi seperti umumnya di restoran mewah. Di sini benar-benar tradisional. Tempat duduknya berupa bangku yang terbuat dari bambu yang dibuat seadanya dan hanya berlantai tanah. Tapi, tempatnya begitu bersih sehingga tidak mengganggu selera makan. Dapat dipastikan, orang yang makan malam di tempat itu akan berkeringat karena makanannya sedikit pedas.

Agak sedikit keluar dari Kota Palu di arah selatan, kita bisa menikmati menu ayam bakar rica yang dihidangkan dengan ketupat dan uta dada. Lokasinya berada di sudut pasar Biromaru. Uniknya, tempat ini hanya dibuka sekali seminggu, atau tepatnya di malam Jumat. Sejarahnya, pasar Biromaru itu hanya dibuka sekali seminggu. Para pedagang mulai berdatangan membuka lapak-lapak sejak Kamis sore, sehingga malamnya mereka harus makan. Warga setempat kemudian membuka warung makan yang menunya hanya ayam bakar rica-rica, uta dada dan ketupat. Jangan harap kita akan menemukan nasi di tempat itu.

Setelah menyantap makan malam, kita masih boleh bersantai di bibir Teluk Palu. Sebuah kawasan mirip Boulevard di Manado atau Losarinya Makassar ini, menjadi pilihan bersantai di waktu malam. Di sini banyak Pejabat atau Pedagang Jagung Bakar Talise dengan minuman khas mirip wedang jahe yang diberi nama Saraba. Kawasan ini memanjang sekitar 5 kilometer. Jika sedang musim durian seperti sekarang ini, maka akan sangat mudah kita bisa menyantap jagung bakar manis yang hangat, saraba yang hangat dan juga bisa membeli durian dengan harga yang sangat murah.

DPRD TINGKAT III

RIBUT tapi mengasyikan..... obrolan ngalor-ngidul, serius, ringan, ngoceh, diskusi dengan berbagai topik. Mulai dari dari isu di tingkat Rukun Tetangga, sampai soal isu internasional yang mereka tonton di tivi dan baca di koran dan majalah. Ah....Semua hal dibicarakan di sini. Di sini juga mereka berdebat. Bersitegang. Bercanda. Dan macam-macam hal. Oh iya, di sini juga mereka bicarakan soal rencana aksi unjukrasa.

Saya mengistilahkannya dengan DPRD Tingkat III. Karena di sini berkumpul para birokrat, bupati, walikota, politisi, akademisi, pengusaha, kontraktor, wartawan, polisi, tentara, advokat, jaksa, hakim sampai pengangguran. Di sini juga ada beragam orang dengan latar belakang agama dan kepercayaan. Ada Islam, Kristen, Budha, Hindu, Kong Hu Cu dan juga yang tak beragama. Komunis benaran sampai komunis malu-malu pun ada. Semuanya berkumpul di sini. Mereka menyatu dan tidak kenal perbedaan-perbedaan itu. Tak ada sekat-sekat dan tak ada orang dilihat dari kelas sosialnya. Dan tak ada dendam di sini. Semuanya damai.

Ya... itulah suasana warung kopi (warkop) di Palu. Ada warung kopi Harapan di Jalan Wahidin yang saya menyebutnya dengan warkop KNPI. Karena setiap siang hingga sore, mayoritas hanya diisi oleh para anggota dan pengurus KNPI. Ada warkop Aweng di Jalan Ki Maja. Nama itu diambil dari nama pemiliknya. Ada juga warkop MJM di Jalan Setiabudi. Ada juga di warkop di Jalan Pattimura dan di Jalan Cut Nyak Dien. Entahlah, apakah karena hoki atau apa, semua warkop itu dikelola oleh mereka yang masih saudara sekandung.

SALAM DAN JABAT TANGAN

Yang paling berkesan ketika kita datang ke warkop-warkop di Palu, seperti telah menjadi suatu konsensus bersama meski tak tertulis, tapi wajib kita harus mengucapkan salam (Assalamu'alaikum atau selamat pagi) lalu disertai dengan berjabatan tangan. Kita harus berjabat tangan dengan semua pengunjung. Nah boleh dibayangkan kalau pengunjung ada 50 orang. Capek bukan....???

Tapi, semua yang datang ke warkop, pasti melakukan itu. Bahkan Marini, seorang aktris senior yang bersuamikan orang Palu, pun mengikuti tradisi itu. Dengan begitu, sudah dapat dipastikan jika kita datang tanpa memberi salam dan tanpa berjabatan tangan, maka kita akan merasa asing di tengah hiruk pikuk itu.

Dan lebih terlihat lagi persaudaraan itu, karena bagi yang memiliki uang lebih, tak peduli siapa orang itu, mereka akan membayar kopi yang diminum para pengunjung lain. Itu juga sudah menjadi semacam kesepakatan bersama. Tapi itu bukan sogokan atau pun amplop.

Entahlah, siapa yang memulai tradisi salam, jabat tangan dan bayar kopi untuk semua di warkop-warkop Palu itu. Tapi yang pasti, itu sudah berlangsung sejak lama. "Oh tradisi itu sudah ada sejak tahun 1970-an," kata Bustamin Nongtji, mantan Pembantu Rektor III Universitas Tadulako (Untad) Palu yang menjadi pelanggan tetap warkop Aweng.

Kesan lain yang kita temukan di warkop-warkop di Palu, adalah istilah kopi setengah. Beberapa pelanggan hanya memesan kopi separuh gelas. Jadi, kalau harga kopi segelasnya Rp 5000, mereka hanya membayar Rp 2500. Tapi tunggu dulu, setelah meminum beberapa teguk, pemesan kopi setengah itu meminta pelayan menambahkan air panas dan gula. Maka jadilah kopi segelas. Tapi, bayarnya tetap separuh. Sebuah strategi mendapatkan segelas kopi dengan bayaran separuh harga.

Kalau sudah sore setelah pukul 17.00 Wita, ke mana kita mau menikmati kopi. Mudah saja, kita cukup jalan-jalan ke Mall Tatura Palu, di situ ada sebuah cafe yang bernama Cafe Toragila. Cafe itu menyediakan kopi berkualitas terbaik atau kopi Toraja. Kehadiran Cafe Toragila di tengah anda mejadi pilihan tepat untuk menemukan suasana nyaman, tempat hang out bersama kawan, keluarga atau orang terkasih. Dengan koki yang berpengalaman dan pelayanan yang prima, Cafe Toragila menjadi pilihan utama melepas penat dari beraktivitas.

Cafe ini juga dilengkapi dengan fasilitas HotSpot dengan bandwith besar yang memungkinkan anda beserta kawan atau rekanan anda untuk bisa mengakses Internet berkecepatan tinggi dengan kualitas sangat memuaskan.

BERBEDA DENGAN ULEE KARENG DI ACEH

Di negeri Serambi Mekkah itu, kita juga bisa menikmati kopi di warung kopi Ulee Kareng. Suasannya nyaris sama. Tapi, sewaktu saya berada di Aceh beberapa tahun silam (saat tsunami) saya tak melihat ada jabatan tangan dengan semua pengunjug warkop Ulee Kareng. Saya juga tak melihat ada diskusi terfokus untuk satu isu yang lagi hangat. Masing-masing orang sibuk dengan obrolan di kelompoknya sendiri-sendiri.

Soal rasa kopi, memang tergantung lidah setiap yang meminumnya. Tapi, bagi saya kopi di warkop Ulee Kareng Aceh dan Warkop Palu, sama saja. Suatu saat, seorang kawan wartawan dari Aceh, namanya Hotli Simanjuntak, pernah ke Palu dan saya mengajaknya ke warkop Harapan di Jalan Wahidin. Ia memesan kopi. Begitu selesai menyeruput kopi itu, ia mengatakan: "Kopi Palu berat juga. Kepala saya puyeng juga setelah meminum kopi ini," kata Hotli ketika itu.

Seorang pejabat dari kantor Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat pun, sampai harus membeli sekilogram kopi Palu sebagai ole-ole untuk dibawa ke Jakarta. "Wah...saya belum merasakan kopi seperti ini di Jakarta," kata Tono Supranoto, Asisten Deputi Menko Kesra Bidang Penanggulangan Kemiskinan suatu saat ketika datang ke warkop Harapan.

Nah, saya pikir Anda juga bisa mencoba kopi Palu, sekaligus menikmati suasananya. Bagaimana bisa ke warkop Palu....??? Dari Jakarta Anda bisa menggunakan pesawat Lion Air, Wings Air, Batavia, Merpati dan Sriwijaya Air Lines, trasit di Makassar atau di Balikpapan. Harga tiketnya paling murah Rp 900 ribu dan yang paling mahal Rp. 1,5 juta. Dari Bandara Mutiara Palu, Anda cukup naik mobil bandara dengan tarif one way hanya Rp 30 ribu ke hotel.

Pagi harinya, pukul 08.00 Wita atau pukul 10.00 Wita, cobalah Anda ke warkop Harapan, Aweng atau MJM. Kalau di Harapan di Jalan Wahidin, maka yang Anda lihat adalah polisi, TNI, karyawan Bank dan Karyawan Telkom. Kalau Anda ke warkop Aweng di Jalan Ki Maja, maka Anda akan bertemu dengan PNS, para pejabat, politisi dan wartawan dan bermacam-macam orang. Kalau ke MJM di Jalan Setiabudi, maka akan bertemu dengan para kontraktor. Tak ada salahnya Anda mencobanya...!!! ***

No comments: