Thursday, March 06, 2008

Sentra Produksi Rotan di Palu, Antara Harapan dan Kenyataan

Pemerintah Kota Palu, Sulawesi Tengah, kini sedang gencar-gencarnya merealisasikan obsesi menjadikan pusat industri dan sentra rotan nasional. Obsesi itu karena didorong dengan ketersediaan bahan baku rotan di daerah ini. Berdasarkan data, pasokan rota Kota Palu untuk stok nasional, berkisar antara 50 sampai 60 persen.

Semua jenis rotan berkualitas yang dibutuhkan pasar nasional maupun dunia, tersedia di kota ini. Karena itulah, Pemerintah Kota Palu kemudian menangkapnya sebagai peluang menjadikan pusat industri dan sentra rotan nasional. “Ini peluang yang sangat menjanjikan. Maka sangat menyesal kalau kita tidak memanfaatkannya,” kata Walikota Palu, Rusdy Mastura.

Data dari Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Perindagkop) Kota Palu, menyebutkan Sulawesi Tengah memiliki jenis rotan yang khas (endemik) seperti jenis lambang, barang, tohiti noko, tohiti dan berbagai
jenis lainnya yang diperkirakan berjumlah 12 jenis.

Obsesi itu, tentunya harus didukung dengan berbagai fasilitas yang setidaknya setara dengan daerah sentra industri rotan seperti Cirebon dan Solo. Maka, Pemerintah Kota Palu kemudian membangun kerjasama dengan Departemen Perindustrian RI, untuk mendirikan Pusat Produksi dan Industri Rotan Terpadu (PPIRT). Lokasi itu terletak di Kawasan Industri Kota Palu di Kecamatan Palu Utara. Rabu (5/3), Menteri Perindustrian, Fahmi Idris, telah meresmikan lokasi tersebut.

Bukan hanya itu, Pemerintah dengan segala kemampuannya membuka sebuah jurusan baru di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Palu. Jurusan itu bernama Jurusan Kria Rotan. Tujuannya, agar siswanya dapat belajar ilmu terapan tentang Kria rotan, mulai dari desain pekerjaannya, labelisasi hingga pemasarannya.

Untuk menarik minat agar lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama mau melanjutkan ke SMK Negeri 5 dengan memilih jurusan Kria Rotan, pemerintah menyediakan beasiswa sebesar Rp 450 ribu per tiga bulannya kepada setiap siswa. Kepala Sekolah SMK Negeri Palu, Kasman, kepada ochan sangadji Kamis (6/3) mengatakan, jurusan itu dibangun setahun lalu, kini baru sampai kelas dua. Jumlah siswanya baru berjumlah 75 orang di jurusan tersebut.

“Agar siswanya dapat mahir belajar tentang Kria rotan, kita mendatangkan lima orang tenaga ahli sebagai instruktur bagi para siswa. Tanaga ahli itu didatangkan dari Solo, dan beberapa guru lainnya kita kirim ke Cirebon untuk belajar mengenai desain dan segala yang berhubungan dengan industri rotan,” kata Walikota Palu.

Nazaruddin (16 tahun), siswa Kelas II Jurusan Kria Rotan SMK Negeri 5 Palu mengatakan, ia memilih jurusan Kria Rotan, bukan karena tertarik pada beasiswa yang disediakan pemerintah, tapi lebih pada soal kemudahan membuka lapangan kerja sendiri. “Kelak jika saya sudah selesai, saya akan mudah membuka lapangan usaha sendiri. Dan kalau tidak sanggup, saya dapat bekerja di tempat pembuatan Mebel rotan,” katanya.

Meski belum sanggup sendiri menyelesaikan sebuah kursi, tapi Firdaus mengaku kalau diirinya sudah mampu menganyam dan membuta desain kursi sederhana.

JAMINAN PEMERINTAH

Agar lulusan jurusan Kria Rotan ini dapat terserap dalam dunia industri, selain membangun PPIRT, Pemerintah Kota Palu juga mendirikan sebuah Unit Pelaksana Teknis (UPT) rotan Kota Palu. Fokus pengembangan UPT rotan tersebut, kata Rusdy Mastura, adalah memberikan fasilitas peralatan mesin pengelola rotan, pemasaran, pendidikan dan pelatihan.

Untuk peralatan dan mesin Pemerintah Kota Palu telah mengalokasikan pembangunan dua pabrik dan gudang sebagai fasilitas penunjang untuk menuju perbaikan umum dan pengolahan rotan Sulawesi Tengah.

Kehadiran UPT Rotan ini, akan mengarahkan usaha pada industri barang jadi berbasis home industri (industri rumah tangga). Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Perindagkop) Kota Palu mengatakan, saat ini tercatat ada 15 usaha kerajinan rotan berbasis home industri. Mereka ini diberikan modal kerja berupa perlatan dan pembinaan teknis.

Sedangkan untuk pengembangan dan perbaikan mutu barang jadi, UPT Rotan Kota Palu sedang memfokuskan pada perbaikan sumber daya manusia yang akan menjadi pelaku dunia usaha rotan. “Nah, sumber daya manusia yang nantinya akan menghasilkan Mebel rotan berkualitas terbaik itulah, diharapkan berasal dari keluaran Jurusan Kria Rotan di SMK Negeri 5 Palu itu,” kata Rusdy Mastura.

Harapan itu sejalan dengan pesan yang disampaikan Menteri Perindustrian, Fahmi Idris. Ia mengharapkan, dari Palu nanti akan lahir industri rotan yang berkualitas dan memiliki daya saing tidak hanya di tingkat nasional, tapi juga di pasar dunia. Dan karena itulah, Menteri Perindustrian mengarapkan, kelak Pemerintah Kota Palu harus berusaha sampai pada tingkat labelisasi produk, agar dapat menjadi trade mark yang berkualitas baik.

Bagaimana soal bahan baku? Pemerintah Kota Palu telah memberdayakan para petani rotan di sekitar kawasan Uventumbu, Palu Utara. Tercatat lebih 100 hektar kawasan itu dipenuhi dengan rotan. Pada akhir Maret nanti, para petani setempat akan memanen sedikitnya 600 ton rotan mentah.

Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Perindagkop) Kota a, Aminuddin Aco Seluruhnya rotan yang berasal dari kawasan Uventumbu itu, akan disuplai bagi kebutuhan PPIRT. “Itu dilakukan untuk menjamin ketersediaan bahan baku di PPIRT,” tandas Aminuddin Aco.

Darlan Abdul Samad (57), pemilik Mebel Tora-Tora di Jalan Sungai Lewara Nomor 40, Kelurahan Ujuna Palu Barat, mengatakan, mebel yang dikelolanya itu, dibangun oleh ayahnya sejak tahun 1957. Ia mulai meneruskan usaha ayahnya itu sejak tahun 1973. Tapi, ia merasa tidak pernah bisa berkembang, karena ia kekurangan modal usaha. “Saya tidak punya modal usaha yang banyak. Saya Cuma dibantu peralatan dan pelatihan dari Dinas Perindagkop Palu,” kata Darlan Abdul Samad.

Kini, Darlan memiliki delapan orang tenaga kerja. Omzetnya dalam setiap bulan bisa mencapai Rp 12 juta. Setelah dipotong pengeluaran dengan membayar upah kerja delapan orang karyawan dan membeli bahan baku serta lain-lainnya, ia bisa meraih keuntungan sebesar antara 20 persen hingga 30 persen per bulan. Harga kursi yang dijualnya mulai dari Rp 800 ribu hingga Rp 1,8 juta per satu set kursi tergantung model.

Hasil produksinya, hanya dijual untuk pasar lokal, dan juga bagi pelanggan tetapnya di Bontang, Kalimantan Timur dan Makassar Sulawesi Selatan. Ia mengaku belum sanggup mengekspor dan dijual ke Jawa, karena kekurangan modal. “Kalau cukup modal dan ada pengusaha besar yang bisa menjamin itu, maka saya dan kelompok saya bisa memenuhi permintaan itu,” katanya Darlan Abd. Samad optimistis.

Soal bahan baku, ia mengaku tidak kesulitan. Ia bisa membeli bahan baku dengan mudahnya di Palu. Itu karena kebanyakan ia hanya membeli rotan sisa ekspor dengan harga Rp 4 ribu per kilogram ukuran dua meteran untuk jenis rotan batang kualitas A/B .

TANTANGAN INDUSTRI ROTAN

Tantangan industri rotan di Kota Palu dan di Indonesia secara umum, ada pada soal ekspor bahan baku rotan. Ketua Umum Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI) Hatta Sinatra, mengatakan bahwa kebijakan boleh mengekspor bahan baku rotan, justru membuat masalah baru bagi industri rotan nasional. Dampaknya, justru membuat industri mebel dan kerajinan rotan di ambang kehancuran.

Di Cirebon misalnya, menurut Hatta Sinatra, dari 426 perusahaan rotan, tercatat ada 144 yang sudah tutup. Ada 127 perusahaan hanya mampu mengekspor satu kontainer kerajinan rotan per bulan, 113 perusahaan hanya mampu mengekspor hingga 8 kontainer per bulan, 20 perusahaan hanya bisa menyediakan 8-15 kontainer per bulan, dan 11 perusahaan 15-25 kontainer per bulan.

Sedangkan yang sanggup mengekspor di atas 25 kontainer per bulan hanya 11 perusahaan. Padahal, sebelum ada kebijakan boleh mengeksor bahan baku rotan itu diberlakukan, rata-rata perusahaan kerajinan rotan di Cirebon mampu mengirim sedikitnya 75 hingga 150 kontainer per bulan.

“Semua itu merupakan dampak dibukanya keran ekspor bahan baku rotan itu ke manca negara. Itu artinya, ada kesalahan dalam kebijakan izin ekspor bahan baku rotan tersebut,” tegas Hatta Sinatra.

Aturan boleh mengekspor bahan baku rotan itu, tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 12/M-DAG/Kep/6/2005. Menurut Hatta Sinatra, kebijakan tersebut kemudian menjadi kontra produktif dengan tujuan pencapain target untuk menjadi produsen industri mebel kerajinan rotan terbesar di dunia. Semua itu terjadi, karena bahan baku rotan yang menjadi keunggulan komparatif industri rotan, dapat diakses dengan mudah oleh para pesiang utama seperti China dan Vietnam.

Akibatnya, kata Hatta Sinatra, sejak diberlakukan izin ekspor bahan baku itu, dalam dua tahun terakhir ini, para konsumen manca negara, mulai mengalihkan pembelian mebel rotan ke China dan Vietnam. Kini Indonesia memproduksi 250.000-300.000 ton rotan alam atau 80-85 persen dari produksi dunia.

Ketua DPRD Kota Palu, Andi Mulhanan Tombolotutu menyatakan setuju dengan pihak AMKRI. Ia mengatakan, Pemkot Palu mendirikan sentra produksi rotan di Palu, karena mau menyerap tenaga kerja di bidang itu. Jika izin ekpor bahan baku tidak dicabut, dapat dipastikan akan mempengaruhi penyerapan tenaga kerja tersebut. "Jadi, tidak ada jalan lain, kecuali kebijakan itu harus dipikirkan kembali," kata Mulhanan Tombolotutu.***


No comments: