Monday, January 28, 2008

Pemekaran Banggai Laut untuk Atasi Konflik

Banggai Kepulauan, dari namanya saja sudah dapat dipastikan wilayah ini adalah wilayah kepulauan. Data Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah menyebutkan, terdapat lebih dari 120 pulau yang mengelilingi Banggai Kepulauan. Mulai dari yang kecil berbentuk batu karang, yang berpenghuni hingga yang tidak berpenghuni.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 tahun 1999, wilayah ini berdiri sendiri menjadi Kabupaten Banggai Kepulauan (Bangkep), lepas dari Kabupaten Banggai yang beribukota Luwuk. Tapi belakangan, ternyata terjadi persoalan yang belum terselesaikan sampai sekarang. Persoalan itulah adalah perebutan ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan, antara warga di Banggai Laut dan Salakan, hingga menimbulkan tewasnya empat warga Banggai Laut.

Dari masalah itulah sehingga warga Banggai Laut menuntut agar wilayahnya dimekarkan lagi menjadi Kabupaten Banggai Laut. Konflik itu terjadi, ketika Bupati Banggai Kepulauan, Irianto Malinggong, terpilih pada Pilkada 2006, langsung mengambil kebijakan memfungsikan Salakan sebagai Ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan.

Pemfungsian itu berdasarkan Undang-Undang Tahun 1951/1999, bahwa ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan ditempatkan sementara di Banggai, dan akan dipindahkan ke Salakan selambat-lambatnya lima tahun.

Kabupaten Banggai Kepulauan memiliki luas wilayah daratan 3.160,46 km persegi dan wilayah laut 18.828,10 km persegi. Secara administratif terbagi atas sembilan Kecamatan, enam Kelurahan dan 158 desa, serta 121 pulau. Antara lain Lima pulau sedang, yakni Pulau Peleng (luas 2.340 km2), Pulau Banggai (268 km2), Pulau Bangkurung (145 km2), Pulau Salue Besar (84 km2), Pulau Labobo (80 km2) dan 116 pulau-pulau kecil lainnya. Jumlah penduduk hanya sebanyak 154.413 jiwa.

Jika dilihat dari potensi Banggai Laut, daerah ini hanya mengandalkan ikan dan kerang mutiara. Sementara untuk lahan pertanian saja, tercatat hanya 344 hektar lahan teknis yang bisa digarap, karena wilayahnya dikelilingi laut.

Karena itulah rata-rata penduduk setempat menggeluti berprofesi sebagai nelayan. Setiap tahun berhasil memproduksi ikan sebanyak 21.487 ton atau 531,6 miliar (2006). Ikan kerapu hidup menjadi primadona bagi nelayan setempat.

Ikan ini dijual kepada pihak penampung dengan harga Rp 60.000 hingga Rp 120.000 per kilogram, tergantung jenis ikan. Kerapu macan lebih murah daripada kerapu tikus, dan yang termahal adalah ikan Napoleon yang dijual dengan Rp 300.000 per kilogram.
Ikan layang atau ikan pelagis dihargai Rp 750 per kilogram. Khusus layang super berekor kuning, harganya Rp 2.500 per kilogram. Selain ikan, ada juga cumi-cumi kering. Tahun 2006 dihasilkan 400 ribu ton ukuran kecil dan 265 ribu ton ukuran besar.

Sebagian besar dijual ke ke Pulau Jawa. Karena potensi itulah, sehingga kontribusi dari sektor perikanan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Bangkep tahun 2006 tercatat lebih dari Rp 40 miliar dari total kegiatan ekonomi Rp 491,4 miliar. Perkebunan menyumbang sekitar 20 persen dan tanaman bahan pangan juga 20 persen.
Potensi lain yang dimiliki Banggai Kepulauan, antara lain Grabit, Granit kasar, Andesit dan Batu Gamping. Lokasinya terletak di Kecamatan Buko, Bulagi, Liang, Lobobangkurung, dan Banggai. Belum ada data pasti soal berapa banyak kandungan isinya.

Di wilayah ini juga terdapat potensi Tembaga dengan isinya diperkirakan sekitar 1, 422 miliar meter kubik. Lokasinya terdapat di Di desa Tulisentabona, Poisumosoni, dan Lekotoi desa Lambako Kecamatan Banggai.

Sedangkan Batu Gamping diperkirakan sebanyak 77,4 miliar meter kubik yang terletak di Kecamatan Bulagi dan Kecamatan Liang sebanyak 29,038 miliar meter kubik.

Jamaluddin Mariadjang, ketua Ikatan Keluarga Bangkep di Palu, mengatakan, jika dilihat dari potensi kandungan alam di Banggai Laut, memang layak untuk dimekarkan menjadi kabupaten sendiri berpisah dari Banggai Kepulauan. Tapi persoalan kemudian, semua kandungan alam itu terletak di pemukiman warga dan sangat sulit dieksploitasi untuk menyokong pembangunan di kawasan itu.

"Itu semua berkaitan dengan pertambangan, sehingga agak sulit juga dikembangkan. Kalau mau diolah nanti, mau tinggal di mana masyarakat Banggai Laut," kata Jamaluddin Mariadjang yang juga staf pengajar Universitas Tadulako (Untad) Palu itu.

Sementara itu, Mansyur Ba'adi, tokoh masyarakat Banggai Laut, menegaskan bahwa soal layak atau tidaknya Banggai Laut itu dimekarkan, itu adalah urusan teknis pemerintahan. Tapi, jika pemekaran itu dianggap sebagai solusi menghentikan konflik angtarwarga Banggai Laut dan Salakan, maka pemekaran itu menjadi sangat penting.

Mansyur Ba'adi kemudian menceritakan bahwa pada pertemuan setahun lalu, antara masyarakat Banggai Laut, Salakan, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah dan Pemerintah Kabupaten Banggai Kepulauan, warga menawarkan opsi penting kepada pemerintah, soal perlunya Banggai Laut dimekarkan menjadi kabupaten sendiri.

Hanya saja, Mansyur Ba'adi belum terlalu yakin kalau Banggai Laut bisa disahkan menjadi Kabupaten sendiri. Sebab, kondisi wilayahnya memang belum terlalu layak. "Tapi itu kan tergantung teknis di pemerintah pusat dan DPR. Tapi yang pasti, warga Banggai Laut memang sangat menghendaki adanya pemekaran itu," kata Mansyur Ba'adi.
Gubernur Sulawesi Tengah, Bandjela Paliudju, mengatakan bahwa pada prinsipnya Pemerintah Provinsi sangat merespon adanya pemekaran itu.

Ia berharap, pemekaran itu bisa menjawab masalah perebutan ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan antara warga Banggai Laut dan warga Salakan.

"Sebagai penangungjawab di daerah ini, saya saya menghendaki adanya keamanan di wilayah saya, makanya semoga saja pemekaran Banggai Laut itu bisa menjado solusi atas stabilitas di wilayah tersebut," tandas Gubernur Bandjela Paliudju.***

No comments: