Wednesday, May 14, 2008

Ketika TPI Mengobati Kerinduan Warga Indonesia di Luar Negeri

Irfan Hakim dan Wiwied Linggarto menyapa penonton. Keduanya adalah presenter acara Kontes Dangdut Indonesia (KDI 5) yang disiarkan langsung TPI, salah satu televisi swasta di Indonesia. Sekitar 1500 orang pun memberikan aplaus.

Marcel Aulia Big Band kemudian menyapa penonton dengan irama musik dangdutnya. Saat itu pula, para penonton yang memenuhi gedung Teater Tanah Airku di Taman Mini Indonesia Indah, berjingkrak-jingkrak mengikuti irama musik dangdut tersebut. Mereka larut dalam belaian musik dangdut yang khas itu.

Ya...malam itu, 11 Mei 2008, TPI memang sengaja menggelar siaran langsung KDI 5 untuk putaran kedua. Putaran pertama telah dilaksanakan pada malam sebelumnya.

Tapi, pada putaran kedua ini mungkin agak istimewa, karena siaran langsung KDI itu tidak hanya bisa dinikmati publik di dalam negeri, tapi juga di dunia. General Manajer Production TPI, Reza Y. Enoch mengatakan, siaran langsung KDI kali ini dapat disaksikan langsung di Singapura, Hongkong dan Timur Tengah seperti Kuwait dan Arab Saudi. Mereka dapat menyaksikannya dalam cable televisi di negaranya.

“Ini adalah televisi pertama di Indonesia yang berani menyiarkan secara langsung acara-acaranya di Indonesia,” kata Reza Y. Enoch.

Pihaknya sengaja melakukan itu, tak lain tujuannya adalah untuk mengobati kerinduan warga negara Indonesia yang mungkin tinggal di negara-negara itu, ataupun para Tenaga Kerja Indonesia yang rindu akan kampung halamannya di tanah air.

“Kita memang sengaja mengobati kerinduan mereka akan tanah air dengan musik dangdut,” katanya. Itu karena sebelumnya kita telah menerima surat dan email dari publik di luar negeri,” kata Reza Y. Enoch.

Bahkan ke depan, kata Reza Y. Enoch, pihaknya akan membuka audisi dangdut mania bagi para TKI di luar negeri. Untuk itu, pihaknya akan bekerjasama dengan Departemen Luar Negeri dan KBRI serta mengurusi seluruh perizinan, agar para TKI itu bisa mengembangkan bakat dangdut mereka. “Yah semua itu bukan masalah gampang, tapi obsesi kami memang akan menuju ke sana,” katanya.

Melani Dewi, salah seorang asal Banyuwangi yang bekerja di Hongkong, melalui yahoo messenger kepada The Jakarta Post mengatakan, ia dan beberapa teman menyatakan rasa salut dan terima kasihnya kepada pihak TPI karena telah menyiarkan secara langsung acara KDI itu.

“Acaranya pas di saat kami memang lagi tidak ada kerjaan. Jadi kami bisa menonton. Bahkan, bukan cuma kami, tapi majikan pun ikut menontonnya,” kata Melani Dewi.

Sejarah Dangdut

Dangdut merupakan salah satu dari genre seni musik yang berkembang di Indonesia. Bentuk musik ini berakar dari musik Melayu pada tahun 1940-an. Dalam evolusi menuju bentuk kontemporer sekarang, masuk pengaruh unsur-unsur musik India (terutama dari penggunaan tabla) dan Arab (pada cengkok dan harmonisasi).

Perubahan arus politik Indonesia di akhir tahun 1960-an membuka masuknya pengaruh musik barat yang kuat dengan masuknya penggunaan gitar listrik dan juga bentuk pemasarannya. Sejak tahun 1970-an dangdut boleh dikatakan telah matang dalam bentuknya yang kontemporer. Sebagai musik populer, dangdut sangat terbuka terhadap pengaruh bentuk musik lain, mulai dari keroncong, langgam, degung, gambus, rock, pop, bahkan house music.

Penyebutan nama "dangdut" merupakan onomatope dari suara permainan tabla (dalam dunia dangdut disebut gendang saja) yang khas dan didominasi oleh bunyi dang dan ndut. Nama ini sebetulnya adalah sebutan sinis dalam sebuah artikel majalah awal 1970-an bagi bentuk musik melayu yang sangat populer di kalangan masyarakat kelas pekerja saat itu.

Kompas menulis, beberapa pengamat melihat bahwa musik yang digambarkan secara onomatopoetik itu memiliki sejarah panjang dan asal-usul yang rumit.

Saking panjang dan rumitnya, William H Frederick dalam sebuah esainya yang menantang, "Rhoma Irama and Dangdut Style: Aspect of Contemporary Indonesian Popular Culture" di majalah Indonesia (1982) menyebut bahwa dangdut itu-baik semangat sosial maupun peralatannya-bermula dari periode awal kolonial, saat paduan alat musik Indonesia, Arab, dan Barat dimainkan bersama-sama dalam tanjidor, yaitu orkestra mini yang khas dan dipertunjukkan sambil berjalan oleh para budak peliharaan tuan-tuan putih penguasa perkebunan di sekitar Batavia.

Sepanjang abad ke-19, pengaruh-pengaruh lain diserap, seperti dari ansambel China-Betawi yang disebut gambang keromong, lalu keroncong yang dimainkan dalam pertunjukan stambul dan tonil, sebuah drama populer perkotaan yang sedang naik daun sat itu.

Tahun 1940-an harmoni gaya lama secara bertahap memberi tempat untuk bereksperimen dengan irama Melayu yang dipermodern dan banyak dipengaruhi orkestrasi Barat serta irama samba dan rumba. Tahun 1950-an yang atmosfer politiknya menekankan pada pencarian sesuatu yang menunjukkan keaslian, akhirnya membawa para musisi keroncong modern tersebut memasuki tradisi orkes Melayu yang berkembang di daerah yang jauh dari ibu kota dan tempat tinggal para musisi dan kritikus musik, terutama daerah Padang dan Medan. Lagu-lagu ini sohor disebut sebagai lagu Melayu Deli.
Pada tahun 1953 P Ramlee, aktor dari Semenanjung (Malaysia) melalui film Djuwita, bukan saja telah membuat wabah gaya sisiran rambut sedeng alias belah pinggir, tetapi juga membawa sukses besar lagu-lagu Melayu Deli itu.

Said Effendi mendapat sumber inspirasi yang sama untuk film musikal Serodja (1959), di mana dia menulis sendiri musiknya dan menunjukkan akting yang sangat bagus, baik sebagai penyanyi maupun aktor. Dari sinilah bintang Said Effendi mulai bersinar bersama-sama dengan pencipta lagu dan penyanyi lain, seperti A Chalik, Husein Bawafie, dan Hasnah Thahar. Mereka diikuti penyanyi muda, Ellya, yang kemudian sangat terkenal dengan lagu Boneka dari India dan dianggap pantas untuk ditunjuk sebagai lagu dangdut pertama, sekalipun istilah dangdut belum pernah digunakan saat itu.

Keberhasilan itu sendiri tidak dapat dilepaskan dari kepiawaian Husein Bawafie, si pencipta lagu Boneka dari India, dalam mengambil irama dan tekstur bunyi baru (khususnya suara yang ditimbulkan gendang Indonesia, Arab, India, suling dan sitar) yang sebagian besar diambil dari film-film India yang ketika itu membanjiri Indonesia, tetapi dengan tetap menaruh setia pada irama Melayu.

Mungkin sebab itu pula pengamat sejarah Jakarta, Ridwan Saidi, menyatakan bahwa Husein Bawafie yang lahir tahun 1919 itu sebagai penggagas musik Melayu Jakarta dan tokoh yang memegang peranan penting sehingga Jakarta pada tahun 1950-an membukukan kedudukannya sebagai kiblat musik Melayu.***

No comments: