Dua Kabupaten di Sulawesi Tengah, Parigi Moutong dan Donggala segera menggelar pemilihan kepala daerah. Artinya, rakyat di dua wilayah itu akan menentukan pilihannya. Maka pilihan itu, tidak karena ada faktor X. Tapi lebih pada pilihan rasional, bahwa kandidat yang bakal dipilih, adalah mereka yang benar-benar mau bekerja untuk kepentingan rakyat.
Hanya saja, dalam setiap pesta demokrasi (Pemilu maupun Pilkada), para tokoh politik selalu berkampanye akan bekerja untuk kepentingan rakyat. Kepentingan rakyat akan menjadi pintu masuk untuk meraih dukungan suara. Hanya saja, demi dan atas nama kepentingan rakyat itu, acapkali menjadi sebuah retorika tanpa bukti. Dan rakyat harus mafhum soal itu. Dan kosntituen sudah cerdas membaca, siapa di antara kandidat yang telah teruji dan terbukti bekerja untuk kepentingan rakyat.
Di Parigi Moutong, sejumlah tokoh telah secara tersembunyi berkampanye di mana-mana. Baik melalui spanduk, baliho, poster dan pertemuan yang dibungkus dengan acara silaturahim di mana-mana. Bahkan, perang urat saraf pun telah dilakukan di mana-mana. Pasangan Dedy Askari dan Hazairin yang dipendekan menjadi DEZA, sesumbar akan meraih dukungan lebih dari 45 persen suara pemilih. Suara itu akan diraih dari suara baru atau pemilih pemula dan juga kelompok masyarakat kecil.
"Target kami bisa lebih dari 45 persen," ujar Dedy Askari. Padahal, pasangan ini belum memiliki partai yang lengkap untuk bisa mendaftar sebagai calon. Mereka masih membutuhkan satu partai lagi. Orang dekat Dedy Askari mengatakan, pasangan Deza telah mendapat lampu hijau dari Partai Bintang Reformasi.
Itu juga bisa masuk akal, karena adanya kedekatan moral antara Dedy Askari dengan Wakil Ketua DPP Partai Bintang Reformasi, Jusuf Lakaseng. Dua orang ini adalah mantan aktivis 1998.
Pasangan Rustam Dg. Rahmatu-Thamrin Ntosa malah lebih tinggi lagi menargetkan jumlah suara yang akan diraih. "Kami targetkan bisa lebih dari 50 persen," kata Rustam Rahmatu. Suara itu tidak hanya dari kader dan simpatisan Partai Golkar, tapi juga dari pihak eksternal yang bersimpati pada mereka. Lantaran itu, pasangan ini melirik dukungan dari komunitas Bali, Jawa, Bugis, Kaili dan warga Parigi Moutong lainnya. Namun yang pasti, dalam catatan matematika politik, Partai Golkar memang menjadi pemenang pada Pemilu 2004 silam.
Lain lagi dengan pasangan Asmir Ntosa dan Taswin Borman. Pasangan yang disingkat ASTA ini, nampaknya adem ayem saja. Mereka tidak sesumbar menargetkan perolehan suara. Tapi yang pasti, sejak wacana pilkada mulai didengungkan, pasangan ini telah berjalan ke mana-mana untuk menarik simpati rakyat. Itu semua dilakukan, karena memang Asmir Ntosa adalah Wakil Bupati Parigi Moutong sekarang, sedangkan Taswin Borman sebelumnya adalah Sekretaris Kabupaten.
Lantas bagaimana dengan pasangan Longki Djanggola dan Kolonel Inf Syamsurijal Tomblotutu. Pasangan yang disingkat LOGIS ini juga tidak muluk-muluk memasang target. Bahkan keduanya menyatakan siap kalah siap menang dalam Pilkada. Keduanya malah berprinsip tidak sekadar bicara tapi bukti. Dalam setiap kesempatan, Longki Djanggola justru mengimbau rakyat untuk memilih berdasarkan hati nurani. Pilihan kepada seseorang, tidak boleh karena ada tekanan ataupun karena bujukan. Itulah yang oleh Longki Djanggola dan Syamsulrijal Tombolotutu menyebutnya sebagai pilihan yang LOGIS atau pilihan yang rasional (masuk akal).
Siapa pun bisa sesumbar menargetkan jumlah suara yang akan diperoleh pada Pilkada nanti. Seberapa besar suara partai yang mengusung, tak akan ada artinya sama sekali, kalau semua mesin tidak bergerak maksimal. Dan pilihan tetap ada di tangan rakyat Parigi Moutong. Merekalah yang menentukan. Kemenangan pasangan bupati dan wakil bupati adalah kemenangan seluruh rakyat setempat.
Dan yang pasti, nasib dan warna Parigi Moutong selama lima tahun ke depan, sangat ditentukan hanya dalam waktu 3 menit di dalam bilik suara pada vooting day nantinya. Jadi pilihlah yang kandidat yang bekerja untuk rakyat dan bukan cuma yang menebar pesona dan janji, tapi bukti.
No comments:
Post a Comment