Sunday, December 09, 2007

Menengok Kearifan Lokal To Wana di Morowali


perempuan berbusana hanya sebatas dada. Dandanan apa adanya, berjalan membawa keranjang yang terbuat dari dedaunan. Ada yang menjunjungnya di kepala, ada yang di bahu dan ada pula yang dijinjing. Di dalam keranjang itu berisi beberapa keperluan sehari-hari.

Sementara beberapa lelaki, ada yang memakai kaus, ada yang memakai rompi yang terbuat dari kulit kayu, ada yang hanya menggunakan sarung, menggunakan ikat kepala dan ada yang bertelanjang dada bercelana pendek, berjalan membawa tombak, sumpit dan golok.

Tiba-tiba seseorang yang mungkin adalah kepala suku, berjalan ke depan diikuti seorang perempuan. Keduanya terlibat percakapan dalam bahasa lokal yang sulit dimengerti. Ternyata, keduanya sedang berbalas pantun dengan gaya bertutur. Balas pantun dengan gaya bertutur itu adalah sastra bertutur, yang dalam bahasa lokal disebut dengan Kayori.

Itulah gambaran kehidupan masyarakat To Wana, masyarakat penghuni hutan di Kabupaten Morowali, SUlawesi Tengah. Jumat (7/12) malam, masyarakat yang punya ciri khas sebagai peladang berpindah itu dilibatkan untuk mementaskan teater kehidupan mereka dalam pelaksanaan Festival Danau Poso yang ke 10 kali ini.

Saat keduanya terlibat dalam kayori, beberapa orang di belakangnya mengiringinya musik tradisional, Talali atau suling, ngeso-ngeso atau alat musik gesek, due atau popondo (alat musik satu tali yang menggunakan bagian depan tubuh sebagai resonator), tutubua atau perkusi dari bambu, gendang dan gong.

Amirullah Sia, pimpinan kontingen Kabupaten Morowali pada FDP itu mengatakan, kayori atau berbalas pantun itu, berisi harapanagar semakin banyak To Wana (orang Wana) diberi kesempatan pada pentas-pentas seni budaya di Sulawesi Tengah maupun di Indonesia.

Setelah selesainya Kayori, warga Suku Wana itu juga memainkan tarian Dendelu. Yaotu tarian melingkar dengan iringan syair-syair yang dinyanyikan oleh penarinya sendiri. Tarian ini dimainkan pada hari-hari tertentu misalnya untuk mengenang kematian seseorang atau menghibur keluarga yang sedang berduka. Makanya, gerakan-gerakan dalam tarian itu sangat lamban.

Mereka juga memainkan tarian Salonde. Tarian ini hanya dimainkan oleh para perempuan Suku Wana sebagai ungkapan rasa syukur mereka atas hasil panen dan menyambut tamu penting yang datang ke daerah mereka.

Tidak hanya itu, warga To Wana juga memainkan tarian Tendebomba. Tarian ini lebih bersifat umum, dapat dimainkan pada berbagai kesempatan dan boleh dimainkan baik oleh pria maupun wanita. Tarian ini pun, mengajak orang lain untuk dapat ikut bersama-sama.

"Tari Tandebomba biasanya dimainkan semalam suntuk. Makanya, beberapa warga yang ikut dalam tarian itu, bahkan yang menonton pun sampai tertidur," kata Amirullah Sia.

Suku Wana, memang sangat kaya akan tradisi budaya lokalnya. Selain tarian dan nyanyian, ada juga permainan rakyat yang mereka sebut Wawinti. Ini adalah permainan adu betis, dan hanya dapat dimainkan oleh laki-laki saja. Permainan ini hanya sebagai pengisi waktu luang saat menunggui ladang atau kebun mereka.

Biasannya juga, permainan ini dilakukan pada awal mereka menanam padi dan saat memanen. Wawinti atau adu betis ini, bisa dilakukan dengan satu lawan satu atau satu lawan dua atau lebih secara bergantian sampai ada yang kalah. Seorang pemain akan memasang kuda-kuda untuk kemudian ditendang oleh lawan di bagian betis.

Bila satu orang melawan dua orang atau lebih, maka dua orang tersebut akan menyusun kaki mereka secara berdempetan kemudian memasang kuda-kuda untuk siap ditendang.

Tidak hanya itu, masih ada tradisi lain milik suku asli To Wana, adalah menyumpit. Ini merupakan salah satu aktivitas yang penting dalam kehidupan keseharian To Wana. Mereka menggunakan sumpit untuk keperluan berburu binatang seperti burung, monyet dan babi untuk dikonsumsi.

Sumpit bagi orang Wana sangat penting. Tidak hanya sebatas sebagai senjata berburu, tapi juga menjadi senjata pamungkas untuk membela diri dari berbagai ancaman binatang buas dan pihak lain yang bermaksud mengganggu kehidupan mereka di hutan.

Anak sumpit To Wana, terbuat dari bambu yang dibuat runcing, lalu kemudian mata sumpit diberi impo, sejenis ramuan khusus yang sangat beracun. Sehingga siapa saja yang terkena sumpitan orang Wana, dipastikan tidak bisa diselamatkan.

PENGOBATAN DAN BONGKAR RUMAH

Orang Wana juga, memiliki upacara pengobatan terhadap orang sakit yang mereka sebut dengan Momago atau Mobolong. Yaitu memanfaatkan kekuatan roh gaib yang bersemayam di alam seperti di pohon-pohon besar, di tebing atau di mata air.

Dalam upaara ini peran dukun atau Walia sangatlah penting sebagai perantara kekuatan roh gaib, untuk menyembuhkan si sakit.

Pengobatan diiringi musik seperti dua gong dan gendang yang berfungsi untuk mendukung kegiatan pengobatan. Dalam proses pengobatan, sang Walia dan beberapa orang lainnya melakukan gerakan-gerakan tertentu.

Beberapa sesajen seperti pinang, sirih, tembakau, daun kemangi, baru (minuman khas To Wana) yang juga menjadi syarat terlaksanakan upacara ini.

"Upacara ini biasanya juga dilakukan secara massal sepanjang malam. Alat musik gong dan gendang merupakan bagian yang sangat penting dalam upacara ini," kata Amin Abdullah, peneliti To Wana.

Itulah sebabnya, sebelum memulai upacara ini, alat musik itu sudah harus disiapkan terlebih dahulu. Alat-alat ini dimainkan secara bereulang-ulang, yang dimaksudkan untuk mengundang roh gaib yang dipercaya dapat mengobati orang sakit melalui perantara dukun.

Irama gong dan gendang dihentikan dan dukun memulai membacakan mantra-mantra untuk memohon kekuatan roh gaib, untuk turut membantu upacara pengobatan ini. "Inilah yang disebut dengan inti pengobatan," kata Amin Abdullah.

Dukun menggunakan selembar kain putih untuk mendeteksi penyakit seseorang. Kain putih juga diletakan di atas tubuh si sakit atau ditiupkan di tubuhnya dengan dilapisi kain putih di atas tubuh si sakit. Dukun menggerak-gerakan kain itu, seakan-akan memasukkan sesuatu ke dalam tubuh si sakit lalu mengibaskannya. Pada saat itu, musik sudah berhenti.

Tiba-tiba irama gong dan gendang dimainkan lagi untuk mengiringi kegiatan ritual pengobatan itu, dan dilakukan berulang-ulang sampai si dukun merasa cukup melakukan pengobatan itu.

Lalu, untuk memberikan motivasi pada si dukun, biasanya ada beberapa wanita yang menari-nari dan mereka yang dipercaya memiliki kemampuan khusus.

Kalau ada yang tidak sanggup diobati dan si sakit itu akan meninggal, mayatnya dibungkus tidak dibungkus kain putih atau dengan menggunakan peti mayat seperti lazimnya, tapi justru dibungkus dengan kulit kayu sebagai bukti kesederhanaan masyarakat Wana.

Dan lebih haru lagi, saat menguburkan jenazah, keluarga yang ditinggal menangis sambil meronta-ronta sembari mencakar tubuh dan mengacak-acak rambutnya sendiri.

"Ini menggambarkan bahwa mereka tak sanggup berpisah dengan keluarga yang dicintai," kata Amin Abdullah.

Setelah pemakaman, 16 hari kemudian, keluarga kemudian melaksanakan acara Momata untuk melepas kerinduan dan kenangan kepada yang meninggal dunia dengan cara membongkar rumah.

Pihak keluarga menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan. Mereka terus berduka dan menanti keluarga yang tidak sempat hadir dalam upacara pemakaman.

Mereka yang tidak sempat hadir dalam pemakaman itu, kemudian mengungkapkan penyesalannya dengan menangis dan meronta-ronta dan membongkar rumah. Tapi masih ada yang mencegahnya, namun rumah tersebut tetap dibongkar karena dianggap membawa sial.

Setelah rumah milik si mati itu dibongkar, keluargana kemudian pindah lagi ke tempat lain untuk membuat kebun dan tempat tinggal yang baru, dan begitu seterusnya. Lantaran itulah mereka biasa disebut nomaden atau peladang berpindah. ***

No comments: