Wednesday, October 29, 2008

Kisah Uci di Balik Bilik Bambu

Rusli Mardani alias Wahyu Ramadhan, (26), seperti hidup di dunia sunyi, walau rumah kontrakannya ada di kompleks permukiman yang padat, lagi riuh. Rumah kontrakannya mungil, cuma seperti kamar sempit berukuran 15 meter persegi.

Rumah mungil itu terjepit rapat oleh rumah-rumah sekelilingnya. Lelaki kelahiran Dolong, Sulawesi Tengah itu, sudah setahun hidup di petak sempit itu. Hanya istri dan putrinya yang berusia 9 tahun "temannya" di kompleks itu.

Entah apa yang membuat dia betah di rumah itu. Mungkin terpaksa. Yang pasti, rumah di Jalan Kelapa Gading Sengon VII, RT 05, RW 14, Kelurahan Kelapa Gading Barat, Jakarta, itu amat dekat dengan depo pengisian truk tangki BBM Plumpang. Uci kini menghadapi sangkaan serius. Dituduh mau melakukan pengeboman terhadap tangki BBM Plumpang itu.

Tetangganya Yono, menilai Wahyu sebagai pribadi yang tertutup. Hanya satu-dua orang yang pernah dilihatnya bertamu. Yono sampai tak tahu siapa nama istri Wahyu yang selalu bercadar itu. "Agamanya aneh, kayak punya klub," ujar tukang bakso yang tinggal 10 meter dari rumah Wahyu.

Ada juga tetangga yang mengenal Wahyu. "Hubungannya dengan tetangga, setahu saya, baik," kata Uti Utami, 33 tahun. Ia juga tahu Wahyu kadang bekerja sebagai tukang bor sumur. Wahyu seperti mengasingkan diri di tengah keramaian, sampai-sampai pengurus RT setempat tak mengenalnya. "Saya tak kenal Wahyu," kata Pak Ketua RW 14 Abdul Wahab.

Paman Rusli Mardani, Endhe Mardhani, mengaku kaget sewaktu mendengar keponakannya ditangkap melaui berita di telivisi. “Kami kaget Uci disangka teroris,” katanya kepada Media Alkhairaat, Ahad kemarin.

Ende mengaku hampir 8 tahun sejak tahun 2001, keluarga besarnya putus komunikasi dan tidak tahu keberadaan Uci. Ende mengatakan Uci lahir di Desa Dolong, Kecamatan Walea Kepulauan, Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah. Sekolah Uci, kata dia, mulai dari SD, SMP dan SMA semua ditamatkan di Poso.

Di Poso, Uci tinggal bersama kakak perempuannya Nive Mardhani di Kelurahan Kayamanya, Poso Kota.

Menurut Ende, Uci anak yang baik, penurut dan pendiam. Orangtuanya di Dolong menangis saat tahu Uci ditangkap. “Dia anak baik dan pendiam, Kalau diingatkan, jangan nakal ikut anak-anak yang mabuk-mabukan dia akan menurut,” kata Ende.
Dia penurut sama orang tuanya, kakak, dan paman-pamannya. Bahkan karena perawakannya yang tinggi besar, ia pernah ikut menjadi pasukan Paskibraka di Poso Kota.

Di mata teman-temanya di Kayamanya, Uci terbilang anak baik suka menolong yang susah. Dia pendiam tidak banyak cerita. “Dia pendiam, tidak banyak cing-cong,” kata Aco, teman dekat Uci di Kayamanya.

Keluarga berharap bisa bertemu Uci untuk melepaskan rindu dan merawat anaknya dan istrinya. “Antara sedih dan syukur. Sedih, karena Uci ditangkap Polisi karena mengikuti aktifitas yang dilarang pemerintah. Syukur karena, dia masih hidup,” jelas Ende.

Rumah Wahyu berdinding separuh tembok setinggi satu meter dan anyaman bambu. Pintunya dari tripleks dengan tambalan di sana-sini. Atapnya asbes dan genteng dengan susunan tak rapi. Lantai di teras rumah hanya dialasi selembar ambal usang. Polisi tak menemukan Wahyu alias Rusli Mardhani alias Uci alias Muklis, tapi polisi mengklaim telah menemukan 2,6 kilogram bahan peledak TNI, pistol, dan sejumlah peluru di sana.

Setelah penangkapan itu, istri Wahyu menghilang. Dia bahkan meninggalkan putrinya di rumah Muntasir. Ke mana dia pergi? Benarkah Wahyu teroris? Bilik bambu itulah yang menyimpan banyak cerita. ***

No comments: