Wednesday, February 11, 2009

“Pendekar” Sulawesi Terancam Punah



“Pendekar Sulawesi” di rimba belantara Pulau Sulawesi terancam punah. “Pendekar Sulawesi” itu adalah musang Sulawesi, Kuskus Sulawesi (Phalanger clebensis) dan monyet macaca Sulawesi.

Ketiga satwa di wilayah Sulawesi Tengah itu, disebut pendekar, karena selain memiliki gerakan yang lincah dan memiliki kemampuan memanjat pohon dengan cepat, juga banyak memiliki keunikan.

Khusus Musang Sulawesi misalnya, dikenal sangat pemberani menjelajah di waktu malam. Makanya digolongkan sebagai hewan malam, sedang waktu siang hari dimanfaatkan untuk tidur atau istrahat di bawah pohon yang rindang atau di tempat yang tertutup. Setiap berjalan, tidak pernah bergerombol, paling hanya sepasang atau kadang sendirian.

Musang Sulawesi ini merupakan satu-satunya hewan pemakan daging asli Sulawesi yang hidup liar di tengah hutan rimba, dan kadang bersembunyi di semak-semak untuk menunggu mangsa. Binatang yang satu ini memiliki kelihaian dalam mengintai dan berjalan di balik semak-semak, karena nyaris tak terdengar sama sekali kalau berjalan.

Musang Sulawesi lebih besar dibandingkan musang yang terdapat di tempat lain, sehingga dianggap musang raksasa. Terdiri dari dua jenis yang diidentifikasi dari warna kulitnya, yaitu berwarna coklat kehitam-hitaman (Macrogalidia musschenbroekii). Jenis kedua berwarna merah abu-abu (Viverra tangalunga), merupakan jenis yang umum ditemui. Bukan hanya di Sulawesi, tapi juga di pulau-pulau lainnya. Selain disebut musang atau Civet, juga memiliki nama lokal sesuai bahasa daerah setempat.

Di sekitar kawasan suaka alam Gunung Sojol misalnya, penduduk di sana menyebutnya Cingkalung. Sedangkan bagi warga Suku Lore di Kawasan Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah, menyebutnya dengan Hulaku.

Dibandingkan dengan jenis Viverra tangalunga, jenis Macrogalidia musschenbroekii lebih besar dan panjang seperti anjing kampung, yang mencapai berat maksimal 10 kilogram dan panjang dari kepala sampai ekor berkisar 130 centimeter. Paling khas dan termasuk endemik, hampir sama besarnya dengan Kuskus Sulawesi (Phalanger clebensis) yang juga merupakan hewan menyusui khas Sulawesi yang sekerabat dengan Beruang.

Sedangkan jenis Viverra Tangalunga, agak kecil dan pendek, yaitu sebesar kucing kampung dewasa, berat maksimal hanya mencapai 7 kilogram. Namun keduanya memiliki bentuk dan penampilan fisik mirip kucing kampung, termasuk sifatnya, suka keluar malam dan memiliki hobi memanjat pohon sekedar bermain-main. Sehingga dimasukkan sekerabat dengan kucing yang juga menyusui sebagai famili viverridae yang perkembangbiakannya dengan cara melahirkan.
Bentuk susunan giginya kecil dan tajam seperti halnya gigi kucing, dan memiliki kuku atau cakar yang tajam digunakan sebagai senjata menyerang musuh atau menangkap mangsa. Juga sebagai perekat saat memanjat/mencakar pohon.

“Keahliannya memanjat dan menuruni pohon dalam bentuk tegak itulah, sehingga diberi gelar hewan pendekar hutan Sulawesi,” kata Ismet Khaeruddin, direktur The Nature Conservancy Sulawesi Tengah.

Menurut Ismet Khaeruddin, sebaran Musang Sulawesi itu, ditemukan (tapi sudah langka) di Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), Pegunungan Tokalekaju, kawasan Pantai Barat Donggala, Gunung Ambang, Gunung Rantemario, Gunung Sojol dan beberapa kawasan lain.

Makanannya berupa hewan kecil menyusui seperti tikus, tupai, anak babi, dan burung-burung kecil, ayam serta telur, juga makan buah-buahan seperti pisang dan buah palem atau biji enau (Arenga piñnata) yang telah masak merupakan buah kegemarannya.

Mencari makanan pada malam hari, dengan ketajaman penglihatan menembus kegelapan malam. Memiliki kemampuan investigasi mencari calon mangsa, dalam jarak beberapa meter bisa terdeteksi.

Menurut Ismet Khaeruddin, sebagian penduduk pedesaan di Sulawesi Tengah mempercayai musang memiliki kekuatan hipnotis, setiap melakukan operasi malam untuk mencari mangsa, walaupun tidak memanjat ke tempat ayam yang sedang tidur. Hanya dengan tatapan matanya sambil mengibas-ngibaskan ekornya ke arah ayam yang berada di atas teratak, dalam tempo beberapa menit saja ayam bisa jatuh ke tanah, lalu diterkam hingga dibawa lari ke hutan.

Tetapi sebaliknya, predator utamanya adalah ular sawah atau ular sanca (Phyton reticulates) yang juga banyak terdapat di kawasan hutan Sulawesi.

Kegemarannya makan buah palem atau enau, mengakibatkan di beberapa kawasan hutan Sulawesi, banyak ditemui tumbuhan palem sejenis enau. Hal ini menunjukkan, keberadaan tumbuhan ini tidak lepas dari peran musang yang melakukan penyebaran biji-biji enau. Musang yang makan buah enau masak dengan cara ditelan, begitu mengeluarkan kotoran, maka biji enau yang bentuknya bulat keras itu akan diberaki, kemudian tumbuh di mana-mana.

”Maka petunjuk yang terbaik untuk mengidentifikasi sebaran hewan ini, salah satu cara adalah mencari dimana banyak tumbuhan enau, di situ memungkinkan menjadi habitat musang,” ujarnya.

Pohon enau selain menjadi sumber makanan hewan, juga memiliki banyak fungsi bagi kehidupan penduduk setempat, di antaranya penghasil nira (air tuak) yang dapat diolah jadi gula merah, daunnya dijadikan atap rumah, buahnya yang masih muda dapat dijadikan manisan dan lainnya.

Menurut cerita masyarakat Behoa di dataran tinggi Lore, Kabupaten Poso, zaman dulu nenek moyang suku ini sangat gemar memelihara musang. Dipelihara seperti anjing yang dimanfaatkan untuk berburu babi hutan (Sus celebenis) dan rusa (Cervus timoerensis) dalam hutan.

Namun dalam perkembangan pemeliharannya, sangat menjengkelkan dan terbilang sulit, mesti selalu diberi perhatian yang lebih banyak dibanding anjing piaraan. Tradisi memelihara musang bagi suku Behoa ini sejak awal abad ke 20, sudah ditinggalkan, karena faktor kesulitan, bila lalai memberi makanan, maka hewan ternak yang ada disekitar rumah jadi sasaran dan tidak segang melukai orang.

Konon nenek moyang Behoa dan Napu memiliki kepercayaan dalam setiap memelihara musang hanya diperbolehkan sampai 99 ekor, kalau lebih akan berakibat fatal, musang jadi galak dengan menerkam tuannya (pemelihara). Benar-tidaknya cerita tersebut, sulit dipercaya di alam pikiran terkini, tapi begitulah mitos tentang musang bagi suku Behoa, Sulteng zaman dulu.

Data yang dikumpulkan dari TNC menyebutkan di kawasan Pantai Barat Sulawesi Tengah, terutama di dekat hutan Desa Balukang, Kecamatan Sojol dan Desa Tompe, Kecamatan Sirenja Kabupaten Donggala, umumnya musang yang terperangkap jerat tidak disengaja. Kebetulan saja penduduk setempat sering memasang jerat untuk menangkap Ayam hutan (Gallus gallus), tapi justru musang yang sering terperangkap.

Mungkin disebabkan saat ayam sedang berada di dekat jerat, tiba-tiba saja musang yang telah mengintai langsung menerkam ayam, sehingga malah bernasib sial. Semakin langkanya Musang Sulawesi, justru saat ini menjadi daya tarik sebagian orang mulai meliriknya untuk diawetkan dalam kotak kaca sebagai perhiasan souvenir buat pajangan di ruang tamu.

Walaupun Musang Sulawesi telah ditemukan sejak 100 tahun lebih, tapi kini keberadaannya tidak begitu popular dibanding Anoa (Bubalus sp) dan Babirusa (Babyroussa babirusa) banyak mengundang minat peneliti. Chirs Wemmer dan D. Watling, dua ilmuan dari Barat pernah melakukan penelitian kehidupan musang dan habitatnya di kawasan TNLL dan berhasil melakukan pemotretan dengan menggunakan teknologi infra merah, kemudian menghasilkan tulisan; Ecology and the Sulawesi palm civet, Macrogalidia musschenbroekii (tahun 1986).

Itulah yang kemudian jadi rujukan konservatoris berikutnya, termasuk dalam penyusunan buku The Ecology of Sulawei terbitan Gajah Mada University Press (tahun 1987); Anthony J Whitten bersama Muslimin Mustafa dan Gregory S Henderson, hanya sedikit mendeskripsikan tentang musang Sulawesi.

Tahun 1999 lalu, seekor musang jantan Macrogalidia muscchenbroekii berhasil ditangkap hidup-hidup oleh penduduk sebuah kampung di area Taman Nasional Lore Lindu, kemudian dilepaskan ke habitatnya setelah petugas Balai TNLL membuatkan dokumentasi foto dan film. Termasuk Duncan Neville, seorang peneliti dari Australia dan Alain Compost ahli fotografi dari Prancis berhasil mengabadikan lewat kameranya di tahun 1980-an.

Foto-foto itulah yang sampai saat ini menjadi andalan untuk ditampilkan di buku panduan maupun brosur-brosur pengenalan satwa TNLL dan terakhir ditampilkan di brosur Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulawesi Tengah sebagai bagian kampanye mencegah kepunahan.***

No comments: