Friday, November 08, 2013

Dimanakah Fungsi Pelayan, Pelindung dan Pengayom Polisi


Senin (28/10) sekitar jam 1.30 waktu setempat, terdengar ledakan dum-dum (meriam rakitan) di Kelurahan Pengawu dan Dusun Tanggiso, Kelurahan Duyu, Kecamatan Tatanga, Kota Palu. Entah dari mana asal muasal bunyi ledakan itu. Tiba-tiba ada konsentrasi massa. Mereka melengkapi diri dengan senapan angin, katapel, golok, batu dan kayu balok.


Hanya dalam hitungan menit, massa beringas dan saling menyerang. Meski tak ada korban jiwa, tapi dua rumah warga dibakar, sebuah mobil Toyota Avanza dirusak, dan dua orang terluka hingga dilarikan ke rumah sakit.

Suara handy talkie milik seorang intel polisi yang kebetulan sedang berada di kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palu, mengabarkan  kejadian itu. Tanpa pikir panjang, para wartawan, termasuk The Jakarta Post pun langsung menuju lokasi kejadian.

Sekitar 5 menit para wartawan sudah berada di lokasi, dua truk berisi anggota Brimob  baru tiba di lokasi. Tapi api dari rumah yang dibakar itu sudah menyala. Celakanya, anggota polisi yang tiba di lokasi tidak berbuat apa-apa. “Belum ada perintah,” kata seorang anggota polisi di malam yang gulita itu.

Warga yang lalu lalang dengan penuh kemarahan dengan membawa senjata tajam dan senjata tradisional dengan leluasa lewat di depan polisi. Yuslan, seorang warga yang rumahnya dibakar menyesalkan itu.

“Kenapa polisi hanya lihat saja. Kenapa tidak tangkap orang-orang itu,” sesalnya.

Mobil pemadam kebakaran tiba di lokasi dan memadamkan api. Tapi rumah itu tak dapat diselamatkan. Tinggal tembok yang berdiri, sedangkan atap dan kayu sudah dilahap api. Yuslan tak dapat berbuat apa-apa. Dia hanya terpana menyaksikan rumahnya yang dibangun dengan susah payah itu dibakar warga yang terlibat bentrok.

Tiba-tiba satu per satu polisi melompat turun dari mobil truk yang membawa mereka. Tembakan peringatan ke udara berkali-kali dilesakkan dari senjata jenis  Senapan Serbu Satu milik polisi. Kapolres dengan menggunakan pengeras suara memerintahkan warga yang bentrok itu untuk mundur dan kembali ke rumah masing-masing. Suasana mulai reda.

POLISI DITARIK KE MARKAS


Setelah suasana mulai tenang, polisi terus siaga di lokasi kejadian, baik di Kelurahan Pengawu maupun di Dusun Tanggiso, Kelurahan Duyu. Mereka siaga hingga pagi hari. Tiba-tiba, sekitar jam 11.00 waktu setempat, mungkin karena melihat situasi sudah mulai membaik, anggota polisi pun ditarik ke markas. 

Ketiadaan polisi itu ternyata memberikan kesempatan kepada warga untuk melakukan pembalasan. Dengan cara diam-diam, sekitar jam 17.30 Waktu Indonesia Tengah, warga menyerang lagi. Sebuah rumah milik Khaeruddin Saleh, wartawan Harian Media Alkhairaat menjadi sasaran pembakaran.

Tak satupun harta benda di dalam rumahnya berhasil diselamatkan. Saat pembakaran itu, Khaeruddin memang sedang tidak berada di tempat, karena mengungsikan anak dan istri ke rumah keluarganya di Jalan Tolambu, Palu Barat. 

“Saya kembali ke rumah lagi, tapi rumah saya sudah terbakar. Tapi alhamdulillah, anak istri saya selamat,” katanya.

Khaeruddin  yang tinggal di perbatasan antara Kelurahan Pengawu dan Kelurahan Duyu itu menyesalkan tindakan polisi yang meninggalkan lokasi, padahal situasi belum benar-benar aman. Dia bahkan mendengar kabar, polisi ditarik karena mereka belum makan sejak pagi. Dia juga mendapatkan informasi, Pemerintah Kota Palu belum mencairkan anggaran bagi polisi di Kota Palu.

Tentu saja Kapolres Palu, Ajun Komisaris Besar Polisi Trisno Rahmadi membantah soal anggaran dari Pemda itu. Dia hanya mengatakan, penarikan pasukan itu karena dalam rangka apel siaga di markas dan penggantian personel.

Sekretaris Kota Palu, Aminuddin Atjo berang. Dia mengatakan, anggaran untuk polisi melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Perubahan sedang dalam proses pencairan. Masih ada masalah administrasi yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum dana itu berpindah ke rekening polisi. Sayangnya, Aminuddin Atjo tidak merinci berapa besar anggaran itu.

“Tapi itu bukan alasan. Mau ada anggaran atau tidak, sudah cair atau belum, polisi harus menjalankan fungsinya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat. Kenapa mereka harus meninggalkan lokasi bentrok di saat situasi  belum aman betul,” sesal Aminuddin Atjo.

Tahmidi Lasahido, aktivis Pusat Penelitian Perdamaian dan Pengelolaan Konflik (P4K) Universitas Tadulako (Untad) Palu mencurigai adanya pembiaran yang dilakukan oleh aparat keamanan. Pembiaran itu dilakukan, dengan maksud agar anggaran mereka segera dicairkan oleh pemerintah daerah. “Ini bahaya,” katanya.

Selain itu, karena polisi memang selalu bertindak tak ubahnya sebagai pemadam kebakaran. Mereka datang ketika bentrokan sudah terjadi, dan meninggalkan lokasi ketika masih ada bara. Oleh karena itu, Tahmidi Lasahido menyarankan, agar fungsi pelayan, pelindung dan pengayom masyarakat yang melekat pada polisi itu, harus benar-benar diwujudkan.

“Jangan hanya sekadar menjadi slogan saja,” katanya.

Selain itu, Tahmidi Lasahido juga berpendapat, agar bentrokan antarwarga yang sudah berulang-ulang terjadi di dua kelurahan itu dapat diselesaikan, maka perlu ada pihak ketiga yang secara intens melakukan pendampingan kepada warga, agar lahirnya insiatif lokal untuk menyelesaikan masalah mereka.

Upaya penyelesaian masalah di dua wilayah itu sudah sering dilakukan. Tapi upaya itu hanya selalu datang dari pihak elit. Pemerintah daerah sampai pemerintah pusat melalui Menteri Sosial sudah turun tangan untuk menyelesaikannya dengan pendekatan adat, tapi warga masih saja menyimpan amarah.

“Maka, harus ada insiatif lokal, yang terlahir dari keinginan warga sendiri yang diharapkan dapat menyelesaikan semua masalah itu,” kata Tahmidi Lasahido memberi saran.

Bentrok antara warga Kelurahan Pengawu dan Kelurahan Duyu, Dusun Tanggiso ini sudah yang ke sekian kalinya terjadi. Pada Juli 2013 lalu, tercatat ada sembilan rumah yang dibakar warga, dan seorang warga tewas terkena tembakan senapan angin.***

 

i

No comments: